Mbah Dalhar (KH. Nahrowi bin Abdurrahman)
Posted by
Unknown
on
Tuesday, January 27, 2015
with
No comments
Beliau memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di
eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga
mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
Kemerdekaan RI.
Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M).
Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya
adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat
Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai
Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama-sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan
wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang
bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan
teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan
figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda
sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk
mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini
Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan
Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah
namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama
Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang
sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring).
Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan
pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser
kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Nama “Dalhar”
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup
kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah
diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa
kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan
pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun,
mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada
Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa
Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu
tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar
dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen.
Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh
As-Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf
dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai
Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau
berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan
ayahnya sendiri pada Syeikh As-Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh
gurunya yaitu Syeikh As-Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
untuk menemani putera laki-laki tertuanya yang bernama Sayid
Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah.
Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri
tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.
Syeikh As-Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya
keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid
Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di
Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As-Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As-Sayid Muhammad Sa’id
Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai
Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui
pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan
kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar
kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid
Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda
bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), mbah Kiai
Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para
santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu
didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat
belajar pada Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan,
karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hijaz untuk memimpin kaum
muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu.
Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah
suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian
memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai
nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar
adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As-Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi
Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang
guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika berada di Hijaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah
kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan
ijazah aurad Dalailul Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana
kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang
memasyhurkan namanya di tanah Jawa.
Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut KH. Ahmad Abdul Haq, salah
seorang putra Mbah Dalhar, beliau menurunkan ijazah
kemursyidan hanya kepada tiga orang, yaitu kiai Iskandar, Salatiga ; KH.
Dimyathi, Banten ; dan putranya sendiri, KH. Ahmad Abdul Haq.
Meninggalkan tidur malam (sahrallayal) juga termasuk salah satu dari riyadhah Mbah Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi tradisi kebiasaan yang berlaku bagi para keturunan beliau. Sebagai seorang auliyaillah, Mbah Dalhar mempunyai banyak karamah. Dua keistimewaan yang dimiliki antara lain, suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara dan mengetahui makam–makam kekasih Allah (waliyullah) yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekita.
Hizb Bambu Runcing
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat
selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama
itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji
kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian
riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan
para keturunan beliau serta para santri-santrinya. Dalam hal adab
selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil
ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil
hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian
meneruskan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil
di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan
Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi
Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni
oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok
tanah Jawa.
Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok
pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para
pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa
bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa
Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb
dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum
menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku:
Jejak Kaki Persantren, karya KH Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang
kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing
mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara
Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda
tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik
Indonesia.
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani.
Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu
Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam
thariqah As-Syadziliyyah.
Murid-Murid Mbah Dalhar
Gus Miek |
Banyak sekali tokoh-tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat
berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah
KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Salah satu murid beliau adalah KH. Hamim Djazuli (Gus Miek), Ploso. Gus Miek datang ke Watucongol sekitar tahun 1954. Gus Miek tidak
langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di
kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering
dilakukannya pada setiap datang ke Watucongol. Kebiasaannya memancing
tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan
mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang
yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan
memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui Mbah Dalhar dan meminta
izin untuk belajar.
Singkat cerita, mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak berhenti sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada Mbah Dalhar, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, mbah Dalhar selalu
menyuruhnya membaca Al Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek,
gurunya itu menyuruhnya untuk mengamalkan Al Fatihah. Mbah Dalhar, bagi Gus Miek adalah satu-satunya orang yang dianggap
sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di
Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah
(sandal) dan menatanya agar lebih mudah dipakai ketika mbah Dalhar pergi
ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk
belajar istiqamah (konsisten). Sebab istiqamah, menurut ajaran KH.
Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah.
Kegiatan Gus Miek di pesantren Watucongol selain mengaji Al Qur’an, juga sering bepergian ke pasar-pasar, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering berhadapan dengan Gus Mad, putra mbah Dalhar, yang itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok.
Makam Mbah Dalhar di Gunung Pring, Muntilan |
Sekalipun jasad beliau telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus
perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan hingga sekarang. Pondok
Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas
perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Selain itu, Nama Mbah Dalhar juga tidak asing dikaitkan dengan Asrama Perguruan Islam (API) Pondol Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang. Hal ini karena beliau adalah mertua dari Mbah Kyai Chudlori pendiri pesantren tersebut. Semoga keturunan beliau selalu istiqamah dalam mengikuti jejak-jejaknya dalam li i'lai kalimatillah. Dari berbagai sumber
Categories:
Tokoh Islam
0 komentar :
Post a Comment