Puasa Rajab

Posted by Unknown on Saturday, May 11, 2013 with 4 comments
Fiqh Menjawab
Allah Swt. berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ.

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Taubah: 36).

Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam penanggalan Hijri. Pada bulan ini terjadi peristiwa agung sepertiIsra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. pada tanggal 27 Rajab. Di samping itu, Rajab juga termasuk bulan mulia yang disebut sebagai bulan haram, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. surat al-Taubah ayat 36 di atas. Hal ini dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّه السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوالْقَعْدَةِ وَذُوالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Dari Abi Bakrah ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Zaman (masa) telah berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan haram (suci/mulia), tiga bulan berurutan yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, lalu bulan Rajab yang berada antara Jumadi al-Awal dan Sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara harfiah kata “rajab” memiliki arti al-asham yang berarti tuli, yaitu tuli dalam arti tidak terdengar suara pedang, hal ini dikarenakan pada bulan rajab (dan bulan haram lainnya) dilarang melakukan peperangan. Sedangkan derivasi lain dari kata rajab adalah rajjaba yang berarti a’dzama (mengagungkan), yaitu karena bulan rajab termasuk bulan yang diagungkan oleh Allah Swt dengan tiga bulan haram lainnya.

BERPUASA DI BULAN RAJAB

Bagi sebagian umat Islam, datangnya bulan Rajab menjadi sebuah momentum untuk melaksanakan ibadah puasa. Mereka beranggapan puasa Rajab adalah sunnah, sehingga mereka pun berlomba-lomba melaksanakannya. Namun di kalangan umat Islam lainnya, puasa Rajab ini dianggap bid’ah dan tak diperbolehkan karena tidak memiliki dalil yang valid. Mengenai hal tersebut, dalam penjelasan seputar puasa Rajab ini akan menjawab hal tersebut. Apakah benar puasa Rajab itu tidak memiliki landasan syari’at?

Ada banyak sabda Rasulullah Saw yang menjelaskan puasa bulan Rajab tersebut. Di antara sekian banyak Hadis itu ada yang kualitasnya palsu (maudhu’), Hadis palsu ini tidak bisa diterima dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil). Ada pula yang kualitasnya dha’if (lemah), Hadis dha’if hanya bisa diamalkan dalam hal fadhail al-a’mal (keutamanan-keutamaan amal) saja.

Ada juga yang kualitasnya shahih (valid), Hadis shahih bisa dijadikan sebagai dalil dalam hal apapun. Sedangkan Hadis yang banyak tersebar di masyarakat tentang puasa Rajab itu adalah Hadis palsu.

HADIS PALSU PUASA RAJAB

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ كَانَ كَصِيَامِ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِّقَتْ عَنْهُ سَبْعَةُ أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، وَمَنْ صَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا نَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: قَدْ غَفَرْتُ لَكَ مَا سَلَفَ فَاسْتَأْنِفِ الْعَمَلَ قَدْ بَدَّلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ، وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَفِي شَهْرِ رَجَبٍ حُمِلَ نُوحٌ فِي السَّفِينَةِ، فَصَامَ نُوحٌ، وَأَمَرَ مَنْ مَعَهُ أَنْ يَصُومُوا، وَجَرَتْ بِهِمُ السَّفِينَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ إِلَى آخِرِ ذَلِكَ لِعَشْرٍ خَلَوْنَ مِنَ الْمُحَرَّمِ

“Siapa berpuasa satu hari pada bulan rajab, ia seperti berpuasa setahun. Siapa berpuasa tujuh hari, akan ditutup tujuh pintu neraka baginya. Siapa berpuasa delapan hari, maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya. Siapa berpuasa sepuluh hari, apapun yang diminta, Allah akan memberikannya. Siapa berpuasa 15 hari, maka terdengar seruan dari langit “Aku telah mengampuni segala dosa perbuatanmu yang telah lalu dan akan datang, engkau telah mengganti keburukan dengan kebaikanmu”. Siapa yang menambahnya (lebih dari 15 hari), Allah akan menambahkannya pula. Di bulan Rajab, Nuh berlayar, ia berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang ikut bersamanya untuk berpuasa dan berlayar selama enam bulan sampai 10 terakhir bulan Muharram.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman. Dalam komentarnya, al-Baihaqi menilai Hadis ini dengan mengutip argumen Imam Ahmad yang menyatakan kepalsuan Hadis tersebut, bahkan menurut Imam Ahmad masih ada Hadis lain lagi yang menyebutkan tentang keutamaan puasa di hari-hari bulan Rajab itu, dan kualitasnya adalah palsu (maudhu’).

Hadis palsu inilah yang tersebar luas di masyarakat, namun dengan redaksi bahasa: “Siapa yang berpuasa satu hari pada bulan Rajab, dia akan membuka satu pintu surga. Siapa yang berpuasa dua hari, dia akan membuka dua pintu surga. Siapa yang berpuasa delapan hari, maka dia akan membuka delapan pintu surga dan dapat masuk dari pintu mana saja.”

Redaksi ini sama halnya dengan memalsukan kembali Hadis yang memang sudah palsu tersebut. Berpuasa dengan berlandaskan pada Hadis ini adalah sebuah kekeliruan, dan tidak diperbolehkan.

Islam tidak pernah mengajarkan pemeluknya untuk berpijak pada Hadis palsu. Akan tetapi Islam dengan tegas menyatakan bahwa pijakan seorang muslim harus berdasar pada dalil yang valid (shahih), al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Ulama, atau Qiyas. Karenanya berpuasa di bulan Rajab dengan menjadikan Hadis tersebut sebagai argumen adalah kesalahan fatal, ini yang tidak diperbolehkan.

HADIS SHAHIH PUASA RAJAB

Argumen yang tidak membolehkan puasa Rajab, mungkin diakibatkan oleh Hadis palsu yang tersebar luas di masyarakat tersebut. Padahal masih banyak Hadis lain yang menjelaskan puasa Rajab dengan kualitas yangshahih. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, dan Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, bahwa suatu ketika Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, saat itu keduanya berada di bulan Rajab. Sa’id bin Jubair menjawab, aku mendengar Ibnu Abbas berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ. وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ.

“Rasulullah Saw berpuasa beberapa hari hingga kami mengira beliau akan puasa terus. Beliau berbuka beberapa hari hingga kami mengira beliau akan berbuka terus.”

Menjelaskan Hadis ini, Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa maksud Hadis tersebut adalah puasa di bulan Rajab tidak dilarang dan tidak pula disunnahkan. Namun, jika melihat Hadis shahih yang lain tentang kesunnahan berpuasa di bulan haram (bulan yang disucikan), maka pada dasarnya berpuasa di bulan rajab itu disunnahkan, Rasulullah saw., bersabda:

صم اشهر الله الحرم

“Berpuasalah dari sebagian bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Al Muharram).”

Rasulullah Saw menyampaikan Hadis ini dengan memberi isyarat menggunakan ketiga jari-jarinya, beliau menggenggam, kemudian membukanya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya.

Maka melalui Hadis shahih ini, puasa Rajab boleh dilakukan. Sebaliknya, puasa Rajab menjadi tidak diperbolehkan jika menggunakan dalil Hadis palsu (maudhu’) di atas. Kesimpulannya adalah puasa Rajab itu sunnah dan dianjurkan jika menggunakan dalil Hadis shahih tersebut. Wallahu A’lam bisshawab.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan Bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma›ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa: 114). File Dokumen Fiqh Menjawab
Categories: