Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Tuesday, July 2, 2013

Mimisen (Hidung Keluar Darah) Saat Sholat

Tidak menutup kemungkinan ketika kita sedang melaksanakan ibadah sholat mengeluarkan darah seperti dari hidung (mimisen) atau lainnya.

Ketika kejadiannya seperti itu maka hukumnya ditafsil. Bila darahnya sedikit, maka tidak membatalkan shalat. Apabila darah yang keluar banyak dan mengenai sebagian dari badan dan pakaiannya, maka wajib membatalkan shalatnya, meskipun shalat jumat.

فائدة : قال في التحفة : ولو رعف في الصلاة ولم يصبه إلا القليل لم يقطعها ، وإن كثر نزوله على منفصل عنه ، فإن كثر ما أصابه لزمه قطعها ولو جمعة ، وإن رعف قبلها واستمر فإن رجى انقطاعه والوقت متسع انتظره وإلا تحفظ كالسلس اهـ.

"Faidah: Mushannif (pengarang kitab) berkata dalam kitab Tuhfah: “Andai seseorang mimisan didalam shalat, dan darah yang keluar hanya sedikit, maka tidak membatalkan shalatnya. Apabila darah yang keluar banyak hingga mengenai bagian badan yang lain. Apabila darah yang mengenai bagian badan lain sangat banyak, maka seseorang yang sedang shalat itu harus membatalkan shalatnya meski dia sedang shalat jumat. Bila mimisan keluar sebelum shalat dan keluar terus, namun dimungkinkan mimisan berhenti dan waktu shalat masih cukup, maka dianjurkan untuk ditunggu hingga berhenti, apabila tidak mungkin ditunggu hingga berhenti, maka hidung disumpal saat shalat sebagaimana orang yang beser."  (Bughyat al Musytarsyidin hlm 53)

 ولو رعف في الصلاة لم تبطل و إن لوث بدنه مالم يكثر

"Keluar darah dari hidung/mimisan pada waktu shalat tidak membatalkan shalat sekalipun mengenai anggota badan. Dengan sarat darah yang keluar tidak banyak." (Kitab Busyral karim juz 1 hal 91)

Catatan : untuk ukuran banyak dan sedikitnya darah yg keluar di kembalikan pada 'uruf (kebiasaan masyarakat).

Hikmah Bacaan Keras dan Pelan dalam Sholat

Sehari semalam kita tanpa henti-hentinya melakukan aktivitas shalat sebagai upaya taqarrub ilallah agar hati kita bisa menjadi tenang dan bukan lain merupakan qodrat manusia tercipta di alam ini dengan tujuan agar mereka mau beribadah kepada Sang Pencipta. Aturan shalat memang sudah lahir dari ajaran yang dibawa langsung oleh Rasulullah saw. yang mana kita hanya bisa mematuhi dan menjalankan dengan ikhlas sepenuh hati.

Salah satu aturannya adalah ada shalat-shalat tertentu yang praktiknya dianjurkan dengan suara yang tinggi atau keras, seperti shalat subuh, maghrib dan isya. Sedangkan yang sebagian lain tidak dianjurkan keras, akan tetapi dengan suara yang lirih. Hikmah apa yang tersirat di dalamnya?

حِكْمَةُ الْجَهْرِ فِي مَوْضِعِهِ وَالْإِسْرَارُ فِي مَوْضِعِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ وَيَطِيبُ فِيهِ السَّمَرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ إظْهَارًا لِلَّذَّةِ مُنَاجَاةِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ وَخُصَّ بِالْأُولَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا وَالنَّهَارُ لَمَّا كَانَ مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَالِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ طُلِبَ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ صَلَاحِيَتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ وَأَلْحَقَ الصُّبْحَ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ ؛ لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ مَحَلًّا لِلشَّوَاغِلِ عَادَةً ا هـ ع ش عَلَى م ر .

"Hikmah membaca keras dan pelan pada waktu shalat yaitu waktu malam adalah waktu menyendiri, waktu yang tepat untuk bercakap-cakap karenanya syariat menetapkan bacaan keras saat shalat diwaktu tersebut untuk menampakkan nikmatnya munajat seorang hamba dihadapan Tuhannya. Dan diperlakukan pada shalat maghrib serta Isya’ karena terdapat kesemangatan orang yang menjalani shalat pada waktu keduanya.Sedang waktu siang adalah waktu bekerja dan bercampur dengan orang banyak, disyaritakan membaca dengan pelan karena disiang hari tidak layak untuk menuangkan munajat pada Allah.Dan waktu shalat shubuh disamakan dengan shalat malam (maghrib serta Isya’) karena pada umumnya diwaktu inipun orang belum tersibukkan dengan aneka pekerjaan." (Hasyiyah al-Jamal juz 3 hlm 326)
والحكمة في طلب الجهر في صلاة الليل والإسرار في صلاة النهار أن صلاة الليل تقع في الأوقات المظلمة فينبه القارئ بجهره المارة، وللأمن من لغو الكافر عند سماع القرآن لاشتغاله غالبًا في الليل بالنوم أو غيره بخلاف النهار، وإنما طلب الجهر في الجمعة والعيدين لحضور أهل البوادي والقرى فأمر القارئ بالجهر ليسمعوه فيحصل لهم الاتعاظ بسماعه.

"Hikmah diperlakukannya mengeraskan bacaan dishalat malam (maghrib, isya’ dan shubuh) serta diperlakukannya melirihkan bacaan dishlat waktu siang (dhuhur dan ashar) adalah sesungguhnya shalat malam terjadi disaan waktu-waktu gelap maka dengan suara kerasnya orang yang membaca al-Quran diharapkan dapat mengingatkan orang-orang yang lewat disamping waktu malam adalah waktu yang aman dari kesia-siaan orang kafir saat mendengar bacaan al-Quran sebab mereka pada umumnya sedang beristirahat atau sibuk dengan hal lainnya berbeda dengan waktu siang hari.Dan diperlakukan mengeraskan bacaan dishalat jumah dan hari raya karena kehadiran orang-orang pedalaman, pedesaan untuk menjalankan shalat berjamah maka diperintahkan mengeraskan bacaan agar mereka dapat mengambil wejangan saat mendengar bacaan al-Quran." (Al-Fawakih ad-Dawaany juz 1 hlm 505)

Wali dari Anak Hasil Zina

Status anak dari hubungan zina diperinci sebagai berikut :

A. Jika dilahirkan lebih dari enam bulan setelah akad nikahnya (hubungan badan), maka ada dua keadaan :

- Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris, wali nikah dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).

- Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

B. Jika dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikahnya (hubungan badan), maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya.

Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.

Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal 235-236

مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته .

Kitab I'anatut Tholibin juz 3 hal 327

 (قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الامام أبي حنيفة رضي الله عنه.ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالاجماع.والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد
انفصل من المرأة وهو إنسان كامل

File Dokumen Fiqh Menjawab

Menikahi Wanita Hamil

Wanita dalam kondisi hamil dibagi menjadi dua dengan melihat keadaannya :

1. Hamil karena ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hukum menikah wanita tersebut tidak boleh pada saat hamil harus menunggu selesainya masa 'iddah yaitu menunggu sampai lahirnya bayi tersebut. Alloh swt berfirman :

 واللائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا

Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya."  (QS. At Talaq : 4)

2. Wanita hamil karena zina. Hukumnya boleh dinikah dan nikahnya sah. Dalil yang menunjukan diperbolehkannya menikahi wanita hamil :

- Kitab Fiqh ala Madzahibil Arbaah juz 4 halaman 533

أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى

"Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii."

- Kitab Al-Muhadzdzab juz 2 halaman 113

وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ

"Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya."

- Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201

(مَسْأَلَةُ ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ

"Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh laki-laki yang menzinainya atau oleh lainnya (bukan yang menzinai) dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh."

File Dokumen Fiqh Menjawab

Air Musta’mal dan Hukumnya

Banyak fenomena praktek fiqih yang terjadi  di sekitar kita yang bisa dikatakan luput atau kurang mendapat perhatian sehingga status hukumnya tak diketahui. Padahal seluruh aktivitas kita sebagai individu mukallaf  dituntut harus sesuai dan sinkron dengan hukum yang diturunkan Allah melalui rosul-Nya (fiqh islam).

Salah satu contohnya adalah yang sering terjadi pada seorang yang mandi besar (junub) dalam kamar mandi dengan bak mandi kecil. Air bak mandi bisa dipastikan kurang dari ukuran air banyak (ma’ katsir), yaitu 2 qullah atau 216 liter. Pada saat ia mandi, air bekas mandi menetes masuk kembali ke dalam bak mandi. Banyak orang berspekulasi bahwa air yang ada dalam bak mandi tersebut menjadi musta’mal. Tulisan ini akan mencoba mengulas secara sistematis, koheren dan kritis status hukum air bak mandi yang telah tercampur tetesan air bekas mandi wajib tersebut dari sudut pandang fiqih syafi’i.

A. Pengertian Air Musta’mal

Dalam menganalisa suatu fenomena keagamaan agar lebih fokus maka terlebih dahulu perlu mendefinisikannya dalam kerangka teoritis tertentu. Sebagaimana dikatakan pemikir ulung Yunani, Aristoteles, setiap penalaran selalu dimulai dari pengertian-pengertian.

Kata “musta’mal” dari segi bahasa adalah isim maf’ul hasil derivasi dari fi’il madhi tsulasi mazid sudasi “ista’mala”, secara harfiah arti musta’mal sendiri adalah sesuatu yang digunakan.
Syaikh Zainuddin al Malibari dalam karya terbaiknya Fath al-Mu’in, menjelaskan: seluruh thoharoh (bersuci) baik wajib maupun sunnah hanya bisa dicapai dengan air mutlaq yang belum pernah digunakan untuk bersuci.
فتح المعين 
فلا يرفع الحدث ولا يزيل النجس ولا يحصل سائر الطهارة – ولو مسنونة – إلا الماء المطلق،… (غير مستعمل في) فرض طهارة، من (رفع حدث) أصغر أو أكبر، ولو من طهر حنفي لم ينو، أو صبي لم يميز لطواف. (و) إزالة (نجس) ولو معفوا عنه.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 235)
والماء المستعمل عند الشافعية  : هو الماء القليل المستعمل في فرض الطهارة عن حدث كالغسلة الأولى فيه، والأصح أن نفل الطهارة كالغسلة الثانية والثالثة طهور في المذهب الجديد.

Berangkat dari ibarot (redaksi) Fath al-Mu’in di atas, dan didukung dari al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kiranya dapat kita rumuskan bahwa definisi air musta’mal secara terminologi syara’ adalah “air yang sudah pernah digunakan untuk thoharoh (bersuci) wajib, baik untuk menghilangkan hadast kecil atau besar maupun untuk menghilangkan najis meski najis yang dima’fu”

Lebih lanjut Al ‘Allamah Sayyid Bakri Syatho’ ad-Dimyathi dalam hasyiah I’anah ath-Tholibin memberi komentar, menurut beliau dari ibarot fath al-mu’in tersebut dapat ditarik sebuah konklusi bahwa ada empat syarat air bisa dikatakan musta’mal
(1) Volume air sedikit (kurang dari dua qullah), 
(2) Sudah pernah digunakan dalam rukun wajib thoharoh, 
(3) sudah terpisah dari anggota,
 (4) tidak ada niat Ightirof (nyiduk:Jawa) ketika memasukkan tangan ke dalam wadah air ataupun ketika anggota tubuh menyentuh air. Syarat terakhir ini hanya berlaku dalam konteks mandi wajib setelah niat.

إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 37)
واعلم أن شروط الاستعمال أربعة، تعلم من كلامه: قلة الماء واستعماله فيما لا بد منه، وأن ينفصل عن العضو، وعدم نية الاغتراف في محلها وهو في الغسل بعد نيته، وعند مماسة الماء لشئ من بدنه.فلو نوى الغسل من الجنابة ثم وضع كفه في ماء قليل ولم ينو الاغتراف صار مستعملا.وفي الوضوء بعد غسل الوجه وعند إرادة غسل اليدين، فلو لم ينو الاغتراف حينئذ صار الماء مستعملا.

B. Hukum Air Musta’mal

Imam An-Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudlah ath-Thalibin, bahwa hukum air musta’mal adalah suci (thohir). Sedangkan dalam Hasyiyah Qolyubi wa ‘Umairoh ada keterangan bahwa menurut imam ar-Rafi’i dalam Syarah kabir dan Shaghir serta Al Muharror, air musta’mal adalah muthlaq tetapi tidak bisa digunakan untuk thoharoh (bersuci) karena Ta’abbudi atau dengan kata lain tidak ada alasan yang melatar-belakanginya (dogmatis-irasional). Menurut imam Nawawi pendapat tersebut bisa dibenarkan menurut mayoritas ulama’, tetapi dalam kesempatan lain, tepatnya dalam dua karya monumentalnya At-Tahqiq dan Syarah Muhadzdzab serta Fatawi, Imam an Nawawi menjelaskan bahwa air musta’mal bukanlah air muthlaq.

Dari uraian di atas, pendek kata, Imam an Nawawi dan imam Rafi’i mencapai kata sepakat bahwa air musta’mal tidak dapat dijadikan alat thoharoh sedangkan kontradiksi yang terjadi antara keduanya hanya berkisar dalam status air musta’mal apakah muthlaq ataukah tidak.

روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 1 / ص 2)
وأما المستعمل في رفع حدث فطاهر وليس بطهور على المذهب وقيل طهور في القديم والمستعمل في نقل الطهارة كتجديد الوضوء والأغسال المسنونة والغسلة الثانية والثالثة وماء المضمضة طهور على الأصح.

حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 1 / ص 78)
( فَائِدَةٌ ) جَزَمَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحَيْنِ وَالْمُحَرَّرِ بِأَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ مُطْلَقٌ مُنِعَ مِنْ اسْتِعْمَالِهِ تَعَبُّدًا .وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ : إنَّهُ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْأَكْثَرِينَ ، لَكِنْ صَحَّحَ فِي التَّحْقِيقِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَالْفَتَاوَى أَنَّهُ لَيْسَ بِمُطْلَقٍ .

Dengan mengetahui definisi dan syarat-syarat air dikatakan musta’mal kita dapat mengidentifikasi status air yang ada dalam bak mandi dalam kasus di atas. Air dalam bak mandi tersebut tidak dikatakan musta’mal karena belum pernah digunakan dalam rukun wajib thaharah. Permasalahannya adalah air yang ada dalam kolam tersebut tercampur air musta’mal. Secara sederhana, pertanyaanya dapat kita rumuskan: bagaimana hukum air yang tercampur dengan benda suci berupa air musta’mal?

Menurut qoul ashah (pendapat yang dianggap paling benar), air dalam kolam tersebut thohir muthohir (suci dan mensucikan) jika diperkirakan tidak berubah salah satu sifatnya (rasa, bau, dan warna) dan thohir ghoiru muthohir (suci tapi tidak mensucikan) jika diperkirakan berubah salah satu sifat (rasa, bau, dan warna). Ada pendapat yang mengatakan ketika kadar air musta’mal yang tercampur lebih sedikit maka tetap dihukumi thohir muthohir.

C. Hukum air yang tercampur dengan air Musta’mal.
Air musta’mal adalah benda suci. Untuk mengetahui hukum air yang tercampur dengannya, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bentuk globalnya yakni hukum air yang tercampur dengan benda suci. Dalam kitab al Iqna’ karya Asy-Syarbini dijelaskan hukum air Mutlaq yang tercampur dengan benda suci terbagi menjadi dua:
  1. Thohir muthohir (suci dan mensucikan) jika tidak merubah salah satu sifatnya.
  2. Thohir ghoiru muthohir (suci tapi tidak mensucikan) ketika berubah salah satu sifatnya.
 Lebih lanjut, dalam konsep Fiqh para ulama’ mengklasifikasi  perubahan yang terjadi menjadi dua macam:
  1. Khissi (Indrawi) seperti, air muthlaq yang tercampur dengan kopi.
  2. Taqdiri (Tidak indrawi), salah satu contoh perubahan taqdiri adalah ketika air muthlaq tercampur dengan air musta’mal. Hal ini di sebabkan  karena air musta’mal adalah benda suci yang seluruh sifatnya (bau,rasa,warna,) sama dengan air mutlaq, oleh sebab itu perubahan yang disebabkan olehnya tidak akan terdeteksi oleh indra.
روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 1 / ص 3)
فرع إذا اختلط بالماء الكثير أو القليل مائع يوافقه في الصفات كماء الورد المنقطع الرائحة وماء الشجر والماء المستعمل فوجهان أصحهما إن كان المائع قدرا لو خالف الماء في طعم أو لون أو ريح لتغير التغير المؤثر يسلب الطهورية وإن كان لا يؤثر مع تقدير المخالفة لم يسلب. والثاني إن كان المائع أقل من الماء لم يسلب وإن كان أكثر منه أو مثله سلب وحيث لم يسلب فالصحيح أنه يستعمل الجميع وقيل يجب أن يبقى قدر المائع وقيل إن كان الماء وحده يكفي لواجب الطهارة فله استعمال الجميع وإلا بقي.

 D. Cara  mentaqdirkan perubahan

berpijak dari realita bahwa perubahan yang disebabkan oleh air musta’mal tidak dapat terdeteksi oleh indra, Maka perlu meminjam benda lain sebagai tolak ukur untuk mengidentifikasi ada tidaknya,  Dalam hal ini para fuqoha’  menetapkan rasa menggunakan rasa delima, warna menggunakan warna perasan   anggur , bau menggunakan bau  ladzan (sejenis minyak wangi: al fiqh al islami).

Kita membuat pengandaian:

Seumpama air yang menetes itu berwarna seperti warna perasaan anggur, apakah warna air yang ada dalam kolah berubah ataukah tidak? Jika kita menggatakan berubah maka air yang ada dalam kolah sudah tidak mensucikan lagi. Tetapi jika kita menggatakan tidak berubah, maka air dalam kolah tersebut masih tetap suci mensucikan .cara pentagdiran ini berlaku sama dalam rasa,maupun bau.

Perlu untuk diketahui, hukum pentaqdiran semacam ini hanya sebatas sunnah, dalam artian hukumnya boleh  seumpama orang yang mandi tersebut langsung mengunakan air yang ada dalam kolah tanpa harus ia melakukan pentaqdiran, sebab menurut pandangan para fuqoha’ batas maksimal yang dapat di capai oleh pentaqdiran adalah  dzon, dan kita tidak menghukumi hilangnya  thohuriah air mutlaq (asl,yaqin) dengan sesuatu yang bersifat dzon.

Wahbah az zauhaily seorang pakar fiqih asal syiria dalam karya impresinya Al Fiqh Al Islami Waadillatuhu menjelaskan, Bahwa tetesan air bekas mandi wajib(musta’mal)  yang masuk ke dalam wadah kembali hukumnya ma’fu , karena Nabi dan para shahabatnya berwudlu dan mandi dengan menggunakan  wadah-wadah air. Dan dalam satu kesempatan nabi beserta istrinya  siti aisyah juga pernah mandi dari satu wadah air yang tangan mereka saling bergantian,  dalam Praktek semacam ini dapat dipastikan adanya air yang masuk kembali dalam wadah.

v    إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 38)
(قوله: ولو تقديريا) أي ولو كان التغير حاصلا بالفرض والتقدير لا بالحس، وهو ما يدرك بإحدى الحواس التي هي الشم والذوق والبصر، وذلك بأن يقع في الماء ما يوافقه في جميع صفاته، كماء مستعمل، أو في بعضها كماء ورد منقطع الرائحة وله لون وطعم أو أحدهما ولم يتغير الماء به، فيقدر حينئذ مخالفا وسطا، الطعم طعم الرمان واللون لون العصير والريح ريح اللاذن – بفتح الذال المعجمة – فإذا كان الواقع في الماء قدر رطل مثلا من ماء الورد الذي لا ريح له ولا طعم ولا لون، نقول: لو كان الواقع فيه قدر رطل من ماء الرمان هل يغير طعمه أم لا ؟ فإن قالوا: يغيره.انتفت الطهورية.وإن قالوا لا يغيره.نقول: لو كان الواقع فيه قدر رطل من اللاذن هل يغير ريحه أو لا ؟ فإن قالوا: يغيره.انتفت الطهورية.وإن قالوا: لا يغيره.نقول: لو كان الواقع فيه قدر رطل من عصير العنب هل يغير لونه أو لا ؟ فإن قالوا: يغيره.سلبناه الطهورية.وإن قالوا: لا يغيره، فهو باق على طهوريته….واعلم أن التقدير المذكور مندوب لا واجب، فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأه ذلك.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 238)
ويعفى عن يسير الماء المستعمل الواقع في الماء؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه كانوا يتوضؤُون من الأقداح، ويغتسلون من الجفان، واغتسل النبي وعائشة من إناء واحد، تختلف أيديهما فيه، كل واحد منهما يقول لصاحبه: أبق لي، ومثل هذا لا يسلم من رشاش يقع في الماء. فإن كثر الواقع وتفاحش لم تجز الطهارة به على الرواية الراجحة، وهو مذهب الشافعية أيضاً كما بينت،