Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Sunday, November 17, 2013

Biografi Imam Hanafi

Biografi Imam Hanafi - Atau yang lebih di kenal dengan nama Abu Hanifah Al-Nu'ma ibn Tsabit ibn Zutha Al-kufi, adalah penemu ilmu fiqih atau bisa di sebut sebagai guru besarnya ilmu fiqih, barang siapa yang ingin belajar ilmu fiqih maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya, itu adalah potongan dari perkataan Imam Al-Syafi’i.

Berikut adalah Biografi Imam Hanafi Atau sering di sebut Abu Hanifah
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi. Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi Kufah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.

Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru yang ditemuinya adalah Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah, ‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan lain-lain. Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan. Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah.

Akan tetapi dari sekian banyak guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah adalah Hammad ibn Abi Sulaiman. Ia belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad wafat. Dan setelah itu ia mengganti kedudukan Hammad mengajar di majlis ilmu fiqih di Kufah dengan gelar imam ahl al-ra’y (Pemimpin ulama ahlu al-ra’y). Dalam hal ini ia berkata: “Aku tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan guruku Hammad dan setiap orang yang pernah mengajariku atau belajar kepadaku.”

Karya-karya Abu Hanifah yang sampai kepada kita adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absath, Kitab Al-Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam bidang fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya telah merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap sehingga menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin. Di antara murid-muridnya adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari (113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail (110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu`i (w. 204 H/819 M).

Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi panutan kaum Muslimin sepanjang masa. Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”[1]

Imam Al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”

Sufyan ibn ‘Uyainah, salah satu fuqaha Kufah berkata: “Ada dua perkara yang tidak aku sangka akan melampaui jembatan Kufah, qira’ah-nya Hamzah dan pandangan fiqih Abu Hanifah.”

Muthi’ ibn Al-Hakam berkata: “Aku belum pernah melihat seorang ahli hadits yang lebih faqih daripada Sufyan Al-Tsauri. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih daripada Sufyan.”

Imam Yazid ibn Harun pernah ditanya: “Siapa menurut Anda yang lebih faqih, Abu Hanifah atau Sufyan?” Ia menjawab: “Sufyan lebih hafal terhadap hadits. Tetapi Abu Hanifah lebih faqih.”[2]

Suatu ketika Al-Syafi’i bertanya kepada gurunya Imam Malik tentang Abu Hanifah, maka ia menjawab: “Menurutku, andaikan ia berbicara kepadamu bahwa tiang ini terbuat dari emas, niscaya ia akan dapat menyampaikan argumentasinya.”

Al-Nazhar ibn Syumail berkata: “Manusia pada mulanya tidur dari ilmu fiqih sehingga Abu Hanifah yang membangunkan mereka.”[3]

Sufyan Al-Tsauri dan Abdullah ibn Al-Mubarak berkata: “Abu Hanifah adalah faqih terbesar di dunia pada masanya.”

Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Dewasa ini mazhab Hanafi diikuti oleh penduduk Turki dan negara-negara sekitarnya, negera-negara Asia Tengah bekas jajahan Rusia, Pakistan, Afganistan, India, Bangladesh dan sebagian penduduk Afrika dan Timur Tengah.

Dalam hal ini dikutip dalam perkataan Abu Hanifah sendiri sebagai berikut: sesungguhnya saya mengistinbath hukum dari al-qur’an. Bila tidak didapatkan, saya mencarinya dari hadist dan atsar shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang Tsaqiat, apabila masih saja belum saya ketemukan, maka saya mengambil perkataan sahabat yang saya kehendaki, jika semua itu telah saya lakukan, walaupun saya menemukan pendapat Ibrahim Al-Nakha-i Atau Sya’bi Atau Sa’id Ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. (Muhammad Musa, t.t.60).

Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa Abu Hanifah menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama, kemudian al-hadist sebagai sumber hukum kedua, disusul dengan ijma’ shahabat sebagai sumber hukum ketiga. Setelah itu ijtihad dipergunakan sebagai metode untuk menetapkan hukum.

Yang tergolong dalam ijtihadnya AbuHanifah adalah qiyas , istihsan, dan U’ruf . sedangkan hadist yang pergunakan hujjah oleh Abu Hanifah adalah hadist Mutawatir, masyhur , ahad, dan mursal selama diriwayatkan oleh periwayat Stiqat (yang dipentingkan adalah periwayatnya) (Muhammad Musa, t.t; 63). Sedangkan persyaratan lain untuk hadist ahad adalah periwayat hadist ahad tersebut harus mengemalkan isi hadist yang diriwayatkan, apabila tidak mengamalkan, perbuatan periwayat yang dibuat pegangan (Abu Zahrah, 1908: 109). Dan hadist ahad tersebut tidak bertentangan dengan hadist masyhur.

[1] Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz XIII, hal. 336.

[2] Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Al-Imam Abu Hanifah, hal. 68.

[3] Sayid Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-IJtihad, hal. 3.

Mengenai keterangan sahabat menurut Abu Hanifah ada dua bentuk, yaitu ketetapan yang berbentuk ijma’ dan dalam bentuk fatwa, ketentuan hukum dalam bentuk ijtima’ mengikat dan dalam bentuk fatwa tidak mengikat. (wahbah al-zuhaili, 1978: 107). Ijma’ masih dapat dilakukan dalam kontek penetapan hukum untuk persoalan-persoalan temporer yang dihadapi para mujtahid, sejauh ulama bisa menyatakan pendapatnya secara bersama, walaupun dengan cara cara ijma’ sukuti.

Sedangkan tentang u’ruf atau tradisi masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan semangat syari’at dapat diangkat sebagai ketentuan hukum (Abu Zahrah, t.t: 162 – 163). Bahkan dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah adalah imam Madzhab yang selalu mempertimbangkan maslahah dengan fokus kehidupan masyarakat dan merefleksi kebutuhan sosiologis dengan metode andalannya, yakni istihsan.

Secara sederhana istihsan yang dimaksud Abu Hanifah adalah “memandang lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Misalnya, dililkhusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindah masyarakat Madinah (Abu Zahrah, 1908: 109-111).

Dari nampak bahwa jika nash dan yang dikategorikan sebagai nash belum dapat mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi, maka mengkajinya dengan menggunakan pendekatan penalaran , yakni qiyas, ihtihsan maslahah, mursalah, da saddud dara’i. Dalam hal ini imam malik menekankan pada “maslahah mursalah”. Jika konsep ihtihsannya Abu Hanifah dalam mengalihkan furu’ kepada ashal yang lain yang illahnya lemah, tetapi hasilnya lebih baik konsep ihtihsannya (yang dikenal dengan maslahah mursalah) ini adalah berlain dari kajian qiyas menuju kajian maslahah, yakni menetapkan hukum untukberbagai persoalan temporer dengan mempertimbangkan maqasid al-syari’ah, (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Yang proses analisisnya ditentukan oleh para mujtahid sendiri.

Kajian maslahah yang dilaksanakan imam Malik itu lebih diperkuat lagi dengan al-dzari’ah, yaitu menetapkan hukum dengan melihat kemunkinan akibat yang akan timbul dari suatu perbuatan. Kendati perbuatan itu asalnya boleh. Tetapi akan menimbulkan mafsadah terhadap yang melaksanakannya, maka perbuatan yang tadi hukumnya menjadi tidak boleh. Dan atau sebaliknya. Semstara maslahah mursalah sendiri dapat dikatakan sebagai “penetapan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash, dengan pertimbangan untuk kepntingan hidup manusia, yang bersendikan atas asas menarik manfaat dan menghindarkan madarat. (Mahdi Fadillah, 1987: 294). Sebagai contohnya adalah “adanya keharusan pencatatan nikah yang dapat dikatakan tidak ada satupun nash yang memerintahkan atau melarangnya. Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh nagara untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tampa pencatata, negara tidak mempunyai otentik atas terjadinya perkawinan. (Azhar Basyir, 1992: 49).

Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.

 Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.

 Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).

Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.

Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.” Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.” Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya.

 Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah.

Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”

 Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata, “Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.” Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” “Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.

 Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata, “Aku punya pakaian yang kamu pesan.” Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah, “Berapa aku harus membayar pegawaimu?”

“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah. Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?” “Ya,” kata Abu Hanifah Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”

Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”

 Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”

Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”

Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.

Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.

Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”

 Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.

Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah,m membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.

Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.

 Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.

 Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.

 Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan,
Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih
Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/767M ketika berusia
70 tahun.

PENDIDIKAN


Imam Abu Hanifah mendapat banyak peluang menuntut ilmu sejak kecil sehingga ke peringkat yang paling tinggi. Beliau mempelajari pelbagai ilmu terutama ilmu undangundang Islam. Selain daripada menjadi seorang ilmuwan, beliau juga seorang ahli perniagaan. Penglibatannya dalam perniagaan dan kemantapan ilmu agama membolehkan beliau mengeluarkan pendapat tentang hukum Islam dan mempraktikkannya. Beliau cuba untuk memperluaskan perlaksanaan hukum-hukum Islam dalam setiap bidang kehidupan.

 Imam Abu Hanifah berguru dengan beberapa orang `ulama’ yang hidup sezaman dengannya. Guru fiqh yang banyak memberi sumbangan kepada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulayman selama 18 tahun. Selain berguru dengan para tabi`in, beliau juga menemuï beberapa orang sahabat Nabi, antaranya Anas bin Malik, `Abdu Llah bin Abi Awfa, `Abdu Llah bin Al-Hasan, Zayd bin `Aliy, `Abdu Llah bin Al-Haris bin Juz’, dan Ma`qal bin Yasar, Abu t-Tufayl `Amir bin Wasilah.

 Imam Abu Hanifah mempunyaï ramai murid yang masyhur seperti Abu Yusuf, Asad bin `Amr, Al-Qasim bin Ma`n, Zafr bin Al-Huzayl, Al-Walid bin Aban, Abu Bakr Al-Hazliy, Ya`qub bin Ibrahim Al-Ansariy Al-Kufiy, Muhammad bin Al-Hasan bin Asy-Syaybaniy dan Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy Al-Kufiy.

SUMBANGAN KEPADA TAMADDUN ISLAM

1- Kebanyakan masanya digunakan untuk mengajar di masjid.
2- Berfikiran secara kritis dan terbuka dalam menyelesaikan masalah fiqh.
3- `Ulama’ pertama yang menyusun kitab fiqh mengikut bab dan fasl dengan baik dan tersusun. Mohd `Adlan Bin Mohd Shariffuddin (2009). Biografi Imam Mazhab Empat.
4- Seorang yang amat teliti dalam menentukan hukum mengikut martabat hadis.
5- Menyusun cara mengeluarkan hukum berdasarkan kepada kaedah-kaedah tertentu.
6- Antara kitab yang ditulis oleh beliau ialah Al-Fiqhu l-Akbar dan Kitabu l-Fara’idh.
7- Beliau juga seorang yang amat teliti terhadap hadis. Beliau hanya menerima hadis yang sahih dan kuat sanadnya.

PENGARUH MAZHAB ABU HANIFAH

Aliran mazhab Imam Abu Hanifah dikenali dengan nama Mazhab Hanafiy. Sejak ia muncul, ia tersebar luas dan begitu berpengaruh di Iraq. Mazhab Hanafiy ialah mazhab rasmi Dawlah `Usmaniyyah, dan masih berpengaruh di negara-negara bekas jajahan Dawlah `Usmaniyyah seperti Mesir, Syria, Lubnan, Bosnia dan Turki.

Istri Sholihah

Pria baik-baik tentu mendambakan istri yang sholihah. Karena istri sholihah inilah yang mampu menciptakan keluarga sakinah, melahirkan, mengasuh dan mendidik keturunannya menjadi anak baik-baik, yang sholih dan sholihah. Tentang istri sholihah Alloh swt berfirman,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعِضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Arttinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah swt lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah swt telah memelihara (mereka).  Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah swt Maha Tinggi lagi Maha Besar.”  (QS. An Nisaa’ : 34)

Ciri-ciri istri Sholihah
Rosululloh saw bersabda,

مَااسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مْنِ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِى مَالِهِ وَعِرْضِهِ 

Artinya: “Tidaklah seorang mukmin memperoleh sesuatu yang lebih baik sesudah takwa kepada Alloh swt selain dari istri yang sholihah;
1.       jika diperintah ia patuh,   
2.       jika dipandang menyenangkan,   
3.       jika diminta untuk menunaikan sesuatu ditunaikannya dengan baik, dan 
 4.      jika ia (suami) jauh darinya, dijagalah hartanya dan harga dirinya.  (HR. Ibnu Majah)

 إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ

Artinya: “Apabila seorang istri telah mendirikan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan,  selalu menjaga diri dan mentaati suaminya niscaya  dia masuk surga.  (HR. Al Bazzar)

إِذَا دَعَا اَلرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ , لَعَنَتْهَا اَلْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ 

Artinya: “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istrinya tidak mau menurutinya, dan suaminya sepanjang malam marah kepadanya, niscaya dia dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari.”. (HR. Bukhori Muslim)

أَيـُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتْ الْـجَنَّةَ

Artinya: “Wanita manapun yang mati sedangkan suaminya rela kepadanya, maka ia masuk sorga.”  (HR. Tirmidzi)

إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَـمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا 

Artinya: “Berilah nasihat pada para wanita itu secara baik, sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya sebengkok-bengkok tulang rusuk adalah bagian atas. Maka jika anda meluruskannya dengan cara kasar maka tulang rusuk itu akan patah. Namun jika dibiarkan, dia akan tetap bengkok. Maka nasihatilah para wanita itu dengan sebaik-baiknya.  (HR. Bukhori Muslim)

لاَتُسَافِرُ إِمْرَأَةٌ مَسِيْرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُوْمَحْرَمٍ

Artinya: “Seorang wanita dilarang bepergian jauh sejauh perjalanan dua hari tanpa ditemani suami atau muhrimnya."  (HR. Bukhori)

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهِنَّ وَضَرَّائِهِنَّ وَسَرَّائِهِنَّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُنَّ فَقَالَ رَجُلٌ أَوْ ثِنْتَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَوْ ثِنْتَانِ فَقَالَ رَجُلٌ أَوْ وَاحِدَةٌ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَوْ وَاحِدَةٌ

Artinya: “Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan dan sabar dalam mengasuhnya dalam susah dan dalam senang maka dia akan dimasukkan Alloh swt ke dalam surga karena rahmat Alloh swt terhadap anak-anak perempuan itu.” Lalu bertanya seorang laki-laki, “Bagaimana jika hanya dua orang Ya Rosulalloh?” Rosululloh menjawab, “Dan anak dua pun begitu”. Bertanya pula seorang laki-laki, “Bagaimana kalau hanya seorang wahai Rosulalloh?” Rosul menjawab, “Satu anakpun begitu juga.  (HR. Hakim)

Wasiat Rasululloh saw kepada Aisyah

Siti ‘Aisyah ra meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda, “Hai Aisyah, aku berwasiat kepada engkau. Hendaklah engkau senantiasa mengingat wasiatku ini. Sesungguhnya engkau akan senantiasa di dalam kebajikan selama engkau mengingat wasiatku ini”
Intisari wasiat Rasulullah saw tersebut dirumuskan seperti berikut: “Hai, Aisyah, peliharalah diri engkau. Ketahuilah bahwa sebagian besar daripada kaum engkau (kaum wanita) adalah menjadi kayu api di dalam neraka. Diantara sebab-sebabnya ialah mereka itu :
  1. Tidak dapat menahan sabar dalam menghadapi kesakitan (kesusahan).
  2. Tidak sabar apabila ditimpa musibah.
  3. Tidak memuji Allah swt atas kemurahan dan nikmatNya.
  4. Banyak bicara yang sia-sia.
Wahai, Aisyah, ketahuilah bahwa :
  1. Wanita yang mengingkari kebajikan (kebaikan) yang diberikan oleh suaminya maka amalannya akan digugurkan oleh Allah swt;
  2. Wanita yang menyakiti hati suaminya dengan lidahnya, maka pada hari kiamat, Allah swt menjadikan lidahnya tujuh puluh hasta dan dibelitkan di tengkuknya;
  3. Isteri yang memandang jahat (menuduh atau menaruh sangkaan buruk terhadap suaminya), Allah swt akan menghapuskan muka dan tubuhnya pada hari kiamat;
  4. Isteri yang tidak memenuhi kemauan suaminya di tempat tidur atau menyusahkan urusan ini atau mengkhiananti suaminya, akan dibangkitkan Allah swt pada hari kiamat dengan muka yang hitam, matanya kelabu, ubun-ubunnya terikat kepada dua kakinya di dalam neraka;
  5. Wanita yang mengerjakan sembahyang dan berdoa untuk dirinya tetapi tidak untuk suaminya, akan dipukul mukanya dengan sembahyangnya;
  6. Wanita yang dikenakan musibah ke atasnya lalu dia menampar-nampar mukanya atau merobek-robek pakaiannya, dia akan dimasukkan ke dalam neraka bersama dengan isteri nabi Nuh dan isteri nabi Luth dan tiada harapan mendapat kebajikan syafaat dari siapa pun;
  7. Wanita yang berzina akan dicambuk di hadapan semua makhluk di depan neraka pada hari kiamat, tiap-tiap perbuatan zina dengan depalan puluh cambuk dari api;
  8. Isteri yang mengandung, baginya pahala seperti berpuasa pada siang harinya dan mengerjakan qiamul-lail pada malamnya serta pahala berjuang fi sabilillah;
  9. Isteri yang melahirkan, bagi tiap-tiap kesakitan yang dideritainya diberi pahala memerdekakan seorang budak. Demikian juga pahalanya setiap kali menyusukan anaknya;
  10. Wanita apabila bersuami dan bersabar dari menyakiti suaminya, maka diumpamakan dengan titik-titik darah dalam perjuangan fi sabilillah.
File dokumen Fiqh Menjawab

Do'a Akhir Tahun dan Awwal Tahun Hijriyah

DOA AKHIR TAHUN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ ، اللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِيْ عَلَى مَعْصِيَّتِكَ ، فَإِنِّيْ أَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْ لِيْ . وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ ، فَأَسْئَلُكَ اللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ أَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَ تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WASHAHBIHII WASALLAM

ALLAAHUMMA MAA ‘AMILTU FII HAADZIHISSANATI MIMMAA NAHAITANII ‘ANHU FALAM ATUB MINHU WALAM TARDHAHU WALAM TANSAHU WA HALUMTA ‘ALAYYA BA’DA QUDRATIKA ‘ALAA ‘UQUUBATII WA DA’AUTANII ILATTAUBATI MINHU BA’DA JUR`ATII ‘ALAA MA’SHIYATIKA FA INNI ASTAGHFIRUKA FAGHFIR LII

WA MAA ‘AMILTU FIIHAA MIMMAA TARDHAAHU WA WA’ADTANII ‘ALAIHI ATSTSAWAABA FA AS`ALUKALLAAHUMMA YAA KARIIMU YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAMI AN TATAQABBALAHUU MINNII WALAA TAQTHA’ RAJAA`II MINKA YAA KARIIM
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WASHAHBIHII WASALLAM

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, beserta para keluarga dan sahabatnya.

Ya Allah, segala yang telah ku kerjakan selama tahun ini dari apa yang menjadi larangan-Mu, sedang kami belum bertaubat, Engkau tidak meridhainya, Engkau tidak lupa (dengan)nya dan Engkau bersabar (dengan kasih sayang-Mu), yang sesungguhnya Engkau berkuasa memberikan siksa untukku , dan Engkau telah mengajakku untuk bertaubat sesudah melakukan maksiat Engkau

Karena itu ya Allah, saya mohon ampunan-Mu dan berilah ampunan kepada saya dengan kemurahan-Mu.

Segala apa yang telah aku kerjakan, selama tahun ini, berupa amal perbuatan yang Engkau ridhai dan Engkau janjikan akan membalasnya dengan pahala, aku memohon kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, semoga berkenan menerima amal kami dan semoga Engkau tidak memutuskan harapan kami kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah.

Dan semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan atas junjungan kami Muhammad, Nabi yang Ummi dan ke atas keluarga dan sahabatnya

DOA AWAL TAHUN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلأَوَّلُ، وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَآئِهِ وَجُنُوْدِهِ، وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلأَمَّـارَةُ بِالسُّوْءِ وَاْلإِسْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَ اْلإِكْرَامِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصَحْابِهِ وَسَلَّمَ.

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM

WA SHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WASHAHBIHII WASALLAM
ALLAAHUMMA ANTAL ABADIYYUL QADIIMUL AWWALU
WA ‘ALAA FADHLIKAL ‘AZHIIMI WA JUUDIKAL MU’AWWAL WAHAADZAA ‘AAMUN JADIIDUN QAD AQBAL NAS`ALUKAL ‘ISHMATA FIIHI MINASYSYAITHAANI WA AULIYAA`IHII WA JUNUUDIHII WAL ‘AUNA ‘ALAA HAADZIHINNAFSIL AMMAARATI BISSUU`I WAL ISYTIGHAALA BIMAA YUQARRIBUNII ILAIKA ZULFAA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM YAA ARHAMARRAAHIMIIN
WASHALLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA ASH_HAABIHII WASALLAM

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami, tuan kami Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya.
Ya Allah Engkaulah Yang Abadi, Dahulu, lagi Awal. Dan hanya kepada anugerah-Mu yang Agung dan Kedermawanan-Mu tempat bergantung.

Dan ini tahun baru benar-benar telah datang. Kami memohon kepada-Mu perlindungan dalam tahun ini dari setan, kekasih-kekasihnya dan bala tentaranya.

Dan kami memohon pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu amarah yang mengajak pada kejahatan,agar kami sibuk melakukan amal yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad , Nabi yang ummi dan ke atas para keluarga dan sahabatnya.

Doa akhir tahun dibaca setelah ashar, doa awal tahun dibaca setelah maghrib masing-masing 3 kali.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Jumlah Jama’ah Sholat Jum’at

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah orang yang menjadi syarat sah jum'atan. Menurut Imam Bajuri dalam kitabnya terdapat 15 qaul dalam madzahib mengenai pendapat ini :
  1. Menurut Imam Ibnu Hazm menganggap sah meski hanya seorang diri.
  2. Menurut Imam an-Nakhoi cukup dengan 2 orang.
  3. Menurut Imam Abi Yusuf, Muhammad, dan Imam Liats berpendapat 2 orang beserta imam.
  4. Menurut  Imam Abu Hanifah dan Imam ats-Tsauri berpendapat 3 orang beserta imam.
  5. Menurut Imam Ikrimah berpendapat 7 orang.
  6. Menurut Imam Rabiah berpendapat 9 orang.
  7. Menurut Imam Malik berpendapat 12 orang.
  8. Menurut Imam Ishak berpendapat 12 orang selain imam.
  9. Menurut satu riwayat dari Imam Malik yg diriwayatkan oleh Imam Ibnu Habib berpendapat 20 orang
  10. Menurut riwayat lain dari Imam Malik juga berpendapat 30 orang.
  11. Menurut Imam Syafi’I berpendapat 40 orang beserta imam (qaul ashoh)
  12. Menurut Imam Syafi'I berpendapat 40 orang selain imam, qoul ini juga disampaikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan sekelompok ulama yg lain.
  13. Menurut satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat 50 orang.
  14. Menurut riwayat lain dari Imam Ahmad yg diriwayatkn oleh Imam al-Mazary berpendapat 80 orang.
  15. Menurut pendapat terakhir, sholat jum'at dianggap sah apabila dilakukan oleh banyak orang laki2 yang dengan tanpa hitungan. (Hasyiah al-Bajuri juz 1 hlm 317)
ثم قال الشيخ سالم الحضري في كتابه المذكورة نمرة 21 ان للشافعي رحمهالله تعالى فب العدد الذي تنعقد به الجمعة اربعة اقوال قول معتمد وهو الجديد وهو كونهم اربعين بالشروط المذكورة , وثلاثة اقوال في المذهب القديم ضعيفة احدها اربعة احدهم الامام والثاني ثلاثة احدهم الامام والثالث اثنى عشر احدهم الامام , فعلى العاقل الطالب ما عند الله تعالى من ثوابه ورضاه ان لايترك الجمعة ما نأتي فعلها على واحد من هذه الاقوال الاربعة ولكن اذا لم تعلم الجمعة انها متوفرة فيها الشروط على القول الاول وهو القول الجديد فيسن اعادة الظهر بعدها احتياطا فرارا من خلاف من منعها بدون اربعين اهـ .


Imam as-Syaikh Salim al-Hudlori berkata dalam kitabnya: "Dalam madzhab Syafi’i mengenai jumlah yang menjadi ketentuan jum’at ada empat qoul, yang jadi pegangan (qoul mu’tamad) adalah qoul jadid yang mengharuskan jumlah jum’at harus 40 orang. Tiga qoul lain adalah qoul qodim dan hukumnya dlo’if yaitu :
- 4 orang salah satunya imam
- 3 orang salah satunya imam
- 12 orang salah satunya imam
Bagi orang ‘Aqil yg mencari ridlo Alloh hendaknya tidak meninggalkan jum’at dengan cara menjalankan salah satu dari empat qoul yang telah disebutkan.
Tetapi jika tidak tahu apakah jum’at nya memenuhi syarat qoul jadid maka di sunnahkan mengulang sholat jum’at dengan melakukan sholat dhuhur sesudah sholat jum’at. Hal ini untuk berhati-hati (ihtiyath) dan menghindar dari ulama yang melarang jum’at kurang dari 40 orang. (Risalah Jum’at hal 5)

قوله أى غير الإمام الشافعي أى باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي أن له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما أقلهم أربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه في شرح المهذب واختاره من أصحابه المزني كما نقله الأذرعي في القوت وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار أصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه أيضا أبو بكر بن المنذر في الأشراف كما نقله النووي في شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد أحد هذين القولين الجواب نعم فإنه قول للإمام نصره بعض أصحابه ورجحه وقولهم القديم لا يعمل به محله مالم يعضده الأصحاب ويرجحوه وإلا صار راجحا من هذه الحيثية وإن كان مرجوحا من حيث نسبته للإمام وقال السيوطي كثيرا ما يقول أصحابنا بتقليد أبي حنيفة في هذه المسئلة وهو إختياري إذ هو قول للشافعي قام الدليل على رجحانه إه وحينئذ تقليد أحد هذه القولين أولى من تقليد أبي حنيفة فتنبه وقد ألفت رسالة تتعلق بجواز العمل بالقول القديم للإمام الشافعي رضي الله عنه في صحة الجمعة بأربعة وبغير ذلك فانظرها إن شئت

Dalam qoul qodimnya Imam Syafi'i disebutkan boleh shalat jum'at dgn 4 orang 12 orang saja, dan qoul qodim tersebut boleh diikuti atau diamalkan karena qoul tersebut telah di kuatkan oleh ashhabus syafi'i yaitu Imam Al-Muzaniy, Imam Ibnu Al-Mundzir, dan Imam As Suyuthi. Hal itu lebih baik daripada dengan cara berpindah madzhab (taklid) kepada Imam Hanifah yang membolehkan jum’atan dengan 3 orang. (Kitab Ianatut Tholibin juz 2 hal 58-59 dan Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin hal 81)

.وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين يصلون الجمعة أو الظهر فأجاب رحمه الله يصلون الظهر على مذهب الشافعي وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلون الجمعة وهو قوي فإذا قلدوا أى جميعهم من قال هذه المقالة فإنهم يصلون الجمعة وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا، والذي يظهر عدم اشتراط تقليد جميعهم إذا كان المقلد بفتح اللام يقول باكتفائه في الجمعة. وقال بعضهم إعلم أن أمر الجمعة عظيم وهي نعمة جسيمة إمتن الله بها على عباده فهي من خصائصنا جعلها الله محط رحمته ومطهرة لأثام الأسبوع ولشدة إعتناء السلف الصالح بها كانوا يبكرون لها على السرج فاحذر أن تتهاون بها مسافرا أومقيما ولو مع دون أربعين بتقليد والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم

Dalam kasus di atas menurut imam Al Bulqiniy harus melakukan shalat dzuhur setelahnya, akan tetapi kalau shalat jum'at karen taklid pada imam yg memperboleh kurang dari 40 orang juga boleh dan lebih baik lagi bila shalat jum'at kemudian disertai dengan shalat dzuhur. Bahkan menurut sebagian Ulama, takutlah meninggalkan shalat jum'at walaupun kurang dari 40 orang karena shalat jum'at bagian dari rahmat Allah dan pelebur dosa dalam seminggu. (Ianatut Tholibin juz 2 hal 58-59)

Dari jumlah-jumlah di atas juga masih disyaratkan harus berjam'aah dan berjenis kelamin laki-laki, mukalaf, merdeka, serta mustautin (bertempat tinggal sebagai penduduk setempat).

Yang dimaksud Mustautin dalam hubunganya termasuk syarat mengesahkan sholat jum'at adalah orang-orang yang mempunyai tempat tinggal tetap di daerah tersebut (warga setempat) yang sekiranya tidak pergi dari tempatnya di musim hujan ataupun kemarau. (Hasyiah al Bajuri juz 1 hal 316)

Adapun orang-orang yang hanya bermukim di suatu tempat akan tetapi tidak memiliki rumah di daerah tersebut (bukan warga setempat) seperti santri di pesantren, maka itu belum bisa dikatakan mustautin. Akan tetapi dinamakan "muqim ghoiru mustautin". (Hasyiah al  Bajuri juz 1 hal 312)

Dari uraian di atas disimpulkan bahwasanya jika dalam sholat jum'at jama'ahnya kurang dari 40 orang, ataupun lebih dari 40 orang akan tetapi yang mustautin (penduduk setempat) jumlahnya tidak sampai 40 orang seperti jum'atan yang dilakukan di sekolah-sekolah atau pabrik-pabrik, maka setelah selesai sholat jum'at melakukan sholat dzuhur baik secara berjamaah maupun sendiri-sendir.

Talfiq; Mencampuradukan Madzhab

Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut

Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:

(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما

“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang bberpendapat.”
(Kitab Tanwir al-Qulub hal 397)


Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:

a.    Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.

b.    Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu.

Talfiq semacam itu dilarang agama. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:

ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة

“Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.”
(Kitab I’anah al-Thalibin juz 1 hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh sebagian orang.

Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan kondisi dan situasi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai cirri khas tersendiri. Tuntutan kemashlahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat lain.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Mengangsur Aqiqah

Kambing Aqiqah
Perintah aqiqah untuk anak laki-laki adalah dengan 2 ekor kambing, sedangkan anak perempuan cukup seekor kambing, sesuai Hadis Nabi saw:

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah saw memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan.” (HR. Tirmidzi)

عَقَّ النَّبِيُّ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ كَبْشاً كَبْشاً

"Rasulullah saw menyembelihkan untuk Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kambing kibas." (HR. Bukhari)

Dua ekor untuk anak laki-laki hukumnya adalah lebih utama. Akan tetapi jika tidak mampu 2 ekor, maka aqiqah seekor kambing untuk anak laki-laki sudah mencukupi dan sah serta sudah mendapat kesunnahan, seperti yang dilakukan Rosululloh saw.

( و ) لكن ( الأكمل شاتان ) متساويتان ( للذكر ) ويحصل بالواحدة فيه أصل السنة

"Yang lebih sempurna adalah aqiqah dengan dua ekor kambing untuk anak laki-laki, namun bila ia menyembelih seekor kambing maka ia juga telah mendapatkan kesunahan beraqiqah." (Kitab Minhaj al-Qawiim juz I hal 634)

ويتأدى أصل السنة عن الغلام بشاة لأنه صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين كبشا

"Dan telah memperoleh kesunahan aqiqah saat menyembelih seekor kambing untuk anak laki-laki, hal ini karena Baginda Nabi saw mengaqiqahi Hasan dan Husen dengan menggunakan seekor domba." (Kitab Iqnaa Li as-syarbiny juz 2 hal 549)

Bila sudah aqiqah seekor kambing maka tidak disyariatkan baginya mengulangi atau menyempurnakan aqiqahnya yang menurut syara' telah terhasilkan kesunahan beraqiqah. Bila ia menyembelih kambing lagi di tahun berikutnya namanya bukan lagi aqiqah tapi sedekah atau hadiah biasa.

Menurut fatwa Imam Suyuthi, aqiqah tidak diulang kedua kalinya.

قلت : وقد ظهر لي تخريجه على أصل آخر وهو ما أخرجه البيهقي عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلّم عق عن نفسه بعد النبوة مع أنه قد ورد أن جده عبد المطلب عق عنه في سابع ولادته والعقيقة لا تعاد مرة ثانية ، فيجعل ذلك على أن الذي فعله النبي صلى الله عليه وسلّم إظهار للشكر على إيجاد الله إياه رحمة للعالمين وتشريع لأمته كما كان يصلي على نفسه لذلك فيستحب لنا أيضاً إظهار الشكر بمولده بالاجتماع وإطعام الطعام ونحو ذلك من وجوه القربات وإظهار المسرات:)

"Menururt hematku, sesungguhnya telah nampak padaku untuk mengeluarkan dalil lain bagi Maulid, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Baihaqy dari Anas, bahwa Nabi saw menyembelih ‘aqiqah buat dirinya setelah kenabian, padahal ada hadits yang mengatakan kakek beliau, Abdul Mutthalib, telah meng’aqiqah pada hari ketujuh kelahirannya. ‘Aqiqah tidak diulang kedua kali. Berarti perbuatan beliau menyembelih yang kedua merupakan menampakkan rasa syukur atas diciptakannya beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam sekaligus menjelaskan syari’at (Maulid) bagi umatnya, sama alasannya mengapa beliau berselawat atas dirinya sendiri. Karena itulah, sunat bagi kita pula menampakkan syukur atas kelahirannya dengan berkumpul, menyedekahkan makanan dan lain-lain yang termasuk dalam Qurbah dan mewujudkan kegembiraan." (Kitab Al-Hawy lil Fatawa hal 181)

Menggabungkan Qurban dan Aqiqah

Menurut Imam Romli satu kambing boleh dan cukup bila di niati untuk aqiqah sekaligus qurban meskipun menurut Imam Ibnu Hajar tidak menganggapnya cukup.

مسئلة) لو نوي العقيقة والضحية لم تحصل غير واحد عند حج ويحصل الكل عند مر اهـ

"Apabila seseorang meniati aqiqah dan qurban, maka tidak hasil kecuali satu (niat) menurut Imam Ibnu Hajar dan bisa hasil keseluruhannya menurut Imam Muhammad Ramli."

Referensi :
Kitab Itsmid al-‘Ain Hal 77
Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal 154
Kitab al-Baajuri juz 2 hal 304 Kitab al-Qalyubi juz 4 hal 255

Aqiqah dengan Selain Kambing

Jenis hewan yang mencukupi untuk aqiqah sama persis dengan qurban, dan boleh aqiqah dengan menggunakan sapi untuk 7 orang.

قوله:، وحصول السنة بشاة) أي: فلا تحصل بغير ذلك من غير النعم والظاهر أنه يجزئ كل من البقرة، والناقة عن سبعة كما في الأضحية شرح م ر

"(Dan bisa memperoleh kesunnahan aqiqah dengan kambing), maka tidak hasil (tidak memperoleh pahala kesunnahan) dengan selain yang demikian seperti selain binatang ternak, sedangkan menurut hukum yang dzohir sesungguhnya dapat di terima (mencukupi) aqiqah dengan berupa sapi dan onta untuk 7 (orang) sebagaimana pernjelasan Imam Ramli tentang korban." (Al Bujairomi 'alal Manhaj juz 4 hal 302)

"Diperbolehkan gabungan 7 orang dengan menggunakan sapi atau unta baik semuanya untuk aqiqoh, atau sebagian untuk aqiqoh dan sebagian untuk qurban." (Kitab Hasyiah al-Qulyubi wa ‘Umairah syarh Al Mahally juz 4 hal 256)

File Dokumen Fiqh Menjawab

Hukum Qadha Shalat


Shalat fardhu yang tidak dilaksanakan pada waktunya baik karena ketiduran atau lupa, maka hukumnya wajib diqadha pada waktu yang lain segera setelah dia ingat. Kecuali bagi wanita haid dan nifas maka sholat yang ditinggalkan tidak boleh diqadha bahkan haram. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh saw,

مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat dan tidak ada kafarat (pengganti) selain itu.”  (HR. Bukhari Muslim)

Dalam Kitab Safinatunnaja hal 45 dikatakan, “Udzurnya sholat hanya ada dua : Karena tidur; dan karena lupa.”

حاصل المذهب : أنه إذا فاتته فريضة وجب قضاؤها ، وإن فاتت بعذر استحب قضاؤها على الفور ويجوز التأخير على الصحيح . وحكى البغوي وغيره وجها : أنه لا يجوز وإن فاتته بلا عذر وجب قضاؤها على الفور على الأصح ، وقيل : لا يجب على الفور ، بل له التأخير ، وإذا قضى صلوات استحب قضاؤهن مرتبا ، فإن خالف ذلك صحت صلاته عند الشافعي ومن وافقه سواء كانت الصلاة قليلة أو كثيرة

“Kesimpulan madzhab (atas hadits qadha): bahwasanya apabila tertinggal satu solat fardhu, maka wajib mengqadh-nya. Apabila tertinggal shalat karena udzur, maka disunnahkan mengqadha-nya sesegera mungkin tapi boleh mengakhirkan qadha menurut pendapat yang shahih. Imam Baghawi dan lainnya menceritakan suatu pendapat: bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qadha apabila  lalainya solat tanpa udzur, maka wajib mengqadha sesegera mungkin menurut pendapat yang lebih shahih. Menurut pendapat lain, tidak wajib menyegerakan qadha. Artinya, boleh diakhirkan. Dan apabila meng-qadha beberapa solat fardhu, maka disunnahkan mengqadha-nya secara urut. Apabila tidak dilakukan secara berurutan, maka solatnya tetap sah menurut Imam Syafi'i dan yang sepakat dengannya baik solat yang tertinggal sedikit atau banyak. “ (Syarh an-Nawawi 'ala-l Muslim hal 308) 

مباحث قضاء الصلاة الفائتة حكمه قضاء الصلاة المفروضة التي فاتت واجب على الفور سواء فاتت بعذر غير مسقط لها أو فاتت بغير عذر أصلا باتفاق ثلاثة من الأئمة ( الشافعية قالوا : إن كان التأخير بغير عذر وجب القضاء على الفور وإن كان بعذر وجب على التراخي

“Hukum mengqadha shalat fardhu menurut kesepakatan tiga madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) adalah wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin baik shalat yang ditinggalkan sebab adanya udzur (halangan) atau tidak. Sedangkan menurut Imam Syafi’i qadha shalat hukumnya wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin bila shalat yang ditinggalkan tanpa adanya udzur dan bila karena udzur, qadha shalatnya tidak diharuskan dilakukan sesegera mungkin.” (Al-Fiqh ‘alaa Madzaahiba l-Arba’ah  juz I hal 755)

Mengqadha Sholat Bertahun-tahun

Jika seseorang mempunyai hutang sholat dengan jumlah banyak, seperti tidak sholat selama bertahun-tahun maka dia harus mengqadha sholat sejumlah yang dia yakini telah meninggalkannya.

شَكَّ فِى قَدْرِفَوَائِتَ عَلَيْهِ لَزِمَهُ الاِتْيَانُ بِكُلِّ مَالَمْ يَتَيَّقَنْ فِعْلَهُ كَمَا قَلَ اِبْنُ حَجَرٍوَمَ ر. وَقَالَ القَفَّالُ: يَقْضِى مَا تَحَقَّقَ تَرْكَهُ.

"Seseorang yang ragu mengenai jumlah shalat-shalat yang ia tinggalkan, maka wajib baginya untuk melakukan shalat yang ia yakini telah meninggalkannya, hal ini sebagaimana pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli, Imam Qoffal berkata: Dia harus mengqadla shalat sesuai apa yang telah yakin ia meninggalkanya." (Bughyatul Mustarsyidin hal 36)

Referensi lain yang senada dengan ta'bir di atas
- (Kitab Hasyiyah asy Syarqowi juz 1 hal 277)
- (Kitab Hasyiyah Qulyubi juz 1 hal 111)
- (Kitab Al Madzahib Al Arba'ah juz 1 hal 496)
Wallahu a'lam bish shawwab

File Dokumen Fiqh Menjawab

Menggabungkan Niat Puasa Fardlu dan Puasa Sunnah

Pada bulan-bulan istimewa, seperti bulan Rajab, Sya’ban, Muharram dan Dzulhijjah, kaum muslimin biasa meningkatakn ibadah mereka, dengan harapan mendapatkan pahala yang berlipat ganda sebagai fadilah dari bulan tersebut. Sebagaimana yang tersebut dalam beberapa hadits Rasulullah saw. Seperti halnya memperbanyak baca al-Qur’an, shalat sunnah dan juga berpuasa.Dalam hal puasa, seringkali orang-orang menjadikan puasa sunnah pada bulan-bulan ini sebagai kesempatan untuk melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan sekaligus.

Artinya, selain niat untuk berpuasa sunnah juga niat qadha puasa Ramadhan (yang hukumnya wajib). Hal ini dalam istilah fiqih disebut sebagai at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niaat).

Dalam permasalahan penggabungan niat antara yang fardlu dan yang sunnah dalam satu ibadah, Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asbah wan Nadhair membagi dalam empat kriteria.
  1. Sah kedua-keduanya baik yang fardhu dan yang sunnah.
  2. Sah bagi ibadah fardhunya saja, tidak untuk ibadah sunnahnya.
  3. Sah bagi ibadah sunnahnya saja, tidak untuk ibadah fardhunya.
  4. Tidak sah kedua-duanya.
Pertama; kedua-duanya baik yang fardhu maupun yang sunnah dianggap sah. Contoh, ketika seseorang masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian dia niat sholat fardlu dan sekaligus berniat shalat tahiyyatul masjid. Maka Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at dengan mandi sunnah jum'at sekaligus. Termasuk dalam hal ini juga adalah mengucap salam di ujung shalat sebagai tanda selesainya shalat dan juga sekaligus mengucap salam untuk tamu yang baru masuk rumah. Begitu keterangan Imam Suyuthi

فمن الأول (مالايقتضى البطلان فى الكل) أحرم بصلاة وينوى بها الفرض والتحية صحت وحصلا معا...ومنها نوى بغسله غسل الجنابة والجمعة حصلا جميعا على الصحيح...ومنها نوى بسلامة الخروج من الصلاة والسلام على الحاضرين حصلا...

Hukum kedua yang dianggap sah adalah yang fardlu saja. Contoh orang yang melaksanakan ibadah haji untuk pertama kali, tetapi ia berniat haji wajib dan sekaligus berniat haji sunnah. Secara otomatis yang dianggap sah adalah yang wajib.

ومن الثانى (مايحصل الفرض فقط) نوى بحجة الفرض والتطوع وقع فرضا لأنه لو نوى التطوع انصرف إلى الفرض...

Hukum ketiga adalah hukum sunnah yang dianggap sah, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat wajib dan sekaligus niat bersedekah, maka yang dianggap sah adalah sedekahnya bukan zakatnya.

ومن الثالث (مايحصل النفل فقط) أخرج خمسة دراهم ونوى بها الزكاة وصدقة التطوع لم تقع زكاة ووقعت التطوع بلاخلاف...

Hukum yang keempat adalah batal kedua-duanya, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Misalnya seseorang yang hendak sholat dengan niat shalat fardhu sekaligus juga shalat sunnah rawatib. Maka keduanya tidak sama-sama tidak disahkan.

ومن الرابع (مايقتضى البطلان فى الكل) نوى بصلاته الفرض الفرض والراتبة لم تنعقد أصلا.

Menggabungkan Niat Puasa Fardlu dan Puasa Sunnah

Adapun menggabung antara niat sunnah puasa bulan Sya’ban atau puasa sunnah lainnya sekaligus niat membayar (qadha’) puasa Ramadhan maka dapat diqiyaskan kedalam hukum yang pertama, yaitu dianggap sah kedua-duanya berdasar pada keterangan Imam al-Suyuthi.

ومنها (أى من الأول) صيام يوم عرفة مثلا قضاء أونذرا أو كفارة ونوى معه الصوم غير عرفة فأفتى البارزى بالصحة والحصول عنهما

Dalam Kitab Bughyah hal 113 juga dikatakan:

مسألة: ك): ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان، لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء، بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها

Menggabung niat beberapa puasa sunnah seperti puasa Arofah dan puasa senin/kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Kurdi. Bahkan menurut Imam Al-Barizi puasa sunnah seperti hari ‘Asyuro, jika diniati puasa lain seperti qadha ramadhan tanpa meniatkan pauasa Asyura’ tetap mendapatkan pahala keduanya. Adapun puasa 6 hari bulan syawal jika digabung dengan qadha ramadhan, maka menurut imam Romli mendapatkan pahala keduanya.


Namun, sebagian ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan yang dianggap sah adalah puasa qadla ramadhan dan puasa sunnahnya tidak sah dan memasukkannya dalam kelompok ke dua. Ada pula ulama yang mengatakan sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur sebagaimana kategori ketiga. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia seperti kategori ke empat.

Demikianlah keterangan beberapa hukum menggabungkan dua niat dalam satu ibadah. Tapi jika mempertimbangkan kehati-hatian lebih baik memisahkan keduanya. Wallahu a’lam bis showab

File Dokumen Fiqh Menjawab

Puasa Sunnah Tasu'a (9 Muharram) dan 'Asyura (10 Muharram)

Di bulan Muharram ini juga terdapat anjuran shaum sunah khusus, yaitu shaum sunah Tasu'a dan ‘Asyura. Shaum sunah Tasu'a adalah shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharram. Adapun shaum sunah ‘Asyura adalah shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.

عَنِ  ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ ؟ " فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ،  أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "

Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW saat datang di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, "Hari apa yang kalian melakukan shaum ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya. Maka nabi Musa melakukan shaum sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga melakukan shaum."
Rasulullah SAW bersabda, "Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti shaum Musa daripada kalian." Rasulullah SAW melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan shaum ‘Asyura juga." (HR. Bukhari Muslim)

Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya'la menggunakan lafal:

هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى

"Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka nabi Musa melakukan shaum."

Shaum ‘Asyura sudah dikenal dan dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy sejak zaman jahiliyah, sebagaimana dijelaskan oleh ummul mukminin Aisyah RA. Boleh jadi mereka melakukannya berdasar ajaran nenek moyang mereka yang mewarisinya dari ajaran nabi Ibrahim dan Ismail Alaihima Salam. Pada masa Islam, Rasulullah SAW dan para sahabat juga melakukan shaum ‘Asyura. Pada masa tersebut, shaum ‘Asyura hukumnya wajib. Hal itu berlangsung sampai turun surat Al-Baqarah (2) ayat 183-185 yang mewajibkan shaum Ramadhan. Sejak saat itu, shaum ‘Asyura ‘sekedar' disunahkan, tidak lagi diwajibkan.

عَنْ  عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

Dari Aisyah RA berkata: "Hari ‘Asyura adalah hari yang kaum Quraisy biasa melakukan shaum pada masa jahiliyah. Rasulullah SAW pada waktu itu (di Makah, pent) juga melakukan shaum Asyura. Ketika beliau datang di Madinah, beliau melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka beliau tidak melakukan (tidak mewajibkan, pet) shaum ‘Asyura. Barangsiapa ingin maka ia mengerjakan shaum ‘Asyura dan barangsiapa ingin maka ia tidak mengerjakan shaum ‘Asyura." (HR. Bukhari Muslim)

Meski hukum shaum ‘Asyura adalah sunah, namun Rasulullah SAW sangat tekun mengerjakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Abbas RA berkata: "Aku tidak pernah melihat Nabi SAW begitu semangat mengerjakan shaum satu hari yang lebih beliau utamakan dari hari yang lain selain hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan." (HR. Bukhari Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa makna ‘begitu semangat' dalam hadits di atas adalah antusias untuk mengerjakannya demi mengharap pahala yang besar di sisi Allah SWT. Besarnya pahala shaum ‘Asyura disebutkan dalam hadits shahih sebagai berikut:

عَنْ  أَبِي قَتَادَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، إِنِّي  أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Dari Abu Qatadah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Shaum hari ‘Asyura, aku mengharapkan pahalanya di sisi Allah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun sebelumnya." (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Selain shaum ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram, Islam juga menganjurkan shaum sunah Tasu'a pada tanggal 9 Muharram. Berdasar hadits shahih dari Ibnu Abbas RA berkata:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ " قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya, "Ketika Rasulullah SAW melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan shaum ‘Asyura, para sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullah SAW bersabda, "Jika tahun datang tiba, insya Allah, kita juga akan melakukan shaum pada tanggal Sembilan Muharram." Tahun mendatang belum tiba, ternyata Rasulullah SAW keburu wafat. (HR. Muslim, ath-Thabari, dan al-Baihaqi).

Perlu diketahui bahwa beberapa ulama menyatakan kesunahan menggabungkan shaum ‘Asyura dengan shaum sehari sesudahnya (11 Muharram). Pendapat mereka tersebut didasarkan kepada hadits berikut ini:

عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا ، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا "

Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Laksanakanlah shaum hari ‘Asyura! Namun selisihilah shaum Asyura orang-orang Yahudi! Laksanakanlah juga shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (HR. Ahmad, al-Humaidi, al-Baihaqi, al-Bazzar, Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Khuzaimah)

Sebagian ulama, di antaranya syaikh Ahmad Syakir, menyatakan hadits ini hasan. Namun pendapat mayoritas ulama yang lebih kuat menyatakan hadits ini sangat lemah, karena di dalamnya ada dua perawi yang lemah yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi, dan Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi.
Perawi Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi adalah perawi yang sayyi-ul hifzhi jiddan, sangat buruk sekali kekuatan halafannya. Ia dilemahkan oleh imam Ahmad, Yahya bin Ma'in, dan lain-lain. (Tahdzib al-Kamal, 25/622 dan Mizan al-I'tidal, biografi no. 7825)

Tentang kedudukan perawi Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi, imam adz-Dzahabi berkata: "Haditsnya tidak bisa dijadikan hujah." (Al-Mughni fi adh-Dhu'afa', 1/219)

Menurut kesimpulan yang benar, anjuran shaum tanggal 10 ditambah shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya adalah pendapat pribadi Ibnu Abbas (hadits mauquf), bukan sabda Nabi SAW. Imam Al-Baihqi, Abdurrazzaq, dan ath-Thahawi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalur Ibnu Juraij dari Atha' dari Ibnu Abbas RA yang berkata: "Laksanakanlah shaum  tanggal 9 dan 10 Muharram, selisihilah orang-orang Yahudi."

Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma'arif juga menshahihkan riwayat ini.
Sebagian ulama, di antaranya imam Asy-Syafi'I dalam Al-Umm, menyebutkan disunahkan shaum tiga hari berturut-turut yaitu pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram dengan dua alasan:

Pertama, sebagai bentuk kehati-hatian terkait perbedaan penentuan masuknya awal bulan. Imam Ahmad berkata: "Jika awal masuknya bulan tersamar baginya, maka hendaknya ia melakukan shaum tiga hari. Ia melakukan hal itu agar ia yakin mendapatkan shaum tanggal sembilan dan sepuluh." (Al-Mughni, 4/441) Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma'arif menjelaskan bahwa di kalangan ulama tabi'in, yang melakukan hal itu adalah imam Ibnu Sirin dan Abu Ishaq.

Kedua, meniatkan diri untuk melaksanakan shaum sunah tiga hari dalam sebulan. Sesuai anjuran dalam hadits dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda:

صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ، صَوْمُ الشَّهْرِ كُلِّه

"(Pahala) Shaum sunah tiga hari setiap bulan adalah bagaikan (pahala) shaum satu tahun penuh." (HR. Bukhari  Muslim) Wallohu a'lam bish showwab.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Nifas

A. Pengertian Nifas

Nifas menurut bahasa adalah melahirkan, sedangkan menurut istilah syara' adalah darah yang keluar melalui kelamin wanita setelah melahirkan atau belum melebihi 15 hari setelahnya, bila darah tidak langsung keluar.

Adapun darah yang keluar saat melahirkan (jawa: nglarani manak) atau bersamaan dengan bayi, tidak disebut darah nifas. dan hukumnya sebagai berikut:

a. Bila bersambung dengan haidl sebelumnya, maka disebut darah haidl.


Contoh: wanita hamil mengeluarkan darah 3 hari, kemudian melahirkan dan darah terus keluar sampai 20 hari setelah melahirkan. Maka, darah yang keluar selama 3 hari dan saat melahirkan serta darah yang keluar bersamaan dengan bayi disebut darah haidl. Sedangkan darah yang keluar setelah melahirkan selama 20 hari disebut darah nifas. Dalam Kitab Bujairimi 'alal Khotib dikatakan

( وَالنِّفَاسُ ) لُغَةً الْوِلَادَةُ وَشَرْعًا هُوَ الدَّمُ الْخَارِجُ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ عَقِبَ الْوِلَادَةِ أَيْ بَعْدَ فَرَاغِ الرَّحِمِ مِنْ الْحَمْلِ وَسُمِّيَ نِفَاسًا لِأَنَّهُ يَخْرُجُ عَقِبَ نَفْسٍ فَخَرَجَ بِمَا ذَكَرَ دَمُ الطَّلْقِ وَالْخَارِجُ مَعَ الْوَلَدِ فَلَيْسَا بِحَيْضٍ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ آثَارِ الْوِلَادَةِ وَلَا نِفَاسَ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى خُرُوجِ الْوَلَدِ بَلْ ذَلِكَ دَمُ فَسَادٍ نَعَمْ الْمُتَّصِلُ مِنْ ذَلِكَ بِحَيْضِهَا الْمُتَقَدِّمِ حَيْضٌ

b. Bila bersambung dengan darah sebelumnya namun tidak mencapai aqollul haidl (24 jam) atau tidak bersambung dengan darah sebelumnya maka disebut darah istihadloh.

Contoh: 01. Wanita hamil mengeluarkan darah selama 20 jam, setelah itu melahirkan dan darah terus keluar selama 20 hari. Maka, darah yang keluar selama 20 jam dan darah yang keluar saat melahirkan serta yang bersamaan dengan bayi disebut darah istihadloh. Kemudian darah yang keluar selama 20 hari disebut darah nifas.

Contoh: 02. Wanita hamil mengeluarkan darah selama 5 hari, kemudian darah berhenti selama 1 hari, kemudian melahirkan dan darah keluar selama 20 hari. Maka, darah yang keluar 5 hari pertama disebut darah haidl, dan darah yang keluar saat melahirkan dan yang keluar bersamaan dengan bayi disebut darah istihadloh. Untuk darah yang keluar setelah melahirkan selama 20 hari disebut darah nifas. Sedangkan 1 hari masa tidak keluar darah dihukumi suci yang memisahkan antara haidl dengan nifas. Darah yang keluar setelah melahirkan dengan selang waktu 15 hari atau lebih, disebut darah haidl bila memenuhi syarat haidl.

Contoh: wanita melahirkan tanggal 1, kemudian tidak keluar darah sampai tanggal 17, lalu keluar darah selama 3 hari. Maka, darah yang keluar selama 3 hari dihukumi darah haidl dan waktu antara lahirnya bayi dan keluarnya darah (16 hari) dihukumi suci.

B. Ketentuan Darah Nifas.

Minimal masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap. Masa maksimalnya 60 hari 60 malam, dan pada umumnya 40 hari 40 malam. Maksimal masa nifas dihitung mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim. Sedangkan yang dihukumi nifas mulai dari keluarnya darah, dengan syarat darah keluar tidak mencapai 15 hari dari kelahiran. Sehingga jika seorang ibu melahirkan pada tanggal 1, kemudian tanggal 5 baru mengeluarkan darah, maka, masa maksimal nifas dihitung mulai dari tanggal 1, dan dihukumi nifas mulai tanggal 5, waktu antara lahirnya bayi dan keluarnya darah dihukumi suci.

Apabila seorang wanita setelah melahirkan mengeluarkan darah secara terputus putus, maka hukumnya sebagai berikut:

a. Jika semua darah yang keluar tidak lebih dari 60 hari 60 malam dari lahirnya bayi dan putusnya tidak lebih dari 15 hari 15 malam, maka semuanya dihukumi darah nifas (menurut pendepet yg kuat/Qoul As-Sahbi) dan masa tidak keluar darah dihukumi suci menurut ulama yg lain (Qoul Talfiq)

Contoh: seorang ibu setelah melahirkan anak, langsung mengeluarkan darah selama 5 hari. Kemudian berhenti (tidak keluar darah) selama 10 hari, keluar lagi selama 10 hari, berhenti lagi selama 13 hari, keluar lagi selama 8 hari. Maka, semuanya dihukumi nifas, dan di saat darah berhenti dia diwajibkan melaksanakan sholat sebagaimana orang yang suci.

b. Jika darah yang keluar tidak lebih dari 60 hari 60 malam dari lahirnya bayi dan putusnya darah hingga 15 hari 15 malam atau lebih. Maka, darah sebelum masa putus dihukumi nifas dan darah setelah masa putus dihukumi haidl bila memenuhi syarat syaratnya haidl. Bila tidak memenuhinya maka dihukumi istihadloh. Sedangkan masa putusnya darah dihukumi suci yang memisah antara nifas dan haidl.

Contoh; seorang ibu setelah melahirkan mengeluarkan darah selama 10 hari. Kemudian berhenti 16 hari, keluar lagi 5 hari. Maka, darah 10 hari disebut nifas, 5 hari haidl dan masa berhentinya darah selama 16 hari disebut masa suci yang memisah antara nifas dan haidl.

c. Jika darah yang pertama masih dalam masa 60 hari dari lahirnya bayi dan darah kedua di luar masa 60 hari dari lahirnya bayi, maka darah yang pertama disebut nifas dan darah kedua disebut haidl, bila memenuhi ketentuannya. Sedangkan masa putusnya darah dihukumi suci yang memisah antara nifas dan haidl.

Contoh; Seorang ibu setelah melahirkan, langsung mengeluarkan darah selama 59 hari. Kemudian putus selama 2 hari, keluar lagi selama 5 hari, maka 59 hari dihukumi nifas dan 5 hari dihukumi haidl. Sedangkan masa terputusnya darah selama 2 hari dihukumi suci yang memisah antara nifas dan haidl.

Refrensi :
- Bajuri Juz I/109 +111-112
- Iqna` li Asyirbini Juz I/82
- Syarqowi Juz I/146-147 dan 157
- Bujairimi `alal Khotib Juz I/341-342 dan hal 351-352
- Turmuzi Juz I/541-542
- Rodhotuttolibiin Juz I/178
- Hawasyi Al Madaniyyah Juz I /196
- Tuhfah Al muhtaj dan Assarwani Juz I/633-634
- Jamal `Alal Manhaj Juz I/237

Rukun, Sunnah Ab'ad, dan Sunnah Haiat dalam Sholat

Dalam rangkaian pelaksanaan ibadah sholat, di dalamnya ada istilah rukun sholat, sunnah ab'ad, dan sunnah haiat. Agar ibadah sholat yang kita laksanakan sehari-hari bisa lebih sempurna, perlu kita tahu perbedaan diantara ketiganya.

Rukun Sholat adalah sesuatu yang harus terpenuhi di dalam sholat yang seandainya tidak terpenuhi maka akan bisa mengakibatkan sholatnya tidak sah apabila sampai selesai salam belum juga terpenuhi.

Rukun sholat ada tujuh belas, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirotul ihrom (mengucapkan Allahu Akbar).
3. Berdiri bagi yang mampu.
4. Membaca fatihah.
5. Ruku’.
6. Thuma’ninah (diam sebentar) ketika ruku’.
7. I’tidal.
8. Thuma’ninah ketika i’tidal.
9. Sujud dua kali.
10. Thuma’ninah ketika sujud.
11. Duduk diantara dua sujud.
12. Thuma’ninah ketika duduk.
13. Tasyahud akhir.
14. Duduk diwaktu tasyahud.
15. Membaca sholawat kepada Nabi Muhammad saw.
16. Salam.
17. Tertib (berurutan sesuai urutannya).

Sunnah Ab’ad adalah kesunnahan-kesunnahan pada sholat yang apabila ditinggalkan maka disunnahkan menggantinya dengan melakukan sujud syahwi. Cara melakukan sujud syahwi adalah sujud dua kali sebelum salam dengan membaca,

“Subhana man laa yanamu wa laa yashu.”

Artinya : (Maha suci Dzat yang tidak tidur dan tidak lupa."

Sunnah ab’ad sholat ada tujuh:
 1.Tasyahud awal.
2. Duduk tasyahud awal.
3. Membaca shalawat untuk nabi Muhammad saw ketika tasyahud awal.
4. Membaca shalawat untuk keluarga nabi ketika tasyahud akhir.
5. Do’a qunut.
6. Berdiri ketika do’a qunut.
7. Membaca shalawat dan salam untuk nabi Muhammad saw, keluarga dan sahabat ketika do’a qunut.

Sunnah Haiat adalah kesunahan-kesunahan pada sholat yang apabila ditinggalkan tidak diganti dengan sujud syahwi. Jika dengan sengaja menggantinya dengan sujud syahwi maka sholatnya akan batal.

Sunnah haiat dalam sholat ada lima belas (15).
1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ikrom, ruku’, bangun dari ruku’, dan ketika berdiri setelah tasyahud yang pertama.
2. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri.
3. Membaca doa iftitah.
4. Membaca ta’awudz
5. Membaca suratan setelah fatihah.
6. Membaca dengan keras (jahr) dan pelan (lirih) pada tempatnya.
7. Takbir setiap bangun dan turun.
8. Membaca tasbih pada saat ruku’ dan sujud.
9. Membaca Amin
10. Membaca sami’allahu liman hamidha robbana lakal hamdu pada saat i’tidal.
11. Duduk iftiros diselain tasyahud akhir.
12. Duduk tawaruk pada tasyahud akhir.
13. Meletakkan kedua tangan diatas kedua paha ketika duduk.
14. Menggenggam jari-jari tangan kanan, kecuali jari telunjuk dalam bertasyahhud, dan mengembangkan (mbeber) jari-jari tangan kiri.
15. Salam yang kedua.