Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Saturday, July 25, 2015

Mbah Maimun Zubair; Tips Memilih Istri

Mbah Maimun Zubair
Mbah Maimun Zubair, Kyai karismatik asal Rembang Jawa Tengah dawuh;
"Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo. Mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune.
Sohabat Abbas iku nduwe bojo ora seneng dandan, nganti sohabat Abbas isin nek metu karo bojone. Tapi beliau nduwe anak ngalime poll, rupane Abdulloh bin Abbas.
Sayyidina Husain nduwe bojo anake Rojo Rustam (rojo persia). Walaupun asale putri Rojo, sakwise dadi bojone Sayyidina Husain wis ora patiyo seneng dunyo. Mulane nduwe putro Ali Zainal Abidin bin Husain, ngalim-ngalime keturunane Kanjeng Nabi.
Kiai-Kiai Sarang ngalim-ngalim koyo ngono, mergo mbah-mbah wedo'e do seneng poso. 
Syekh Yasin Al Fadani (ulama' asal padang yang tinggal di Mekah) iku nduwe istri pinter dagang, nduwe putro loro. Sing siji dadi ahli bangunan sijine kerjo neng transportasi. Kabeh anake ora ono sing nerusake dakwahe Syekh Yasin.

Neng Al Qur-an نساؤكم حرث لكم. Istri iku ladang kanggo suami. Sepiro apike bibit tapi nek tanahe atau ladange ora apik, ora bakal ngasilno pari apik.

Intine iso nduwe anak ngalim, nek istrine ora patiyo ngurusi dunyo lan khidmah poll karo suamine.
Nek kowe milih istri pinter dunyo, kowe sing kudu wani tirakat. Nek ora wani tirakat, yo lurune istri sing ahli dzikir, kowene sing mikir dunyo alias kerjo." (sumber: Dwie Agustina)

Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih seperti ini.


Mbah Maimun Zubair, Kyai karismatik asal Rembang Jawa Tengah berkata;

"Ketika kamu memilih istri, carilah wanita yang tidak terlalu tahu akan dunia. Karena keshalihan anakmu bergantung pada seberapa shalihah ibunya.

Shahabat Abbas ra. mempunyai istri yang tidak suka berhias, sampai membuatnya malu saat keluar dengan istrinya. Tapi beliau mempunyai anak yang sangat alim, yaitu Abdullah ibnu Abbas.

Sayyid Husain cucu Rasulullah punya istri dari keturunan Raja Persia. Walaupun berasal dari Putri Raja, setelah menjadi istri Husain menjadi wanita yang tidak mencintai dunia. Maka mempunyai anak Ali Zainal Abidin bin Husain, paling alim dari keturunan Rasulullah Saw.

Para kyai dari Sarang Jawa Tengah bisa menjadi alim seperti itu karena nenek-nenek mereka suka berpuasa.

Syekh Yasin Al Fadani ulama dari Padang yang tinggal di Makkah mempunyai istri yang pandai berdagang, dan punya dua anak. Salah satu anaknya menjadi ahli bangunan dan yang satunya lagi bekerja di bagian transportasi. Kedua anaknya tidak ada yang bisa meneruskan dakwahnya Syekh Yasin.

Di dalam Al-Qur'an disebutkan dalam sebuah ayat:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ

"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam." (QS. Al Baqarah : 223) Istri itu ladang bagi suami. Seberapa bagusnya bibit ketika tanah atau ladangnya tidak bagus, maka tidak bisa menghasilkan padi (panen) yang bagus pula.

Intinya, bisa mempunyai anak yang alim ketika istrinya tidak terlalu mengurusi dunia dan sangat taat atau patuh terhadap suaminya.

Ketika kamu lebih memilih istri yang mengurusi dunia, maka kamu yang harus berani riyadhoh (berdoa). Jika tidak berani riyadhoh, maka carilah istri yang suka berdzikir dan kamu yang memikirkan dunia atau kerja." 

Thursday, July 16, 2015

Selamat Idul Fitri 1436 H


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

“Allah Maha Besar, Alloh Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Segala puji bagi Allah.”

Fiqh Menjawab (FM) 
mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H

Taqabbalallahu Minna wa Minkum Taqabbal Yaa Kariim, Minal 'Aidin wal Faizin

Segala postingan, komentar dan lain-lainnya pastilah banyak kekhilafan dan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja kami menghaturkan:

Mohon Maaf Lahir dan Batin

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلَكِنَّ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

"Hari raya bukanlah bagi orang yang berpakaian baru. Tetapi hari raya adalah untuk orang yang ketaatannya kepada Allah bertambah."

Semoga di hari yang fitri ini kita benar-benar meningkat iman dan taqwanya serta kembali kepada fitrah kesucian.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Wednesday, July 15, 2015

Biografi Abul Hasan al-Asy'ari; Imam Besar Ahlussunnah Wal Jama'ah

Ilustrasi Abul Hasan Al-Asy'ari

Dialah adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Isma'il Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallahi Sollallahu 'Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy'ari. Dia adalah Al-Imam Al-Mutakallim Al-Faqih Al-Ushuli yang sangat luas ilmunya sangat terkenal namanya di Maghrib (ujung barat) dan Masyriq (ujung timur), Sang Pembela As-Sunnah dan Penolong Ilmu Agama.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dilahirkan pada tahun 260 H. Awal mulanya Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Mu'tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu Imam Ali Al-Jubba'i Al-mu'tazili. Bahkan Al-Imam Al-Asy'ari sering menggantikan ayah tirinya untuk menghadiri Majelis perdebatan, dan semua orang mengakui kecerdesannya dan ilmunya. Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy'ari menjadi Imamnya Mu'tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy'ari keluar dari Madzhab Mu'tazilah dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya yaitu Ali Al-Jubba'i.

Al-Imam Al-Asy'ari bertanya kepada Ali Al-Jubba'i bagaimana tanggapan ayah tentang tiga bersaudara ini?

Pertama: Orang yang mati dalam keadaan taat.
Kedua: Orang yang mati dalam keadan bermaksiat.
Ketiga: Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati.

Ali Al-jubba'i menjawabnya : Orang yang pertama mati dalam keaadan taat masuk surga, sedangkan yang kedua masuk neraka karna bermaksiat dan yang ketiga anak yang mati masih kecil tidak masuk surga tidak pula neraka.

Timbul pertayaan lagi di benak Imam Asy'ari, jika orang yang mati dalam keadaan kecil kemudian dia menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku kenapa engkau tidak matikan saya dalam keadaan besar saja, maka aku akan selalu berbuat t'at kepadaMu, sehingga aku bisa masuk surga?".

Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Maka, Allah akan menjawab : "Sesungguhnya aku lebih mengetahui dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku wafatkan dirimu dalam keadaan kecil".
Kemudian Al-Imam Al-Asy'ari bertaya lagi : "Jika orang yang kedua yaitu orang yang mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak matikan diriku dalam keadaan kecil saja, sehingga aku dan para Ahli Neraka tidak masuk Neraka".

Akhirnya Imam Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Wahai Asy'ari, kamu sudah menyalahi aturan Aqidah yang sudah ada".

Akhirnya Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal). Setelah perdebatan sudah tidak terpecahkan oleh ayah tirinya Ali Al-Jubba'i, pada waktu itu Al-Imam Asy'ari keluar menuju Menara Masjid Jami' Bashroh, kemudian naik ke Mimbar dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

"Wahai para Manusia, barang siapa yang kenal padaku sungguh aku telah mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepadaku maka aku akan perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya. Aku adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy'ari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah Makhluq dan Allah SWT tidak bisa dilihat di akhirat dengan suatu pandangan, begitupun seorang hamba yang menjadikan pekerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari Madzhab Mu'tazilah, dan aku telah membantah mereka (Mu'tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka".

"Wahai para manusia, jika di antara kalian tidak ada yang hadir pada saat ini sungguh aku telah mempunyai Dalil yang mencukupi untuk bekal hidup. Dan aku tidak mengunggulkan sesuatu  apapun dengan sesuatu yang lain. Dengan dalil ini Allah telah memberikan petunjuk kepadaku menuju Aqidah yang lurus. Dan sungguh aku telah mencabut semuanya yang dulu aku yakini Aqidah Mu'tazilah sebagaimana aku mencabut baju yang dipenuhi kotoran dan telah aku buang jauh-jauh baju itu, dan yang aku ikuti sekarang adalah Madzhab yang benar yang merupakan Madzhabnya para Fuqoha' dan Muhadditsin".

Di antara murid Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari
1. Al-Imam Abu Hasan Al-Bahili Al-Bashri.
2. Al-Imam Abu Abdullah Bin Mujahid Al-Basri.
3. Al-Imam Abu Muhammad Ath-Thobari Al-Ma'ruf Bil-'Iroqi.
4. Al-Imam Abu Bakar Al-Qoffal Asy-Syasi.
5. Al-Imam Abu Sahal Ash-Shohluki An-Naisaburi.

Di antara penerus Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
1. Al-Imam Al-Qodi Abi bakar Al-Bakilani Al-Maliki.
2. Al-Imam Abu Thoyyib Bin Abi Sahal Ash-Shohluki.
3. Al-Imam Abu Ali Ad-Daqqok.
4. Al-Imam Al-Hakim An-Naisaburi.
5. Al-Imam Abu bakar Bin Furok.
6. Al-Imam Al-Hafidz Abu Nu'aim Al-Asbahani.

Kesemuanya adalah Murid dan Murid dari Muridnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari yang telah membangkitkan tegaknya Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di seluruh jagat bumi selalu menyampaikan Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di siang hari dan malam hari, mereka juga adalah orang yang menjunjung Nama besar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Komentar Ulama' tentang Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari

1. Al-Imam Al-Hafidz Ibnu 'Asakir berkata :
"Al-Imam Al-Asy'ari adalah orang yang perpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, orang yang sabar atas Agamanya dan penyabar atas cobaan-cobaan dan ujian yang menimpanya".

2. Al-Imam Al-Hafidz Al-Baihaqi berkata :
"Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari adalah Imam Mujaddid di abad ketiga dan Al-Imam Al-Asy'ari tidak memperbarui Agama Allah dan tidak mendatangkan Bid'ah, bahkan Al-Imam Al-Asy'ari mengumpulkan Qoul-Qoulnya para sahabat dan tabi'in dan penolong Qoul-Qoulnya para Imam Mujtahid seperti Imam Abu Hanifah, Imam Sofyan Ats-Tsauri dari Ahli Kufah, dan Imam Al-Auza'i dari Ahli Syam, dan Imam Malik, Imam Syafi'i dari Ahli Haromain, dan Imam Ahmad Bin Hanbal Imam, Al-Laits Bin Sa'at, Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Isma'il Al-Bukhori dan Imam Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hujjaj An-Naisaburi dari Ahli hadist dan Atsar".

3. Sulthon Al-Ulama' Al-Imam Izzuddin berkata :
"Sesungguhnya Aqidahnya Al-Imam Al-Asy'ari adalah Aqidah yang dikumpulkan dari Madzhab 4, yaitu : Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad Bin Hanba. Sungguh telah disepakati pada masanya Al-Imam Umar Bin Al-Hajib dari kalangan Malikiyah dan juga disepakati pada masanya Al-Imam Jamaluddin Al-Husairi dari kalangan Hanafiyah".

4. Al-Imam Ibnu Kholkon berkata :
"Al-Imam Al-Asy'ari adalah Sang Pendiri Ilmu Teologi (Ilmu Tauhid) dan penegak ilmu Agama, pembela Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Memang awal mulanya Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari adalah penganut Madzhab Mu'tazilah tapi di kemudian hari Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari bertaubat dari semua perkataanya".

5. Al-Imam Ibnu Furok berkata :
"Pindahnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari kepada Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dengan Hujjah 'Aqliyah (Argumen Rasio/Akal)".

6. Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dhahabi juga berkata :
"Sesungguhya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari bertaubat dan menaiki Mimbar Masjid Jami' Bashroh dan Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari berkata : "Sungguh aku bertaubat dari apa yang aku katakan dan aku membantah Madzhab Mu'tazilah yang selalu mengandalkan akalnya".

Karangan Kitab Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari melebihi 200 karangan lebih di antaranya :
1. Kitab Al-Ibanah, tapi kitab ini sudah banyak mendapat Tahrif (perubahan) oleh para Wahabi, cuman ada sebagian cetakan kitab Al-Ibanah sedikit yang ditahrif versi cetakan Baghdad.
2. Kitab Al-Luma': Yaitu kitab yang juga dikarang oleh Al-Imam Al-Asy'ari setelah mengarang kitab Al-Ibanah.

Syubhat Perjalanan A-Imam Abul Hasan Al-Asyari yang dilontakarkan Kaum Wahhabi

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari diduga oleh para Kaum Wahhabi bahwasannya Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mengalami Tiga Fase peralihan Aqidah selama hidupnya.

Fase Pertama: Al-Imam Abu hasan Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Mu'tazilah.
Fase Kedua : Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mengikuti Al-Imam Abdullah Bin Sa'id Bin Kullab.
Fase Ketiga : Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari kembali pada Madzhab Salafi versi Wahhabi.

Semua Fase yang diikuti Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari ternyata salah, akan tetapi yang benar Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari cuma mengalami dua Fase peralihan saja, yaitu :

Fase Pertama: Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Mu'tazilah
Fase Kedua: Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Al-Imam Abdullah Bin Sa'id Bin Kullab yang tal lain adalah Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari generasi Salaf.

Akan tetapi Wahhabi masih bersikukuh bahwa Al-Imam Al-Asy'ari mengalami 3 masa peralihan Aqidah dalam hidupnya, yaitu :

Fase pertama: Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari di masa hidupnya mengikuti Madzhab Mu'tazilah kemudian setelah keluar dari Madzhab Mu'tazilah Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Al-Imam Ibnu Kullab dan di akhir hayatnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asyari kembali ke Madzhab Salafi versi Wahhabi.
Fase Kedua: Al-Imam Abdullah Bin Sa'id Bin Kullab bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama'ah menurut kaum Wahhabi.
Fase Ketiga: Kitab Al-Ibanah karya Al-Imam Abu Hasan Al-Asyari iyalah kitab ketika di karang kembalinya Al-Imam Al-Asy'ari ke madzhab salafus sholeh versi wahabi,

Bantahan Kepada Kaum Wahhabi Yang Mengaku Bahwa Al-Imam Al-Asy'ari Mengalami Tiga Fase Peralihan Aqidah

Bantahan Pertama :
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari adalah Imam yang sangat 'Alim di kalangan kaum Muslimin dan juga bukan laki-laki yang menyamarkan dirinya apalagi dalam kasus pengakuannya, dan sungguh masyhur beritanya, Al-Imam Al-Asy'ari memang awal mulanya menganut Madzhab Mu'tazilah, di kemudian hari Al-Imam Al-Asy'ari merujuk menjadi Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Al-Imam Abu Bakar Bin Furok berkata: "Al-Imam Al-Asy'ari memang pertama kali mengikuti Madzhab Mu'tazilah tapi setelah itu pindah ke Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah".

Bantahan kedua :
Al-Imam Abdullah Bin Sa'id Bin Kullab adalah Imam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, di dalam kitabnya Ghoyah Al-Marom Fi Ilmi Kalam, Al-Imam Ibnu Kullab berkata : "Aku adalah termasuk Ahlus Sunnah di masa Kholifah Al-Makmun Abdullah Bin Sa'id At-Tamimi, dan akulah yang membantah kaum Mu'tazilah di Majelis Kholifah Al-Makmun dan aku jelaskan tentang kebusukan Mu'tazilah".

Al-Imam Ibnu Kholdun juga berkata :
"Sesungguhnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari mengikuti Metode (jalan) Al-Imam Ibnu Kullab dan Al-Imam Al-Haris Al-Mahasibi dan Al-Imam Al-Qolanisi, mereka semua adalah Ulama' yang selalu mengikuti Metode (jalan) Salaf versi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah".

Bantahan ketiga :
Kitab Al-Ibanah karya Al-Imam Al-Asy'ari juga mengikuti metode Al-Imam Ibnu Kullab, bukan berarti Al-Imam Al-Asy'ari mengarang kitab Al-Ibanah kembali ke Madzhab Salaf versi Wahhabi".

Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqolani berkata : "Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari mengarang kitab Al-Ibanah di akhir hidupnya juga mengikuti metode Al-Imam Ibnu Kullab dan metode Al-Imam Ibnu Kullab juga sama dengan Metode Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari".

Wafatnya Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari wafat pada tahun 324 H. Dan sungguh ketika itu para Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah sangat bersedih, sedangkan orang-orang Ahli Bid'ah sangat senang dengan Wafatnya Al-Imam Abul hasan Al-Asy'ari.

Referensi :
1. Thobaqot Al-Kubro Asy-Asyafi'iyah karya Al-Imam Tajuddin As-Subuki (Juz 3. Hal 365).
2. Tabyin Kidibz karya Al-Hafidz Ibnu 'Asakir (Hal 103).
3. Thobaqot Al-Kubro Asy-Asyafi'iyah karya Al-Imam Tajuddin As-Subuki (Juz 3. Hal 360).
4. Muqaddimah Al-Luma' karya Doktor Al-Ustadz Hamudah Ghorobah.
5. Wafiyat Al-A'yan karya Al-Imam Ash-Sofadi ( Juz 3. Hal 284).
6. Siyar An-Nubula' karya Al-Hafidz Adz-Dhahabi (Juz 15. Hal 89).
7. Muqaddimah Al-Imam Ibnu Kholdun ( Hal 853).
8. Thobaqot Asy-Syafi'iyah karya Al-Imam Ibnu Qodi Suhbah (Juz 1. Hal 78).
9. Muqaddimah Al-Imam Ibnu Kholdun (Ibid).
10. Thobaqot Asy-Syafi'iyah karya Al-Imam Al-Asnawi (Juz 2. Hal 178).
11. Lisan Al-Mizan karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani ( Juz 3. Hal 291).

Ditulis di Tarim, 27 Ramadhan 1436 H / 14 Juli 2015.
Oleh: Ibraheem Shafie via Muslimedianews.com
Mahasiswa Fakultas Ilmu Syariah di Imam Shafie College, Hadraumat - Yaman.

Tuesday, July 14, 2015

Hukum Jum'atan Ketika Hari Raya Jatuh pada Hari Jum'at

Ilustrasi orang-orang berjamaah shalat jum'at

Ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, apakah kewajiban shalat Jum'at menjadi gugur? Apakah cukup dengan shalat Ied saja tanpa melakukan shalat Jumat?

JAWABAN :

Permasalahan yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan mereka dalam menshahihkan hadits dan asar seputar masalah ini dalam satu sisi, dan makna yang dimaksud olehnya dalam sisi lain.


Di antara hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah dan Hakim dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, dia berkata, "Saya melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah ketika bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya, saya pernah mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat." Beliau bersabda, "Barang siapa ingin melakukan shalat Jumat maka lakukanlah."

Juga hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Pada hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan shalat Jumat, maka shalat Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan tetap menunaikan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban shalat Jumat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat Jumat untuk seluruh hari. Di samping itu shalat Jumat dan shalat Ied adalah ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling menggantikan. Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk tidak menunaikan shalat Jumat tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits tentang kewajiban shalat Jumat tersebut, karena di dalam sanadnya terdapat masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.

Sedangkan Imam Ahmad berpendapat –dan ini adalah salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwa kewajiban shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang menunaikan shalat Ied, namun orang itu tetap wajib menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga berdasarkan hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya.

Adapun jumhur ulama –termasuk Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang paling shahih—berpendapat wajibnya shalat Jumat bagi orang-orang yang tinggal dalam kawasan yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jumat dan gugur dari orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban shalat Jumat terealisasi pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka. Dalil jumhur ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha` bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya, "Sesungguhnya pada hari ini telah bertemu dua Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung jika ingin menunggu pelaksanaan shalat Jumat maka hendaknya dia menunggu, sedangkan orang yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah mengizinkannya."

Perkataan Utsman ini tidak ditentang oleh seorang sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijmak sukuti. Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat bagi orang yang telah melakuan shalat Ied.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka selama masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka ia bersifat lapang, dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu mazhab dengan pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jumat tetap dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya dan sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang siapa yang kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat atau ingin mengambil rukhshah dengan mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat karena menunaikan shalat Ied, maka dia boleh melakukannya dengan syarat dia tetap melakukan shalat zhuhur sebagai ganti dari shalat Jumat. Juga dengan tidak menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jumat, mengingkari orang yang menunaikannya di masjid-masjid atau memicu fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf saleh menerima adanya perbedaan pendapat.

Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena telah dilaksanakannya shalat Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur ulama baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur karena suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka harus dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha' berpendapat bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah dilaksanakannya shalat Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan shalat Ied yang jatuh pada hari Jum'at pada awal siang (pagi hari) bersama kami. Lalu kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at, namun ia tidak datang. Akhirnya, kami pun melaksanakan shalat sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif. Ketika ia datang, maka kami menceritakan hal itu. Beliau pun berkata, "Ia telah melaksanakan sunnah."

Hanya saja riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena memiliki kemungkinan makna yang lain. Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan menjadi batal nilai kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha' bahwa mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat ini mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal). Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari Atha' sendiri, dimana ia pernah mengatakan, "Setiap shalat Ied dilaksanakan ketika telah masuk waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha dan Iedul Fitri." Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan yang diriwayatkan oleh Nasa`i: "Dua Ied telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair. Maka ia pun mengakhirkan keluar rumah hingga siang semakin tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta memanjangkan khutbahnya. Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak melasakanakan shalat Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui bahwa khutbah Jum'at dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah Ied dilaksanakan setelah shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah berkata, "Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan shalat Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at dan menjadikannya sebagai pengganti shalat Ied."

Ditambah lagi bahwa syariat tidak pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah pertempuran. Shalat fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan dalam dalil-dalil qath'I, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ

"Lima shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).

Nabi saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

"Beritahulah mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).

Rasulullah saw. juga bersabda,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ

"Lima shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR. Malik, Abu Dawud, Nasa`I dari hadits Ubadah bin Shamit r.a.).

Dan masih banyak lagi dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu tidak dapat gugur dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana mungkin dapat gugur dengan melaksanakan shalat Ied yang hukumnya hanyalah fardhu kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?

Syariat Islam telah mewajibkan shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person dan keadaan apapun, kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas. Bahkan, ketika Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau bersabda,


أَرْبَعُوْنَ يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ

"Empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian."

Para sahabat bertanya, "Pada hari yang seperti setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau menjawab, "Tidak. Tapi perkirakan kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).


Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan melaksanakan shalat Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan dalilnya dalam satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat ini kepada ulama yang mengatakannya. Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Mufti Agung Prof. Dr. Syaikh Ali Jum'ah Muhammad (Lembaga Fatwa Mesir) via Darul Ifta

Sunday, July 12, 2015

KH. Maimun Zubair; Tahapan Islam

KH. Maimun Zubair
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا 

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." (Q.S al-Fath [48]: 29)

Dalam surat Al-Fath ayat paling akhir ini disebutkan Tahapan Islam:

1. Saat Nabi Muhammad Saw lahir, tumbuh remaja, berkeluarga, kemudian diangkat menjadi Nabi dan Rasul di kota Makkah. Diisyaratkan dengan:

محمد رسول الله

2. Saat Nabi Muhammad hijroh dari Makkah ke Madinah dan bertempat di Madinah sehingga berkumpul antara shahabat Muhajirin dan Anshor. Diisyaratkan dengan:

والذين معه

3. Saat Kekhilafahan yang dimulai oleh Abu bakar, Umar, Ustman, dan Ali. Dan diteruskan pada kekhilafahan bani Umayyah di Syam. Mereka menyebarluaskan islam dan menghalau pasukan musuh yang menghadang langkah penyebaran islam dan kelihatan kekuasaan di Syam. Diisyaratkan dalam:

أشداء على الكفار

Ketiga Tahap ini diisyaratkan dalam kitab taurat dan disebutkan oleh Kaab al-Akhbar dan diriwayatkan kisahnya dalam kitab maulid ad-dibai.

مولده بمكة وهجرته بالمدينة وسلطانه بالشام

4. Munculnya para Imam Ahli ijtihad, yang dimulai Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah para ahli ilmu yang mempunyai simbol rahmat (belas kasih). Seperti halnya kisah Nabi Musa bertemu Nabi Hidlir dalam surat Al-Kahfi juga disimbolkan dengan rahmat

فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما.

Bahkan hadist pegangan ahli ilmu adalah hadist rahmat

الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء 

Diisyaratkan dengan:

رحماء بينهم

5. Muncul dan kelihatannya para wali besar setelah imam Ghozali (tahun 500 H) yaitu Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani, Syekh Abil Hasan As-Syadhily, Syekh Bahauddin An-Naqsyabandi dan yang lain. Mereka adalah orang dekat dengan Allah karena banyak ruku' sujud mengharap anugrah dan Ridlo Allah. Diisyaratkan dengan:

تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا

6. Daulah Turki, Eropa Timur, Kroasia, Serbia, dan Bosnia. Pada negara-negara ini hukum Islam tidak berjalan, akan tetapi yang kelihatan berupa shalat yang dilaksanakan di masjid-masjid. Diisyatkan dengan:

سيماهم في وجوههم من أثر السجود ذلك مثلهم في التورة

7. Indonesia dan sekitarnya, setelah munculnya Israel. Proklamasi Indonesia ada setelah perang dunia ke dua dan munculnya Israel. Disimbolkan dengan tanaman padi.

Padi yang aslinya mempunyai anak tujuh tangkai dan setiap tangkai terdapat 100 biji. Induk padi memelihara anaknya, menirakati anaknya sehingga anaknya kuat dan mampu berdiri sendiri, tidak bergantung kepada induknya. Sehingga bisa berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Begitu juga bangsa indonesia kalau sudah berdikari maka akan menjadi bangsa yang kuat, mandiri dan tidak bergantung kepada bangsa lain. Diisyaratkan dengan:

ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطأه فآزره فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغيض بهم الكفار

Disarikan dari Mauidloh Syaikhina Maimoen Zubair, Rembang.

Sumber: Kanthongumur

KH. Muntaha Al-Hafizh Wonosobo, Kyai Pecinta Al-Qur’an

KH. Muntaha Al-Hafidz
Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.

Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya maha agung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.

Delegasi Afganistan melihat Quran Akbar saat kunjungan  @wonosobozone.com
KH. Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.

Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.

Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.

Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.

Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman.   Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.

Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri di zaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya. 

Beliau dikirim untuk belajar di Madrasah Darul Ma’arif Banjarnegara di bawah asuhan Kyai Fadlullah dari Singapura. Kemudian beliau melanjutkan belajar Tahfidzul Qur’an sampai hafal di Kaliwungu Kendal, di bawah asuhan KH. Utsman. Setelah hafal Al-Qur'an, beliau memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur'an di hadapan Mbah KH. Munawir Krapyak Yogyakarta, dan terakhir di hadapan KH. Dimyati Tremas Jawa Timur.

Ada satu hal sangat menarik berkait dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.

Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.

Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo. Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.

Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.

Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.

Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha  selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.

Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil  berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.

Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.

Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tim yang diberi nama Tim Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandung maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.

Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.

Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta.  Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.

Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.

Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.  

Dari berbagai sumber

Saturday, July 11, 2015

Asal Usul Para Habaib di Nusantara

Ilustrasi Habaib Nusantara @bluizzy.wordpress.com
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).[1] Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.

Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.

Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.

Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.

Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.

Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.[2] Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).

Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (HR. at-Turmudzy).

Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.

Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir.[3] Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.

Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.[4]

Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.

Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.[5]

Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.

Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah: pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-MusajjarKetiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.

Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib. Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.

Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.[6]

Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :

"Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka".[7]

Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan: "Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya".[8]

Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.

Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.

Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo[9]. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab[10] telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.

Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.

Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.

Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.

[1] Jilid 1, hal. 25
[2] Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi. Jamharoh Ansab al-Arab, hal. 14.
[3] Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada al-Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul.
[4] Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, hal. 15.
[5] Muhammad Hasan Alaydrus, Penyebaran Islam di AsiaTenggara, hal 22.
[6] Abubakar Al-Adeni Bin Ali Al-Masyhur, Al-Abniyah al-Fikriyah, hal. 25.
[7] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ihya al-Mait Fi Fadhail Ahlu al-Bait, hal. 42.
[8] Idrus Alwi Al-Masyhur, op cit, Hal. 15.
[9] Muhammad Hasan Alaydrus, op cit, hal. 35.
[10] Beliau adalah salah satu pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi ketua yang pertama.

Oleh: benmashoor