10 Alasan Perlunya Kembangkan Islam Nusantara

Posted by Unknown on Sunday, July 05, 2015 with No comments
Nahlatul Ulama dan Muhammadiyah
Istilah Islam Nusantara sejak lama populer di berbagai kajian serta buku-buku. Istilah ini mulai jadi perbincangan publik setelah organisasi masyarakat terbesar Nahdlatul Ulama mengangkatnya sebagai tema Muktamar ke-33 pada 1-5 Agustus 2015.
Islam Nusantara patut kita dukung. Selain kita punya landasan dan perangkat kukuh untuk mengembangkannya, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah gejolak instabilitas politik dan kecamuk konflik serta perang di beberapa negara berbasis Islam.
Beberapa kalangan menaruh harapan besar pada kontribusi Islam Indonesia/Nusantara pada dunia. Bahkan cendekiawan Muslim Indo-Pakistan, Fazlur Rahman, mengatakan dengan sangat optimis bahwa kebangkitan peradaban Islam akan dipelopori Indonesia.
Berbagai harapan itu tentu punya alasan dan landasan yang menopangnya. Di bawah ini 10 alasan kenapa kita perlu mengembangkan Islam Nusantara.
  1. Islam Agama untuk Manusia
Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk manusia, bukan malaikat. Karena itu, Islam mesti berpijak di bumi. Ia mesti bersentuhan dengan budaya dan kondisi sosial manusia. Mengakar dengan persoalan masyarakat. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk dakwah kultural sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Allah menegaskan dalam Al-Quran: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan lisan kaumnya (bi lisani qaumihi) supaya ia memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim [14]: 4). Bagi sebagian ulama, lisan itu lebih luas dari bahasa (bi lughati qaumihi). Mencakup di dalamnya budaya, adat-istiadat, tradisi, dan peri kehidupan manusia itu sendiri.
Nilai dan keagungan Islam takkan luntur hanya cuma karena bersentuhan dengan budaya manusia. Alih-alih luntur, Islam itu sangat lentur. Kelenturan itu yang kian meneguhkan bahwa Islam itu rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, Islam itu selalu relevan di tiap ruang dan waktu. Tak lekang waktu dan cocok di segala tempat (shalihun li kulli zaman wa makan).
  1. Islam Murni Hanya Milik Allah
Hanya Allah pemilik kebenaran hakiki. Hanya Dia yang paling tahu mana Islam yang murni. Hanya Allah yang paling berhak untuk menentukan mana Islam yang murni. Tak ada jaminan bahwa Islam yang dijalankan di Arab lebih murni ketimbang Islam di belahan dunia lain. Termasuk Islam Nusantara.
Berbagai model keislaman yang berkembang di berbagai negara dan penjuru dunia adalah hasil tafsir ulama dan masyarakat setempat. Mereka mencoba untuk menghidupkan nilai-nilai Islam di tengah identitas kultural mereka juga dalam menghadapi gempuran globalisasi. Mereka ikut berperan dalam perkembangan Islam di berbagai belahan dunia. Masing-masing menampilkan wajah Islam yang khas. Sesuai dengan karakter dan budaya yang hidup dan berkembang di kawasan itu.
Islam itu satu. Secara akidah dan ibadah umat Islam di seluruh dunia seragam. Karena itu pembedaan Islam Nusantara bukan dalam hal teologis. Tapi dalam konteks sosiologis. Ajaran universalnya sama, tapi wajah tampilannya yang berbeda.
  1. Islam Bukan Hanya Milik Arab
Islam bukan hanya untuk orang Arab, tapi untuk seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Semua di hadapan Allah setara. Baik Islam orang Arab maupun Islamnya masyarakat Nusantara. Dengan begitu, Islam Nusantara bukan pinggiran. Kedudukannya setara.
Dalam berbagai ayat dan hadis, acapkali kita diinggatkan bahwa Allah hanya melihat isi (hati) dan ketakwaan seseorang. Bukan tampilan luarnya. Dengan menginsyafi itu kita dengan sendirinya merealisasikan tauhid secara utuh.
Islam memang tumbuh dan berkembang di jazirah Arab. Nabi telah membangun fondasi masyarakat beradab di sana, khususnya di Madinah. Tapi perkembangan Islam kemudian, yang disebut-sebut masa kejayaan/keemasan dan peradaban Islam, malah terjadi di daerah lain seperti Andalusia, Spanyol, Eropa. Dengan begitu, Islam Nusantara punya potensi yang sama dengan wilayah lain untuk mengembangkan peradaban Islam di masa mendatang.
  1. Akulturasi Budaya Hasilkan Peradaban
Masa keemasan Islam yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tak dapat disangkal hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya falsafah Yunani. Alih-alih menghancurkan Islam, akulturasi budaya itu menghasilkan peradaban Islam yang luhung.
Berbagai ranah ilmu pengetahuan berkembang pesat. Mulai dari falsafah, tafsir, psikologi, kedokteran, astronomi, arsitektur, matematika, geologi, dan lain sebagainya.
Perkembangan berbagai ranah ilmu pengetahuan yang dikembangkan para filsuf dan ilmuwan muslim itu kemudian jadi referensi sekaligus inspirasi dunia. Bahkan peradaban Barat kini “berhutang” pada peradaban Islam kala itu.
  1. Islam-Arab Tak Identik
Islam Nusantara bukan untuk menabuh genderang konflik rasial  dan ingin mengkotak-kotakkan umat Islam.  Tujuan utama Islam Nusantara adalah menjaga esensi dan substansi ajaran Islam.
Islam dan Arab tak identik. Islam adalah agama yang Allah turunkan pada Nabi Muhammad. Arab adalah bangsa yang mempunyai budaya tertentu. Dengan prinsip tauhid, kita mesti memisahkan mana wilayah yang sakral dan kudus serta mana yang tak suci.
Tiap masyarakat punya budaya dan karakteristik masing-masing. Karakteristik penduduk sahara tentu berbeda dengan budaya kepulauan atau bahari. Yang pertama, lebih keras. Yang terakhir seperti air, mengalir. Membaur. Tanpa menghilangkan jati diri dan tak keluar dari koridor esensi ajaran Islam. Dengan ini, Islam Nusantara berkembang dan sudah teruji tahan banting dan sanggup menjaga kemaslahatan umat.
  1. Bukan Aliran Baru
Islam Nusantara bukan aliran, ajaran, mazhab, apalagi agama baru. Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah bahwa penyebaran Islam dan praktik keislaman di wilayah kepulauan ini dilakukan dengan pendekatan budaya. Bukan dengan doktrin yang kaku dan keras. Karena itu Islam mudah diterima di hati masyarakat. Bahkan kini menjadi mayoritas di negeri ini.
Dakwah Wali Songo, khususnya di Jawa, membuktikan bahwa keislaman dan kenusantaraan atau keindonesiaan bukan untuk saling dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan harmonis dan bahkan saling memperkuat. Banyak kearifan lokal masyarakat Indonesia dan Nusantara sejalan dengan nilai-nilai Islam. Budaya terbukti dapat menjadi papan selancar dakwah Islam yang efektif.
Islam Nusantara sendri berpedoman dan mengacu pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Setidaknya ada tiga unsur utama Islam Nusantara. Pertama, teologi (kalam) Asy’ariyah. Kedua, fikih Syafi’i. Ketiga, tasawuf al-Ghazali dan al-Syadzili.
  1. Ejawantah “Negara” Madinah
Islam Nusantara adalah ejawantah dari apa yang Nabi Muhammad lakukan di Madinah. Di “negara” Madinah itu Rasulullah membuat kontrak sosial yang berbentuk Piagam Madinah. Bukan hanya dengan umatnya sendiri, tapi juga dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Di Nusantara/Indonesia, Piagam Madinah itu berwujud Pancasila.
Sebagai payung hukum, Piagam Madinah dan Pancasila melindungi warganya secara setara dan tanpa diskriminasi. Tanpa memandang ras, etnis, dan agama. Sebagaimana juga di Madinah, tiap warga negara wajib berpartisipasi dalam menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kecintaan pada bangsa dan negara tak mengurangi sekecil pun kecintaan kita pada Islam. Bahkan mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan realisasi dari ibadah umat Islam Indonesia.
  1. Islam Nusantara itu Rahmat
Umat Islam Indonesia atau Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang terbuka, moderat, toleran, rukun, dan harmonis. Ramah, cinta damai, terbiasa serta berpengalaman dengan menggelola perbedaan, dan suka dialog serta gotong royong. Tentu masih banyak yang bolong di sana-sini, tapi secara keseluruhan semua itu berjalan relatif baik.
Dalam Islam, perbedaan itu rahmat. Islam sebagai rahmat (rahmatan lil ‘alamin) bagi semesta raya begitu kentara di sini. Karena itu ekstremisme dan terorisme selain bertentangan dengan kultur Nusantara juga tak laku di sini. Esktrimisme hanya akan menimbulkan disharmoni bahkan chaos.
Islam Nusantara dapat berperan sebagai penyeimbang tindakan intoleran dan aksi kekerasan berbasis agama. Tindakan macam ini alih-alih memperjuangkan dan mengharumkan nama Islam agama, sebaliknya malah hanya akan merusak agama. Sebaliknya, Islam Nusantara memberi contoh bagaimana dakwah Islam yang menghasilkan keberislaman yang  jauh lebih kokoh daripada cara-cara kekerasan dan instimidasi dan mudah merasuk ke sanubari masyarakat.
  1. Hilangkan Islamophobia
Dengan karakteristik seperti di atas, Islam Nusantara akan mampu mengikis sedikit demi sedikit fobia masyarakat Barat dan umat non-muslim kepada Islam. Kecurigaan dan prototipe terhadap Islam yang sangar lambat laun akan menghilang.
Sebagai gantinya, masyarakat Barat dan umat non-muslim mengenal Islam secara lebih jelas dan jernih. Dan terbangun dialog yang sehat. Dakwah model ini tentu lebih efektif ketimbang dengan kekerasan.
  1. Islam Alternatif
Beberapa kalangan berharap besar pada kontribusi Islam Indonesia/Nusantara pada dunia. Baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Bahkan cendekiawan Muslim Indo-Pakistan, Fazlur Rahman (1919-1988), dalam sebuah kesem­patan pernah menyam­paikan optimismenya bahwa kebangkitan peradaban Islam akan dipelopori Indonesia. Dengan syarat umat Islam negeri ini meningkatkan kualitas ilmu-ilmu keislaman dan menguasai teknologi.
Berbagai harapan itu tentu punya landasan yang menopangnya. Di antaranya, seperti yang sudah disebutkan di atas. Karena itu, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah instabilitas politik yang terus bergejolak dan kecamuk konflik dan perang di beberapa negara berbasis Islam.
Seperti kata pendiri NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari, ikhtiar menghadirkan Islam Nusantara di tengah masyarakat dunia pada prinsipnya upaya mewujudkan tata dunia yang kondusif bagi persemaian keadilan, perlindungan hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran masyarakat.*
[Achmad Rifki]
Categories: ,