Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Monday, August 31, 2015

Syekh Yasin Al-Fadani, Putra Nusantara yang Jadi Guru di Makkah

Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani (lahir di Mekkah, Arab Saudi, 17 Juni 1915 – meninggal di Mekkah, 20 Juli 1990 pada umur 75 tahun) adalah seorang ahli sanad hadist, ilmu falak, bahasa Arab, dan pendiri madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, Mekkah. Ia merupakan putra ulama terkenal, Syekh Muhammad Isa Al-Fadani asal Padang, Sumatera Barat.
Al-Fadani mulai mempelajari Islam dari ayahnya Syekh Muhammad Isa. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ash-Shauthiyyah. Karena guru-guru asal India menghina para pelajar Indonesia, maka ia mendirikan madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, dan menamatkan pendidikannya di sekolah ini. Setelah menjalani pendidikan formal, ia berpindah-pindah untuk berguru ke beberapa ulama Timur Tengah. Disamping menimba ilmu, ia aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan madrasah yang didirikannya. Ia mengajar terutama pada mata kuliah ilmu hadist. Dia merupakan seorang ulama yang kukuh pada ajaran Ahlul Sunnnah wal Jamaah. Dia sering berseberangan dengan para ulama Haramain yang menganut paham Wahabi.
Selain aktif mengajar, ia juga rajin menulis kitab. Jumlah karyanya mencapai 97 buku, diantaranya 9 buku tentang ilmu hadist, 25 buku tentang ilmu dan ushul fiqih, serta 36 buku tentang ilmu falak. Buku-bukunya banyak dibaca para ulama dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, pondok pesantren, baik itu di Arab Saudi maupun di Asia Tenggara. Kitabnya yang paling terkenal : Al-Fawaid al-Janiyyah, menjadi materi silabus dalam mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Syariah Al-Azhar Kairo.
Karya-karya Al-Fadani :
- Al-Durr al-Mandlud Syarh Sunan Abi Dawud, 20 Juz
- Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram, 4 jilid
- Nayl al-Ma'mul 'ala Lubb al-Ushul wa Ghayah al-wushul
- Al-Fawaid al-Janiyyah Ala Qawa'idil Al-Fiqhiyah
- Jam'u al-Jawani
- Bulghah al-Musytaq fi 'Ilm al-Isytiqaq
- Idha-ah an-Nur al-Lami' Syarh al-Kaukab as-Sathi'
- Hasyiyah 'ala al-Asybah wan an-Nazhair
- Ad-Durr an-Nadhid
- Bulghyah al-Musytaq Syarh al-Luma' Abi Ishaq
- Tatmim ad-Dukhul Ta'liqat 'ala Makhdal al-Wushul ila 'Ilm al-Ushul
- Nayl al-Ma'mul Hasyiyah 'ala Lubb al-Ushul wa syarhih Ghayah al-Wushul
- Manhal al-Ifadah
- Al-Fawaid al-Janiyyah Hasyiyah 'ala al-Qawaid al-Fiqhiyyah

Sisi Lain Bung Karno

Diceritakan oleh Abuya Alhabib Abu Bakar bin Hasan Alatos Azzabidi tentang alasan mengapa makam Bung Karno sampai saat ini didatangi banyak orang.
Adalah penghormatan beliau yang tinggi kepada Nabi Muhammad Saw karena ketika mengunjungi Arab Saudi ketika berjalan di kota Madinah bersama Raja Saudi saat itu. Bung Karno bertanya pada Raja Saudi, "di mana makamnya Rasulullah saw ya Raja?"
Raja Saudi menjawabnya, "oh itu makam Rasulullah saw sudah terlihat dari sini"
Maka saat itu juga Bung Karno melepaskan atribut-atribut pangkat kenegaraannya.
Raja heran dan bertanya pada Bung Karno, "kenapa anda melepaskan itu semua?"
"Yang ada di sana itu Rasulullah saw pangkatnya jauh lebih tinggi dari kita, aku dan dirimu."
Lantas Bung Karno berjalan merangkak sampai ke makamnya baginda Nabi Muhammad Saw.
Cerita ini disampaikan oleh Sayyid Husein Muthahar yang banyak menciptaan lagu-lagu perjuangan seperti hari merdeka (17 agustus tahun 45), hymne pramuka, syukur dan lain-lain. Beliau yang saat itu ikut bersama Bung Karno. 

7 Ulama Indonesia Hebat Yang Mendunia

Sejarah mencatat beberapa ulama Indonesia pada masa lalu pernah berkiprah hingga namanya dikenal dunia. Mereka pada umumnya berguru ke Mekah dan Madinah. Sebagian menghabiskan hidupnya dengan mengajar di sana, sebagian lagi pulang ke Indonesia. Berikut di antara mereka:
1. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Namanya tak hanya dikenal oleh masyarkaat Nusantara, tapi juga kaum muslimin di Filipina, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan India. Lahir di Banjar tanggal 15 Safar 1122 (17 Mei 1710). Selama hampir 35 tahun berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah seperti Syeikh Ataillah bin Ahmad Al-Misriy, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy, Syeikh Ahmad bin Abd Mun’im Syeikh, dan Muhammad bin Abd Karim Al-Qadiri.
Selepas berguru di Mekah dan Madinah, Al-Banjari kembali ke tanah air. Ia membuka pusat-pusat studi Islam untuk membantu masyarakat menimba ilmu pengetahuan.

Al-Banjari berhasil menulis berpuluh-puluh karya. Salah satu yang termasyhur adalah kitab Sabilal Muhtadin, yang kerap menjadi referensi para penulis buku fikih.
Pada 6 Syawal 1227 (3 Oktober 1812), Al-Banjari wafat. Untuk mengenang karya dan jasanya, masyarakat Banjarmasin mendirikan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
2. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minangkabawi
Ia seangkatan dengan Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Lahir di Candan, Sumatera Barat, pada tahun 1871. Sulaiman menuntut ilmu agama di Mekah dan antara lain berguru pada ulama Minang yang tinggal di Tanah Suci, Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minangkabawi. Sekembali ke tanah air, ia menyebarkan ajaran Islam dengan sistem lesehan (duduk bersila). Baru pada tahun 1928, Al-Minangkabawi menggunakan bangku.

Pada tahun 1928 juga, Al-Minangkabawi bersama Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat menjadi partai politik, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
3. Syeikh Sayyid Utsman Betawi
Nama lengkapnya Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya Al-Alawi, namun lebih dikenal dengan sebutan Habib Utsman Mufti Betawi. Lahir di Pekojan, Jakarta, 17 Rabiul Awwal 1238 (2 Desember 1822).

Habib Utsman adalah sahabat ulama besar Sayyid Yusuf An-Nabhani, mufti di Beirut. Selama di Mekah, Habib Utsman menimba ilmu pada Syeikh Ahmad Ad-Dimyathi, Sayyid Muhammad bin Husein Al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Rahmatullah.
Semasa hidupnya, Mufti Betawi berhasil menulis karya sebanyak 109 buah. Dalam memutuskan suatu perkara ia dikenal sangat tegas. Tak heran kalau ulama-ulama asli Jakarta yang ada sekarang sangat mengagumi sosok Mufti Betawi dan menjadikannya guru teladan.
4. Syeikh Muhammad Khalil Al-Maduri
Lahir pada 11 Jamadil Akhir 1235 (27 Januari 1820) di Bangkalan, Madura. Al-Maduri berasal dari keluarga ulama. Ia sempat berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Al-Maduri semasa mudanya berhasil menghafal Al-Qur’an (hafizh). Juga mampu menguasai qiraah tujuh (tujuh cara membaca Al-Qur’an).

Tahun 1859 Al-Maduri menuju ke Mekah. Ia bersahabat dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Sekembalinya ke tanah air, Al-Maduri mendirikan pondok pesantren di daerah Cengkebuan, 1 kilometer dari tanah kelahirannya.
Pada masa penjajahan Belanda, ia sudah sepuh dan tak lagi mampu terlibat langsung dalam kontak fisik. Namun ia sangat aktif menumbuhkan sikap perlawanan kepada para pemuda di pondok pesantrennya. Akibatnya, Al-Maduri ditahan Belanda karena dituduh melindungi para pemberontak.
Muhammad Khalil Al-Maduri wafat pada usia 106 tahun (29 Ramadan 1341 atau 14 Mei 1923). Semasa hidup telah membina kader-kader ulama untuk generasi setelahnya, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang) dan KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang).
5. Syeikh Nawawi Al-Bantani
Al-Bantani kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”. Gelar ini diberikan oleh Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani. Lahir pada penghujung abad ke-18 di Banten. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali Al-Jawi Al-Bantani.

Selama di Mekah, Nawawi Al-Bantani belajar pada beberapa ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad An-Nahrawi, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Maliki, Syeikh Ahmad Ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma Al-Hanbali, Syeikh Zainuddin Aceh, dan Syeikh Ahmad Khathib Sambas.
Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.

6. Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri
Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862). Nama lengkapnya Muhammad Mukhtar bin Atharid Al-Bughri Al-Batawi Al-Jawi. Pendidikan agamanya didapat langsung dari orang tuanya. Semasa muda, ia telah mampu menghafal Al-Qur’an. Tahun 1299 hijrah ke Betawi (Jakarta) untuk menimba ilmu kepada Sayyid Utsman. Tidak puas juga, ia kemudian menuju ke Mekah.

Selama di Mekah, Mukhtar Al-Bughri belajar kepada ulama termasyhur, Syeikh Ahmad Al-Fathani. Ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di Masjidil-Haram selama 28 tahun. Setiap kesempatan mengajar, ia selalu dikelilingi sekitar 400-an muridnya. Semasa hidupnya telah menulis berpuluh-puluh karya. Mukhtar Al-Bughri wafat di Mekah pada 17 Shafar 1349 (13 Juli 1930).
7. Syeikh Abdul Hamid Asahan
Nama lengkapnya Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud. Lahir di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, tahun 1298 H (1880). Sejak kecil ia belajar kepada saudara iparnya yang bernama Haji Zainuddin. Setelah itu belajar kepada ulama termasyhur di Asahan bernama Syeikh Muhammad Isa, mufti Kerajaan Asahan. Syeikh Muhammad Isa menganjurkan Abdul Hamid untuk menimba ilmu ke Mekah. Pasalnya, Abdul Hamid memiliki talenta untuk menjadi ulama.

Sampai di Mekah, Abdul Hamid Asahan langsung diterima belajar di halaqah Syeikh Ahmad Al-Fathani. Sayang, dua tahun kemudian Syeikh Ahmad Al-Fathani meninggal dunia (1325 H/1908). Walau berinteraksi hanya sekitar dua tahun, rasa kasih sayang Syeikh Ahmad Al-Fathani begitu kuat.
Abdul Hamid Asahan kemudian berguru pada Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Lathif Minangkabawi. Proses belajar ini sempat terganggu karena meletusnya Perang Dunia I (1914 – 1918). Ia terpaksa pulang ke Tanjung Balai Asahan. Abdul Hamid kemudian mendirikan Madrasah ‘Ulumil ‘Arabiyah. Seiring berjalannya waktu, madrasah ini berkembang pesat dan menjadi termasyhur di Sumatera Utara. Abdul Hamid Asahan melengkapi hidupnya dengan menulis berpuluh-puluh buku. Ia wafat pada 10 Rabiul Akhir 1370 (18 Februari 1951).
Sumber: Muslimoderat.com

Jawaban Al-Habib Umar bin Hafidz Terhadap Orang-Orang Yang Anti Ziarah

Ada seorang yang berpaham Wahabi bertanya kepada al-Habib Umar bin Hafidz, menanyakan,
“Kenapa ziarah maqam Awliya (Para Wali Allah) ? sedangkan mereka tiada memberi kuasa apa-apa dan tempat meminta hanya pada Allah…!!!”
Al-Habib Umar bin Hafidz lantas menjawab:
“Benar wahai saudaraku, aku juga sama pegangan denganmu bahwa mereka tiada mempunyai kekuasaan apa-apa. Tetapi sedikit perbedaan aku dengan dirimu, karena aku lebih senang menziarahi mereka karena bagiku mereka tetap hidup dalam membangkitkan jiwa yang mati ini kepada cinta Tuhan.

Tapi aku juga heran, kenapa engkau tiada melarang aku menziarahi ahli dunia, mereka juga tiada kuasa apa-apa. Malah mematikan hati. Yang hidupnya mereka bagiku seperti mayat yang berjalan. Kediaman mereka adalah pusara yang tiada membangkitkan jiwa pada cinta Tuhan.
Kematian dan kehidupan di sisi Allah adalah jiwa. Banyak mereka yang dilihat hidup tapi sebenarnya mati, banyak mereka yang dilihat mati tapi sebenarnya hidup, banyak yang menziarahi pusara terdiri dari orang yang mati sedangkan dalam pusara itulah orang yang hidup.
Aku lebih senang menziarahi maqam kekasih Allah dan para syuhada walaupun hanya pusara, tetapi ia mengingatkan aku akan kematian, kerena ia mengingatkan aku bahwa hidup adalah perjuangan, karena aku dapat melihat jiwa mereka ada kuasa cinta yang hebat sehingga mereka dicintai oleh Tuhannya lantaran kebenarannya cinta.
Wahai saudaraku, aku ziarah maqam Awliya, karena pada maqam mereka ada cinta, lantaran Cinta Allah pada mereka seluruh tempat persemadian mereka dicintai Allah. Cinta tiada mengalami kematian, ia tetap hidup dan terus hidup dan akan melimpah kepada para pencintanya. Aku berziarah karena sebuah cinta mengambil semangat mereka agar aku dapat mengikut mereka dalam mujahadahku mengangkat tangan di sisi maqam mereka bukan meminta kuasa dari mereka, akan tapi memohon kepada Allah agar aku juga dicintai Allah, sebagaimana mereka dicintai Allah.”

Saturday, August 29, 2015

Redaksi Shalawat Buatan Wahhabi

Sebagai sempalan yang lahir dari tempat timbulnya fitnah (Najed-red) tentu tidak afdhol jika wahhabi tidak usil terhadap amaliyah umat islam. Salah satunya adalah masalah membuat redaksi sholawat. Menurut wahhabi, redaksi sholawat harus datang dari Rosululloh. Redaksi yang tidak datang dari beliau berarti sholawat bidah yang sesat. Ustadz Achmad  Rofi’i, Lc. MM.Pd (Ustadz Wahhabi), dalam artikel berjudul Sholawat Yang Bukan Sholawat mengatakan: “Sholawat yang kita pelajari adalah bukan wewenang kita untuk mengarang-ngarang sendiri Redaksi / Kalimat Sholawat tersebut, melainkan itu merupakan wewenang Rosuulullooh”

Kontan mereka menyesatkan umat islam yang membaca sholawat Badar, Thibbil Qulub, Nariyah dan lain-lain yang redaksinya disusun oleh ulama ahlu sunah waljamaah.

Salah satu situs milik wahhabi akhwat.web.id pada 28- 2- 2008 merilis artikel berjudul Shalawat-Shalawat Bidah. Dalam artikel itu, wahhabi mencatat bebarapa sholawat yang mereka sebut bidah sesat karena redaksinya tidak datang dari Rosululloh SAW. Intinya, menurut wahhabi membuat redaksi sholawat adalah perbuatan bidah yang sesat.

Namun setelah saya melakukan penelitian sekalipun kecil-kecilan ternyata pendapat wahhabi adalah kedustaan yang sangat nyata. Sebab, pada kenyataannya mereka menciptakan redaksi sholawat.

Dalam muqodimah kitab Al-Khuthob Al-Mimbariyah, Muhammad Bin Abdul Wahhab (Pengasas Wahhabi) menulis sholawat dengan redaksi sebagai berikut:

اللهم صل على عبدك ورسولك محمد وعلى آله وأصحابه الذين هم بهديه مستمسكون، وسلم تسليما كثيرا.

Dalam muqodimah kitab Syarah Manzhumah Al-Qowa’id Wal Ushul, Utsaimin menulis sholawat dengan redaksi sebagai berikut:

فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

Dalam muqodimah kitab Ahkamun Nisa’, Al-bani menulis sholawat dengan redaksi sebagai berikut:

والصلاة والسلام على من أرسله هاديًا , وبشيرًا , ونذيرًا

Dalam redaksi sholawat yang ditulis oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab terdapat kalimat.. “Hum bihadihi mustamsikun”. Dalam redaksi sholawat yang tulis oleh Utsaimin terdapat kalimat “waman tabi’ahum bi ihsan ila yaumiddin.” Dalam redaksi sholawat yang tulis oleh Al-bani terdapat kalimat “man arsalahu hadiyan, basyiron wa nadziro.”

Apakah Rosululloh SAW pernah mengajarkan sholawat yang didalamnya terdapat kalimat-kalimat tersebut? Jawabannya adalah Tidak… Tidak… dan Tidak… Kalimat-kalimat tersebut adalah bid’ah ciptaan ulama wahhabi.

Wahhabi melarang orang lain membuat redaksi sholawat, dan menyebutnya sebagai bid’ah. Para pelakunya mereka sebut sesat dan penentang sunah. Namun mereka sendiri membuat redaksi sholawat dan tidak menyebutnya sesat malah mereka ngaku-ngaku sebagai penyebar sunah. Wa Ya Subhanalloh. Ajiiib. 

Oleh: Qosim Ibn 'Aly 

Ketika Imam Syafi'i Mengambil Berkah dari Muridnya

Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi'i, Imam yang lahir di Gaza tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H ini adalah salah satu dari imam madzhab empat. Dan madzhab beliau adalah madzhab yang di terapkan di bumi Nusantara ini. Keilmuannya terasa di seantero dunia. Kealiman dan ketawadluannya sangat tinggi meski seorang ulama besar. Salah satu bukti ketawadluannya adalah mau mengambil berkah dari muridnya yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
Di masa masuknya abad ke-3 H, semasa akhir hidupnya Imam Syafi'i, umat Islam mendapatkan cobaan yang sangat besar dari golongan Mu'tazilah khususnya di negara Irak jantung kerajaan Islam kala itu yang terkenal dengan fitnah Khalqul Qur'an (Pembuatan Qur'an). Setiap orang Islam dipaksa untuk mengucapkan bahwa al Qur'an di ciptakan oleh Allah SWT (makhluk) bukan merupakan kalamNya yang tidak ada awalnya. Lebih-lebih para ulama, nyawa adalah taruhannya jika tidak mau mengucapkan.
Salah satu yang merasakan pedihnya cobaan tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang juga merupakan salah satu dari Imam madzhab empat dan merupakan murid dari Imam Syafi'i. Beliau yang sangat getol dan teguh pendiriannya tidak mau bahkan melarang keras untuk mengucapkan Al Qur'an adalah makhluk. Akhirnya diapun dimasukan ke dalam penjara oleh kaum Mu'tazilah yang menguasai kerajaan Islam saat itu. Selama di dalam penjara dia tetap tidak mau mengucapkannya meskipun pukulan dan siksaan yang menjadikan tidak sadarkan diripun dialaminya.
Imam Syafi'i yang berada di Mesir waktu itu, bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan bersabda kepada beliau dalam mimpinya: "Berilah Ahmad kabar gembira tentang jaminan masuk surga atas cobaan yang menimpanya."
Seketika setelah bermimpi itu Imam Syafi'i mengirimkan surat kepada Imam Ahmad yang sedang di penjara di Baghdad Irak tentang apa yang ada di dalam mimpinya tersebut. Setelah surat sampai kepada Imam Ahmad, deras tangispun dikeluarkan Imam Ahmad saat membaca surat dari gurunya. Kemudaian Imam Ahmad memberikan satu qamis bagian dalam dari dua qamis (baju koko) yang dikenakannya untuk dititipkan kepada pengirim surat yang nantinya diberikan kepada gurunya.
Setelah baju dari muridnya sampai kepada Imam Syafi'i, beliau mencucinya dan mengambil berkah dengan berminyak menggunakan air cucian baju muridnya yang mendapatkan kedudukan khusus berupa jaminan surga itu.
Subhanallah...
Betapa tawadlu'nya sifat beliau, seorang Imam besar, mendidik murid sampai menjadi Imam besar pula, ilmunya yang dirasakan oleh dunia, tetap mencari berkah meskipun itu dari muridnya.

Profil Mbah Maimun Zubair; Figur Faqih dan Muharrik

Kiai Haji Maimun Zubair merupakan seorang alim, faqih sekaligus muharrik (penggerak). Selama ini, Kiai Maimun merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqh. Hal ini, karena Kiai Maimun menguasai secara mendalam ilmu fiqh dan ushul fiqh. Kiai Maimun merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Kiai Maimun lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Maimun merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.
Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Kiai Maimun Zubair sangat kuat. Kemudian, ia meneruskan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Pada umur 21 tahun, Maimun Zubair melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Kiai Maimun Zubair mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Kiai Maimun juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.
Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimun kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Kiai Maimun kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Selama hidupnya, Kiai Maimun memiliki kiprah sebagai penggerak. Ia peranh menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, beliau juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Kiai Maimun Zubair diangkat sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Politik dalam diri Kiai Maimun bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialoggkan Islam dan kebangsaan. Demikianlah, Kiai Maimun merupakan seorang faqih sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak.

Gus Mus dan Cak Nun; Panutan yang Gak Ambisi Jabatan

Gus Mus dan Cak Nun adalah dua kyai sepuh yang dikeramatkan di kalangan nahdliyyin, setara dengan almarhum Gus Dur. Gus Mus semasa muda adalah santri paling cerdas di pesantrennya. Beliau biasa tidur sewaktu rapat para santri, dan baru dibangunkan kalau ada masalah yang tidak bisa dipecahkan. Seperti lazimnya santri Ponpes Lirboyo, Gus Mus muda senang mempelajari ilmu kanuragan, sehingga rambutnya saja yang sanggup memotong adalah bapaknya sendiri (dan tentu sambil dimarah-marahi).
Cak Nun semasa muda karakternya seperti tokoh wayang Bima; terlalu jujur pada keadaan. Sewaktu masih SD, beliau menendang kaki gurunya sendiri, karena tidak terima temannya yang dimarahi melampaui batas. Sewaktu jadi santri, beliau menghajar seniornya yang kurang ajar, sehingga langsung dikeluarkan.
Baik Gus Mus atau Cak Nun, keduanya sekarang adalah juara di bidangnya masing-masing. Gus Mus meski menolak menjadi Ra'is 'Aam PBNU tetapi sejatinya selalu memposisikan sebagai pemimpin dan panutan ribuan ulama dan puluhan juta nahdliyyin. Meski demikian, beliau lebih suka dipanggil "gus" (orang yang belum pantas disebut kiyai) dan digelari budayawan.
Sedangkan untuk Cak Nun, meski beliau tidak punya gelar akademik apapun, beliau adalah rujukan kebanyakan profesor dan doktor di Tanah Air. Emha Ainun Nadjib adalah "cendekiawan paling cendekiawan" di Indonesia. Bahkan, saat genting Reformasi 1998, salah satu orang yang dimintai nasehat oleh Pak Harto dan para panglima tentara adalah Cak Nun, karena selain beliau sangat cerdas, beliau adalah manusia tanpa ambisi.
Seandainya Walisongo ada di zaman sekarang, bisa jadi beliau berdua dimasukkan dewan wali nusantara tersebut seperti halnya Gus Dur.
Semoga Gus Mus dan Cak Nun selalu dianugerahi kesehatan dan panjang umur sehingga bisa istiqamah dan ikhlas mengayomi kita semua.

Kapan Kita Qurban?

Seorang ibu datang memperhatikan hewan daganganku. Dari penampilannya sepertinya lbu tidak akan mampu membeli, saya mencoba untuk menghampiri dan menawarkan kepadanya,

“Silahkan Bu…”,

Lantas lbu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, ”kalau yang itu berapa?”.

“Yang itu sejuta setengah Bu,” jawab saya.

“Harga pasnya berapa Mas?”, tanya kembali si Ibu.

“1,3 deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah..."

“Tapi, uang saya hanya 1000, boleh...?”, pintanya.

Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya. Akhirnya saya berembug dengan teman, sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada lbu tersebut.

Saya pun mengantar hewan qurban tersebut sampai ke rumahnya, begitu tiba di rumahnya, saya merasa kaget melihat keadaan rumah lbu itu.

Rupanya lbu itu hanya tinggal bertiga, dengan lbunya dan anaknya di rumah gubug yang terlihat hampir roboh dan berlantai tanah.

Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.

Di atas dipan, tertidur seorang Nenek tua kurus.

“Mak…..bangun Mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata lbu itu pada Nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya terbangun.

“Mak, saya sudah belikan Emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya Mak….”, kata lbu itu dengan penuh kegembiraan.

Sang Nenek sangat terkaget dan nampak bahagia, sambil mengelus-elus kambing, Nenek itu berucap.

“Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau Emak mau berqurban”.

“Nih Mas, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya buruh serabutan di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang akan diniatkan buat qurban atas nama lbu saya.”, kata lbu itu.

Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa ...

“Ya Allah…, Ampunilah dosa hambaMu, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan iman-nya begitu luar biasa”.

“Pak, ini ongkos kendaraannya…”, panggil ibu itu.

”Gak usah bu, terima kasih. Ongkosnya biar buat ibu saja.", kata saya, sambil pamit.

Saya cepat pergi sebelum lbu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena bahagia, tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukanku dengan hambaNya yang begitu mulia, dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.

Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi, apalagi kekuasaan.

Kita bisa belajar keikhlasan untuk menggapai kemuliaan hidup.

Berapa banyak di antara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk bersodaqoh, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, ataupun kebutuhan sekunder lain, yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban.

Namun selalu kita bersembunyi di balik kata...
"Tidak mampu atau Tidak dianggarkan".

Semoga tahun ini, kita semua bisa berqurban, karena qurban tidak harus menunggu kaya. Aamiin.

Thursday, August 27, 2015

Ketawadluan KH. Sahal Mahfudh

Muktamar NU, di Yogyakarta, 1989. Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh dengan penampilannya yang (sangat) sederhana mau memasuki gedung acara. Beliau, seperti biasa, datang tepat waktu bahkan sebelum acara dimulai.
Sebelumnya, Banser yang menjadi penjaga gedung telah dikasih kabar kalau Kiai Sahal bakal rawuh. Dalam bayangan Banser yang sama sekali belum pernah bertemu maestro fiqh sosial itu, Kiai Sahal adalah sosok kiai yang gagah, dikawal pendereknya, dan memakai sorban melilit kepala.
Begitu Kiai Sahal rawuh dengan penampilannya yang bersahaja, Banser curiga, ini jelas tak sesuai ekspektasi dan bayangan mereka.
"Bapak siapa?"
"Saya Sahal."

Si Banser menatap lekat-lekat pria di depannya, dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Kesimpulannya, pria di depannya ini bukan Kiai Sahal Mahfudh. Wong kiai kok penampilannya nggak meyakinkan begitu.
"Oh, jadi begini pak. Mungkin bapak bisa nunggu di luar gedung dulu ya pak..." si Banser ini bermaksud mengusir Kiai Sahal dengan halus.
Di dalam gedung, panitia ketar-ketir menunggu Kiai Sahal yang nggak juga tiba. Salah seorang panitia akhirnya bertanya ke Banser apakah ada pria bernama Sahal mau masuk. "Ya, kang. Ada, tadi. Orang biasa saja. Kayaknya bukan kiai. Wong nggak pakai sorban di kepalanya gitu."
"Aduh, mati aku." sahut panitia yang langsung melesat mencari Kiai Sahal di sekitar gedung dan menemukannya duduk santai bersama penjual dawet!
"Lha wong tadi nggak boleh masuk sama Banser dan diminta nunggu di sekitar gedung, ya wis. Saya manut sama Banser." jawab Kiai Sahal sambil tersenyum.

KH. Idris Kamali; Ulama kelahiran Mekkah menantu Mbah Hasyim Asy'ari

KH. Idris Kamali
Nama lengkap beliau adalah KH Idris bin Kamali bin Abdul Jalil Asy-Syarbuni. Kakeknya, Kiai Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Saat masih muda, kakeknya pergi ke Kedondong salah satu daerah di Cirebon, dan mendirikan pondok di daerah tersebut. Kiai Abdul Jalil dikaruniai dua anak yang bernama Kiai Kamali dan Kiai Harun. 

Kiai Kamali berangkat ke Mekkah, dan mukim di tanah suci tersebut. Karena kealimannya terutama dalam bidang ilmu falak, qiroat, fiqh dan tasawuf beliau dipercaya mengajar di Masjidil Haram. Sebuah prestasi yang jarang dicapai kaum terpelajar Nusantara yang menuntut ilmu disana. Semua anaknya pun lahir di Mekkah. Salah satu diantara putranya yaitu Kiai Idris. 

Setelah kembali ke Indonesia, Kiai Idris dipondokkan di Tebuireng Jombang asuhan Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Karena kealiman dan kepandaian Kiai Idris, oleh Mbah Hasyim diambil menjadi menantu dengan dinikahkan sama putrinya yaitu Nyai Izzah. Dari pernikahan tersebut, beliau mempunyai anak satu yaitu Gus Abdul Haq. Setelah istri Kiai Idris wafat, beliau kembali ke Mekkah tahun 1973 dan kembali tahun 1981. 

Menurut KH. Said Aqil Siradj yang masih ada hubungan kerabat dengan Kiai Idris. Ibunya Kiai Said adalah sepupu Kiai Idris, yaitu Afifah binti Harun bin Abdul Jalil menceritakan bahwa Kiai Idris mempunyai kelebihan/karomah yang banya. Konon kata kebanyakan orang, terkadang beliau memberi uang hanya dengan ngronggoli (asal ambil saja). Anehnya setiap beliau mengambil pasti nominalnya pas seperti yang dikehendaki. 

Ketika di Mekkah, Said Aqil juga menyempatkan diri ikut mengaji kitab Shahih Bukhari dan Ihya’ Ulumiddin ke Kiai Idris. Di Mekkah Kiai Idris menghabiskan waktunya di Masjidil Haram setiap saat. Kiai Idris ketika di Mekkah tinggal di rumah Syaikh Khatib al-Maduri. Beliau tinggal satu rumah dengan Prof. Dr. Djamaluddin Mirri, Rektor Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Dekan Fak. Ushuluddin IAIN Surabaya. 

Banyak cerita unik tentang sosok Kiai Idris, salah satunya di Pesantren Kempek. Suatu ketika ada jin yang mengganggu suasana pondok. Semua panik, tanpa pikir panjang Said Aqil maju sambil berteriak, “Saya adukan kamu ke Mbah Idris!!!” Mendengar kata-kata saya, jin yang mengganggu itu lari dan tidak berani kembali. Ini terjadi sampai sekarang, kalau nama Kiai Idris disebut maka jin akan takut. Ayah saya, Aqil Siradj, adalah santri Kiai Idris. Ayah mengaji kepada Kiai Idris waktu nyantri di Pesantren Kempek.

Suatu ketika di saat bulan Ramadhan, Kiai Idris pergi ke Mesir hanya untuk mengkhatamkan kitab al-Umm di samping makam Imam Syafi’i. Ketika kembali ke Mekkah, beliau cerita tentang hal itu kepada saya, “Kalau bacaan saya salah, dibenarkan oleh Imam Syafi’I” tutur Kiai Said Aqil.

Kiai Idris adalah sosok yang sederhana dalam hal penampilan, beliau sama sekali tidak terlihat seperti ulama besar yang memakai sorban besar. Beliau hanya memakai imamah (sorban) biasa dan sarung. Tetapi kalau ada orang yang tahu tentang kema’rifatan Kiai Idris, jika beliau berjalan saja, maka orang pasti akan bersalaman dengan beliau meskipun tidak kenal. Banyak sekali ulama Arab, seperti ulama Mekkah, Syiria, Mesir, Palsetina, dll. yang menyalami tangan beliau padahal belum pernah ketemu.

Kiai Idris adalah kiai yang hidupnya dikhidmahkan untuk mengaji kitab, mengajar dan beribadah. Beliau telah banyak membaca berbagai kitab disiplin ilmu yang beraneka ragam. Banyak kitab beliau khatamkan berkali-kali. Saking seringnya mengkhatamkan kitab, seakan-akan beliau hafal isi kitab. Ketika ada santrinya yang membaca kitab kepada beliau, lalu bacaannya salah, maka Kiai Idris tahu kesalahannya, padahal beliau sering kali hanya menyimak bacaan santrinya tanpa melihat kitab. Kelebihan lain, beliau dapat mengetahui jika ada kitab salah cetak.

KH.Idris mempunyai kebiasaan unik, beliau senang memelihara hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, bebek dll. Kegemaran tersebut bukan untuk mencari kekayaan semata tapi digunakan untuk sedekah kepada orang lain, kadang kala beliau memberikan susu perahan sapi kepada para ustadz di lingkungan Tebuireng, bahkan ketika cucu gurunya menikah (Gus Dur), KH Idris memberikan dengan ikhlas beberapa ekor kambingnya untuk acara walimahan cucu gurunya.

Ada cerita yang berkembang dalam lingkungan masyarakat Tebuireng tentang hewan-hewan piaraan KH Idris. Umumnya masyakat percaya bahwa bila hewan-hewan piaraan KH. Idris yang memakan tanaman atau dagangan miliknya maka oleh orang tersebut akan dibiarkan saja hewan-hewan itu untuk memakannya. Dan mereka menganggap bahwa Hewan tersebut akan memberikan berkah tersendiri bagi mereka. Menurut penuturan Murid beliau, bahwa KH Idris adalah seorang wali Mastur. Allah menutup kewaliaannya dengan keilmuaanya.

Salah satu murid kesayangan beliau yang sekarang menjadi Ulama ternama di Jakarta adalah KH. Abdul Hayyie Cipete. Sewaktu menjadi santrinya, KH Abdul Hayyie yang selalu mencukur rambut beliau, bahkan KH Idris melarang Abdul Hayyie untuk pulang ke rumah dan dipenuhi semua kebutuhannya. Sungguh besar perhatian dan cinta beliau kepada murid-muridnya.

Wednesday, August 26, 2015

Bidadariku

Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim,
Aku mengawali "Bingkisan hati" buatmu, 
yang dikasihi bersama dalam satu ikatan, 
bermula episode hidup di dunia ini.

Wahai Bidadariku...

Temanilah resahku didalam keheningan malam yang syahdu.
Tenangkanlah jiwaku di saat kesunyian malam menerpaku.
Hilangkanlah sepi gelisah dan cobaan yang selalu datang menghampiri.

Jadilah pedampingku yang selalu taat kepada Allah dan rasul-rasulNya.
Jadilah sang setia yang menemani setiap hari-hari dalam mengarungi hidup.
Dengan kehadiranmu di sisiku menjadi bukti bahwa aku tidak pernah sendiri.

Dengan cinta dan ketulusanmu, kau beri harapan saat ku terjatuh.
Kau berikan cintamu semata-mata hanya untuk menggapai Ridho-Nya.
Ikatan cinta kita akan senantiasa abadi karena dasar cinta karena Allah.
Itu akan menjadi penawar racun berbisa jika kelak ujian akan datang menerpa.

Kita sepatutnya sentiasa mensucikan hati kita, karena hati adalah raja.
Jangan biarkan ia dinodai oleh titik hitam yang akan membutakan.
Jangan pula sampai kenikmatan dunia nan fana ini melalaikan kita dari-Nya.
Sadarilah “pakaian kita ketaqwaan, hiasan kita malu dan hasil kita adalah ilmu."

Engkau kini telah menjadi pelengkap dari kehidupanku.
Sekarang kau telah menjadi bagian dari hidupku.
Semuanya telah kita satukan dalam ikatan cinta suci.
Duhai bidadariku tercinta, pelengkap rusuk kiriku yang selama ini kucari.

Kau laksana bintang malam yang menghiasi langit kelam.
Bagaikan penunjuk jalan yang terang dalam kegelapan malam.
Kau laksana rembulan yang menerangi malam dengan sinarnya.
Bagaikan penerang dalam keabadian dengan sinarmu yang menawan.

Wahai Bidadariku ...
Ingatlah! Taman Firdaus, disitulah tempat destinasi cinta yang abadi.
Memandu ke arah musafir cinta kita ke Taman Syurga.
Semoga mendapat naungan di sisi yang Esa, Raja Pemilik segala rasa cinta.
Aku berdo'a dan berharap bahwa kau adalah bidadariku dunia akhirat.

Ya Allah ... 
Satukanlah hati kami dalam mencintai dan ridha atas ujian-Mu
Dengan ikatan cinta suci ini,
Satukanlah kami kembali dalam Jannah-Mu.
Bingkisan tinta ini kutujukan istimewa buat Bidadariku yang mencari kejernihan
Ridho Illahi dalam percintaan

Aamiin Yaa Rabbal 'Alamiin

Tetapkan Hati Kita dengan Al Quran

William Ewart Gladstone (1809-1898), mantan Perdana Menteri Inggris mengatakan: “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasasinya selama di dalam dada pemuda-pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka. Minuman keras dan musik lebih menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam. Oleh karena itu tanamkanlah ke dalam hati mereka rasa cinta terhadap materi dan seks.”

Kebencian Gladstones juga tercermin dalam kata-katanya: “So long as there is this book, there will be no peace in the world” (Selama ada Al-Qur’an ini, maka tidak akan ada perdamaian di dunia)

Pernyataan Gladstone sudah berlalu sangat lama, tetapi para phobia Islam melestarikannya sebagai metode efektif dan implementatif untuk menyimpangkan manusia dari jalan Allah. Mereka menggunakan media massa dan elektronik, melalui budaya, mimbar ilmu di perguruan tinggi maupun lewat seni dan buku-buku serta pidato di berbagai forum.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin (universal), yang bertujuan untuk melahirkan generasi ‘khaira ummah‘ (umat ideal) di tengah-tengah masyarakat dunia. Demikianlah informasi Al-Qur’an yang diwahyukan Allah melalui lisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Wahai kaum mukmin, kalian benar-benar umat terbaik, yang ditampilkan ke tengah manusia lainnya, supaya kalian menyuruh manusia berbuat baik, mencegah perbuatan mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya kaum Yahudi dan Nasrani mau beriman kepada Al-Qur‘an dan kenabian Muhammad, maka hal itu lebih menguntungkan mereka. Di antara kaum Yahudi dan Nasrani ada yang mau beriman. Akan tetapi sebagian besar dari mereka adalah penentang kebenaran Al-Qur‘an dan kenabian Muhammad.” (Qs. Ali ‘Imran, 3: 110)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ . قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟

“Kalian pasti akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian pun pasti akan memasukinya.” Kami (sahabat) bertanya: “Apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika Universitas Oxford dan Cambridge (Inggris) Pun ‘Meniru’ Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Ketika Universitas Oxford dan Cambridge (Inggris) Pun ‘Meniru’ Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Oleh: Cak Shon
“… pesantren itu selama ini disebut pendidikan tradisional, iku kurang ajar tenan. Terus sing tradisional ki dianggep luweh rendah timbangane sekolah modern. Aku kepengen ngomong, eh tak kandani yo, pesantren itu mulai ditiru wong sak donyo saiki. Besok sak donyo ki pesantren kabeh ” – Cak Nun
” … I realise that in fact, Oxford University its self is a pondok” Dr Afifi Al-Akiti (Dosen Studi Islam, Universitas Oxford, Inggris; Alumni Pondok Pesantren Kencong Jember Jawa Timur)
Ketika banyak orang dengan bangga mengatakan ‘saya alumni ITB, ITS, UI, UGM, UB’ atau ‘saya alumni kampus luar negeri’, entah mengapa, meskipun saya alumni salah satu kampus tersebut, saya jauh lebih bangga mengatakan ‘saya alumni pondok pesantren’. Buat saya, pesantrenlah yang telah banyak mendefinisikan bagaimana saya memandang dan menjalani hidup dan kehidupan ini. Buat saya, pesantren bukanlah sekedar sekolah biasa. Buat saya, mondok di pesantren adalah masuk kawah candra dimuka sekolah kehidupan. Dari bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, saya temukan nilai-nilai kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup hingga saat ini. Dari wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kiai itulah, saya temukan inspirasi hidup bak lentera yang tak pernah padam di dalam jiwa. Dari do’a-do’a tulus para ustad, ustadzah, pak yai, dan bu nyai itulah, saya rasakan kebarokahan hidup hingga saat ini.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan universitas tak ubahnya seperti pabrik-pabrik yang memproduksi produk masal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan sisi-sisi kemanusianya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritual nya. Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standard kebutuhan industri-industri pengeruk keuntungan materialistis. Manusia-manusia yang pada akhirnya menuhankan makhluk bernama Uang. Sehingga rela menyerahkan apapun, termasuk kehormatan dan harga dirinya hanya untuk Uang. Argh, sungguh, pendidikan sudah kehilangan ruh pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia. Disitulah, saya merasa orang paling beruntung di dunia, karena pernah mondok di pesantren.
Kebanggan saya akan pesantren makin bertambah, justru ketika saya mengenyam pendidikan di Inggris. Betapa kagetnya saya ketika saya tahu ainul yaqin bahwa ternyata dua kampus terbaik di Inggris, dan terbaik di dunia, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge ternyata sistem pendidikanya sama persis dengan sistem pendidikan di pesantren. Memasuki kompleks dua kampus ini tak ubahnya memasuki kompleks pesantren, kebetulan saya pernah berkesempatan nyantri kilat, sekolah musim panas selama seminggu di Universitas Cambridge dan pernah berkunjung di Universitas Oxford. Jangan kira, sampean akan menemukan tulisan besar University of Cambridge atau University of Oxford seperti kampus-kampus di Indonesia. Di komplek dua kampus ini, sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor yang paling berpengaruh di college tersebut. Yang tak jauh bedanya dengan asrama santri dengan masjid, tempat mengaji, pemondokan, kantin yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Semula saya pikir saya adalah satu-satunya yang mengklaim kesamaan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan di OxBridge (Oxford dan Cambridge). Hingga suatu ketika, saya bertemu dengan seorang teman, mahasiswa Malaysia di Universitas Korowin (Universitas Tertua di Dunia), Maroko, pada suatu kesempatan di Den Haag, Belanda. Saya terkejut ketika dia yang alumni pesantren di Kediri, Jawa timur dan sering berkunjung ke Oxford, dimana salah seorang pamanya mengajar islamic studies disana, berkata: ‘ yah sistem pendidikan Oxford dan Cambridge itu ya sama persis dengan sistem pendidikan pesantren’. Rupa-rupanya, tanpa janjian, we shared the same opinion.
Kadang kita memang sering merasa inferior melihat punya orang lain, padahal kita telah memiliki sesuatu yang lebih baik. Kata pepatah Jawa, golek uceng kelangan delek. Kejadian serupa, ketika berada di stasiun kereta Api Rotterdam Central, Belanda, saya tidak sengaja bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar seni musik di salah satu kampus di Rotterdam. Seorang kawan tadi bilang: ” Waduh mas, tahu ndak Gamelan itu diakui dunia sebagai alat musik paling intuitive di dunia, karenanya gamelan adalah ‘mainan’ baru yang sangat menarik bagi para ilmuwan seni musik, ketika mereka sudah mencapai titik jenuh, stagnansi dengan seni musik modern barat.
Argh, ternyata benar seperti yang dibilang Cak Nun, ternyata pesantren adalah sistem pendidikan asli Indonesia yang luar biasa. Sistem pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya. Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Sama halnya, gamelan yang dianggap tradisional dan terpinggirkan di negeri sendiri. Padahal, di seluruh dunia orang-orang berbondong-bondong belajar musik gamelan. Entahlah. Terkadang saya susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan bangga dengan milik kita sendiri, bangga mewarisi kearifan para leluhur kita. Sudah saatnya kita berhenti menjadi bebek yang selalu ikut kemana arus dunia berjalan. Karenanya, untuk adik-adik muda, dan para orang tua yang tak ingin sekedar pemuja rupa dan angka, cukup hanya dua kata: Ayo Mondok ! (cakshon.com)

Islam Nusantara Menurut Perspektif Prof. Dr. Habib Abdullah Bin Muhammad Baharun

Islam Nusantara Menurut Perspektif Prof. Dr. Habib Abdullah Bin Muhammad Baharun (Rektor Univ. Al-Ahqaff, Hadhramaut, Republik Yaman)
Oleh Abdul Aziz Jazuli
Pada hari Senin 17 Agustus 2015, Alhamdulillah guru kita yang mulia Al-Habib Abdullah bin Muhammad Baharun akhirnya sampai di pondok Mambaus Sholihin, Suci, Gresik. Walaupun pertemuan dengan beliau tidak terlalu lama akan tetapi hal itu cukup menghibur; karena sudah lama tidak berjumpa dengan beliau.
Dan Alhamdulillah di dalam pertemuan yang sebentar itu kita dapat menimba ilmu dari beliau. Mulai dari birrul masyayikh (pada pertemuan pertama) ; karena beliau melihat murid-murid serta alumnus Universitas Al-Ahqoff berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau, walaupun rumah secara rata-rata tergolong jauh dari Gresik, tempat beliau beristirahat.
Kemudian pertemuan untuk keduanya dilaksanakan pada keesokan harinya, Selasa 18 Agustus 2015, sekitar jam 9.30 WIB.
Dan pada pertemuan itu, saya sempat menyodorkan pertanyaan kepada beliau. Dan kurang lebih yang saya tanyakan adalah demikian:

يا سيدي، ما وجهة نظركم عن إسلام نوسانتارا، هل فيه تفريق للأمة الإسلامية أو توحيدها ؟؟
"Ya habib, apa pandangan jenengan tentang Islam Nusantara, apakah di dalamnya terdapat perpecahan umat Islam atau sebaliknya ??"
Beliau tentu saja sudah mendengar istilah ini, karena memang sebelumnya ada teman-teman yang bertanya kepada beliau dan tentunya beliau itu tidak telat Info; karena beliau memiliki perhatian khusus serta wawasan luas tentang Islam di Indonesia. Segala pemikiran-pemikiran di Indonesia, beliau mengetahuinya.
Sebenarnya beliau menjawab pertanyaan saya dengan panjang lebar. Tapi sayang, tidak semuanya saya ingat. Dan yang akan saya tulis, hanya yang tersisa di memori saya, dan mungkin pengutipannya dengan makna saja (tanpa merubah pendangan global beliau). Dan tak lupa akan saya cantumkan jawaban beliau terkait masalah ini. Yang saya ambil dari chat beliau dengan Habib Abdurrahman al-Musawa, alumnus Univ. Al-Ahqaaf, dan akan saya tuangkan dalam tulisan yang ke dua.

Jawaban beliau kurang lebih demian –kutipan ini tidak secara harfiyah tapi semakna dengan yang beliau sampaikan-:
هذه الفكرة سمعت عنها قبل فترة، وأنّها تختلف باختلاف المفسرين. منهم من يفسرّها بأنّها الإسلام الذي جاء به الأولياء التسعة، وهو الذي يتناسب مع عادات أهل جاوة وأعرافهم، لا توجد فيه قسوة ولا جفاء ولا غلظة. بل فيه لين ورفق يمكن أن يتأقلموا معهم ويرفقوا بهم حتّى أسلموا تحت أيديهم عموما في فترة وجيزة متمسكين بمذهب الشافعي وعقيدة الأشعرية وطريقة الصوفية. لا يوجد فيه إكراه ولا تكفير ولا شدة ولا غلظة، بل بعكس ذلك كله. وقد تلَّقَوه هكذا سلفا عن سلف خلفا عن خلف. وهو الذي قام به العلماء الإندونسيون المتأخرون كأمثال الشيخ هاشم أشعري والشيخ بشري شنشوري والشيخ خليل بنكالان.
"Pemikiran ini sudah saya dengar sebelumnya, dan pemikiran ini berbeda dengan berbedanya sudut pandang yang digunakan. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan islam yang dibawa oleh wali singo, yaitu yang sesuai dengan adat-istiadat orang Jawa (maksudnya Indonesia secara umum; karena penggunaan lafal jawa digunakan untuk jawa dan sekitarnya/Nusantara). Tidak ada kekerasan, dan sikap kaku. Justru mereka menggunakan metode dakwah dengan kelembutan dan toleransi. Sehingga dimungkinkan untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan adat sekitar. Sehingga, dalam masa yang pendek, penduduk Jawa (Indonesia) mudah untuk menerimanya dan pada akhirnya mayoritas penduduk Indonesia masuk Islam tanpa ada keterpaksaan sedikitpun. Madzhab fiqh yang mereka anut adalah madzhab Syafii dan akidah Asyariyyah, serta thoriqoh Shufiyyah. Tak ada nilai-nilai kekerasan sedikitpun, justru sebaliknya. Seperti inilah yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Diantara beberapa ulama Nusantara yang mengembangkan pemikiran seperti ini ialah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Bisyri Syamsuri , KH. Kholil Bangkalan dan lain sebagainya".
فإذا فسّر إسلام نوسنتارا بهذا التفسير، فهذا قُوَيْس لا إشكال فيه، ونحن موافقون مع هذه الفكرة؛ لأنّ هذا هو الواقع الذي وجدناه مسطورا في كتب سير السلف الصالحين. ومعلوم أنّ دعوة أهل حضموت أنظف الدعوات، لا فيها قصد جمع المال ولا فيها قصد الاستعمار ولا فيها تأثير العوائد الفاسدة ولا فيها إكراه الآخرين للدخول إلى الإسلام. لو نظرنا إلى دعوة الهولانديين، فقد استعمروا إندونسيا في مدة 350 سنة، ولكن ماذا تركوا ؟؟ ما تركوا شيئا، لا اللغة تركوا ولا اللباس ولا المدارس ولا النهوض إلى التقدّم، بل بعكس ذلك كله؛ فإنّهم أخذوا كل شيء ثروات وأموال البلاد وأضف إلى ذلك الكتب والمخطوطات التي كتبها أعيان أندونسيا وعلماؤها ما تركوها إلّا نزرا يسيرا، فهم لا يزوّجون ولا يتزّوجون مع أهل البلد، وإذا تزوّج أحدهم مع أهل البلد طردوه من قبيلتهم، ويرفضونه رفضا باتا. ومع ذلك فإنّ هولنديين لا يتأقلمون مع أهل جاوة بل استخفوا بهم، ويعتبرون كالبهائم التي تقاد لقضاء حوائجهم اليومية ولا يحترمونهم كالإنسان وشاهد ذلك هو الواقع. وأمّا علماء حضرموت بعكس ذلك تماما، فإنّهم تزوّجوا مع أهل البلد ويزوّجون فيما بينهم. فإنّي وجدت أهلي –من قبيلة جمال الليل- كم وكم وجدت أبناءهم سودا؛ لأنّ جدّهم يدعو ويتزوّج بأفريقية عندما كانوا يعملون الدعوة بها، ووجدتهم بيض اللون؛ لأنّهم دعوا وتزوّجوا بالأتراك، وكذلك وجدت فيهم ممن وجوههم لم تكن فيها ملامح عربية أصلا؛ لأنّهم كانوا يدعون ويتزوّجون مع أهل جاوة أو أهل الصين. لم كان هذا ؟؟ لأنّهم استطاعوا أن يتأقلموا معهم ويدخلون في أعرافهم ولغاتهم ويندرجون في عوائدهم، ولا يكلفون أنفسهم أن تتأثروا بدعوات أهل حضرموت، بل أهل حضرموت تتأثّر بعوائد وأعرافهم. لم كان ذلك ؟؟ لتكون الدعوة أقرب إلى القبول والاستجابة. وكانت بعض اللغات التي يتكلم بها أهل حضرموت اندرجت في لغات أهل جاوة، وينشرون الآداب والأخلاق وكيفية احترام الآخرين. فهذا ميزة من مزايا دعوات أهل حضرموت، وخاصة الأولياء التسعة فإنّ أصولهم حضارم لا الهنود ولا الصين.
"Jika Islam Nusantara ditafsirkan dengan penafsiran tersebut, maka oke tak ada yang dipermasalahkan. Kita setuju dengan pemikiran tersebut; karena seperti inilah yang kita temui di buku-buku sejarah ulama-ulama salaf sholih. Dan perlu diketahui bahwa dakwah tokoh-tokoh Hadramaut adalah dakwah yang bersih. Tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta, apalagi menginginkan kekuasaan dan menjajah, apalagi mempengaruhi mereka dengan menyebarkan adat-adat yang tidak beres, tidak memaksa yang lain untuk masuk Islam.
Coba kita lihat, dakwah (baca : ekspansi) Belanda. Mereka telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Apa yang mereka tinggalkan ?? mereka tak meninggalkan apapun, tidak meninggalkan bahasa, pakaian, sekolah-sekolah ataupun memberikan kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Justru sebaliknya, mereka mengambil segalanya dari Indonesia, dari kekayaan dan harta Indonesia. Ditambah lagi dengan merampas buku-buku serta manuskrip-manuskrip yang telah ditulis oleh tokoh-tokoh Indonesia. Mereka tidak mau kawin atau mengawinkan dengan penduduk pribumi. Jika salah satu dari mereka ada yang kawin dengan penduduk pribumi mereka tidak segan-segan mengusir dari kalangan mereka dan menolak mereka dengan keras. Tidak mungkin bagi mereka untuk menerima dan berbaur dengan kehidupan orang Indonesia, tapi mereka hanya menganggap mereka hanya sebagai binatang yang ditunggangi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, tidak memandang mereka sebagai manusia. Dan bukti nyatanya ialah realita.
Jika kalangan tokoh Hadromaut, berbalik 180 derajat; karena mereka menikah dan menikahkan dengan pribumi. Saya sendiri (al-habib) menemui keluarganya (dari kabilah Jamalullail), berapa banyak dari mereka yang berkulit hitam; karena kakek-kakek mereka berdakwah dan menikah dengan penduduk Afrika. Dan aku temukan yang lainnya berkulit putih; karena mereka dakwah dan menikah dengan orang-orang Turki. Begitu pula sebagian yang lain wajahnya sama sekali tidak mirip dengan orang arab; karena mereka berdakwah dan menikah dengan orang Indonesia. Kenapa bisa demikian ?? karena mereka bisa berbias dengan orang Indonesia dan bisa memasuki adat-istidat mereka, mereka tidak memaksakan diri mereka untuk memasukkan adat-istiadat Hadramaut ke dalam lingkup Nusantara. Justru sebaliknya, mereka lah yang berbaur dengan adat istiadat Nusantara. Kenapa demikian ?? karena dengan itulah lebih bisa diterima. Terkadang sebagian bahasa Indonesia terpengaruh dengan bahasa Arab. Mereka menyebarkan adab, dan sopan santun dan bagaimana menghormati orang lain. dan inilah salah satu karakteristik dari dakwah-dakwah tokoh Hadramaut di Indonesia. Terlebih dengan wali songo, yang notabene leluhur mereka adalah dari asli Hadramaut bukan dari India ataupun Cina".
لكن إذا قام السياسيون بتفسير إسلام نوسانتارا، فشيء آخر، وله حالة أخرى. فإنّهم حاولوا تغيير مفهوم معناه للوصول إلى أغراضهم. خذ من ذلك مثالا: فإنّ إسلام نوسانتارا قام بالتسامح مع الأديان الأخرى فيجوز من المسلم أن يتزوج من البوذية ويجوز للبوذي أن يتزوّج بالمسلمة، وعلى ذلك فقس. فإن كان قولهم كالذي ضربنا مثاله، فنحن قطعا لا نوافقه؛ لأنّهم جعلوا إسلام نوسانتارا حصنا يلجؤون إليه لتحقيق أغراضهم الفاسدة والحصول على مرامهم الكاسدة وحائطًا يتسترون به عن عيوبهم. لأنّ منهم من يقوم مقام هذا الأخير. فإذا اعترض علينا هذه الطائفة الأخيرة، فنقول لهم -كما في قصة أحد العلماء (لو لم تخن الذاكرة أنّ صاحب القصة هو الجاحظ) في معرض الردّ على اليهودي أو النصاري في عدم قبول المسلمين لدين اليهود والمسيحي (ثمّ ذكر قصّته)-: إن كان تفسيرك لإسلام نوسانتارا كما فسّره الأولياء التسعة والشيخ هاشم أشعري وغيرهم من علماء إندونسيا عقيدةً وفقهًا وطريقةً فنحن قبلناه، وإن لم يكن كما فسّروه فنحن قطع بردّ تفسيركم لإسلام نوسانتارا.
"Namun jika para politisi memolitisir penafsiran Islam Nusantara maka itu adalah hal lain, dan memiliki keadaan yang lain. karena mereka berusaha merubah makna Islam Nusantara dari makna aslinya. Ambillah sebagian contoh seperti perkataan mereka: Islam Nusantara mengembangkan sikap toleransi beragama dengan agama-agama lain, yang dengan demikian boleh seorang muslim menikah dengan yang beragama budha, atau seorang wanita muslimah boleh menikah dengan pengikut agama budha (atas dasar Islam Nusantara), dan hal ini bisa dikiaskan dengan yang lainnya.
Jika mereka berpendapat dengan pendapat yang seperti ini atau mendekatinya, maka secara pasti kita menolaknya; karena mereka menjadikan Islam Nusantara sebagai tameng yang memberi perlindungan kepada pemikiran-pemikiran nyleneh mereka dan mendapat semua tujuan-tujuan mereka. Dan menjadikannya sebagai tembok yang menjadi tempat persembunyian mereka di belakangnya. Karena memang ada orang yang seperti ini. Jika mereka menyangkal kepada kita terkait penafsiran diatas (yang pertama versi ulama ahlussunnah). Maka kita katakan kepada mereka –seperti salah satu kisah ulama, kalau gak salah namanya Al-Jahidh ketika berduskusi dengan orang yahudi atau nashroni ketika melihat orang-orang muslim tidak menerima ajaran Yahudi dan Nashroni-: jika penafsiranmu atas Islam Nusantara sebagaimana penafsiran wali songo dan KH Hasyim Asyari atau yang lainnya dari kalangan ulama Indonesia masa itu baik dari segi akidah, fiqh ataupun thoriqoh maka kami pasti menerimanya. Jika tidak maka sama sekali kami menolak mentah-mentah penafsiranmu.
فلهذا يا أولادي، لا تغتروا بالمسميات، بل انظر إلى حقائقها فإن كان موافقا للشرع فاقبلوه وإلّا فردّوه.
والحاصل أنّ في إسلام نوسانتارا إيجابيات وسلبيات، والشيء الإيجابي هو لنعلم ونعرف أنّ الإسلام في إندونسيا هو الإسلام الذي ينبغي أن يقلده المسلمون في بقية البلدان لما فيه من لطف الأخلاق وجمال الأسلوب وتطبيق حقيقة الإسلام، ولكن لا نحجر الباقين أنّ فيهم كذلك إلّا أنّ في إندونسيا زيادة على غيرها، ولغيرها زيادة على إندونسيا. فنحن نعتقد أنّ في حضرموت عوائد حسنة لم تكن في إندونسيا، وفيها كذلك عوائد حسنة لم تكن في حضرموت، فقس على سائر البلدان الإسلامية. فكلّ أحد منهم يأخذ الأشياء الحسنة من الآخرين بعضهم البعض؛ لأنّ المسلمون بعضهم البعض كالبنيان يشدّ بعضهم البعض. فينبغي لكل المسلمين أن يقوم بهذا، ولا يسعى في تفريق الأمة الإسلامية. وكنت قبل خمس سنوات من الآن أنوي أن أعمل دورة علمية حول الإسلام في إندونسيا مع العلماء في ندونسيا، وهذه الفكرة غير بعيدة عن فكرة إسلام نوسانتارا إن لم تكن عينها وينبغي للإندونسيين أن ينشروا هذه الدعوة للمسلمين في البلدان، ولكن شاءت الأقدار أن تفعل ما تريد.
والشيء السلبي ممن قبل هذه الفكرة، هو أنّ منهم من قام بالموازنة بين إسلام نوسانتارا وإسلام أفريقيا وإسلام أمريكا والإسلام في البلدان الأخرى، ثمّ يسعى في الاستكبار على الآخرين فهذا خطأ؛ لأنّه كما قلنا: المسلمون يشدّ بعضهم بعضا، فإذا أخطأ أحدهم ينبغي أن يصوّبه آخرون. ولا يجوز أن يستخفّ بهم لا سيّما يستكبر عليهم ويدّعي أنّه هو الوحيد صاحب الحق الذي لا يشاركه غيره ويدّعي أنّ الآخرين هم أصحاب الأخطاء فينبغي أن يقلّدهم في كل الأمور حتى فيما تتعلق بالعوائد والأعراف. فهذا خطأ قطعا؛ فإنّ هذا من الاستكبار والتكبر الذي نهانا الله تعالى عنه.

"Oleh karenanya wahai anak-anakku, jangan terkecoh dengan nama-nama, tapi lihatlah hakikat dan isinya. Jika sesuai dengan ajaran syariat maka terimalah, kalo tidak maka tolaklah.
Inti dari permasalahan ini bahwa Islam Nusantara memiliki nilai positif dan negatif.

Hal yang positif ialah agar kita ketahui bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang selayaknya harus diikuti dan ditiru oleh para muslim di Negara-negara lain; karena di dalamnya mengandung akhlak-akhlak yang lemah lembut, ungkapan yang indah, dan terdapat penerapan syariah yang sempurna. Tetapi kita tidak menutup-nutupi bahwa muslimin di Negara-negara lainnya juga demikian. Hanya saja di Indonesia memiliki nilai plus, begitu pula dengan yang lain, mereka juga memiliki nilai lebih. Kita yakin dan tau bahwa di Hadromaut terdapat adat-istiadat yang positif yang tidak ada di Indonesia. Begitu pula dengan sebaliknya, dan hal ini bisa dikiaskan kepada Negara-negara lain.
Maka sebaiknya, setiap muslim mengambil hal-hal yang positif dari Negara muslim yang lain; karena muslim satu dengan yang lainnya seperti bangungan kokoh yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Jangan sampai memecah persatuan Umat Islam di dunia. Ini adalah nilai positifnya.
Lima tahun sebelumnya saya memiliki proyek untuk membuat dauroh dengan kajian Islam di Indonesia dengan para kyai dan ulama di Indonesia, dan seharusnya mereka sebarkan dakwah ini ke negara-negara lainnya. Tapi kehendak-kehandak Allah memiliki kehendak lain.
Sementara sisi negatifnya ialah diantara mereka ada yang membanding-bandingkan bahwa Islam Nusantara itu lebih baik dari Islam Afrika, Amerika, dan Islam di Negara-negara lainnya. Kemudian berusaha unjuk gigi dengan merasa paling benar, dan ini merupakan sikap yang pasti salahnya; karena sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa para muslimun menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu dari mereka ada yang bersikap salah, benarin dong !!. Jangan sampai hanya menyalah-nyalahkan apalagi dengan merasa paling benar dan mengaku-ngaku hanya dirinyalah yang memiliki tongkat kebenaran, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat, dan inilah yang termasuk dalam kategori sombong yang telah Allah swt larang".
وقد يحكمون على شيء في البلاد العربية، والإسلامُ براءٌ منه، كالتكفير وقتل المسلمين بغير سبب مقبول ومعتبر عند الشرع الذي طالما وجدناه في الأخبار كأمثال (داعش، ISIS)، فهذا لا ينسب إلى شيء من الإسلام، فكيف يحكمون أنّ هذا إسلام العرب أو ما يسمّون بإسلام الشرق الأوسط؛ و(الشرق الأوسط) صار اصطلاحا مشهورا فيما بين المسلمين؛ فإنّ هذا الاصطلاح في الأصل استعمله الغربيون من أهل أوربا فإنّ الجزيرة العربية جغرافيًا تقع في الشرق الأوسط بالنسبة لمن في الأوربا الغربية لا لغيرهم كإندونسيا مثلا، لكن صار هذا مصطلاحا شائعا فيما بين الناس.
في النهاية أنّ هذا الاصطلاح –أي إسلام نوسانتارا- يجوز أن يستخدم ولكن على التفسير الذي ذكرنا، سوى ما فسّره السياسيون؛ فإنّ هذا الثاني مرفوض قطعا وإنّها تفسير بالهوى والأغراض. فكل شيء لا سيّما مثل هذه الأسماء نعرضه على كتاب الله وسنة رسول الله، فإن وجدناه موافقا لما فيهما فبها ونعمت، وإلّا فاحكم ببطلانه، ولا تغترّوا بالمسميات وانظروا إلى الحقائق.

"Terkadang mereka memvonis atas sesuatu yang terjadi di Negara-negara Arab dan menganggapnya sebagai bagian dari Islam, padahal sama sekali tidak termasuk dalam Islam sedikitpun, seperti fenomena takfir, membunuh para muslimin tanpa ada sebab yang diterima dan diakui oleh syariat yang sering kita temui di medsos, seperti ISIS.
Hal yang seperti ini sama sekali tidak bisa dimasukkan ke dalam ranah Islam. Bagaimana mereka bisa menilai bahwa ini adalah Islam versi Arab atau Timur tengah. Bahkan timur tengah sendiri sudah menjadi istilah yang popular di kalangan muslimin; karena istilah ini asal mulanya digunakan oleh Eropa Barat; karena letak goegrafi semenanjung Arab berada di timur tengah Eropa Barat, bukan untuk yang lainnya seperti Indonesia. Tapi sudah menjadi istilah yang popular mau bagaimana lagi ?.
Ujung-ujungnya, istilah ini (Islam Nusantara) bisa digunakan, tapi dengan penafsiran pertama yang telah disebutkan. Bukan dengan penafsiran yang dipelintir oleh politisi; karena yang demikian ini ditolak mentah-mentah dan merupakan penafsiran orang-orang berkepentingan.
Maka, semua hal terutama hal-hal yang di atas, harus kita nilai dengan pandangan syariat. Jika sesuai dengan isi kitab dan sunnah rasul maka betapa indahnya hal itu, jika tidak tinggal kita buang aja, jangan sampai kita tertipu dengan yang beginian, dan lihatlah inti dan isi dari hal-hal yang baru tersebut".
***
Inilah yang dapat saya tuliskan setelah memeras otak sampai habis isinya; karena waktu itu tidak bawa buku catatan atau merekam pengajian beliau dan sudah lewat dua hari dari muhadhoroh itu. Tetapi sebagai mana dalam pepatah arab yang berbunyi: "maa laa yudrok kulluh laa yutrok kulluh (suatu hal yang tidak bisa diambil semuanya, tidak bisa ditinggalkan semuanya)" yakni sebagian harus ada yang diambil. Terlebih ketika beliau dawuh waktu itu setelah muhadhoroh: "kamu jangan bergantung pada rekaman-rekaman seperti ini, tapi ukirlah di dalam hati-hati kalian. Karena yang demikian itu pengaruhnya lebih besar dari yang lain dan lebih langgeng". Semoga kita semua termasuk golongan yang beliau sebutkan. Amiin.

Sumber: Abdul Aziz Jazuli, Lc (Mahasiswa Dirosah 'Ulya, Universitas Al-Ahqaff Yaman) via Muslimoderat.com