Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Showing posts with label Syariah. Show all posts
Showing posts with label Syariah. Show all posts

Wednesday, February 24, 2016

Shalat Tepat Waktu Berefek Pada Kesuksesan


FM - Fiqh Menjawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan akan utamanya shalat di awal waktu. Dalam hadis riwayat Abu Daud:
عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ فِى أَوَّلِ وَقْتِهَا »

Dari Ummu Farwah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amalan apakah yang paling afdhol. Beliau pun menjawab, “Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud no. 426) Dalam hadis riwayat dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu juga disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: " سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat tepatpada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah”. (HR. Bukhori) Menyegerakan pelaksanaan di awal waktu merupakan pengamalan dari firman Allah ta’ala:
حَافِظُواْ عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah shalat-shalat kalian” (QS. Al-Baqarah : 238). Salah satu bentuk pemeliharaan shalat-shalat kita adalah dengan menyegerakannya, karena hal itu akan menjadikan seseorang aman dari kehilangan waktunya akibat lupa atau kesibukan. At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالْوَقْتُ الْأَوَّلُ مِنَ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ، وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ أَوَّلِ الْوَقْتِ عَلَى آخِرِهِ اخْتِيَارُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، فَلَمْ يَكُونُوا يَخْتَارُونَ إِلَّا مَا هُوَ أَفْضَلُ وَلَمْ يَكُونُوا يَدَعُونَ الْفَضْلَ، وَكَانُوا يُصَلُّونَ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ. قَالَ: حَدَّثَنَا بِذَلِكَ أَبُو الْوَلِيدِ الْمَكِّيُّ، عَنْ الشَّافِعِيّ

“Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Shalat di awal waktu adalah afdlal (lebih utama). Dan yang menunjukkan keutamaan shalat di awal waktu dari yang akhir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar telah memilihnya (mengerjakan di awal waktu). Dan tidaklah mereka memilih sesuatu kecuali ia mesti lebih utama. Mereka tidak pernah meninggalkan yang utama, dan mereka selalu melaksanakan shalat di awal waktu’. At-Tirmidziy berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid Al-Makkiy hal tersebut dari Asy-Syaafi’iy". (Sunan At-Tirmidziy, 1/216). Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قَوْله ( الصَّلَاة عَلَى وَقْتِهَا ) قَالَ اِبْن بَطَّال فِيهِ أَنَّ الْبِدَارَ إِلَى الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ أَوْقَاتِهَا أَفْضَل مِنْ التَّرَاخِي فِيهَا ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا شَرَطَ فِيهَا أَنْ تَكُونَ أَحَبّ الْأَعْمَالِ إِذَا أُقِيمَتْ لِوَقْتِهَا الْمُسْتَحَبِّ

“Sabda beliau ‘shalat pada waktunya’; Ibnu Baththaal berkata tentangnya bahwa mempercepat pelaksanaan shalat di awal waktunya lebih utama daripada mengulur-ulurnya. Hal itu dikarenakan bahwa dipersyaratkannya shalat menjadi amal yang paling dicintai apabila dikerjakan pada waktu yang mustahab” (Fathul-Baariy, 2/9). Dalam Fathul Muin disebutkan keutaman shalat tepat waktu dengan pengaruh kesuksesan bagi seseorang. Yang sudah terbiasa disiplin dalam shalatnya akan berefek disiplin dan teratur dalam segala urusannya.
من تعود على تأخير الصلاة رجل او إمراة ، فليتهيأ للتأخير في كُل أمور حياته! زواج ، وظيفة ، ذُرية ، عافية ، تكملة ، توفيق. قالُ الحَسنُ البَصري: إذَا هَانَت عَليكَ صَلاتك فَمَا الذي يَعزُ عَليـكْ ؟ بقدر ماتتعدل صلاتك تتعدل حياتك . ألم تعلم أن الصلاة اقترنت بالفـلاح “حي على الصلاة حي على الفلاح” فكيف تطلب من الله التوفيق وأنت لحقه غير مجيب اللهم اجعلنا ممن يقيم الصلاة في وقتها

Barangsiapa terbiasa mengakhirkan shalat baik laki-laki maupun perempuan, maka bersiaplah ia terlambat dalam segala urusan kehidupannya!! Nikah, pekerjaan, keturunan, kesehatan, kemapanan, petunjuk. Imam Hasan Al Bashri berkata: Jika shalat saja merupakan hal sepeleh bagimu, maka adakah urusan yang penting menurutmu? Seperti apa engkau merubah shalatmu, seperti itulah engkau merubah hidupmu. Tidakkah engkau tahu bahwa shalat itu bergandengan dengan kesuksesan. "Marilah dirikanlah shalat, marilah meraih kesuksesan." Bagaimana mungkin engkau minta kesuksesan kepada Allah, sedangkan kamu tidak tunaikan hakNya." Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang mendirikan shalat tepat pada waktunya. Aamiin Ya Robbal Aalamiin.

Tuesday, February 23, 2016

Habib Umar bin Hafizh; Tips Shalat Khusyu'


Tips agar shalat kita bisa khusyu’ berikut ada 6 poin. Disampaikan langsung oleh Al Habib Umar bin Hafizh, yang diriwayatkan oleh Al Habib Abdul Kadir Al Hamid.

Seseorang bertanya pada Sayyidil Habib Umar bin Hafidz, “Bagaimana agar kita bisa khusyu’ didalam sholat?”

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz menjawab, ”Seseorang di katakan khusyu’ jika memenuhi 6 kriteria, yaitu:

1. (Hudurul Qolb) Hadirnya hati. hadirnya hati harus di latih terus-menerus, bila hati kemana-mana paksa untuk kembali lagi, Insya Allah, hati akan terbiasa hudhur.

2. (Tafahhumul Ma’ani) Memahami arti atas apa yang kita katakan dan kita sedang lakukan.

3. (Al ijlal watta’dzhim ) Adanya rasa mengagungkan dan memulyakan kepada Allah SWT. Terkadang kita hadir hati, mengetahui arti, tapi tanpa pengagungan hal ini seperti seseorang yang memahami perkataan anak kecil yaitu tidak terlalu menghiraukannya.

4. (Al ijlal watta’dzhim ma’al Haibah) Hendaknya rasa memulyakan dan pengagungan tadi di iringi dengan rasa haibah (kewibawaan). Haibah: Rasa takut yang timbul karena rasa mengagungkan. Takut sholat kita tidak di terima oleh Allah.

5. (Ar-Roja’) Kuatnya harapan bahwa sholat kita di terima oleh Allah juga menjadi sebab dekatnya kita pada Allah serta mengharapkan mendapat balasan yang agung.

6. (Haya’) Adanya rasa malu bahwasannya kita tidak menunaikan hak Allah dengan semestinya.

Kemudian Habib Umar mengatakan, “Jika enam kriteria ini terdapat padamu, maka shalatmu bisa di katakan shalat yang khusyu’.”

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita sehingga bisa mengamalkan tips yang diberikan beliau. Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang khusyu’ dalam sholat. Aamiin.
Wallahu a’lam.

Saturday, February 20, 2016

Batasan Sabar


Di antara sifat yang paling mulia dan utama adalah sabar. Keutamaan sifat ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan penjelasan para ulama. Menurut Al-Ghazali, setidaknya ada sekitar tujuh puluh lebih keterangan Al-Qur’an terkait sifat keutamaan sabar, anjuran sabar, dan ganjaran yang akan diperoleh orang yang senantiasa menjaga kesabaran.

Saking mulianya tabiat ini, tak heran bila kesabaran selalu diidentikkan dengan keimanan. Seperti yang dikatakan Sahabat Ali bin Abi Thalib RA, “Ketahuilah bahwa kaitan antara kesabaran dan keimanan adalah ibarat kepala dan tubuh. Jika kepala manusia sudah tidak ada, secara langsung tubuhnya juga tidak akan berfungsi. Demikian pula dengan kesabaran. Apabila kesabaran sudah hilang, keimanan pun akan hilang.”

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa kesabaran memiliki berbagai macam hukum. Tidak semua bentuk kesabaran yang dianggap baik dan mulia. Ada beberapa bentuk kesabaran yang malah dinilai tidak baik dan kurang tepat. Kesabaran pun sebenarnya harus tahu tempatnya supaya tidak terjebak pada kesabaran yang diharamkan. Al-Ghazali mengatakan sebagai berikut.

واعلم أن الصبر أيضاً ينقسم باعتبار حكمه إلى فرض ونفل ومكروه ومحرم فالصبر عن المحظورات فرض وعلى المكاره نفل والصبر على الأذى المحظور محظور كمن تقطع يده أو يد ولده وهو يصبر عليه ساكتا وكمن يقصد حريمه بشهوة محظورة فتهيج غيرته فيصبر عن اظهاره الغيرة ويسكت على ما يجري على أهله فهذا الصبر محرم 

Artinya, “Sabar dapat dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan hukumnya: sabar wajib, sunah, makruh, dan haram. Sabar dalam menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang syariat adalah wajib. Sementara menahan diri dari yang makruh merupakan sabar sunah. Sedangkan menahan diri dari sesuatu yang dapat membahayakan merupakan terlarang (haram) seperti menahan diri ketika disakiti. Misalnya orang yang dipotong tangannya, atau tangan anaknya sementara ia hanya berdiam saja. contoh lainnya, sabar ketika melihat istrinya diganggu orang lain sehingga membangkitkan cemburunya tetapi ia memilih tidak menampakkan rasa cemburunya. Begitu juga orang yang diam saat orang lain mengganggu keluarganya. Semua itu sabar yang diharamkan.”

Keterangan ini menunjukan bahwa dalam sabar ada tempatnya sendiri. Justru ketika ia bersabar malah terjebak dalam kesalahan dan keharaman. Seperti yang dicontohkan di atas, ketika melihat orang yang tertimpa musibah, maka sebaiknya kita langsung menolong orang tersebut, apalagi bila korbannya berada dalam kondisi darurat. Begitu pula ketika seorang istri yang diganggu orang lain. Sabar dalam kondisi ini termasuk sabar yang diharamkan berdasarkan penjelasan Al-Ghazali. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Sumber: Nu Online

Thursday, February 18, 2016

LGBT itu Menyimpang, Bukan Bawaan Genetik

Fenomena LGBT sedang menggaung akhir-akhir ini. Entah karena apa para pelaku LGBT mulai berani menampakkan diri dan berbaur dengan masyarakat. Pro kontra terjadi di sana-sini hingga ramai diperbincangkan di media sosial.

Pihak pro LGBT digawangi oleh para pemikir Liberal seperti Ulil Absar Abdalla dan konco-konconya. Sedangkan bagi umat Islam yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah kontra dalam hal ini. Begitu banyak sikap tegas para ulama salaf dan kontemporer pada para pelaku penyimpangan ini. Karena di dalam Al-Quran telah jelas disebutkan keharaman penyimpangan ini. Allah berfirman

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ,إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf 80-81)

Rasulullah pun bersabda

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لعن الله من عمل عمل قوم لوط لعن الله من عمل عمل قوم لوط لعن الله من عمل عمل قوم لوط

“Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali) [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337]

Suara Penolakan

Suara-suara penolakan pun terus digemakan. Entah apa yang terpikirkan di benak para pendukung LGBT padahal telah jelas dilarang dalam Al-Quran dan Hadits. Kali ini suara penolakan terdengar dari seorang kristolog asal India. Namanya tidak asing lagi dan sering melanglang buana mendakwahkan Islam di seantero dunia.

Adalah salah seorang kristolog ternama, Dr Zakir Naik memberikan keterangan yang menarik soal LGBT ini. Dr Zakir menanggapi sebuah pertanyaan yang dilontarkan salah seorang penanya yang bernama Rahul.

“Baru-baru ini di India, aku baca di koran bahwa pernikahan sesama jenis dibolehkan. Dan ketika membacanya ,mereka berkata bahwa ini sudah bawaan genetik dari orang itu, ini sudah hormonnnya tentang apa yang mereka inginkan dan yang tidak. Dan aku sepenuhnya paham bahwa Islam sepenuhnya melarang homoseks. Tapi jika seseorang punya bawaan homo dari genetiknya, dan ini bukan pilihannya, dia lahir dengan kecenderungan macam itu,tapi Islam malah menghukumnya padahal di terlahir seperti itu. Ya,jadi Tuhan menciptakannya seperti itu dan Tuhan menghukumnya karena hal itu juga,”tanya Rahul panjang lebar.

Bagaimanakah jawaban Dr Zakir Naik? Kristolog ternama ini memulai jawaban dengan sanggahan bahwa pernikahan sejenis di India telah dilegalkan.

“Bukan dibolehkan, tapi hukum berkata bahwa ini bukanlah kejahatan besar dalam konstitusi India, mereka melunakkannya, tapi belum membolehkannya. Ini adalah kasus pengadilan yang terjadi di Delhi, tapi belum menjadi hukum.Dan juga banyak organisasi yang menentang hal ini, jadi belum jadi hukum. Ini sudah menjadi hukum di Kanada, US dan UK,” jelas Dr Zakir

Lantas, selain sebagai kristolog, ulama india ini juga merupakan seorang dokter medis dan menjelaskan masalah homo bukanlah bawaan genetik. Dr Zakir dengan tegas menjelaskan bahwa penelitian yang mengatakan bahwa homoseksualitas bawaan genetik adalah salah.


“Penelitian ini dilakukan beberapa tahun yang lalu dan akhirnya diketahui bahwa ini benar-benar salah. Dan seseorang yang mengemukakan teori ini ternyata seorang homo. Jadi, belum ada bukti ilmiahnya, ini baru asumsi. Ilmu pengetahuan belum membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik,” jelas peraih peringkat ketiga dari 10 Guru Spiritual Terbaik India ini.

Ia melanjutkan dengan membacakan ayat Al-Quran surat Al-A’raf ayat 81 berkenaan dengan homoseksualitas pada kaum Nabi Luth. Bahkan di dalam Bible pun ada larangan penyimpangan ini yang tersurat pada kisah Nabi Luth.

Sekali lagi, Dr Zakir menegaskan larangan homoseksualitas, “Homoseksualitas benar-benar dilarang. Merupakan sebuah asumsi bahwa ini bersifat genetik, karena ini sama sekali tidak bersifat genetik,” tegas Dr Zakir.

Statemet tegas Dr Zakir bukanlah hanya sebatas klaim semata. Ia juga membeberkan dasar ilmiahnya.

“Psikologi memberitahu kita bahwa ketika kita melakukan sesuatu terlampau sering, maka kita mulai kehilangan kesenangan melakukan itu. Jadi, yang Allah izinkan adalah hubungan seksual yang normal. Akan tetapi kamu mulai melakukannya terlalu sering, kau mulai melakukan hal-hal yang tak alami,” Dr Zakir melanjutkan, “Tuhan membolehkan yang alami saja, kau melakukan yang tak alami dan mulai melakukan hal-hal yang dilarang. Jadi ketika kau sudah keseringan melakukannya, kau ingin menikmati yang lebih lagi sehingga hal-hal yang normal tidak membuatmu senang lagi,” jelas Dr Zakir.

Dr Zakir juga menjelaskan pula bagaimana anak-anak terjangkiti homoseksualitas, “Ini tidak terjadi ketika lahir, ini bukan bawaan lahir.Ini karena mereka menonton film porno, padahal itu haram. Juga bagaimana orang tua mereka bersikap di depan anak-anak. Semua ini punya dampak psikologis bagi si anak,” jelas Dr Zakir. Ia menambahkan,“Jangan katakan bahwa orang yang baru lahir sudah jadi homoseks, sama sekali bukan begitu. Ini sebuah miskonsepsi. Penelitian ilmiah tidak membuktikan itu.”

Dr Zakir juga menyoroti tayangan-tayangan TV yang cenderung seronok yang bertujuan hanya untuk menciptakan keuntungan materi. Padahal tayangan-tayangan amoral itu akan berdampak sedikit banyak pada otak anak-anak.

Dalam video lain Dr Zakir Naik juga memberikan jawaban dari sebuah pertanyaaan tentang hak-hak kaum gay dan LGBT dalam Islam.

“Dalam Islam, tidak ada konsep gay dan LGBT,” tegas Dr Zakir. Ia melanjutkan,“Jika seseorang ingin menjadi seperti itu, ini adalah perilaku menyimpang.”

Dr Zakir juga menjelaskan bahwa penyimpangan itu terjadi karena keengganan untuk mengikuti hukum Allah. Misalnya, kita percaya pada pemisahan antar jenis kelamin. Di negara Barat atau khususnya di AS, seseorang mempunyai pasangan seks yang berbeda-beda sebelum akhirnya menikah. Ketika seseorang melanggar aturan-Nya dan perzinaan terjadi dan pada akhirnya akan timbul kebosanan. Karena itu adalah sifat dasar manusia jika tidak dilandasi dengan aturan agama.

Keinginan-keinginan untuk memperoleh kenikmatan yang lebih pun muncul dan timbullah penyimpangan seks pada sesama jenis karena bosan pada lawan jenis.

Dr Zakir kembali menegaskan, “Tidak seorang pun yang terlahir sebagai gay.”

Penyimpangan-penyimpangan itu terjadi ketika terlalu sering melanggar perintah Allah dan akhirnya timbul kebosanan dan ingin mencoba yang lebih lagi. Dimulai dari hal-hal yang kecil seperti menanggalkan hijab dan tidak perhatian dengan ikhtilath atau pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan.

Pada akhirnya timbul keinginan melakukannya dengan yang lainnya karena terlalu sering melakukan larangan Allah dengan yang disebut bestiality.

Apakah bestiality itu? Bestiality adalah melakukan hubungan seks dengan hewan. Kemudian penyimpangan itu semakin menjadi-jadi dengan melakukan seks dengan cara yang salah. Maka timbullah penyimpangan yang lain seperti homoseksual, lesbian, munculnya kaum gay.

Dr Zakir Naik mengatakan dengan jelas, “Ini adalah penyimpangan, ketika kau terus menyimpang maka kau ingin sesuatu yang baru dan baru.”

Dalam psikologi dikatakan bahwa seseorang yang yang tidak melakukan perzinaan pra nikah, maka dia akan menikmati hubungan seksual setelah menikah paling baik. Dalam Islam, kita hanya boleh melakukan dengan istri atau suami setelah menikah.Ketika seseorang terus melanggar aturan ini maka penyimpangan mulai terjadi dan dalam Islam tidak ruang bagi penyimpangan ini.

Sumber: kiblat.net

Wednesday, February 17, 2016

Hukum Shalat Berduaan dengan Pacar

Ilustrasi shalat berduan dengan pacar
Tidak dipungkiri banyak dijumpai perbuatan yang berkedok ibadah (akhirat) tidak bernilai pahala bahkan bisa berbuah dosa, juga sebaliknya tidak jarang aktivitas yang terlihat keduniawian tapi malah bernilai ibadah. 

Sering terlihat pasangan muda-mudi yang pergi berdua padahal mereka belum terikat dalam hubungan yang halal. Jika mereka melakukan khalwat (berduaan di tempat sepi) sudah pastilah haram hukumnya meskipun yang dibincangkan masalah yang bernilai positif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

"Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya." (HR. Ahmad no. 15734)

Bagaimana jika yang dilakukan mereka berdua adalah shalat berjamaah? 

Shalat adalah aktivitas ibadah yang barangsiapa melakukannya maka akan mendapat pahala. Akan tetapi jika yang melaksanakan ibadah shalat tersebut ialah sepasang muda-mudi yang saling berjamaah dalam satu ruangan maka hukumnya berbeda dan diperinci sebagai berikut:
  1. Jika di tempat tersebut banyak lelaki lain, namun wanitanya hanya seorang saja maka hukumnya haram karena dikhawatirkan terjadi fitnah.
  2. Jika lelakinya hanya seorang dan wanitanya pun satu orang maka hukumnya adalah haram karena terjadinya khalwat (berduaan).
  3. Jika lelakinya seorang akan tetapi wanitanya banyak maka boleh asalkan wanitanya bisa dipercaya. (Asnal Mathalib juz 1 hlm 210)
ﺃﺳﻨﻰ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﺐ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺭﻭﺽ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ ( /1 210) ﻱ َّﻭَﺍﻗْﺘِﺪَﺍﺅُﻫُﻦ ﺑِﺮَﺟُﻞٍ ﺛُﻢَّ ﺧُﻨْﺜَﻰ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣﻦ ﺍﻗْﺘِﺪَﺍﺋِﻬِﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﻟِﻤَﺰِﻳَّﺘِﻬِﻢَﺍ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭَﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟْﺨُﻨْﺜَﻰ ﻣﻦ ﺯِﻳَﺎﺩَﺗِﻪِ ﻟَﻜِﻦَّ ﺧَﻠْﻮَﺓَ ﺍﻟْﺄَﺟْﻨَﺒِﻲِّ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﻌَﺪَّﺩَ ﻣﻦ ﺭَﺟُﻞٍ ﺃﻭ ﺧُﻨْﺜَﻰ ﺑﻬﺎ ﺃَﻱْ ﺑِﺎﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻟِﺨَﻮْﻑِ ﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔِ ﻧﻌﻢ ﺇﻥْ ﻭَﺟَﺪَﻫَﺎ ﻣُﻨْﻘَﻄِﻌَﺔً ﺑِﺒَﺮِّﻳَّﺔٍ ﺃﻭ ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﺟَﺎﺯَ ﻟﻪ ﻟِﻠﻀَّﺮُﻭﺭَﺓِ ﺍﺳْﺘِﺼْﺤَﺎﺑُﻬَﺎ ﺑَﻞْ ﻭَﺟَﺐَ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫَﺍ ﺧَﺎﻑَ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﻮ ﺗَﺮَﻛَﻬَﺎ ﻟِﺨَﺒَﺮِ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﻓﻲ ﻗِﺼَّﺔِ ﺍﻟْﺈِﻓْﻚِ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻓﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ ﻭَﺧَﺮَﺝَ ﺑِﻘَﻮْﻝِ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒِ ﺑﻬﺎ ﺧَﻠْﻮَﺗُﻪُ ﺑِﻬِﻦَّ ﻓَﺠَﺎﺋِﺰٌ ﺇﺫَﺍ ﻛُﻦَّ ﺛِﻘَﺎﺕٍ ﻛﻤﺎ ﺳَﻴَﺄْﺗِﻲ ﻓﻲ ﺍﻟْﻌَﺪَﺩِ ﻓَﻌُﺪُﻭﻟُﻪُ ﻋﻦ ﻗَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞِ ﺑِﻬِﻦَّ ﺇﻟَﻰ ﺑﻬﺎ ﺣَﺴَﻦٌ

Meskipun aktivitas yang terlihat berupa ibadah akan tetapi nilai yang didapat hakikatnya bukanlah pahala melainkan bisa berakibat dosa karena pada saat tersebut keimanannya terlepas sehingga tidaklah mungkin maksiat bisa terjadi. Rasulullah saw. juga mengingatkan melalui hadisnya. Beliau bersabda, "Tidaklah seorang pezina itu berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang peminum khamr itu meminum khamr sedang ia dalam keadaan Mukmin. Tidaklah seorang pencuri itu mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin. Dan tidaklah seorang perampok itu merampok dengan disaksikan oleh manusia sedang ia dalam keadaan Mukmin."(HR Bukhari [2475] dan Muslim [57]). 

Thursday, January 21, 2016

Pilih Ngaji Atau Bekerja?

Apakah seorang anak harus selalu mengikuti kemauan ortu. Mana yang harus didahulukan. Ingan menuntut ilmu di pesantren, apa keinginan ortu untuk kerja? - Wajibnya mematuhi orang tua وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا "Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya." (QS. Al-Ankabut : 8) - Wajibnya mencari ilmu agama عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Mencari Illmu adalah fardhu bagi setiap orang Islam'." Bebarapa situasi dan keadaan: 1. Jika anak masih bodoh dalam masalah agama, maka hukumnya boleh dan tidak haram mencari ilmu meski tanpa izin orang tua. وحرم جهاد ولد بلا اذن اصله المسلم . الي ان قال لا سفر تعلم فرض ولو كفاية كطلب درجات الفتوي فلا يحرم عليه وان لم يأذن اصله "Haram jihadnya (belajar) anak tanpa izin orang tua. Perjalanan mencari ilmu fardlu ataupun kifayah hukumnya tidak haram meski tanpa izin orang tua." (Fathul Wahab juz 2 hal 171) 2. Jika si anak sudah tahu ilmu-ilmu masalah penting dalam agama seperti akidah, fiqh dan laiinya, serta sudah merasa cukup jika sebagai bekal hidup, maka cukupkanlah belajar mencari ilmu dengan memilih berbakti dan bekerja membantu orang tua. 3. Jika masih merasa kurang sekali illmu agamanya dan masih punya kesemangatan belajar tapi juga ingin bekerja membantu orang tua, maka carilah pesantren yang di dalamnya bisa disambil dengan bekerja, insyaallah banyak dijumpai pesantren-pesantren semacam itu. 4. Atau memilih tetap bekerja tapi ketika diwaktu luang setelah bekerja gunakanlah untuk belajar agama dengan orang lain baik teman maupun tetangga. Karena tidak harus belajar agama dengan tinggal di pesantren. Intinya, apapun yang dipilih nantinya haruslah dengan bermusyawarah dengan orang tua sekaligus berilah mereka alternatif pilihan seperti di atas. Dan janganlah memilih sesuatu yang orang tua kurang ikhlas/ridlo terhadap pilihan anak. Karena meskipun mendaptkan hasil, tapi akan mengurangi dalam hal keberkahannya. Wallahi a'lam

Wednesday, January 20, 2016

Cerai Lewat SMS

HASIL MUSYKERWIL (MUSYAWARAH KERJA)
PW. NU JAWA TENGAH TAHUN 2013
KOMISI BAHTSUL MASA`IL WAQI’IYYAH

TALAK VIA SMS

Deskripsi masalah:
Seorang suami mencerai istrinya dengan menggunakan kalimat talak yang shorih (jelas). Kalimat talak tersebut ia sampaikan menggunakan alat elektronik berupa ponsel via SMS.
Karena SMS berisi kalimat talak yang ia kirimkan kepada istrinya itu tertunda pengirimannya (pending) akibat sinyal yang tidak bagus atau sebab lainnya, ia mengirimnya lagi dengan maksud supaya cepat terkirim. Saat sinyal handphone sudah bagus, sang istri menerima SMS dari suaminya sebanyak dua kali.
Pertanyaan: a. Apakah talak via SMS itu dianggap sah (jatuh talak)? Dan apa saja persyaratan sahnya talak via SMS tersebut? b. Dalam kasus diatas berapakah hitungan talak yang dianggap sah? (Pertanyaan dari PCNU Kota Semarang) Jawaban:
a. Sah dengan syarat niat talak, atau dilafazkan saat menulis atau sesudahnya. Karena talak dengan tulisan termasuk kinayah. Perlu diketahui bahwa talak dengan tulisan tidak syarat terkirim kepada istri
Keterangan, dari kitab:
1. Fat-hul Mu’in (I’anatut Thalibin juz IV halaman 16, maktabah syamilah)

( فَرْعٌ ) كَتَبَ أَنْتِ أَوْ زَوْجَتِيْ طَالِقٌ وَنَوَى الطَّلَاقَ طَلُقَتْ ، وَإِنْ لَمْ يَصِلْ كِتَابُهُ إلَيْهَا ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ طَرِيْقٌ فِيْ إِفْهَامِ الْمُرَادِ كَالْعِبَارَةِ وَقَدْ قُرِنَتْ بِالنِّيَّةِ ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تَطْلُقْ ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ تَحْتَمِلُ النَّسْخَ وَالْحِكَايَةَ وَتَجْرِبَةَ الْقَلَمِ وَالْمِدَادِ وَغَيْرِهَا
فَرْعٌ لَوْ كَتَبَ صَرِيْحَ طَلَاقٍ أَوْ كِنَايَتَهُ وَلَمْ يَنْوِ إِيْقَاعَ الطَّلَاقِ فَلَغْوٌ مَا لَمْ يَتَلَفَّظْ حَالَ الْكِتَابَةِ أَوْ بَعْدَهَا بِصَرِيْحَ مَا كَتَبَهُ نَعَمْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ أَرَدْتُ قِرَاءَةَ الْمَكْتُوْبِ لَا الطَّلَاقَ
2. Hasyiyah Al-Jamal ‘Alaa Syarhil Manhaj juz 18 halaman 138-142, maktabah syamilah, 4/332-333, cet. Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, Beirut:
3. al-Muhadzdzab juz II halaman 83, maktabah syamilah:
وَقَالَ فِي الْأُمِّ هُوَ طَلَاقٌ وَهُوَ الصَّحِيْحُ لِأَنَّهَا حُرُوْفٌ يُفْهَمُ مِنْهَا الطَّلَاقُ فَجَازَ أَنْ يَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ كَالنُّطْقِ
فَصْلٌ إِذَا كَتَبَ طَلَاقَ امْرَأَتِهِ بِلَفْظٍ صَرِيْحٍ وَلَمْ يَنْوِ لَمْ يَقَعْ اَلطَّلَاقُ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ تَحْتَمِلُ إِيْـقَاعَ الطَّلَاقِ وَتَحْتَمِلُ امْتِحَانَ الْخَطِّ فَلَمْ يَقَعْ اَلطَّلَاقُ بِمُجَرَّدِهَا وَإِنْ نَوَى بِهَا الطَّلَاقَ فَفِيْهِ قَوْلَانِ قَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ لِأَنَّهُ فِعْلٌ مِمَّنْ يَقْدِرُ عَلَى الْقَوْلِ فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ كِالْإشَارَةِ
b. Talak dihitung satu, karena yang kedua tidak diniati talak, tujuannya hanya supaya cepat terkirim Keterangan, dari kitab: 1. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra juz IV halaman 159 s/d 161, maktabah syamilah:
وَسُئِلَ عَنْ مُرَادِهِ بِقَوْلِهِ طَالِقًا فَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ الْحَالَ طَلُقَتْ ثَانِيَةً لِأَنَّ الْحَالَ فِيْ مَعْنَى الصِّفَةِ فَكَأَنَّهُ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ بَعْدَ تَقَدُّمِ طَلْقَةٍ عَلَيْكِ وَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ طَلْقَةً أُخْرَى وَقَعَتْ ثَانِيَةً أَيْضًا كَقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ التَّأْكِيْدَ وَإِفْهَامَ الْأُوْلَى قُبِلَ مِنْهُ
فَإِنْ لَمْ يَنْوِهِ بِهِ لَمْ يَقَعْ بِطَالِقًا ( ( ( بِطَلَاقِهِ ) ) ) شَيْءٌ لِأُمُوْرٍ مِنْهَا…… وَمِنْهَا أَنَّ الْإِسْنَوِيَّ قَيَّدَ قَوْلَ الشَّيْخَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقٌ طَالِقٌ يَقَعُ بِهِ ثَلَاثٌ مَا لَمْ يَقْصِدْ بِهِ التَّأْكِيْدَ بِمَا إذَا رَفَعَ بِخِلَافِ مَا إذَا سَكَّنَ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمَا عَنِ الْعَبَّادِيِّ قَالَ فِي الْأُمِّ إذَا قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقًا وَقَعَ طَلْقَةٌ
2. Bughyatul Mustarsyidin halaman 474, maktabah syamilah (halaman 225, cetakan Al-Alawiyyah):
(مَسْأَلَةٌ : ك) : كَرَّرَ صَرَائِحَ الطَّلَاقِ أَوْ كِنَايَاتِهِ وَلَوْ مَعَ اخْتِلَافِ أَلْفَاظِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ ، كَأَنْتِ طَالِقٌ طَلَّقْتُكِ أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ , أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ مُفَارَقَةٌ مُسَرَّحَةٌ ، أَوْ أَنْتِ بَائِنٌ اِعْتَدِّيْ اُخْرُجِيْ ، فَإِنْ قَصَدَ التَّأْكِيْدَ فَوَاحِدَةٌ ، وَإِنْ قَصَدَ الْاِسْتِئْنَاف َ أَوْ أَطْلَقَ تَعَدَّدَ
Ditetapkan di: Sarang, 31 Maret 2013 Pimpinan Sidang: KH. Rosyid. Demak Perumus: 1. KH. Khoiron 2. KH. Abi Jamroh 3. KH. Roziqin Mushahhih: 1. KH. Aniq 2. KH. A'wani

Wallaahu A’lamu bishshawaab

Hukum Memakan Ulat Dalam Buah

Pertanyaan: Bagaimana hukumnya makan sejenis ulat yang ada di dalam buah-buahan? 

Jawaban: Menurut pendapat yang ashoh ulat yang ada didalam buah-buahan boleh dimakan, baik ulat tersebut dalam keadaan hidup atau mati karena pada umumnya ulat tersebut sulit dipisahkan dan sudah menjadi seperti satu bagian. 

Namun diperbolehkannya memakan ulat tersebut dengan syarat :  
1.Ulatnya dimakan bersamaan dengan buah tersebut. Jika dimakan secara terpisah tidak boleh. 
2.Tidak dipindah dari tempatnya, jika sudah dipindah dari tempatnya tidak boleh dimakan.  

Dan mulut orang yang memakan ulat tersebut tidak wajib dibersihkan karena ulat yang sudah mati dan menjadi bangkai yang berada di dalam buah tersebut dihukumi najis ma'fu (najis yang diampuni) sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Bulqini. Wallahu a'lam .

Referensi: 
1. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 5  Hal : 143 
2. Nihayatul Muhtaj, Juz : 8  Hal : 114 
3. I'anatut Tholibin, Juz : 2 Hal : 403 
4. Asnal Matholib, Juz : 1 Hal : 567 
5. Asnal Matholib, Juz : 1 Hal : 567  

Ibarot: 
Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 5  Hal : 143

 وقال الشافعية والحنابلة: يحل أكل الدود المتولد في طعام كخل وفاكهة بثلاث شرائط: الأولى: - أن يؤكل مع الطعام، حيا كان أو ميتا، فإن أكل منفردا لم يحل. الثانية: - ألا ينقل منفردا، فإن نقل منفردا لم يجز أكله. وهاتان الشريطتان منظور فيهما أيضا إلى معنى التبعية. الثالثة: - ألا يغير طعم الطعام أو لونه أو ريحه إن كان مائعا، فإن غير شيئا من ذلك لم يجز أكله ولا شربه، لنجاسته حينئذ  

Nihayatul Muhtaj, Juz : 8  Hal : 114

 وكذا الدود المتولد من طعام كخل وفاكهة إذا أكل معه) حيا أو ميتا يحل (في الأصح) لعسر تمييزه غالبا لأنه كجزئه طبعا وطعما فإن كان منفردا حرم. ومحل ما ذكره حيث لم ينقله من موضع إلى آخر ولم يغيره وإلا حرم [حاشية الرشيدي] قوله: ولم يغيره) أما إذا غيره فإنه يحرم ما فيه الدود لنجاسته حينئذ كما مر في الطهارة، لكن هذا إنما يكون في المائع كما هو ظاهر فليراجع  

I'anatut Tholibin, Juz : 2 Hal : 403

 وحل أكل دود نحو الفاكهة حيا كان أو ميتا بشرط أن لا ينفرد عنه وإلا لم يحل أكله  قوله: وحل أكل دود (إلخ) هذا قد ذكره أيضا فيما مر، وأعاده هنا لكون الكلا

Monday, January 18, 2016

Hukum Arisan Menurut Islam

Ibu-ibu sedang arisan
Arisan merupakan sekelompok orang yang mengumpulkan uang atau barang dalam jumlah yang sama dan akan ada yang menjadi pemenag melalui undian yang dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.

Dari pengertian diatas jelas bahwa arisan terdiri dari 2 kegitan pokok yaitu pengumpulan uang dan pengundian diantara peserta arisan yang bertujuan untuk menenutukan siapa yang memperolehnya.

Hukum arisan secara syariah yaitu arisan merupakan muamalat yang belum pernah di bahas dalam al Quran dan as Sunah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah yaitu dibolehkan. Dalam kitab al Qulyubi dijelaskan:

فَرْعٌ) الْجُمُعَةُ الْمَشْهُوْرَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِاَنْ تَأْخُذَ اِمْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فىِ كُلِّ جُمُعَةٍ اَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ اِلىَ آَخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ 

"(Cabang) Hari Jum'at yang termasyhur di antara para wanita, yaitu apabila seseorang wanita mengambil dari setiap wanita dari jama'ah para wanita sejumlah uang tertentu pada setiap hari Jum'at atau setiap bulan dan menyerahkan keseluruhannya kepada salah seorang, sesudah yang lain, sampai orang terakhir dari jamaah tersebut adalah boleh sebagaimana pendapat Al-Wali al-'Iraqi." [ Al Qolyuuby II/258 ]

Dilihat dari sisi substansi pada hakekatnya arisan merupakan akad pinjam meminjam lebih tepatnya akad al-qardh yaitu (utang-piutang). Dengan demikian uang arisan yang diambil oleh orang yang mendapat atau memenangkan undian itu adalah utangnya. Dan wajib untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar sejumlah uang secara berkala sampai semua anggota mendapatkan hak atas arisan tersebut.

Didalam arisan juga termasuk ta’awun (tolong menolong), seperti arisan kurban atau akikah karena dapat dicapai dengan cara arisan, seseorang secara langsung belum mempunyai biaya untuk kurban atau akikah dengan arisan tersebut dapat membayar secara berangsur untuk akikah dan qurban.

Jika di pahami secara cermat, Nabi Saw. memilih diantara istri beliau untuk dibawa berpergian dengan cara mengundi (qur’ah) tentu cara itu hukumnya halal karena pada undian itu tidak ada pemindahan hak, dan tidak ada perselisihan milik, maka jika pengundian di dalam arisan tidak ada pemindahan hak dan perselisihan milik maka hukumnya halal.

Arisan yang dilakukan secara syariah dapat dilakukan dengan cara seperti berikut yaitu pihak yang menyelenggarakan arisan jelas dan ada pihak yang memberikan jaminan atas terselenggaranya arisan tersebut.

Mengenai undian yang terjadi dalam arisan, ini juga boleh sebab Rosululloh Saw. sendiri pernah melakukan undian. Sebagaimana yang dibahas dalam riwayat H.R muslim dari Aisyah ia berkata “Rasullulah Saw. apabila pergi beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu kepada Aisyah dan Hafsah, kemudian keduanya pergi bersama beliau.”  Wallahu a'lam.

Kapan Ibu Mertua Menjadi Mahram Bagi Menantu, Sejak Akad atau Setelah Jima?


Para ulama berbeda pendapat tentang sejak kapan terhitung ibu mertua menjadi mahram bagi menantunya. Sebagian mengatakan sejak terjadi akad nikah maka otomatis ibu mertua menjadi mahram selamanya (mahram muabbad). Sebagian lainnya menghitung bukan sejak akad melainkan sejak terjadinya jima'. 

Berikut adalah rinciannya bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi disertai dengan rujukannya pada masing-masing kitab fiqih mu'tamad dari tiap mazhab.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut:

حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ، وَحُجَّتُنَا فِي ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى {وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ} [النساء: 22]، وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ النِّكَاحَ لِلْوَطْءِ حَقِيقَةً

Hujjah atau dalil dari mahramnya keluarga sebab pernikahan termaktub dalam firman Allah ta’ala dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya : “Dan janganlah kalian menikahi siapa-siapa yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian.[1]

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ثُمَّ حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ تَثْبُتُ بِالْعَقْدِ الصَّحِيحِ

Ditetapkannya mahram karena sebab penikahan berdasarkan akad yang shohih .[2]

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :


الْمُصَاهَرَةُ، يَحْرُمُ بِهَا فُرُوعُ نِسَائِهِ الْمَدْخُولِ بِهِنَّ وَإِنْ نَزَلْنَ، وَأُمَّهَاتُ الزَّوْجَاتِ وَجَدَّاتُهُنَّ بِعَقْدٍ صَحِيحٍ وَإِنْ عَلَوْنَ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِالزَّوْجَاتِ


Dengan terjadinya akad pernikahan, menjadikan anak-anak dan ibu-ibu dari wanita yang dinikahi mahram walaupun istrinya belum digauli .[3]

Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :


(قوله: فروع نسائه المدخول بهن) أي وإن نزلن. (قوله: وأصولهن) أي وإن علون وإن لم يدخل بالزوجات.


Ia berkata : anak-anak dari wanita yang telah digauli telah menjadi mahram dan ibu-ibu dari wanita yang belum digauli .[4]

Dari penjelasan beberapa ulama diatas, dapat kita ketahui bahwa dalam madzhab ini, ada beberapa perbedaan pendapat. Ada yang mengharamkan ibu mertua atau ibu dari wanita yang telah dinikahi harus dengan watha’ atau jima’. Ada juga yang mengatakan bahwa kemahraman seorang laki-laki dengan ibu mertuanya itu cukup hanya dengan terjadinya akad nikah yang shahih saja antara dirinya dan istrinya.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :

لَمْ يَكُنِ الْعَقْدُ عَلَيْهَا كَافِيا فِي بغضتها لِابْنَتِهَا إِذَا عُقِدَ عَلَيْهَا لِضَعْفِ مَيْلِهَا لِلزَّوْجِ بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ مُخَالَطَتِهِ فَاشْتُرِطَ فِي التَّحْرِيمِ إِضَافَةُ الدُّخُولِ

Akad saja tidaklah cukup untuk menjadikan ibu mertua sebagai mahram, dikarenakan lemahnya kecondongan anak perempuan kepada seorang suami dengan hanya akad dan tanpa bercampur, maka disyaratkan jima’ agar ia menjadi mahram dengan ibu mertua.[5]

Dalam madzhab ini, para ulama nya mensyaratkan terjadinya watha’ atau jima’ antara ia dan istrinya untuk menjadikan ibu dari wanita yang dinikahi laki-laki tersebut sebagai mahram. Dan tidak cukup hanya dengan akad saja.

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :


فأما أم الزوجة فإن الرجل إذا عقد النكاح على إمرأة حرمت عليه كل أم لها حقيقة أو مجازا من جهة النسب أو من جهة الرضاع سواء دخل بها أو لم يدخل


Adapun ibu mertua, bahwa apabila seorang laki-laki melakukan akad pernikahan dengan seorang perempuan, maka menjadi mahramlah seluruh ibu-ibu dari wanita tersebut (kandung maupun bukan) dari sisi keturunan ataupun dari sisi persusuan (radha’ah), baik telah melakukan jima’ maupun belum.[6]

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhfatu Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

وَ) يُحَرَّمُ عَلَيْك (أُمَّهَاتُ زَوْجَتِك مِنْهُمَا) أَيْ النَّسَبِ أَوْ الرَّضَاعِ وَلَوْ لِطِفْلَةٍ طَلَّقْتهَا وَإِنْ عَلَوْنَ وَإِنْ لَمْ تَدْخُلْ بِهَا لِإِطْلَاقِ

Dan diharamkan bagi kalian para laki-laki untuk menikahi ibu mertua dan urutan nasab ke atas baik karena hubungan nasab maupun persusuan meskipun kalian menceraikan seorang anak kecil dan belum menyentuhnya (jima’) berdasarkan keumuman ayat surat an nisa : 23[7]

Berbeda dengan dua madzhab sebelumnya, semua ulama madzhab ini menjadikan hanya dengan akad yang shahih seorang ibu dari wanita yang telah dinikahi mahram baginya. Sehingga, sudah digauli atau belum, setelah akad yang shahih maka secara otomatis si ibu dari istrinya langsung menjadi mahramnya.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughnimenuliskan sebagai berikut :


أَنَّهُ يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ، فَإِذَا زَنَى بِامْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَى أَبِيهِ وَابْنِهِ، وَحَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَابْنَتُهَا، كَمَا لَوْ وَطِئَهَا بِشُبْهَةٍ أَوْ حَلَالًا وَلَوْ وَطِئَ أُمَّ امْرَأَتِهِ أَوْ بِنْتَهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ


Bahwa diharamkannya keluarga sebab akad pernikahan apabila seorang wanita berzina maka diharamkan baginya bapak dan anaknya (laki-laki yang dizinahi) dan diharamkan bagi laki-laki ibu dan anak perempuannya (wanita yang dizinahi) waupun istrinya telah digauli secara halalpun.[8]
Wallahu’alam.

[1] As-Sarakhsi, Al-Mabstuh, jilid 4 hal. 205
[2] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 2 hal. 260
[3] Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 3 hal. 208
[4] Az-Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2 hal. 101
[5] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah jilid 4 hal 261
[6] An-Nawawi Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab jilid 16 hal 217
[7] Ibnu Hajar Al-Haitami Tuhfatu Al-Muhtaj jilid 7 hal 302
[8]Ibnu Qudamah Al-Mughni jilid 7 hal 117

Sumber: fiqihmuslimah.com

Sunday, January 17, 2016

Dimanakah Posisi Imam Wanita Saat Shalat Berjamaah?

Jamaah wanita dengan imam pada posisi di tengah
Mayoritas Ulama Fiqih dari kalangan Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan seorang wanita menjadi imam asalkan makmumnya wanita juga. Berbeda dengan jumhur ulama, kalangan Al-Malikiyah tidak membolehkan wanita menjadi imam meskipun makmumnya wanita.

Namun di mana kah posisi wanita saat menjadi imam? Apakah sama dengan laki-laki? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, berikut penjelasannya:

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Madzhab ini menyebutkan bahwa posisi wanita yang menjadi imam bagi jamaah wanita seharusnya berdiri ditengah shaf.

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :

فِي وَسَطِ الصَّفِّ يُشْبِهُ جَمَاعَةَ النِّسَاءِ

Posisi imam wanita berada ditengah shaf sejajar dengan jama’ahnya.[1]

Beliau juga membolehkan jika wanita yang menjadi imam itu berdiri agak kedepan. Sebagaimana beliau menuliskannya:

فَإِنْ صَلَّيْنَ بِالْجَمَاعَةِ قَامَتْ إمَامُهُنَّ وَسَطَهُنَّ، وَإِنْ تَقَدَّمَتْهُنَّ جَازَ

Jika para wanita shalat dengan berjamaah, maka yang menjadi imam berdiri sejajar ma’mum, namun jika ia sedikit maju ke depan juga boleh[2]

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

حَتَّى لَوْ أَمَّتْ النِّسَاءَ جَازَ، وَيَنْبَغِي أَنْ تَقُومَ وَسَطَهُنَّ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - أَنَّهَا أَمَّتْ نِسْوَةً فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ وَقَامَتْ وَسَطَهُنَّ وَأَمَّتْ أُمُّ سَلَمَةَ نِسَاءً وَقَامَتْ وَسَطَهُنَّ

Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menjadi imam, dan posisinya adalah di tengah seperti diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahuanha: bahwa ia mengimami para perempuan untuk shalat ashar dan ia berdiri ditengah shaf lalu mengimami para wanita dan berdiri ditengahnya. Dan Ummu Salamah juga pernah melakukan hal yang sama.[3]

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :

(قَوْلُهُ فَإِنْ فَعَلْنَ قَامَتْ الْإِمَامُ وَسَطَهُنَّ)

Apabila seorang wanita menjadi imam, maka ia berdiri ditengah sejajar dengan mereka.[4]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Dalam Madzhab Maliki, wanita tidak sah menjadi imam shalat, baik mengimami jamaah laki-laki maupun mengimami perempuan, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah
Al-Kharasyi (w. 1101 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Syarah Mukhtashar Khalilmenuliskan sebagai berikut :

أنه لا تصح إمامة المرأة سواء أمت رجالا أو نساء في فريضة أو نافلة

Seorang wanita tidak sah menjadi imam, baik jika makmumnya laki-laki ataupun perempuan, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat sunnah.[5]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Sebagaimana madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, madzhab As-Syafi’iyah juga menyebutkan bahwa posisi wanita yang menjadi imam adalah di tengah shaf. As-Syairozi (w. 476 H) salah satu ulama madzhab Asy-Syafi'iyah dalam kitabnya Al-Muhadzdzab menyatakan:

* (السُّنَّةُ أَنْ تَقِفَ إمَامَةُ النِّسَاءِ وَسْطَهُنَّ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتَا نِسَاءً فَقَامَتَا وَسْطَهُنَّ

Sunnah hukumnya bagi Wanita yang menjadi imam bagi wanita lainnya untuk berdiri di tengah-tengah mereka, sebagaimana Aisyah radiyallahuanha dan Ummu Salamah mengimami para wanita dan mereka berdiri sejajar dengan mereka.[6]

An-Nawawi (w. 676 H) yang juga ulama Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin Wa Umdatu Al-Muftiyyin:

وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ تَقِفَ إِمَامَتُهُنَّ وَسَطَهُنَّ، وَجَمَاعَتُهُنَّ فِي الْبُيُوتِ أَفْضَلُ.

Disunnahkan bagi wanita yang mengimami wanita lainnya untuk berdiri sejajar dengan mereka dan posisinya di tengah, dan shalatnya lebih baik dilakukan dirumah.[7]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.

)وَتَقِفُ) نَدْبًا (إمَامَتُهُنَّ وَسْطَهُنَّ) لِمَا رَوَى الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادَيْنِ صَحِيحَيْنِ أَنَّ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَمَّتَا نِسَاءً فَقَامَتَا وَسْطَهُنَّ

Seorang wanita yang menjadi imam bagi wanita lainnya disunnahkah untuk berdiri di tengahnya sebagaimana riwayat Al-Baihaqi dalam dua sanadnya yang shahih bahwasanya Aisyah dan Ummu Salamah radiyallahuanhuma saat menjadi imam, keduanya berdiri sejajar dengan mereka (makmum).[8]

Dalam kitabnya yang lain, Fathu Al-Wahhab Syarah Minhaj Ath-Thullab, beliau juga menuliskan sebagai berikut:

" وَ " أَنْ تَقِفَ " إمَامَتُهُنَّ وَسْطُهُنَّ " بِسُكُونِ السِّينِ أَكْثَرَ مِنْ فَتْحِهَا كَمَا كَانَتْ عَائِشَةُ وَأُمُّ سَلَمَةَ تَفْعَلَانِ ذَلِكَ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادَيْنِ صَحِيحَيْنِ

Seorang wanita yang menjadi imam maka ia berdiri sejajar dengan makmum sebagaimana hadits Aisyah dan Ummu Salamah.[9]

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

(وَتَقِفُ إمَامَتُهُنَّ) نَدْبًا (وَسْطَهُنَّ) بِسُكُونِ السِّينِ لِثُبُوتِ ذَلِكَ عَنْ فِعْلِ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا -. رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.

Seorang wanita yang menjadi imam disunnahkan untuk berdiri ditengah sejajar dengan ma’mum berdasarkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah radiyallhuanhuma yang diriwayatka oleh imam Al-Baihaqi dengan sanad shahih.[10]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Madzhab ini juga berpendapat yang sama namun salah ulama di madzhab ini juga membolehkan jika ia berdiri agak kedepan. Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughnimenuliskan sebagai berikut :

(وَإِنْ صَلَّتْ امْرَأَةٌ بِالنِّسَاءِ قَامَتْ مَعَهُنَّ فِي الصَّفِّ وَسَطًا)

Dan jika seorang wanita shalat berjamaah dengan sesama wanita lainnya maka imamnya berdiri dalam shaf yang sama dan berada ditengah.[11]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

قَوْلُهُ {وَإِذَا صَلَّتْ امْرَأَةٌ بِنِسَاءٍ قَامَتْ وَسَطَهُنَّ} هَذَا مِمَّا لَا نِزَاعَ فِيهِ لَكِنْ لَوْ صَلَّتْ أَمَامَهُنَّ وَهُنَّ خَلْفَهَا، فَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ: أَنَّ الصَّلَاةَ تَصِحُّ

Seorang wanita jika menjadi imam bagi wanita lainnya maka ia berdiri ditengah sejajar dengan makmum, tapi apabila si imam wanita ini berdiri di depan para makmum wanitanya , maka shalatnya tetap sah.[12]

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Madzhab ini juga menyebutkan hal yang sama. Bahwa posisi wanita jika menjadi imam maka ia berdiri ditengah shaf sejajar dengan jamaah.

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsarmenuliskan sebagai berikut :

وَأَمَّتْهُنَّ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ فَحَسَنٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ نَصٌّ يَمْنَعُهُنَّ مِنْ ذَلِكَ.

Jika wanita mengimami jamaah wanita lainnya hukumnya boleh, karena tidak ada nash yang melarangnya.[13]

Hal itu didasarkan pada hadits Aisyah berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ: أَنَّهَا أَمَّتْ نِسَاءً فِي الْفَرِيضَةِ فِي الْمَغْرِبِ، وَقَامَتْ وَسَطَهُنَّ، وَجَهَرَتْ بِالْقِرَاءَة

Dari Aisyah ummul mukminin: bahwasanya dia mengimami para wanita dalam shalat maghrib, beliau (Aisyah ra) berdiri di tengah2 mereka dan mengeraskan bacaannya.[14]

Penutup
Setelah mengetahui pendapat masing-masing ulama tiap madzhab, dapat disimpulkan bahwa semua madzhab selain Maliki menyebutkan bahwa posisi wanita yang menjadi imam bagi jamaah wanita lainnya adalah di tengah dan sejajar dengan shaf. Berdasarkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah radiyallahuanhuma.

Namun beberapa ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah dan Al-Hanabilah juga membolehkan jika ia berdiri sedikit kedepan.

Hanya madzhab Maliki saja yang sama sekali tidak membolehkan wanita menjadi imam meskipun jamaahnya wanita, baik itu shalat fardhu ataupun sunnah. Wallahu’alam.

REFERENSI:
[1] As-Sarakhsi, Al-Mabshuth, jilid 1 hal 43.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabshuth, jilid 1 hal 187.
[3] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 1 hal 157.
[4] Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 1 hal 353.
[5] Al-Kharasyi, Syarah Mukhtashar Khalil, jilid 2 hal 22.
[6] As-Syairozii, Al-Muhadzdab Fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafii, jilid 1 hal 189.
[7] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 1 hal 340.
[8] Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalibjilid 1 hal 209.
[9] Zakaria Al-Anshari, Fathu Al-Wahhab Syarah Minhaj Ath-Thullab, jilid 1, hal 76.
[10] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 1, hal 493.
[11] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal 148.
[12] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 2 hal 299.
[13] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 2 hal 167.
[14] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 2 hal 168.

Oleh: Miratun Nisa