Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Tuesday, May 28, 2013

Ngamen dan Ngemis

Hukum Ngamen, atau Ngemis dan Hukum Memberi Uang pada Pengamen atau Pengemis


1. Haram, jika pemberian itu sebagai upah atau menolong kemaksiatan (menurut pendapat yang mengharamkan alat-alat musik).

وَجُعِلَ فِى التَّنْبِيْهِ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ الغِنَاءُ وَفِيْهِ كَلاَمٌ ذَكَرْتُهُ فِي شَرْحِهِ وَلاَيَجُوْزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كَبَيْعِ الْمَيْتَةِ اَمَّا اْلاِسْتِئْجَارُ عَلَى حَمْلِ الْخَمْرِ لِلإِرَاقَةِ اَوْ حَمْلِ الْمُحْتَرَمَةِ فَجَائِزٍ كَنَقْلِ الْمَيْتَةِ اِلَى الْمَزْبَلَةِ وَكَمَا يَحْرُمُ أَخْذُ اْلأُجْرَةِ عَلَى الْمُحَرَّمِ يَحْرُمُ إِعْطَاؤُهَا إِلاَّ لِضَرُوْرَةِ كَفَكِّ اْلأَسِيْرِ وَإِعْطَاءِ الشَّاعِرِ لِئَلاَّ يَهْجَوْهُ الظَّالِمُ لِيَدْفَعَ ظَلَمَهُ وَالْحَاكِمُ لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ فَلاَ يَحْرُمُ الإِعْطَاءُ عَلَيْهَا 

Dalam kitab Tanbih, menyanyi dikategorikan haram, sehingga tidak boleh mengambil upah atau ganti rugi atas sesuatu yang diharamkan. Adapun menyewa seseorang untuk membawa khomer untuk dibuang atau membawa sesuatu yang diharamkan seperti memindah bangkai ketempat sampah adalah boleh. Sama halnya haram meminta upah, haram juga memberikannya kecuali karena dhorurot seperti menebus sandra atau memberi tukang syi’ir agar tidak menyindir untuk menolak kedholiman atau memberi hakim supaya memutuskan hukum dengan benar maka tidak haram memberikan kepada mereka. (Mughni Al-Mukhtaaj, juz 2 hal 456)


2. Boleh, jika pemberian tersebut sebatas agar pengamen segera menyudahi lagunya dan tidak bermaksud menolong kemaksiatan.


(فائدة) صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلأَحَادِيْثِ الشَّهِيْرَةِ وَقَدْ تَحْرُمُ كَأَنْ ظَنَّ أَخْذَهَا يَصْرِفُهَا فِى مَعْصِيَةٍ وَقَدْ تَجِبُ كَأَنْ وَجَدَ مُضْطَرًّا وَمَعَهُ مَا يُطْعِمُهُ لَكِنْ بِبَدَلِهِ


Shodaqoh tatowwu’ sunnah muakkad berdasarkan hadits masyhur dan terkadang bisa menjadi haram apabila menyangka digunakan untuk maksiat dan juga bisa menjadi wajib seperti orang yang dalam keadaan dlorurot dan ia mempunyai sesuatu untuk diberikannya tetapi dengan ganti rugi. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal 107)


Thursday, May 23, 2013

Tatakrama Memakai Perhiasan Berlafadz Jalalah

Jika melihat perkembangan desain berbagai perhiasan, kita akan menemukan berbagai asesoris yang mengagumkan. Di toko-toko emas kini tersedia berbagai macam bentuk mata kalung (mandel) yang bertuliskan lafdzul jalalah. Ada tulisan Allah, Allahu Akbar, Muhammad dan lain sebagainya lengkap dengan berbagai batu mulia dan intan permata.

Begitu pula dengan cincin baik yang terbuat dari emas, perak maupun besi. Begitu indahnya jenis khat yang melekat sebagai desain yang melingkarinya, hingga kita tak sadar bahwa itu adalah tulisan syahadat, atau sekedar tulisan Allah yang ditata dengan rapi.

Sebagai agama yang menjunjung keindahan, Islam memang mendukung berbagai macam karya seni semacam ini. Sudah selayaknya umat muslim memanfaatkan hal serupa sebagai syiar agama. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah tatakrama dan norma dalam penggunaannya.

Demi mengagungkan dan menghormatiLafdhul Jalalah, Islam melarang umatnya memakai cincin atau sejenisnya seperti kalung dan gelang yang bertulisakan Lafdhul Jalalah (lafal-lafal yang diagungkan) ketika hendak buang air (ke toilet).  Seperti yang dilakukan oleh Rasululah saw yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik R.A.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل الخلاء وضع خاتمه، لأنه كان عليه "محمد رسول الله"

Rasulullah selalu melepas cicin beliau ketika hendak masuk ketempat buang air besar maupun kecil, karena cincin beliau bertuliskan lafal “Muhammad Rasulullah”.

Meskipun larangan ini tidak sampai pada takaran keharaman, akan tetapi hendaknya dihindari. Karena merupakan kelakukan yang dibenci (makruh) oleh syariat. Bahkan Imam Taqiyuddin Al-Hushni dalam kitabnya Kifatul Akhyar tidak hanya membatasi pada ragam perhiasan saja, tetapi juga segala sesuatu yang tertera di dalamnya Lafdhul Jalalah. Seperti logam, kertas, peci, baju dan sebagainya.

ويكره أن يكون معه شيء فيه اسم الله تعالى كالخاتم والدراهم، وكذا ما كان فيه قرآن، وألحق باسم الله تعالى اسم رسوله تعظيما له

Makruh hukumnya memakai cincin atau sebuah uang logam yang bertuliskan nama Allah, ketika masuk ketempat buang air besar maupun kecil (Toilet, WC, Jamban), atau sesuatu yang bertuliskan lafal Al-Quran. Begitu juga yang bertuliskan nama Rasulullah Shallallhu Alaihi Wasallam untuk memuliakannya.

Dari keterangan di atas tampak jelas bahwa larangan yang dimaksudkan adalah untuk memuliakan nama-nama Allah dan Rasulnya. Begitu juga larangan sesuatu yang bertuliskan lafal Al-Quran, maupun yang lain.

Adapun ketika seseorang lupa melepas cincin, gelang, kalung atau sejenisnya yang bertuliskan Lafdhul Jalalah ketika telah masuk ketempat buang air besar maupun kecil, maka hendaknya bergegas menyimpannya di saku atau tempat yang lain. Demikian Imam Ash-Shan’ani dalam Kitabnya Subulus Salam memberi penjelasan tentang masalah ini,

قيل: فلو غفل عن تنحية ما فيه ذكر الله حتى اشتغل بقضاء الحاجة، غيبه في فيه أو في عمامته أو نحوه

Dikatakan, jika seseorang lupa melepaskan sesuatu yang dipakai, sedangkan pada sesuatu tersebut terdapat lafal “Dzikrullah” sampai dia telah masuk ketempat buang air besar, maka hendaknya dia menyimpan sesuatu tersebut dimulutnya, atau diserbanya atau ditempat lain.

Tuesday, May 21, 2013

Alasan Mandi Setelah Keluar Air Mani

Fiqh mengharuskan siapapun yang mengeluarkan air sperma atau air mani baik karena mimpi basah atau karena bersetubuh dengan istri ataupun karena onani (istimta’) wajiblah mandi.
Padahal fiqh juga menerangkan bahwa air mani adalah suci (tidak najis), berbeda halnya dengan air kencing yang najis. Pertanyaan yang sering muncul kemudian bagaimana bisa mengeluarkan seseuatu yang suci malah diwajibkan mandi, sedangkan mengeluarkan yang najis cukup dengan bersuci (istinja’ /cebok) saja, dan cukup berwudhu jika ingin menjadi suci?
Pertama dalil dari hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Abi Said berbunyi:

الماء من الماء

"Bermula air (kewajiban mandi) itu dari sebab air (keluar air mani)."

Demikian pula riwayat Ummi Salah ra. bahwa Ummul Sulaim berkata “Ya Rasulullah, bahwa Allah swt tidak malu menyatakan yang haq, apakah wajib seorang perempuan mandi apabila ia mimpi jimak?” Rasulullah menjawab, “ya, apabila ia melihat air (mani)”.
Kedua hadits di atas merupakan dasar yang telah disepakati oleh para Imam Fiqh, bahwa mengeluarkan mani mewajibkan seseorang mandi. Adapun mengenai kesucian air mani adalah pernyataan Rasulullah saw dalam haditsnya ketika ditanya seseorang mengenai mani yang terkena pakaian, beliaupun menjawab:

إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنمايكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة

"Bahwasannya mani itu setingkat dengan ingus dan ludah, cukuplah bagimu menyapunya dengan percikan air atau idzkhirah (sebangsa rumput wangi)."

Jika dalil-dalil tersebut dengan jelas menerangkan kesucian mani dan kewajiban mandi karena keluar mani, tetapi dalil-dalil itu belum menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat (keluar mani yang suci mengakibatkan wajib mandi).
Sebagian ulama seperti yang ditulis oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menjelaskan bahwasannya alasan (illat) diwajibkannya mandi ketika keluar mani adalah adanya rasa nikmat dan lezat yang mengiringi keluarnya mani itu. Maka mereka yang berpendapat demikian tidak mewajibkan mandi bagi orang yang keluar mani tanpa rasa nikmat seperti mereka yang teramat pulas dalam tidur, maka ia tidak diwajibkan mandi.
Hal ini mungkin dapat dijadikan alasan mengenai proses diwajibkannya mandi, tetapi belum bisa menjawab asal masalah “mengapa mengeluarkan barang yang suci harus mandi, sedangkan mengeluarkan air kencing yang najis tidak perlu mandi?”

Bahwasannya dalam catatan ilmu kedokteran ‘ilmut thibb’ diteragkan dalam sekali tumpahan mani terdapat 2.000.000.000 (dua milyar) benih kehidupan spermatozoid. Maka siapapun yang keluar mani akan kehilangan energy sebanyak itu. Sebagai dampaknya orang yang keluar mani akan segera lemas dan berkurang tenaganya. Hal ini tidak bisa dipulihkan hanya dengan membasuh dzakar ataupun alat kelamin  saja. Tetapi harus dengan cara membasahi badan secara merata terutama dengan air hangat.
Oleh karena itu sebaiknya setelah keluar mani segeralah mandi, agar tubuh kuat kembali. Ini sangat berbeda dengan mengeluarkan air kencing yang hanya mengandung kotoran dari dalam tubuh manusia. Dan cukup dengan membersihkan alat keluarnya. Meskipun keduanya (air mani dan air kencing) keluar dari lubang alat yang sama tetapi keduanya adalah materi yang bebeda. Wallahu a’lam.

Saturday, May 11, 2013

Membentengi Aqidah Ahlussunah


Sesuatu yang paling berharga yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah aqidah yang benar. Maka ilmu yang membahas tentang aqidah yang benar adalah ilmu yang amat penting dibandingkan ilmu-ilmu yang lainya. Dan diskusi-diskusi yang diadakan jika hal itu untuk membela dan menjaga aqidah yang benar maka itu adalah sebaik-baik diskusi. Saat ini kami  sungguh sangat berbahagia jika pada kesempatan ini kami para alim ulama untuk bersama-sama mendiskusikan aqidah dan bagaimana upaya kita untuk menjaga aqidah umat.  Kami yakini bahwa kita semua akan senantiasa dalam lindungan dan pertolongan Allah sesuai janji Allah

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan mereka yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran-Ku sungguh Aku akan memberi petunjuk kepada mereka” (Al-Ankabut Ayat 69).

Menjaga aqidah umat adalah sebaik-baik hadiah yang diberikan oleh para ulama kepada mereka kapan dan dimanapun berada. Lebih-lebih disaat merebaknya fitnah-fitnah yang menggerogoti aqidah-aqidah seperti yang kita rasakan dan saksikan pada saat ini. Bahkan ada diantara kita yang sudah keropos aqidahnya namun ia tidak merasa tergerogoti. Umat islam adalah umat yang besar akan tetapi sering lengah dengan jumlah yang besar ini sehingga kadang-kadang kita kurang mencermati hal-hal yang disusupkan musuh-musuh Allah dalam tubuh umat Islam. Maka dalam kesempatan pertemuan ini kami ingin menghadirkan sekilas tentang aqidah yang benar untuk bisa menjadi bekal bagi kita didalam menegakkan dan menjaga aqidah umat Islam dunia dan Indonesia khususnya yang Alhamdulillah dari generasi ke gernerasi mereka pada aqidah yang benar yaitu ahlu sunnah wal jamaah.


Pertolongan pertama di zaman fitnah aqidah

     Yang kami maksud pertolongan pertama dizaman fitnah aqidah ini adalah bagaimana kita menghadirkan hal terpenting  dan  mendesak yang dibutuhkan oleh ummat dalam upaya membentengi aqidah yang benar.
    Ada dua hal yang secara subtansi dan maknawi tidak terlalu penting akan tetapi hal tersebut perlu diperhatikan lebih karena dari situlah kesesatan akan masuk. Dua hal tersebut yang pertama mengenal sebuah identitas dan yang kedua adalah mempertahankan manhaj talaqqi.

    1. Mengenal sebuah identitas

Di dalam kita berbicara untuk menjelaskan aqidah yang benar  sangat sulit kalau seandainya hanya dalam ceramah yang singkat atau dalam pertemuan yang sesaat. Akan tetapi dengan menyadari dan memahami sebuah identitas diri kebenaran aqidahnya bisa  dengan sangat mudah di jaga dan di kontrol agar seseorang  tidak terbawa masuk dalam kelompok aqidah yang salah atau sesat. Dan hal ini bisa kita saksikan dalam amaliyah-amaliyah di dalam keseharian mereka mulai dari tawasulan, tahlilan, membaca kitab maulid secara bersamaan (asroqolan atau marhabanan) yang sungguh itu semua adalah amaliyah yang benar dan telah menjadi ciri khas aqidah yang benar biarpun sebenarnya pembahasan aqidah yang lebih penting bukan di dalam amaliah-amaliyah tersebut.

Kalau kita cermati para ulama terdahulu dalam urusan aqidah dan amaliyah, mereka lebih mementingkan isi daripada kulit. Hingga terkadang seorang muslim awam ahlu sunnah wal jamaah dengan kualitas aqidahnya  yang sudah  benar  akan tetapi dia tidak mampu  untuk menjelaskan ahlu sunnah wal jamaah dengan  panjang dan lebar dengan pemaparan ilmiyah. Padahal sebetulnya penjabaran  makna aqidah ahlu sunnah wal jamaah secara panjang lebar sudah dihadirkan dan disosialikan oleh ulama-ulama terdahulu dengan metode yang sangat sederhana dan kemasyarakatan sehingga  sebuah aqidah sudah menyatu dengan kehidupan mereka.

 Cara penjabaran dan pemaparan luas dan halus amatlah tepat pada masa disaat  fitnah aqidah belum banyak tersebar. Akan tetapi disaat fitnah aqidah merebak dimana-mana dan  pergeseran nilai aqidah mudah terjadi. Kita harus bisa mencermati sebab–sebab umat ini termakan fitnah. Kita bisa saksikan disaat munculnya ahli fitnah yang tidak henti-hentinya merendahkan dan mencaci aqidah ahli sunnah wal jamaah. Orang-orang awam pun diam karena tidak tahu kalau mereka sendiri yang dicaci karena mereka tidak mengenal identitas mereka sendiri.

 Maka dari itu kami perlu mengenalkan sebuah identitas yang secara hakikatnya memang kurang penting sebab hal itu hanya berurusan dengan kulit dan bukan subtansi aqidah. Akan tetapi sebagai langkah pertama dalam membentengi aqidah dalam kondisi mendesak dan darurat  kami anggap mengenal identitas diri saat ini amat diperlukan yaitu disaat  merebaknya fitnah dan banyaknya pemalsu-pemalsu aqidah.

Sebab lain yang menjadikan mengenal identitas diri ini penting adalah karena banyaknya orang yang memusuhi aqidah para ulama ahlu sunnah. Yang  mereka pun yang menggemborkan syi’ar dan slogan ahlu sunnah wal jamaah  dan menamakan diri mereka ahlu sunnah wal jamaah. Jadi pengenalan identitas ini disaat ini sangat penting untuk membedakan ahlu sunnah wal jamaah yang sesungguhnya dengan ahlu sunnah wal jamaah yang palsu.  Dan setelah itu kita akan mencoba satu demi satu untuk menjelaskan perbedaan antara ahlu sunnah wal jamaah yang palsu dan yang ahli sunnah yang sesungguhnya dengan kajian ilmiah di dalam pembahasn berikutnya.

Identitas yang kami maksud adalah:
1.    Islam
2.    Ahlu sunnah wal jamaah
3.    Asy’ariyah atau Maturidiyah.
4.    Shufiyyah  
5.    Pengikut salah satu 4 madzhab

Seseorang yang beraqidah yang benar adalah seorang muslim, sunni, asy’ari, shufi dan bermadhab.
Artinya di zaman fitnah ini tidak cukup seorang itu dikatakan aqidahnya benar jika dia  hanya menyebut dirinya sebagai seorang muslim saja.  Sebab Islam sekarang bermacam-macam dan alangkah banyaknya Islam yang dipalsukan oleh musuh-musuh Allah.
Oleh sebab dalam irama pembuktian kebenaran akidah seorang muslim harus dilanjutkan  dengan ikrar bahwa dirinya adalah   muslim ahlu sunnah wal jamaah .

Dan dengan jawaban sebagai muslim ahlu sunnah wal jamaah saja ternyata belum cukup karena adanya pemalsu-pemalsu ahlu sunnah wal jamaah yang mereka adalah musuh-musuh ahlu sunnah wal jamaah. Maka dari itu harus dilanjutkan ikrar  bahwa dirinya adalah pengikut   ahlu sunnah wal jamaah Asy’ariyah.  
Dan orang yang mengatakan dirinya sebagai Asy’ariy atau pengikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata belum cukup, sebab ada sekelompok orang yang sepertinya mengagungkan Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata mereka adalah musuh-musuh Abul Hasan Al Asy’ari. Dan pengikut Imam Abul Hasan yang benar adalah mereka yang berani mengatakan dirinya adakah pengikut para Ahli Tasawuf (shufiyyah) di dalam ilmu mendekatkan diri kepada Allah. Maka seorang Asy’ari yang benar haruslah dia berkeinginan untuk menjadi seorang shufi  dan  mencintai ahli Tasawuf .
Termasuk fitnah besar akhir-akhir ini dimunculkan adalah tuduhan sesat kepada ahli tasawwuf. Dan memang kita akui ada segelintir orang yang menodai citra tasawwu.Dan itu tergolong orang yang sesat mengaku bertasawwuf. Adapun tasawuf adalah ilmu untuk membersihkan hati dalam irama mencari ridho Alloh.
Maka sangat sesat orang-orang yang memusuhi tasawwuf biarpun dia mengaku ahlusunnah dan biarpun juga mengakui Abul Hasan Al-Asy’ari.

Dan yang terakhir adalah identitas ahlu sunnah wal jamaah di dalam masalah fiqih mereka adalah orang-orang yang mengikuti kepada Imam Madzhab yang empat Imam  Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Bin Hambal. Dalam bahasa fiqh kita sering menyebut dengan istilah bertaqlid kepada salah satu dari imam 4 madhab.
Identitas terakhir ini juga sangat perlu dihadirkan sebab pada zaman akhir ini telah muncul orang yang mengaku ahlu sunnah wal jamaah akan tetapi dengan kesombongannya mereka merendahkan dan membenci taqlid bahkan hingga sampai mencaci maki dan merendahkan para ulama-ulama yang bertaqlid.  Maka  bertaqlid adalah termasuk ciri aqidah ahlu sunnah wal jamaah yang benar.
Maka orang sesat adalah orang  yang mengaku Islam tetapi  bukan ahlissunah, membenci asy’ariyah,membenci tasawwuf dan tidak mau bermadhab.Ini adalah cara pintas untuk mengenali orang-orang yang beraqidah benar di tengah-tengah kesesatan ummat.

   2. Manhaj Talaqqi

Talaqqi adalah pengambilan ilmu  dengan memperhatikan kedisiplinan, kesinambungan, keilmuan antara guru dengan murid. Hal yang semacam ini sangat berarti dalam irama menjaga dan mengkaji ahlu sunnah wal jamaah yang benar. Disini bukan berarti seseorang tidak boleh memperluas ilmu dengan cara membaca, akan tetapi disini lebih ditekankan kepada seseorang agar mempunyai dasar-dasar aqidah yang benar yang diambil dari guru yang jelas terlebih dahulu sebelum dia mengembara dengan akal pikirannya ke berbagai disiplin ilmu atau untuk menelaah pemikiran-pemikiran aqidah yang berbeda.

 Dan pada dasarnya cara ini sudah mengakar dan membudaya di lingkungan pesantren-pesantren salaf yang diasuh oleh para ulama dengan metode sorogan atau memindah ilmu dengan membaca kitab secara kalimat perkalimat dari awal hingga akhir. Seperti yang sangat kita sering dengar dengan pengenalan kitab-kitab aqidah, seperti Aqidatul awam, Jauharotut tauhid dan yang lainnya yang secara ilmiah terbukti itu adalah penjabaran dari aqidah ahlu sunnah wal jamaah. Maka menjaga mata rantai dan kesinambungan keilmuan seperti ini adalah sangat penting. Dan dalam pengamatan kenyataan di zaman ini kita tidak menemukan kesesatan kecuali disaat seseorang tersebut meninggalkan buku-buku aqidah para pendahulunya dan cara yang di anut oleh pendahulunya dalam mengambil lmu.
Ada 3 hal yang amat penting untuk kita cermati dalam masalah manhaj talaqqi terhadap kerusakan aqidah ahlu sunnah wal jamaah.

1.    Dari awal pendidikan agamanya memang tidak dikenalkan dengan aqidah yang benar melalui kitab-kitab yang benar dengan manhaj talaqqi
Dalam hal ini bisa dibuktikan bahwa jika ada pesantren atau ada lembaga pendidikan yang tidak berpegang kepada manhaj talaqi sudah tidak ada lagi maka yang  terjadi adalah mudah  tercemar oleh aqidah yang sesat.
2.    Manhaj talaqqi masih di berlakukan  akan tetapi itu hanya sekedar pembacaan rutin tanpa ditindaklanjuti kajian yang lebih dalam.
Hal ini akan menjadikan seseorang akan mudah tercemar oleh aqidah-aqidah yang sesat karena disatu sisi mereka kurang mendalami aqidah yang mereka tekuni. Disisi lain virus kesesatan bertebaran melalui media-media yang saat ini menjadi lebih dekat kepada masyarakat seperti televisi, radio dan buletin-buletin yangsemua itu lebih mudah dibaca dengan bahasa lokal yang mudah di fahami seiring berkembangnya dunia tehnologi.Sementara penyeru kesesatanpu sangat gigih dalam menyebarkan kesesatan.
3.    Semangat ingin tahu kepada agama yang tinggi yang tidak dibarengi dengan bimbingan seorang guru dan hanya hanya mengandalkan kemampuannya dalam membaca buku-buku yang ditemukannya di toko-toko buku atau yang dibaca melalui internet.

Hal yang semacam inilah yang kami cermati telah benar-benar menjadikan aqidah kita semakin hari semakin keropos.
    Kita bisa saksikan dengan para perusak aqidah telah dengan gigihnya membuat radio-radio,mencetak buku-buku murah dan gratis serta selebaran yang dibagi secara cuma-Cuma    Sebagai contoh, di kebanyakan kota  kabupaten  penyebar aqidah sesat itu berusaha untuk mempunyai radio karena mereka yakin dengan adanya radio mereka bisa mempengaruhi masyarakat luas yang sebenarnya dihati mereka ada kerinduan untuk mendalami ilmu agama. Dengan membuat stasiun radio ternyata tanpa kita sadari telah berpengaruh besar terhadap kesesatan.
     Justru kita sebagai pembawa aqidah yang benar kita kurang berfikir maju untuk menguasai media informasi demi membendung arus penyesatan aqidah. Hubungannya dengan manhaj talaqqi  yang kami sebut adalah kita jangan memulai belajar aqidah kecuali dengan manhaj talaqqi. Dan kita harus berusaha agar  media-media yang ada dan juga toko-toko buku  bisa dipenuhi oleh orang-orang yang mempunyai aqidah yang benar dan menekuni manhaj talaqqi.Dan jangan membaca buku aqidah kecuali atas petunjuk guru yang mempunyai manhaj talaqqi. Wallohu a’lam bishshowab.

Puasa Rajab

Fiqh Menjawab
Allah Swt. berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ.

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Taubah: 36).

Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam penanggalan Hijri. Pada bulan ini terjadi peristiwa agung sepertiIsra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. pada tanggal 27 Rajab. Di samping itu, Rajab juga termasuk bulan mulia yang disebut sebagai bulan haram, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. surat al-Taubah ayat 36 di atas. Hal ini dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّه السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوالْقَعْدَةِ وَذُوالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Dari Abi Bakrah ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Zaman (masa) telah berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan haram (suci/mulia), tiga bulan berurutan yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, lalu bulan Rajab yang berada antara Jumadi al-Awal dan Sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara harfiah kata “rajab” memiliki arti al-asham yang berarti tuli, yaitu tuli dalam arti tidak terdengar suara pedang, hal ini dikarenakan pada bulan rajab (dan bulan haram lainnya) dilarang melakukan peperangan. Sedangkan derivasi lain dari kata rajab adalah rajjaba yang berarti a’dzama (mengagungkan), yaitu karena bulan rajab termasuk bulan yang diagungkan oleh Allah Swt dengan tiga bulan haram lainnya.

BERPUASA DI BULAN RAJAB

Bagi sebagian umat Islam, datangnya bulan Rajab menjadi sebuah momentum untuk melaksanakan ibadah puasa. Mereka beranggapan puasa Rajab adalah sunnah, sehingga mereka pun berlomba-lomba melaksanakannya. Namun di kalangan umat Islam lainnya, puasa Rajab ini dianggap bid’ah dan tak diperbolehkan karena tidak memiliki dalil yang valid. Mengenai hal tersebut, dalam penjelasan seputar puasa Rajab ini akan menjawab hal tersebut. Apakah benar puasa Rajab itu tidak memiliki landasan syari’at?

Ada banyak sabda Rasulullah Saw yang menjelaskan puasa bulan Rajab tersebut. Di antara sekian banyak Hadis itu ada yang kualitasnya palsu (maudhu’), Hadis palsu ini tidak bisa diterima dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil). Ada pula yang kualitasnya dha’if (lemah), Hadis dha’if hanya bisa diamalkan dalam hal fadhail al-a’mal (keutamanan-keutamaan amal) saja.

Ada juga yang kualitasnya shahih (valid), Hadis shahih bisa dijadikan sebagai dalil dalam hal apapun. Sedangkan Hadis yang banyak tersebar di masyarakat tentang puasa Rajab itu adalah Hadis palsu.

HADIS PALSU PUASA RAJAB

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ كَانَ كَصِيَامِ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِّقَتْ عَنْهُ سَبْعَةُ أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، وَمَنْ صَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا نَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: قَدْ غَفَرْتُ لَكَ مَا سَلَفَ فَاسْتَأْنِفِ الْعَمَلَ قَدْ بَدَّلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ، وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَفِي شَهْرِ رَجَبٍ حُمِلَ نُوحٌ فِي السَّفِينَةِ، فَصَامَ نُوحٌ، وَأَمَرَ مَنْ مَعَهُ أَنْ يَصُومُوا، وَجَرَتْ بِهِمُ السَّفِينَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ إِلَى آخِرِ ذَلِكَ لِعَشْرٍ خَلَوْنَ مِنَ الْمُحَرَّمِ

“Siapa berpuasa satu hari pada bulan rajab, ia seperti berpuasa setahun. Siapa berpuasa tujuh hari, akan ditutup tujuh pintu neraka baginya. Siapa berpuasa delapan hari, maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya. Siapa berpuasa sepuluh hari, apapun yang diminta, Allah akan memberikannya. Siapa berpuasa 15 hari, maka terdengar seruan dari langit “Aku telah mengampuni segala dosa perbuatanmu yang telah lalu dan akan datang, engkau telah mengganti keburukan dengan kebaikanmu”. Siapa yang menambahnya (lebih dari 15 hari), Allah akan menambahkannya pula. Di bulan Rajab, Nuh berlayar, ia berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang ikut bersamanya untuk berpuasa dan berlayar selama enam bulan sampai 10 terakhir bulan Muharram.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman. Dalam komentarnya, al-Baihaqi menilai Hadis ini dengan mengutip argumen Imam Ahmad yang menyatakan kepalsuan Hadis tersebut, bahkan menurut Imam Ahmad masih ada Hadis lain lagi yang menyebutkan tentang keutamaan puasa di hari-hari bulan Rajab itu, dan kualitasnya adalah palsu (maudhu’).

Hadis palsu inilah yang tersebar luas di masyarakat, namun dengan redaksi bahasa: “Siapa yang berpuasa satu hari pada bulan Rajab, dia akan membuka satu pintu surga. Siapa yang berpuasa dua hari, dia akan membuka dua pintu surga. Siapa yang berpuasa delapan hari, maka dia akan membuka delapan pintu surga dan dapat masuk dari pintu mana saja.”

Redaksi ini sama halnya dengan memalsukan kembali Hadis yang memang sudah palsu tersebut. Berpuasa dengan berlandaskan pada Hadis ini adalah sebuah kekeliruan, dan tidak diperbolehkan.

Islam tidak pernah mengajarkan pemeluknya untuk berpijak pada Hadis palsu. Akan tetapi Islam dengan tegas menyatakan bahwa pijakan seorang muslim harus berdasar pada dalil yang valid (shahih), al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Ulama, atau Qiyas. Karenanya berpuasa di bulan Rajab dengan menjadikan Hadis tersebut sebagai argumen adalah kesalahan fatal, ini yang tidak diperbolehkan.

HADIS SHAHIH PUASA RAJAB

Argumen yang tidak membolehkan puasa Rajab, mungkin diakibatkan oleh Hadis palsu yang tersebar luas di masyarakat tersebut. Padahal masih banyak Hadis lain yang menjelaskan puasa Rajab dengan kualitas yangshahih. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, dan Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, bahwa suatu ketika Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, saat itu keduanya berada di bulan Rajab. Sa’id bin Jubair menjawab, aku mendengar Ibnu Abbas berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ. وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ.

“Rasulullah Saw berpuasa beberapa hari hingga kami mengira beliau akan puasa terus. Beliau berbuka beberapa hari hingga kami mengira beliau akan berbuka terus.”

Menjelaskan Hadis ini, Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa maksud Hadis tersebut adalah puasa di bulan Rajab tidak dilarang dan tidak pula disunnahkan. Namun, jika melihat Hadis shahih yang lain tentang kesunnahan berpuasa di bulan haram (bulan yang disucikan), maka pada dasarnya berpuasa di bulan rajab itu disunnahkan, Rasulullah saw., bersabda:

صم اشهر الله الحرم

“Berpuasalah dari sebagian bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Al Muharram).”

Rasulullah Saw menyampaikan Hadis ini dengan memberi isyarat menggunakan ketiga jari-jarinya, beliau menggenggam, kemudian membukanya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya.

Maka melalui Hadis shahih ini, puasa Rajab boleh dilakukan. Sebaliknya, puasa Rajab menjadi tidak diperbolehkan jika menggunakan dalil Hadis palsu (maudhu’) di atas. Kesimpulannya adalah puasa Rajab itu sunnah dan dianjurkan jika menggunakan dalil Hadis shahih tersebut. Wallahu A’lam bisshawab.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan Bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma›ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa: 114). File Dokumen Fiqh Menjawab

Friday, May 10, 2013

Antara Ahlisunnah Wal Jama’ah dan Ahli Fitnah.


Ahlissunnah Wal Jama’ah

Ahlissunnah Wal Jama’ah adalah Manhaj beraqidah yang benar dengan dua ciri. Pertama:  mereka sangat mencintai keluarga Nabi Muhammad SAW. Kedua: mereka juga sangat  mencintai Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Maka tidak cukup orang mengaku beragama Islam akan tetapi dengan mudah mereka mencaci para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari Ahlissunnah Wal Jama’ah model ini diwakili oleh kelompok Syi’ah (Syi’ah Imamiyah Itsnata ’Asyariyah) dengan ciri khas paling menonjol dari mereka adalah  mengagungkan Ahlibait Nabi Muhammad SAW akan  tetapi merendahkan para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Begitu juga tidak cukup orang mengaku Islam akan tetapi dia merendahkan Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari Ahlissunnah Wal Jama’ah model ini diwakili   oleh mereka yang tidak peduli dengan urusan Ahlibait Nabi Muhammad SAW, merendahkan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib biarpun di sisi lain mereka mengakui para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ringkasnya Ahlissunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang memuliakan Ahlul Bait dan sekaligus mengagungkan para Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ada di antara orang-orang yang mengaku mengagungkan dan memuliakan para Sahabat Nabi Muhammad SAW dan Ahlibait Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi mereka punya penafsiran-penafsiran tentang aqidah yang jauh dari kitab Alloh  dan sunnah Rasululloh SAW.

Di saat seperti itu muncullah seorang yang dinobatkan sebagai Imam besar yang telah  berusaha untuk membersihkan Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang benar dari unsur luar dan menjerumuskan. Dan muncullah cetusan-cetusan Ilmu Aqidah yang benar yang dari masa ke masa  menjadi pegangan Umat Islam sedunia yaitu Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah.
Asy`ariyyah adalah sebuah pergerakan pemikiran pemurnian Aqidah yang dinisbatkan kepada  Imam Abul Hasan Al-Asy`ari. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 837 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M.

Imam Al-Asy`ari pernah belajar kepada ayah tiri beliau yang bernama Abu Ali Al-Jubba`i, seorang tokoh  dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga Al-Asy`ari  mula-mula menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami  Aqidah Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara beliau dengan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah. Debat itu membuat beliau tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliaupun keluar dari paham itu dan  kembali kepada pemahanan Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Imam Al-Asy`ari telah berhasil mengembalikan pemahaman sesat kepada Aqidah yang benar dengan kembali kepada apa  yang pernah dibangun oleh para Salaf (Ulama sebelumnya) dengan senantiasa memadukan antara  dalil nash (naql) dan  logika (`aql). Dengan itu beliau berhasil melumpuhkan para pendukung Mu`tazilah yang selama ini menebar fitnah di tengah–tengah Ummat  Ahlissunnah. Bisa dikatakan sejak berkembangnya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil diruntuhkan.
Yang digarap oleh Imam Al’Asyari bukan saja kaum Mu’tazilah. Pada masa Ulama Salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Selain Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) ada  Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Alloh  meridlai keduanya–  yang beliau berdua datang dengan menjelaskan Aqidah Ahlissunnah  Wal Jama’ah yang diyakini para Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) kaum Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan Ahli Bid’ah lainnya. Sehingga Ahlissunnah dinisbatkan kepada keduanya. akhirnya Ahlissunnah Wal Jama’ah  akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). 
   
Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu yaitu kembali kepada Salaf dalam Aqidah. Beliau berdua tidak medatangkan sesuatu yang baru akan tetapi hanya menghadirkan ilmu pendahulunya yang benar di saat terjadi maraknya fitnah.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) Aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para Sahabat nabi, perihal apakah Rasululloh melihat Alloh  pada saat Mi’raj?.

Sebagian Sahabat, seperti Sayyidah ‘Aisyah Radiallahuanha dan Sayyidina Ibn Mas’ud Radiallahuan mengatakan bahwa Rasululloh SAW tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Sayyidina Abdullah Ibn 'Abbas Radiallahuan mengatakan bahwa Rasululloh SAW melihat Alloh  dengan hatinya. Alloh  memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Alloh. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar Aqidah.

Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:“Jika dikatakan Ahlissunnah  Wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6). Jadi Aqidah yang benar dan diyakini oleh para Ulama Salaf yang Shalih adalah Aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan Aqidah yang diyakini oleh para Nabi dan Rasul serta para Sahabat. Aqidah Ahlissunnah adalah Aqidah yang diyakini oleh ratusan juta Umat Islam, mereka adalah para pengikut Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari Madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).

Karena yang tersebar di Indonesia adalah Aqidah Asya’riyyah maka  dalam tulisan ini kami lebih sering menyebut Asy’ariyyah dari pada al-Maturidiyyah.

Ulama Asya’iroh dari masa ke masa  

Ulama Asya’iroh (pengikut  Abul Hasan al-Asya’ari) dari masa ke masa selalu mempunyai peran dalam membela Aqidah yang benar Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah  dan juga disiplin ilmu yang lainnya seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan Fiqih.

Dan terbukti dalam sejarah perkembangan Ulama Asya’iroh-lah yang  memenuhi penjuru dunia. Merekalah Ahlissunnah Wal Jama’ah  yang sesungguhnya.

Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Qurthubi, Imam al-Baqilani, Imam al-Fakhr ar-Razi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam Zakariya al-Anshari dll. Yang mereka semua adalah panutan kita dalam berbagai disiplin ilmu Islam. an-Nawawi dalam fiqih dan haditsnya dengan Kitab Fiqih yang sangat mashur Minhajut Tolibin dan  Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juga kitab haditsnya Riyadhush Sholihin yang tidak sah seorang alim kecuali harus pernah membacanya. Imam Ibnu Hajar al-Asqolani pakar ilmu hadits yang digelari Amirul Mukminin dalam ilmu hadits yang sangat masyhur dengan Fathulbari-nya buku panduan bagi semua yang ingin memahami kitab Shohih Bukhori. Imam  ar-Rozi gurunya para Ahli Tafsir (Syaihul Mufassirin) tidak ada  Ahli Tafsir yang datang setelah beliau kecuali harus menimba Ilmu Tafsir dari karangan-karangan beliau.

Ahli Fitnah Dan Ahli Bid’ah

Akhir-akhir ini muncul di masyarakat kita sekelompok orang yang mengaku beraqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah bahkan mereka mengaku Salafi akan tetapi mereka adalah Ahlissunnah Wal Jama’ah  palsu dan Salafi palsu.

Ciri kelompok tersebut adalah memusuhi Ulama Asya’iroh dengan melontarkan bermacam tuduhan yang muncul karena kedengkian dan  kebodohan mereka akan Ahlissunnah Wal Jama’ah  Asy’ariyyah.

Kadang mereka juga mengakui Abul Hasan al-Asy’ari  akan tetapi  membuat cerita bualan bahwa  Imam Abul Hasan al-Asy’ari dalam beraqidah mengalaimi 3 fase. Yang pertama beliau mengikuti pemikiran Mu’tazilah, selanjutnya  kedua beliau keluar dan mengikuti Abdullah bin Said bin Kilab, dan yang  ke tiga  pindah kepada Manhaj yang benar –manhaj Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Akan tetapi bualan mereka itu ditolak oleh kenyataan yang bisa di baca dari murid-murid dan pengikut setia  Imam Imam Abul Hasan Al-Asy’ari bahwa beliau setelah keluar dari Mu’tazilah masuk Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ahyang sampai hari ini masyhur dengan  Asya’ariah yang  melahirkan  pakar-pakar aqidah Ahlissunnah Asy’ariyyah sampai hari ini.

Ciri lain Ahli Fitnah tersebut adalah membenci Ahli Tasawwuf dengan membabi buta. Bahkan mereka dengan mudah mencaci dan mebida’hkan kaum muslimin Asya’iroh karena beberapa amalan yang sudah mengakar dari masa ke masa dan dengan hujjah yang jelas dan kuat. Semua ini akan  kami ulas pada pembahasan lanjutan dari artikel ini atas izin Alloh.

Kesimpulanya bahwa Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang sesungguhnya adalah Aqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Wallohu A’lam Bishshowab

Puasa Rajab 2

Fiqh Menjawab
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam membahas masalah puasa Rajab. Pertama, tidak ada riwayat yang benar dari Rosulullah saw. yang melarang puasa Rajab.  Kedua, banyak riwayat-riwayat tentang keutamaan-keutamaan puasa Rajab yang tidak benar dan palsu.

Dan di dalam masyarakat kita terdapat dua kelompok. Pertama adalah sekelompok kecil kaum muslimin yang menyuarakan dengan lantang bahwa puasa bulan Rajab adalah bid’ah. Kedua kelompok orang yang biasa melakukan atau menyeru puasa Rojab akan tetapi tidak menyadari telah membawa riwayat-riwayat tidak benar dan  palsu. Sebenarnya masalah puasa rajab sudah dibahas tuntas oleh ulama-ulama terdahulu dengan jelas dan gamblang. Akan tetapi  karena adanya kelompok kecil hamba-hamba Alloh yang biasa menuduh bid'ah orang lain menyuarakan dengan lantang bahwa amalan puasa di bulan Rajab adalah sesuatu yang bid’ah.

Tidak dipungkiri adanya hadits-hadits dho’if atau palsu (maudhu’) yang sering dikemukakan oleh sebagian orang tentang pahala-pahala tertentu akan puasa Rojab. Maka dari itu wajib untuk kami menjelaskan agar jangan sampai ada yang membawa hadits-hadits palsu mengatasnamakan Rasulullah biarpun untuk kebaikan seperti memacu orang untuk beribadah, karena hal itu hukumnya dilarang sebagaimana ancaman Rosulullah saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa sengaja berbohong atas namaku maka hendaknya mempersiapkan diri untuk menempati neraka." (HR. Bukhari Muslim)

Dan perlu diketahui bahwa dengan banyaknya hadits-hadits palsu tentang keutamaan puasa Rajab, itu bukan berarti tidak ada hadits  yang benar (shahih) tentang keutamaannya bulan Rajab.

Dalil-dalil tentang puasa Rajab

1.    Dalil tentang puasa Rjab secara umum

Himbauan secara umum untuk memperbanyak puasa kecuali di hari-hari yang diharamkan yang lima dan bulan Rajab adalah bukan termasuk hari-hari yang diharamkan. Dan juga anjuran-anjuran memperbanyak di hari-hari seperti puasa hari senin, puasa hari kamis, puasa hari-hari putih, puasa daud dan lain-lain yang itu semua bisa dilakukan dan tetap dianjurkan walaupun di bulan Rajab. Berikut ini adalah riwayat-riwayat tentang keutamaan puasa.

a.    Hadits Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori No.5472:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ أَدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامُ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ

"Semua amal anak adam (pahalanya) untuknya kecuali puasa maka aku langsung yang membalasnya."

b.    Hadits Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim No.1942:

لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Bau mulutnya orang yang berpuasa itu lebih wangi dari misik menurut Allah kelak di hari kiamat."

c.    Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori No.1063 dan Imam Muslim No.1969 :
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامُِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَ يُفْطِرُ يَوْمًا

"Sesungguhnya paling utamanya puasa adalah puasa saudaraku Nabi Daud, beliau sehari puasa dan sehari buka."

2.    Dalil-dalil puasa Rojab secara khusus

a.    Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حَكِيْمٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ: " سَأَلْتُ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبَ ؟ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِيْ رَجَبَ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْم

"Sesungguhnya Ustman Ibn Hakim al-Anshori berkata, "Aku bertanya kepada Sa’id Ibn Jubair tentang puasa di bulan Rajab dan ketika itu kami memang di bulan Rajab", maka Sa’id menjawab: "Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata : "Nabi Muhammad saw. berpuasa (di bulan Rajab) hingga kami katakan beliau tidak pernah berbuka di bulan Rajab, dan beliau juga pernah berbuka di bulan Rajab, hingga kami katakan beliau tidak berpuasa di bulan Rajab."

Dari riwayat tersebut di atas bisa dipahami bahwa Nabi  pernah berpuasa di bulan Rajab  dengan utuh, dan Nabi pun pernah tidak berpuasa dengan utuh. Artinya di saat Nabi SAW meninggalkan puasa di bulan Rajab itu menunjukan bahwa puasa di bulan Rajab bukanlah sesuatu yang wajib.  Begitulah yang dipahami para ulama tentang amalan Nabi, jika Nabi melakukan satu amalan kemudian Nabi meninggalkannya  itu menunjukan amalan itu bukan suatu yang wajib, dan hukum mengamalkannya adalah sunnah.

b.    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah

عَنْ مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيْهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ : أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِيْ. قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيِّ الَّذِيْ جِئْتُكَ عَامَ اْلأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ. ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِيْ فَإِنَّ بِيْ قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا. رواه أبو داود 2/322

“Dari Mujibah Al-Bahiliah  dari ayahnya atau pamannya sesungguhnya ia (ayah atau paman) datang kepada Rosulullah kemudian berpisah dan kemudian datang lagi kepada Rosulullah setelah setahun dalam keadaan tubuh yang berubah (kurus), dia berkata : Yaa Rosulullah apakah engkau tidak mengenalku? Rosulullah  menjawab : Siapa Engkau? Dia pun berkata : Aku Al-Bahili yang pernah menemuimu setahun yang lalu. Rosulullah bertanya : Apa yang membuatmu berubah sedangkan dulu keadaanmu baik-baik saja (segar-bugar), Ia menjawab : Aku tidak makan kecuali pada malam hari (yakni berpuasa) semenjak berpisah denganmu, maka Rosulullah bersabda :  Mengapa engkau menyiksa dirimu, berpuasalah di bulan sabar dan sehari di setiap bulan, lalu ia berkata : Tambah lagi (yaa Rosulullah) sesungguhnya aku masih kuat. Rosulullah  berkata : Berpuasalah 2 hari (setiap bulan), dia pun berkata : Tambah lagi ya Rosulullah. Rosulullah berkata : berpuasalah 3 hari (setiap bulan), ia pun berkata: Tambah lagi (Yaa Rosulullah), Rosulullah bersabda : Jika engkau menghendaki berpuasalah engkau di bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharrom) dan jika engkau menghendaki maka tinggalkanlah, beliau mengatakan hal  itu tiga kali sambil menggenggam 3 jarinya kemudian membukanya."

Imam nawawi  menjelaskan hadits tersebut.

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ" إنما أمره بالترك ; لأنه كان يشق عليه إكثار الصوم كما ذكره في أول الحديث . فأما من لم يشق عليه فصوم جميعها فضيلة . المجموع 6/439

Sabda Rosulullah saw. "Berpuasalah di bulan haram kemudian tinggalkanlah." Sesungguhnya Nabi saw memerintahkan berbuka kepada orang tersebut karena dipandang puasa terus-menerus akan memberatkannya  dan menjadikan fisiknya berubah. Adapun bagi orang yang tidak merasa berat untuk melakukan puasa, maka berpuasa dibulan-bulan tersebut seutuhnya adalah sebuah keutamaan." (Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 6 hal. 439)

c.    Hadits riwayat Usamah Bin Zaid

قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر غفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم. رواه النسائي 4/201

"Aku berkata kepada Rosulullah : Yaa Rosulullah aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban. Rosulullah menjawab : Bulan Sya’ban itu adalah bulan yang dilalaikan di antara bulan Rajab dan Ramadhan, dan bulan sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Allah SWT dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaaan aku berpuasa." (HR. Imam An-Nasa’I Juz 4 Hal. 201)

Imam Syaukani menjelaskan

ظاهر قوله في حديث أسامة : إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه  ستحب صوم رجب ; لأن الظاهر أن المراد أنهم يغفلون عن تعظيم شعبان بالصوم كما يعظمون رمضان ورجبا به  . نيل الأوطار 4/291

Secara tersurat yang bisa dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Usamah,  Rosulullah bersabda : “Sesungguhnya Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan” ini menunjukkan bahwa puasa Rajab adalah sunnah sebab bisa difahami dengan jelas dari sabda Nabi bahwa mereka lalai dari mengagungkan Sya’ban dengan berpuasa karena mereka sibuk mengagungkan Ramadhan dan Rojab dengan berpuas." (Naylul Author juz 4 hal 291)

Komentar Para Ulama tentang Puasa Rojab

Jumhur Ulama dari Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad Bin Hanbal mereka mengatakan bahwasannya disunnahkan puasa di bulan Rajab semuanya dan juga ada riwayat lain dari Imam Ahmad Bin Hanbal bahwasannya makruh mengkhususkan melakukan puasa sebulan penuh di bulan Rajab. Akan tetapi di dalam Madzhab Imam Ahmad Bin Hanbal dijelaskan bahwasannya kemakruhan ini akan hilang dengan 4 hal :

1)    Dibolong (berbuka) 1 hari di bulan Rajab, atau
2)    Disambung dengan puasa di bulan sebelum Rajab, atau
3)    Disambung dengan puasa di bulan setelah Rajab
4)    Dengan puasa di hari apapun di selain bulan Rajab.

Secara singkat para ulama empat madzhab tidak ada yang mengatakan puasa bulan Rajab adalah bid’ah. Bahkan mereka sepakat kalau puasa bulan Rajab adalah sunnah termasuk dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal. Berikut ini uraian ulama empat tentang puasa Rajab :
1.    Pendapat Ulama Madzhab Hanafi
•    Disebutkan dalam Fatawa Al-Hindiyah Juz 1 Hal. 202 :

المرغوبات من الصيام أنواع ( أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ). اهـ

"Puasa yang disunnakahkan itu bermacam-macam: Puasa Muharrom, Puasa Rojab, Puasa Sya’ban, Puasa ‘Asyuro’ (tgl. 10 Muharrom)."

2.    Pendapat dari Ulama’ Madzhab Maliki
•    Disebutkan dalam Syarh Al-Khorsyi ‘Ala Kholil Juz 2 Hal. 241:

أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ). اهـ

"Sesungguhnya disunnahkan puasa di bulan Muharrom dan puasa di bulan Rajab."

•    Disebutkan dalam Hasyiah dari Syarh Al-Khorsyi ‘Ala Kholil :

بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ). اهـ

"Disunnahkan puasa di bulan-bulan haram yang 4, paling utamanya adalah puasa di bulan Muharrom kemudian Rajab, Duzl Qo’dah dan Dzul Hijjah."

•    Disebutkan dalam Muqoddimah Ibnu Abi Zaid serta syarah Lil Fawaakih Al-Dawani juz 2 hal. 272 :

التنفل بالصوم مرغب فيه وكذلك , صوم يوم عاشوراء ورجب وشعبان ويوم عرفة والتروية وصوم يوم عرفة لغير الحاج أفضل منه للحاج. اهـ

"Melakukan puasa disunnahkan begitu juga puasa dihari ‘Asyuro’, bulan Rajab, bulan  Sya’ban, Hari ‘Arafah dan Tarwiyah sedangkan puasa di hari ‘Arafah itu lebih utama bagi orang yang tidak haji."

•    Disebutkan dalam Syarh Ad-Dardir, syarah Muhtashor Kholil juz 1 hal. 513 :

وندب صوم المحرم ورجب وشعبان وكذا بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذوالقعدة والحجة). اهـ

"Dan disunnahkan puasa Muharrom, Rajab, Sya’ban begitu juga bulan-bulan haram lainnya yang 4 dan paling utamanya adalah puasa Muharrom kemudian Rajab, Duzl Qo’dah dan Dzul Hijjah."

•    Disebutkan dalam At-Taj Wa Al-Iklil juz 3 hal. 220 :

والمحرم ورجب وشعبان لو قال والمحرم وشعبان لوافق المنصوص . نقل ابن يونس : خص الله الأشهر الحرم وفضّلها وهي : المحرم ورجب وذو القعدة وذو الحجة . اهـ

“Dan disunnahkan Puasa Muharrom, Rojab dan Sya’ban, andaikan beliau berkata “Puasa Muharrom dan Sya’ban disunnahkan maka akan mencocoki Nashnya”. Dinukil dari Ibnu Yunus bahwasannya “Allah swt. mengkhususkan bulan-bulan haram dan mengutamakannya yaitu : Muharrom dan Rajab, Dzul Qo’dah dan Dzul Hijjah.”

3.    Pendapat dari Ulama’ Madzhab Syafi’i
•    Imam An-Nawawi menyebutkan dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab juz 6 hal. 439 :

قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذوالقعدة وذوالحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم. اهـ

"Berkata Ulama kami: Dan dari puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram yaitu Dzulqo'dah, Dzul Hijjah, Muharrom dan Rajab sedangkan yang paling utama adalah Muharrom."

•    Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori menyebutkan dalam Asna Al-Mathollib juz 1 hal. 433 :

)وأفضل الأشهر للصوم(  بعد رمضان الأشهر) الحرم ( ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب )وأفضلها المحرم( لخبر مسلم * أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ( ثم  اقيها) وظاهره استواء البقية والظاهر تقديم رجب خروجا من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ). اهـ

"Paling utamanya bulan-bulan untuk puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan Haram yaitu Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom dan Rajab sedangkan paling Utamanya adalah Muharrom berdasarkan riwayat dari Imam Muslim “Paling utamanya puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharrom kemudian bulan haram yang lainnya. Secara dhohir keutamaan diantara bulan haram yang lainnya itu sama (selain Muharrom). Dan secara dhohir mendahulukan keutamaan Rojab agar keluar dari Khilafnya ulama yang mengunggulkannya melebihi bulan-bulan Haram."

•    Imam Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fatawa-nya juz 2 hal. 53 :

... وأما استمرار هذا الفقيه على نهي الناس عن صوم رجب فهو جهل منه وجزاف على هذه  لشريعة المطهرة فإن لم يرجع عن ذلك وإلا وجب على حكام الشريعة المطهرة زجره وتعزيره التعزير البليغ المانع له ولأمثاله من المجازفة في دين الله تعالى
ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام  إنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه : نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة  لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى. اهـ

"Orang yang melarang puasa Rajab maka itu adalah kebodohan dan ketidak tahuan  terhadap hukum syariat. Apabila ia tidak menarik ucapannya itu maka wajib bagi hakim atau penegak hukum untuk menghukumnya dengan hukuman yang keras yang dapat mencegahnya dan mencegah orang semisalnya yang merusak agama Allah swt.

Sependapat dengan ini ‘Izzuddin Abdusssalam, sesungguhnya beliau ditanya dari apa yang dinukil dari sebagian Ahli Hadits tentang larangan puasa Rajab dan pengharamannya, dan apakah sah orang yang bernadzar puasa Rajab sebulan penuh maka beliau menjawab “Nadzar puasa Rajab itu sah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah swt. Adapun larangan puasa Rojab itu adalah pendapat orang yang bodoh akan pengambilan hukum-hukum syariat. Bagaimana bisa dilarang sedangkan para Ulama’ yang dekat dengan syariat tidak ada yang menyebutkan tentang dimakruhkannya puasa Rojab bahkan dikatakan puasa Rajab adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT (sunnah)".

•    Disebutkan dalam Mughni Al-Muhtaj  juz 2 hal. 187 :

أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم , وأفضلها المحرم لخبر مسلم* أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ثم رجب , خروجا من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ثم باقيها ثم شعبان ). اهـ

"Paling utamanya bulan-bulan untuk melakukan puasa setelah Ramadhan adalan bulan-bulan haram, sedangkan paling utamanya adalah Muharrom berdasarkan Hadits riwayat Imam Muslim “Paling utamanya puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharrom” kemudian Rajab agar keluar dari Khilaf tentang keutamaan Rajab terhadap bulan-bulan haram lainnya kemudian Sya’ban."

•    Disebutkan dalam Nihayah Al-Muhtaj juz 3 hal. 211 :

)اعلم أن أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم وأفضلها المحرم ثم رجب خروجا  من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ثم باقيها وظاهره الاستواء ثم شعبان (. اهـ

"Ketahuilah sesungguhnya paling utamanya bulan-bulan untuk melakukan puasa setelah Ramadhan adalah puasa bulan-bulan Haram. Sedangkan paling utamanya adalah Muharrom kemudian Rajab agar keluar dari Khilaf tentang keutamaannya atas bulan-bulan Haram yang lainnya, yang jelas keutamaannya sama dengan bulan-bulan haram yang lainnya kemudian Sya’ban."

4.    Pendapat dari Ulama’ Madzhab Hanbali
•    Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Al-Mughni juz 3 hal. 53 :

فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله ... قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا  , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ). اهـ

“Fasal : Dan dimakruhkan mengkhususkan Rajab dengan puasa, Imam Ahmad berkata “Apabila seseorang berpuasa bulan Rajab maka berbukalah sehari atau beberapa hari sekiranya ia tidak puasa sebulan penuh, Imam Ahmad berkata “Barangsiapa terbiasa puasa setahun maka boleh berpuasa sebulan penuh kalau tidak biasa puasa setahun janganlah berpuasa terus-menerus dan jika ingin puasa Rajab sebulan penuh hendaknya ia berbuka di bulan Rajab (biarpun sehari) agar tidak menyerupai Ramadhan."
Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa Imam Ahmad tidak membidahkan puasa rojab.

•    Disebutkan dalam Al-Furu’ Karya Ibn Muflih juz 3 hal. 118 :

فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما. وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة . اهـ

“Fasal : Dimakruhkan mengkhususkan Rajab dengan berpuasa berdasarkan apa yang dinukil dari Imam Ahmad Bin Hanbal dan diriwayatkan oleh Umar dan puteranya dan Abi bakrah. Imam Ahmad berkata “Diriwayatkan dari Sayyidina Umar Ra sesungguhnya beliau memukul orang yang berpuasa Rojab, dan berkata Ibnu Abbas “Hendaknya berpuasa Rajab dengan berbuka sehari atau beberapa hari”. Dan kemakruhan puasa bulan Rajab akan hilang dengan berbuka (walaupun sehari) atau dengan berpuasa di bulan lain selain bulan Rajab."

KESIMPULAN

Dari penjelasan dari ulama empat madzhab sangat jelas bahwa puasa bulan Rajab adalah sunnah hanya menurut madzhab Imam Ahmad saja yang makruh. Dan ternyata kemakruhan puasa Rajab menurut madzhab Imam Hanbali itu pun jika dilakukan sebulan penuh. Adapaun kalau berbuka satu hari saja atau disambung dengan sehari sebelumnya atau sesudahnya, atau dengan melakukan puasa diselain bulan Rajab maka kemakruhannya akan  hilang. Dan mereka tidak mengatakan puasa Rajab adalah bid'ah. Wallohu a'lam bishshowab. File Dokumen Fiqh Menjawab