Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Thursday, October 30, 2014

Perawan atau Janda ?

Jodoh memang telah tertulis lebih dulu sebelum manusia itu terlahir. Siapapun nanti yang akan menjadi pasangannya maka itulah takdirnya. Rasulullah sebagai manusia terbaik dalam mahligai rumah tangga menikahi seorang janda sebagai istri pertamanya. Meskipun demikian, pada suatu ketika beliau pernah bertanya kepada sahabat Jabir yang baru menikahi seorang janda, "mengapa tidak (menikahi) perawan saja, kamu bisa bermain-main dengannya dan dia juga bisa bermain-main denganmu.” [HR. Bukhari]

قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” لجابر ” وَقَدْ نَكَحَ ثَيِّبًا ” هَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ

Mengenai hadis di atas, menurut Al Mubarokfury dalam syarahnya dengan menukil pendapat Imam At Tiby memberikan gambaran bahwa kasih sayang istri perawan adalah kasih sayang yang sempurna, adapun janda terkadang masih terpaut hatinya dengan suaminya yang lebih dulu. Jadi, kecintaannya menjadi kurang sempurna terhadap suaminya berbeda dengan yang masih perawan.

Melihat realita sekarang, tidak sedikit yang masih bujang ataupun perawan(*) sudah pernah sekali bahkan berkali-kali merajut cinta kasih dalam ikatan pacaran yang tidak menutup kemungkinan akan selalu membekas dalam hatinya meski tidak berakhir dalam ikatan pernikahan.

Dalam masalah ini, dengan manggabungkan antara keduanya (hadis dan realita) kalau boleh berkomentar, siapapun jodohnya baik perawan atau janda dalam masalah rasa cinta dan kasih sayang akan kembali pada bagaiaman pintarnya suami memberi bumbu rumah tangganya. Mungkin hanya masalah gengsi dan kepuasan saja ketika berjodoh dengan yang masih perawan.

(*) Perawan Asli

Wednesday, October 29, 2014

Masjid aja kagak ngarti, mau nunjukin jalan sorga ?!

Pak Ustad mencari-cari alamat masjid tempat ia diundang ceramah, karena belum tahu jalan menuju masjid ia bertanya pada seorang anak kecil yang sedang asyik bermain,

"Jalan ke masjid lewat mana, Nak?"
"Ini luruus, perempatan belok kanan, mentok pertigaan belok kiri, teruus... ntar kiri jalan disitu masjid."

Pak Ustad lega,
"Makasih ya, Nak... Ikut ke masjid yuk!"
"Ngapain?"
"Nanti kutunjukkan jalan ke sorga."

Anak kecil itu mencibir,
"Jalan ke masjid aja kagak ngarti, mau nunjukin sorga!"

Monday, October 27, 2014

Silsilah Nabi Muhammad Sampai Nabi Adam

Silsilah nasab Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam yang diambil dari keterangan dalam Kitab Siroh An-Nabawiyah Ibnu Hisyam
ذِكْرُ سَرْدِ النَّسَبِ الزَّكِيِّ مِنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، إلَى آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هِشَامٍ ( النَّحْوِيُّ ) : هَذَا كِتَابُ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَّلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ . قَالَ : مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ : شَيْبَةُ بْنُ هَاشِمٍ وَاسْمُ هَاشِمٍ : عَمْرُو بْنُ عَبْدِ مَنَافٍ وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافٍ : الْمُغِيرَةُ بْنُ قُصَيٍّ ، ( وَاسْمُ قُصَيٍّ : زَيْدُ ) بْنُ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ ، وَاسْمُ مُدْرِكَةَ : عَامِرُ بْنُ إلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ بْنِ ( أُدٍّ ، وَيُقَالُ ) : أُدَدُ بْنُ مُقَوِّمِ بْنِ نَاحُورَ بْنِ تَيْرَحَ بْنِ يَعْرُبَ بْنِ يَشْجُبَ بْنِ نَابِتِ بْنِ إسْمَاعِيلَ بْنِ إبْرَاهِيمَ – خَلِيلِ الرَّحْمَنِ – بْنِ تَارِحٍ ، وَهُوَ آزَرُ بْنُ نَاحُورَ بْنِ سَارُوغَ بْنِ رَاعُو بْنِ فَالَخٍ بْنِ عَيْبَرِ بْنِ شالَخٍ بْنِ أرْفَخْشَذَ بْنِ سَامِ بْنِ نُوحِ بْنِ لَمْكَ بْنِ مُتَوَشْلِخَ بْنِ أَخْنُوخَ ، وَهُوَ إدْرِيسُ النَّبِيُّ فِيمَا يَزْعُمُونَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ، وَكَانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطَى النُّبُوَّةَ ، وَخَطَّ بِالْقَلَمِ – ابْنِ يَرْدِ بْنِ مُهْلَيِلِ بْنِ قَيْنَنَ بْنِ يانِشَ بْنِ شِيثِ بْنِ آدَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
Mulai dari Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam sampai Adam ‘alaihis salaam.
1. Muhammad
2. Ibn ‘Abdullah
3. Ibn ‘Abdul Muttolib (namanya Syaibah)
4. Ibn Hasyim (namanya ‘Amr)
5. Ibn ‘Abdi Manaf ( namnya Al-Mughiroh)
6. Ibn Qushoy (namanya Zaid)
7. Ibn Kilab
8. Ibn Murroh
9. Ibn Ka’ab
10. Ibn Lu’ay
11. Ibn Gholib
12. Ibn Fihr
13. Ibn Malik
14. Ibn Nadhr
15. Ibn Kinanah
16. Ibn Khuzaimah
17. Ibn Mudrikah (namanya ‘Amir )
18. Ibn Ilyas
19. Ibn Mudlor
20. Ibn Nizar
21. Ibn Ma’ad
22. Ibn ‘Adnan
23. Ibn Udad
24. Ibn Muqowwam
25. Ibn Nakhur
26. Ibn Tairoh
27. Ibn Ya’rubbin
28. Ibn Yasy-jub
29. Ibn Nabit
30. Ibn Isma’il
31. Ibn Ibrahim yang bergelar Kholilur Rohman
32. Ibn Tarih yaitu Azar
33. Ibn Nahuro
34. Ibn Saru’a
35. Ibn Ro’wu
36. Ibn Falakh
37. Ibn ‘Aibar
38. Ibn Syalakh
39. Ibn Arfakhsyadz
40. Ibn Sam
41. Ibn Nuh
42. Ibn Lamak
43. Ibn Mutawasy-likh
44. Ibn Ukhnukh yaitu Nabi Idris sebagaimana yg disangkakan -wallohu a’lam-
45. Ibn Yardi
46. Ibn Muhlayil
47. Ibn Qoinan
48. Ibn Yanisy
49. Ibn Tsits
50. Ibn Adam ‘alaihi wasallam.

Sunday, October 26, 2014

Transaksi Jual Belinya Anak Kecil

Sudah sering kita jumpai di sekitar masyarakat akan adanya transaksi atau jual beli yang mana pembelinya masih berusia anak kecil. Bila menilik aturan syara' pelaku transaksi suatu akad harus memenuhi kriteria sebagai berikut: baligh (dewasa), berakal, tidak terpaksa, rasyid (cakap). Yang di dalam format fiqh disebut mutlaqut tasharuf. Dengan demikian transaksi yang dilakukan oleh anak-anak kecil dan orang orang yang tidak memenuhi kriteria di atas hukumnya tidak sah karena berstatus mahjur 'alaih (orang yang tercegah tasharufnya).

Meski begitu, ada sebagian ulama yang memberi kelonggaran dengan menyamakan transaksi tersebut seperti halnya jual beli mu'athah (jual beli tanpa ijab kabul). Dengan syarat barang–barang tersebut masuk ke dalam kategori barang-barang remeh atau bukan barang-barang mahal, seperti jajanan atau makanan ringan dan juga disertai izin dari orang tua atau walinya.

Jadi, apabila kita mengacu pada pendapat tersebut hukum transaksi atau jual belinya anak yang masih kecil (belum baligh) adalah sah akan tetapi untuk barang–barang yang pada umumnya dianggap remeh dan tidak mahal, apalagi hal seperti ini sudah umum dilakukan oleh masyarakat. Wallahu a’lam.

Referensi: 
1. Bughyatul Mustarsyidin, hlm 124

فائدة: قال في القلائد: نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها، وعليه عمل الناس بغير نكير، ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في ال...كثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه، ويوقف على إجازته، وذاكرت بذلك بعض المفتين فقال: إنما هو في أحكام الدنيا، أما الآخرة إذا اتصل بقدر حقه بلا غبن فلا مطالبة اهـ  

2. Kifayatul Akhyar, juz 1 hlm 240

قلت ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ

3. Al Bajuri juz 1 hlm 545
4. Tausyeh 'ala Ibnu Qasim hlm 258

File Dokumen Fiqh Menjawab

Friday, October 24, 2014

Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Tidak dapat dipungkiri realita kehidupan sekarang semakin melenceng jauh dari rel-rel syari’at. Kebanyakan orang disibukkan dengan kepentingan dunia dan semakin jauh melupakan akhirat. Tentunya hal tersebut mendorong kita untuk selalu giat melakukan amar ma’ruf nahi munkar supaya kerusakan tidak semakin merajalela. Perintah tersebut banyak terdapat di dalam Al Qur’an maupun Al Hadits. Alloh swt berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.  (QS.Ali Imron : 104)

 ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS: An-Nahl Ayat: 125)

Dalam pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar kita menyesuaikan dengan kemampuan kita. Jika kita punya kekuasaan seperti seorang pemimpin maka dengan menggunakan tangan kita, jika kita tidak punya kekuasaan dan keberanian sama sekali maka minimal kita harus mengingakri maksiat atau kemungakaran tersebut dalam hati. Urutan tersebut sesuai sabda Rosululloh saw :

مَنْ رَأَىْ مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ فَذَلِكَ اَضْعَفُ الْإِيْمَانِ 

Artinya: “Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup maka dengan lisannya. Lalu jika dia tidak sanggup pula maka dengan hatinya. Yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

مـــــُرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ لَمْ تَجْتَنِبُوْهُ كُلَّهُ

Artinya: “Perintahkanlah (olehmu) akan kebaikan meskipun kamu belum mengerjakan kebaikan itu, dan cegahlah (olehmu) akan kemungkaran meskipun kamu belum meninggalkan seluruhnya.” (HR. Ath-Thabrani)

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ مِنَ الْمُنْكَرِ اَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ تَعَالَى يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُــــمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Artinya: “Demi Tuhan yang menguasai diriku, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Alloh swt akan mendatangkan siksaan-Nya kepada kalian semua dalam waktu singkat. Sehingga kalian berdo’a kepada-Nya tetapi do’a kalian tidak dikabulkan.”  (HR. Turmudzi)

قُلِ الْـحـَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا

Artinya: “Katakanlah yang benar walaupun itu rasanya pahit/berat.” (HR. Ibnu Hibban)

إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِ اللهِ أَنْصَحُهُمْ بِعِبَادِهِ

Artinya: “Sesungguhnya hamba Alloh swt yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling banyak memberi nasihat pada hamba-Nya yang lain.” (HR.Ahmad)

File Dokumen Fiqh Menjawab

Hukum Membaca Basmalah Dalam Surat At Taubat

Banyak terjadi perbincangan di kalangan masyarakat tentang hukum membaca basmalah ketika kita membaca salah satu dari surat-surat di dalam Al Qur'an yaitu Surat At Taubat atau yang juga dikenal dengan nama surat Bara'ah. Kalau baca ta'awwudz mengawali pembacaan suroh tersebut maka diperbolehkan, sedang kalau baca basmalah itu  terjadi perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum membaca basmalah pada awal surat Bara'ah 
 
قوله: (ومن ثم حرمت الخ) عليه منع ظاهر وفي الجعبري ما يدل على خلافه فراجعه سم عبارة ع ش قوله م ر: سورة براءة أي فلو أتى بها في أولها كان مكروها خلافا لحج حيث قال بالحرمة اه عبارة شيخنا فتكره البسملة في أولها وتسن في أثنائها كما قاله الرملي، وقيل: تحرم في أولها وتكره في أثنائها كما قاله ابن حج
 
Menurut Imam Romli hukum membaca basmalah pada awal surat bara'ah adalah makruh sedang menurut Imam Ibnu Hajar membaca basmalah diawal surat hukumnya haram, sedang di tengah surat hukumnya makruh." (Hawasyi Assyarwaani wa al ‘ubaady juz  II hlm 36)
 
Kenapa dalam surat At Taubat tidak diperkenankan membaca basmalah ?
Ada beberapa pendapat terkait tidak terdapatnya basmalah dipermulaan surat At Taubat:
1. Basmalah mengandung makna kasih saying dan kedamaian sedang surat baraa-ah diturunkan sebagai surat untuk perintah mengangkat pedang (perang) yang tidak ada ketentraman didalamnya, ini adalah pendapat al Marwy ra. Dan Sufyan Bin ‘Uya’inah.
 
2. Sudah menjadi kebiasaan dilingkungan orang-orang arab dimasa kaum jahiliyah bila telah terjadi kesepakan perjanjian diantara mereka kemudian kesepakatan tersebut mereka rusak maka surat perusakannya tidak diawali dengan tulisan basmalah, seperti halnya turunnya surat baraa-ah (at-taubah) sebagai perusak perjanjian genjatan senjata antara nabi Muhammad dan orang-orang musrik maka nabi pun mengutus sahabat Ali bin abi thalib untuk membacakan surat baraa-ah dengan tanpa basmalah sebagai bentuk menjalankan kebiasaan mereka dalam merusak perjanjian.
 
3. Terjadi perbedaan dikalangan para shahabat yang menyatakan antara surat baraa-ah dan surat al-anfaal (surat sebelum baraa-ah dalam penulisan sekarang), diantara mereka ada yang beranggapan keduanya satu surat ada lagi yang beranggapan keduanya dua surat karena para shahabat tidak memberikan celah antara surat baraa-ah dan surat al-anfaal berdasarkan pendapat yang menyatakan keduanya dua surat, dan tidak menuliskan basmalah berdasarkan pendapat keduanya satu surat, para shahabat rela menerima jalan tengah ini, pendapat mereka merasa terlindungi dan argumentasinya ditetapkan dalam mushaf.
 
4. Terjadi penaskhan (penghapusan) diawal surat baraa-ah sehingga basmalanya pun ikut terhapus bersamanya, ini pendapat Ibn Wahb, Ibn Qaasim, Ibn ‘Abd alhakiim dari sahabat Malik ra seperti yang telah dinuqil oleh imam Qurthuuby.
 
5. Dari Ibn ‘Ajlaan dan sa’id Bin Jubair surat baraah membandingi surat Al Baqarah menurut al Qurthuuby pendapat yang shahih “sesungguhnya basmalah tidak tertulis disurat ini karena malaikat Jibril memang tidak menyertakannya saat penurunan surat baraah.” Dikatakan oleh al Qusyairy
Keterangan diambil dari Tafsiir al Qurthuuby juz VIII hlm 61-63
 
واختلف العلماء في سبب سقوط البسملة من أول هذه السورة على
أقوال خمسة : [الأول] أنه قيل كان من شأن العرب في زمانها في الجاهلية إذا كان بينهم وبين قوم عهد فإذا أرادوا نقضه كتبوا إليهم كتابا ولم يكتبوا فيه بسملة فلما نزلت سورة براءة بنقض العهد الذي كان بين النبي صلى الله عليه وسلم والمشركين بعث بها النبي صلى الله عليه وسلم علي ابن أبي طالب رضي الله عنه فقرأها عليهم في الموسم ولم يبسمل في ذلك على ما جرت به عادتهم في نقض العهد من ترك البسملة.
وقول ثان : روى النسائي قال حدثنا أحمد قال حدثنا محمد بن المثنى عن يحيى بن سعيد قال حدثنا عوف قال حدثنا يزيد الرقاشي قال قال لنا ابن عباس : قلت لعثمان ما حملكم إلى أن عمدتم إلى [الأنفال] وهي من المثاني وإلى [براءة] وهي من المئين فقرنتم بينهما ولم تكتبوا سطر بسم الله الرحمن الرحيم ووضعتموها في السبع الطول فما حملكم على ذلك ؟ قال عثمان : إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا نزل عليه الشيء يدعو بعض من يكتب عنده فيقول : "ضعوا هذا في السورة التي فيها كذا وكذا" . وتنزل عليه الآيات فيقول : " ضعوا هذه الآيات في السورة التي يذكر فيها كذا وكذا" . وكانت [الأنفال] من أوائل ما أنزلو [براءة] من آخر القرآن وكانت قصتها شبيهة بقصتها وقبض رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يبين لنا أنه منها فظننت أنها منها فمن ثم قرنت بينهما ولم أكتب بينهما سطر بسم الله الرحمن الرحيم. وخرجه أبو عيسى الترمذي وقال : هدا حديث حسن.
وقول ثالث : روي عن عثمان أيضا. وقال مالك فيما رواه ابن وهب وابن القاسم وابن عبدالحكم : إنه لما سقط أولها سقط بسم الله الرحمن الرحيم معه. وروي ذلك عن ابن عجلان أنه بلغه أن سورة [براءة] كانت تعدل البقرة أو قربها فذهب منها فلذلك لم يكتب بينهما بسم الله الرحمن الرحيم. وقال سعيد بن جبير : كانت مثل سورة البقرة.
وقول رابع : قاله خارجة وأبو عصمة وغيرهما. قالوا : لما كتبوا المصحف في خلافة عثمان اختلف أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال بعضهم : براءة والأنفال سورة واحدة. وقال بعضهم : هما سورتان. فتركت بينهما فرجة لقول من قال أنهما سورتان وتركت بسم الله الرحمن الرحيم لقول من قال هما سورة واحدة فرضي الفريقان معا وثبتت حجتاهما في المصحف.
وقول خامس : قال عبدالله بن عباس : سألت علي بن أبي طالب لم لم يكتب في براءة بسم الله الرحمن الرحيم ؟ قال : لأن بسم الله الرحمن الرحيم أمان وبراءة نزلت بالسيف ليس فيها أمان. وروي معناه عن المبرد قال : ولذلك لم يجمع بينهما فإن بسم الله الرحمن الرحيم رحمة وبراءة نزلت سخطة. ومثله عن سفيان. قال سفيان بن عيينة : إنما لم تكتب في صدر هذه السورة بسم الله الرحمن الرحيم لأن التسمية رحمة والرحمة أمان وهذه السورة نزلت في المنافقين وبالسيف ولا أمان للمنافقين. والصحيح أن التسمية لم تكتب لأن جبريل عليه السلام ما نزل بها في هذه السورة قاله القشيري.
 
واختلف العلماء في سبب سقوط البسملة منها على أقوال:
منها: أن البسملة رحمة وأمان و"براءة" نزلت بالسيف؛ فليس فيها أمان، وهذا القول مروي عن علي رضي الله عنه، وسفيان بن عيينة.
ومنها: أن ذلك على عادة العرب إذا كتبوا كتاباً فيه نقض عهد أسقطوا منه البسملة، فلما أرسل النَّبي صلى الله عليه وسلم علياً رضي الله عنه ليقرأها عليهم في الموسم؛ قرأها، ولم يبسمل على عادة العرب في شأن نقض العهد، نقل هذا القول بعض أهل العلم، ولا يخفى ضعفه.
ومنها: أن الصحابة لما اختلفوا: هل "براءة" و"الأنفال" سورة واحدة أو سورتان؛ تركوا بينهما فرجة لقول من قال: إنهما سورتان، وتركوا البسملة لقول من قال: هما سورة واحدة، فرضي الفريقان وثبتت حجتاهما في المصحف.
ومنها: أن سورة "براءة" نسخ أولها فسقطت معه البسملة، وهذا القول رواه ابن وهب، وابن القاسم، وابن عبد الحكم، عن مالك، كما نقله القرطبي.
وعن ابن عجلان، وسعيد بن جبير، أنها كانت تعدل سورة "البقرة"، وقال القرطبي: والصحيح أن البسملة لم تكتب في هذه السورة؛ لأن جبريل لم ينزل بها فيها. قاله القشيري. اهـ

Wednesday, October 22, 2014

Adzan Untuk Bayi Yang Baru Lahir dan Mayit Yang Hendak Dikubur

Pada dasarnya Adzan dan iqamat adalah dua hal yang hanya disunnahkan untuk dikumandangkan dalam rangka menyambut shalat lima waktu. Meskipun shalat idul fitri/adha lebih ramai dibandingkan shalat lima waktu, akan tetapi tidak diperbolehkan mengumandangkan adzan dan iqamat sebelumnya. Demikian pula dengan shalat sunnah lainnya.

Akan tetapi ada waktu-waktu tertentu yang disunnahkan mengumandangkan adzan saja yaitu mengadzani telinga orang yang sedang dalam keadaan sangat berduka, orang ayan, orang yang sedang emosi, dan orang yang buruk perangainya karena pengaruh. Tidak hanya itu saja, bahkan keduanya adzan dan iqamat disunnahkan untuk dikumandangkan bagi bayi-bayi yang baru dilahirkan maupun orang yang hendak bepergian jauh.

Adzan Untuk Bayi Yang Baru Lahir

وقد يسن الأذان لغير الضلاة كما فى أذن المهموم والمصروع والغضبان ومن سأ خلقه من انسان اوبهيمة وعند الحريق وعند تغول الغيلان أى تمرد الجن وهو والإقامة فى أذن المولود وخلف المسافر

Demikianlah keterangan yang terdapat dalam kitab I’anatuht Thalibin yang menjadi dasar pelaksanaan adzan ketika seseorang baru lahir, maupun ketika hendak pergi haji. Sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw terhadap Hasan dan Husain ketika baru dilahirkan Sayyidah Fatimah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Rafi’

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم أذن فى أذن الحسن والحسين رضي الله عنهما

"Aku pernah melihat rasulullah saw mengadzani teinga hasan dan husain ketika."

Hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw untuk menjaga kedua cucunya dari gangguan ummus shibyan yaitu sebangsa jin yang suka menggangu anak-anak.  Sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidina Husain, dari Ali Karramalluhu Wajhah dan dari rasulullah saw:

من ولد له مولود فأذن فى أذنه اليمنى وأقام فى اليسرى لم تضره ام الصبيان

Barang siapa yang memiliki bayi yang baru dilahirkan kemudian dia membacakan adzan di telinga kanan dan iqamat pada telinga kirinya, niscaya ummus shibyan tidak akan menyusahkannya. 

Adzan Untuk Mayit Yang Hendak Dikubur

Demikianlah waktu dan tempat disunnahkannya adzan maupun iqamat. Adapun mengumandankan adzan untuk mayit yang hendak dikuburkan sesungguhnya tidaklah ada kesunnahan baginya, kecuali ada fadhilah yang menyatakan bahwa mayit yang dikubur bersamaan dengan suara adzan akan mendapatkan keringanan siksa sebagaimana termaktub dalam I'anatut Thalibin. Hal itulah yang hingga kini menjadi alasan mereka yang mengumandangkan adzan untuk mayit.

علم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها
قال ابن حجر ورددته في شرح العباب لكن إذا وافق إنزاله القبر أذان خفف عنه في السؤال

"Ketahuilah bahwa tidak disunahkan adzan ketika masuk kubur, berbeda dengan orang yg berkata: sebab menisbatkan adzan pd mayit dengan mengkiaaskan kepada adzan ketika ia terlahirkan kedunia. Ibnu hajar berkata: dan saya menarik kembali di dalam kitab Sarhi al-Ubabi, akan tetapi ketika mayat diturunkan ke liang kubur dengan diadzani maka akan diringankan dari pertanyaan kubur.
" (I'anatut Thalibin Juz 1 hlm 230)
Selain hal ini juga mengamalkan penafsiran sebagian ulama yang mengqiyaskan kematian sebagai sebuah perjalanan (وخلف المسافر ) yang patut dikumandangkan adzan baginya. Bisa juga adzan ini merupakan bentuk tafaul atas sunnah Rasulullah saw yang menganjurkan adzan bagi mereka yang baru dilahirkan.

Mengangkat tangan dan Mengusap Muka ketika Berdo’a

Pada dasarnya mengangkat tangan ketika berdo’a dan dan mengusap wajah sesudahnya bukanlah sekedar tradisi yang tanpa dasa. Keduanya merupakan sunnah Rasulullah saw. sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya yang diceritakan oleh Ibn Abbas:

إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما  وجهك (رواه ابن ماجه)

Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya.

Demikian pula keterangan para ulama dari beberapa kitab. Bahkan mereka menganjurkan ketika semakin penting permintaan agar semakin tinggi pula mengangkat tangan. Adapun ukuran mengangkat tangan adalah setinggi kedua belah bahu. Dalam I’anatut Thaibin Juz Dua diterangkan:

ورفع يديه الطاهرتين حذو منكبيه ومسح الوجه بهما بعده

Dan diwaktu berdoa disunnahkan mengangkat kedua tangannya yang suci setinggi kedua bahu, dan disunnahkan pula menyapu muka dengan keduanya setelah berdo’a.

Keterangan ini ditambahi oleh keterangan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy dalam Al-Hawasyil Madaniyyah  dengan sangat singkat.

وغاية الرفع خذو المنكبين الا اذا شتد الأمر

Batas maksimal mengangkat tangan adalah setinggi kedua bahu, kecuali apabila keadaan sudah amat kritis, maka ketika itu bolehlah melewati tinggi kedua bahu.

 Akan tetapi, di masa sekarang ini banyak kelompok yang meragukan dan menyangsikan sunnah Rasulullah saw ini. mereka meanyakan kembali tentang keabsahannya. Sungguh hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena dulu telah disinggung oleh pengarang kitab al-Futuhatur rabbaniyyah:

قال المصنف وردت الاحاديث الكثيرة برفع اليد الى السماء فى كل دعاء من غير حصر ومن ادعى حصرها فقد غلط غلطا فاحشا

Sang pengarang telah berkata bahwa “telah ada hadits-hadits yang tak terbatas banyaknya mengenai mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a, barang siapa menganggap itu tidak ada, maka ia telah keliru. (nu.or.id.)

Shalat Tahajjud Sekaligus Shalat Hajat

Pada umumnya orang memahami bahwa shalat tahajjud dan shalat hajat adalah dua shalat berbeda yang biasa dilakukan pada malam hari. Sehingga seseorang yang hendak shalat hajat harus menunggu malam. Demikian pula dengan shalat tahajjud yang hanya bisa didirikan pada tengah malam. Anggapan seperti ini tidak salah, namun kurang tepat.Shalat hajat termasuk dalam kategori shalat sunnah yang dilakukan karena sebab tertentu. Sebagaimana shalat minta hujan (istisqa’), shalat minta petunjuk memilih (istikharah), shalat gerhana mataharai dan bulan, shalat jenazah dan sebagainya. Shalat-shalat tersebut boleh dilaksankan ketika terjadi beberapa sebab-sebab. Tidak ada shalat jenazah tanpa orang mati kematian, shalat istikharah dilakukan hanya dalam kebimbangan untuk memilih, begitu juga shalat hajat yang dilaksanakan karena kebutuhan yang mendesak.   

Artinya, shalat hajat bisa dilakukan setiap saat ketika seseorang dalam kondisi terdesak dan membutuhkan. Jadi shalat hajat tidak harus dilakukan malam hari, karena hajat atau kebutuhan seseorang datang tanpa mengenal waktu. Sebagaimana diterangkan Imam Ghazali dalm Ihya’ Ulumuddin:

الثامنة صلاة الحاجة فمن ضاق عليه الأمر ومسته حاجة فى صلاح دينه ودنياه الى امر تعذر اليه فليصل هذه الصلاة

Yang kedepalan (dari beberapa shalat sunnah yang memiliki sebab) adalah shalat hajat. Siapa saja yang berada dalam kondisi terjepit dan membutuhkan sesuatu baik urusan dunia maupun akhirat sedangkan dia tidak mampu menyelesaikannya, hendaklah dia melaksanakan shalat (hajat) ini.

Hal ini berbeda dengan shalat tahajjud yang memang termasuk dalam kategori shalat sunnah yang tergantung pada waktu seperti shalat dhuha hanya boleh dilakukan selama waktu dhuha, shalat isyraq yang dilakukan ketika matahari terbit, dan juga shalat zawal yang dilakukan ketika matahari tenggelam. Shalat-shalat tersebut hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, tidak bisa sembarangan waktu. Bahkan dalam kasus shalat tahajjud disyaratkan pula tidur terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyatul Bajuri

وهو لغة رفع النوم بالتكلف واصطلاحا صلاة بعد فعل العشاء ولومجموعة مع المغرب جمع تقديم وبعد نوم ولوكان النوم قبل العشاء وسواء كانت تلك الصلاة نفلا راتبا اوغيره ومنه سنة العشاء والنفل المطلق والوتراو فرضا قضاء او نذرا   

Tahajjud secara bahasa adalah bangun dari tidur yang berat. Sedangkan menurut istilah adalah shalat yang dilakukan setelah shalat isya (walaupun shalat isya’nya dijama’ taqdim dengan maghrib) dan setelah tidur. Meskipun tidurnya sebelum memasuki waktu isya, (demikian pula dinggap sebagai tahajjud) walaupun shalat sunnah rawatib, sunnah mutlaq, witir. Juga  (bisa dinggap sebagai tahajjud) shalat wajib yang karena qadha atau nadzar.

Teks di atas dapat difahami bahwa tahjjud adalah shalat yang dilakukan di waktu malam dan setelah tidur, meskipun shalat itu dimaksudkan sebagai shalat karena sebab tertentu, misalkan shalat hajat atau istikharah. Dengan kata lain shalat hajat yang kebetulah dilakukan malam hari setelah tidur maka dapat dikatakan sebagai shalat tahajjud. Demikian pula shalat witir, istikharah dan lain-lainnya, asalkan didirikan malam hari dan setelah tidur bisa dianggap sebagai shalat tahajjud. Adapun mengenai waktu pelaksanaannya diutamakan sepertiga malam terakhir. Karena pada malam-malam inilah waktu musatajabah.  
Memasukkan dua kategori ibadah dalam satu pelaksanaan semacam ini dalam konteks ilmu fiqih termasuk dalam qaidah   الصموم والخصوص الوجهي yang keterangan panjangnya demikian:

اجتماع الشيئين فى مادة وانفراد كل منهما فى أخرى

Yaitu berkumpulnya dua perkara dalam satu kategori, dan keterpisahan keduanya menjadi kategori yang berbeda.

Dengan kata lain dapat diartikan bahwa bisa saja satu shalat berkedudukan sebagai shalat tahajjud sekaligus shalat hajat.  Seperti keterangan di atas (shalat hajat yang dilakukan malam hari setelah shalat isya’ dan setelah tidur). Bisa juga shalat tahajjud yang bukan shalat hajat, seperti shalat sunnah muthlaq atau shalat witir yang dilakukan setelah shalat isya dan setelah tidur. Dan bisa jadi shalat hajat bukan tahajjud, seperti shalat hajat yang dilakukan siang hari bolong atau malam sebelum tidur. (nu.or.id.)

Doa Khusus dari Rasulullah untuk Shalat Hajat

Dalam berbagai literatur fiqih dan buku-buku tuntunan shalat banyak ditemukan amalan dan do’a-do’a keseharian. Dari yang bersifat umum hingga do’a istimewa. Diantara do’a yang banyak ragamnya adalah do’a yang disediakan untuk shalat hajat. Akan tetapi kebanyakan penyebutan do’a-do’a itu tidak menyertakan sumber asalnya. Baik yang berasal dari ulama shalihin maupun langsung dari hadits Rasulullah saw.

Oleh karena itu sungguh ada manfaatnya apabila dalam tulisan ini diceritakan sebuah kisah tentang seorang yang tidak sempurna penglihatannya datang kepada Rasulullah saw untuk meminta do’a kesembuhan. Akan tetapi Rasulullah saw malah memerintahkannya untuk mendirikan shalat hajat lalu berdo’a yaitu:

اللهم انى اسألك واتوجه اليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد انى قد توجهت بك الى ربى فى حاجتى هذه لتقضى. اللهم فشفعه في

Allahumma ini as’aluka wa atawajjahu ilaika bi muhammadin nabiyyir rahmah, ya Muhammadu inni qad tawajjahtu bika ila Rabbi fi hajati hazdihi litaqdhi. Allahumma fa syaffi’hu fiyya.

Artinya: Ya allah Sesungguhnya aku bermohon kepada Engkau, dan aku menghadap kepada engkau dengan Muhammad Nabiyyir Rahmah, Wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap Tuhanku bersamamu dalam memohonkan hajatku ini agar dikabulkan. Ya Allah perkenankanlah dia (Muhammad saw) memberikan syafaatnya kepadaku. 

Adapun keterangan lengkapnya sebagaimana ditahrijkan oleh At-Tiridzi dan Ibnu Majah hadits riwayat Utsman bin Hunaif.

إن رجلا ضرير البصري اتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ادع الله لي انيعافينى فقال ان شئت اخرت لك فهو خير وان شئت دعوت فقال ادعه فامره ان يتوضأ فيحسن وضوءه ويصلى ركعتين ويدعو بهذا الدعاء : اللهم انى اسألك واتوجه اليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد انى قد توجهت بك الى ربى فى حاجتى هذه لتقضى. اللهم فشفعه في

Bahwasannya ada seorang laki-laki yang penglihatannya rusak datang kepada Rasulullah saw sambil berkata “do’akanlah kepada Allah untukku, agar disembuhkan-Nya aku ini”. Rasulullah saw balik menjawab “kalau kamu mau, aku dapat menundanya untukmu dan itu lebih baik, atau kalau kamu mau aku akan mendo’akan” maka orang itupun memohon “doakanlah untukku!” . Kemudian Rasulullah saw menyuruhnya berwudhu, maka wudhulah orang tersebut dengan baik dan shalat dua raka’at dan berdo’a dengan do’a ini “Allahumma ini as’aluka wa atawajjahu ilaika bi muhammadin nabiyyir rahmah, ya Muhammadu inni qad tawajjahtu bika ila Rabbi fi hajati hazdihi litaqdhi. Allahumma fa syaffi’hu fiyya”.

Demikianlah Rasulullah saw menganjurkan dan membolehkan seseorang bertawassul menggunakan nama beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul, meskipun dalam shalat hajat. (nu.or.id)

Pesantren Tempo Dulu

Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah kesuksesannya adalah keikhlasan kyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan syubhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.

Keikhlasan kyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum’ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab setebal “alaihim” bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa itu. Tapi anehnya menjadi alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. 

Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, biaya atau lainnya, yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal meminta sumbangan bantuan dana.

Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu’ (rendah diri) dan ketelatenan sang kyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berakhlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu’ama dan fuqoha. Di samping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan dan kewira’ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.

Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung menjadi kyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.

Kenapa pesantren dan santri sekarang tidak banyak yang seperti itu? Perubahan zaman, pola berpikir, dan sumber daya masyarakat menjadi salah satu yang ikut berpengaruh besar di dalamnya. Biarlah waktu dan keadaan yang akan terus menjawabnya. Hanya panjatan doa kepadaNya agar pesantren-pesantren akan selalu ada dalam barisan terdepan bersama para santrinya untuk menjaga Keislaman di tanah air ini. Amin Ya Rabb.