Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Monday, December 16, 2013

55 Ciri-Ciri Salafi Wahabi


Oleh : KH. Thobary Syadzily

KH. Thobary Syadzily secara garis nasab merupakan keturunan dari ulama Syafi'iyyah yang terkemuka yakni Syaikh Nawawi Al Bantani.
KH. Thobary Syadziliy juga merupakan pengasuh pondok pesantren Al-Husna Priuk Jaya Tangerang, serta merupakan alumni pesantren Tebuireng tahun 1988-1993. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Lajnah Falakiyyah PWNU Propinsi Banten, dan Anggota Tim Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang Banten.

Inilah kejahatan dan kesesatan aliran Salafi Wahabi yakni ajaran yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi :

1. Allah bersemayam di atas ‘arsy seperti akidahnya kaum Yahudi.
2. Golongan yang beriman kepada setengah ayat Al-Qur’an dan kafir dengan setengah ayat Al-Quran yang lain.
3. Golongan yang menolak Takwil pada setengah ayat, dan membolehkan Takwil pada setengah ayat yang lain berdasarkan mengikuti hawa nafsu mereka.
4. Golongan yang menafikan Kenabian Nabi Adam A.S.
5. Golongan yang menyatakan bahwa Alam ini Qidam/Maha Dahulu (Rujuk pandangan ibn Taimiyyah).
6. Golongan yang mengkafirkan Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan para pengikutnya.
7. Golongan yang mengkafirkan Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi dan Sultan Muhammad Al-Fateh.
8. Golongan yang mengkafirkan Imam An-Nawazwi dan Seluruh Ulama Islam yang menjadi para pengikutnya (Asy’ariyah dan Maturidiyah).
9. Golongan yang mendhoifkan hadits-hadits shohih dan menshohihkan hadis-hadis dhoif (lihat penulisan Albani).
10. Golongan yang tidak mempelajari ilmu dari Guru atau Syeikh, hanya copy paste dan membaca dari buku-buku dan sebagainya.
11. Golongan yang mengharamkan bermusafir ke Madinah dengan niat ziarah Nabi Muhammad SAW.
12. Golongan yang membunuh Ummat Islam beramai-ramai di Mekah, Madinah, dan beberapa kawasan di tanah Hijaz (lihat tarikh an-Najdi).
13. Golongan yang meminta bantuan Askar dan Senjata pihak Britain (yang bertapak di tempat Kuwait pada ketika ini) ketika kalah dalam perang ketika mereka ingin menjajah Mekkah dan Madinah.
14. Golongan yang menghancurkan turath (sejarah peninggalan) Ummat Islam di Mekkah dan Madinah. (lihat kawasan pekuburan Jannatul Baqi, Bukit Uhud dan sebagainya).
15.  Golongan yang membenci kaum ahlul bait.
16. Golongan yang bertentangan dengan Ijma para Shohabat, Tabiin, Salaf, Khalaf dan seluruh Ulama ASWAJA.
17. Golongan yang mendakwa akal tidak boleh digunakan dalam dalil syara’, dengan menolak fungsi akal (ayat-ayat Al-Quran menyarankan menggunakan akal).
18. Golongan yang mengejar syuhrah (pangkat, nama, promosi, kemasyhuran) dengan menggunakan pemahaman mereka yang salah terhadap Al-Qura’n dan As-Sunnah.
19.  Golongan yang mendhoifkan hadis solat tarawih 20 rakaat. (Albani)
20.  Golongan yang mengharamkan menggunakan Tasbih. (Albani)
21. Golongan yang mengharamkan berpuasa pada hari sabtu walaupun hari Arafah jatuh pada hari tersebut. (Albani)
22.  Golongan yang melecehkan Imam Abu Hanifah R.A. (Albani)
23. Golongan yang mendakwa Allah memenuhi alam ini dan menghina Allah dengan meletakkan anggota pada Allah SWT.
24. Golongan yang mendakwa Nabi Muhammad SAW tidak hayyan (hidup) di kuburan beliau. (Albani)
25. Golongan yang melarang membaca Sayyidina dan menganggap perbuatan itu bid'ah dholalah/sesat.
26. Golongan yang mengingkari membaca Al-Quran dan membaca talqin pada orang yang meninggal.
27.  Golongan yang melarang membaca shalawat selepas adzan. (Albani)
28. Golongan yang mengatakan Syurga dan Neraka ini fana (tidak akan kekal). (ibn Taimiyyah)
29. Golongan yang mengatakan lafadz talaq tiga tidak jatuh, jika aku talaq kamu dengan talaq tiga. (ibn Taimiyyah).
30. Golongan yang mengisbatkan (menyatakan/menetapkan) tempat bagi Allah. (Ibn Taimiyyah)
31. Golongan yang menggunakan uang ringgit untuk menggerakkan ajaran sesat mereka, membuat tadlis (penipuan dan pengubahan) di dalam kitab-kitab ulama yang tidak sependapat dengan mereka.
32. Golongan yang mengkafirkan orang Islam yang menetap di Palestine sekarang ini. (Albani)
33.  Golongan yang membid’ahkan seluruh ummat Islam.
34. Golongan yang menghukumi syirik terhadap amalan ummat Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
35. Golongan yang membawa ajaran tauhid dan tidak pernah belajar ilmu tauhid. (Ibn Taimiyyah)
36. Golongan yang mengatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab juga mempunyai tauhid, tidak pernah Nabi Muhammad SAW mengajar begini atau pun para Shohabah R.A. (Muhammad Abdul Wahab)
37. Golongan yang membolehkan memakai lambang salib hanya semata-mata untuk mujamalah/urusan resmi kerajaan, dan hukumnya tidak kufur. (Bin Baz)
38.  Golongan yang membiayai keuangan Askar Kaum Kuffar untuk membunuh Ummat Islam dan melindungi negara mereka. (kerajaan Wahhabi Saudi)
39.  Golongan yang memberi Syarikat-syarikat Yahudi memasuki Tanah Haram. (Kerajaan Wahhabi Saudi)
40.  Golongan yang memecah-belah Ummat Islam dan institusi kekeluargaan.
41.  Golongan yang mengharamkan Maulid dan bacaan-bacaan barzanji, marhaban.
42.  Golongan yang menghalalkan bom bunuh diri atas nama jihad walaupun orang awam kafir yang tidak bersenjata mati. (selain di Palastine)
43. Golongan yang menghalalkan darah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat di Lubnan, Chechnya, Algeria, dan beberapa negara yang lain.
44.  Golongan yang menimbulkan fitnah terhadap Ummat Islam dan menjelek-jelekkan nama baik Islam.
45.  Golongan yang membuat kekacauan di Fathani, Thailand.
46.  Golongan yang sesat menyesatkan rakyat Malaysia.
47.  Golongan yang meninggalkan ajaran dan ilmu-ilmu Ulama ASWAJA yang muktabar.
48.  Golongan yang meninggalkan methodologi ilmu ASWAJA.
49.  Golongan yang minoritas dalam dunia, malah baru berumur setahun jagung.
50.  Golongan yang menuduh orang lain dengan tujuan melarikan diri atau menyembunyikan kesesatan mereka.
51.  Golongan yang jahil, tidak habis mempelajari ilmu-ilmu Agama, tetapi ingin membuat fatwa sesuka hati.
52.  Golongan yang melarang bertaqlid, tetapi mereka lebih bertaqlid kepada mazhab sesat mereka.
53.  Golongan yang secara dzahirnya berjubah, berkopiah, singkat jubah, janggut panjang, tetapi berlewat, tidak menghormati ulama, mengutuk para Alim Ulama dan tidak amanah dengan ilmu dan agama Islam.
54.  Golongan yang tidak hujjah dalam ajaran mereka.
55. Golongan yang membawa ajaran sesat Ibn Taimiyyah/Muhamad Ibn Abd Wahab, kedua-dua individu ini telah dicemooh, ditentang, dijawab dan dikafirkan oleh Jumhur Ulama ASWAJA atas dasar akidah mereka yang sesat.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Sunday, December 15, 2013

Hukum Musik Dalam Islam


Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.

Dalil-dalil seputar musik
Firman Allah, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

"Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (QS. An-Najm: 59-61)
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi.

Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda: "Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Aisyah berkata, "Rasulullah saw masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua gadis Anshar sedang bernyanyi dengan nyanyian yang biasa dinyanyikan kaum Anshar pada perang Bu'ats. Beliau berbaring di atas pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku dgn berkata "Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi saw?" Rasulullah saw menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata ‘Biarkan keduanya’. Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada kedua agar menyudahi dendangan dan keluar. Keduanya pun keluar.” (HR. Bukhari)

Pendapat Ulama

والمختار أن ضرب الدفّ والأغانى التى ليس فيها ماينافى الآداب جائز بلاكراهة مالم يشتمل كل ذلك على مفاسد كتبرّج النساء الأجنبيات في العرس وتهتكهن أمام الرجال والعريس ونحو ذلك والاّ حرم.

Dalam Al-Fiqhu ala Madzahibi Al-Arbaah, juz IV, hal. 9 menyatakan, "Menurut qoul yang muhtar (terpilih) sesungguhnya memukul rebana melantunkan lagu-lagu yang tidak sampai meniadakan adab-adab adalah boleh, tidak makruh, selama tidak mengandung mafasid (kerusakan) seperti penampilan perempuan (mejeng) dihadapan laki-laki, dalam resepsi pernikahan dan memukaunya perempuan dihadapan laki-laki, resepsi pernikahan dan sesamanya, kalau tidak berarti haram." 

Ibnu Taimiyah: "Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.

Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.

Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.

Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

Analisa
Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).

Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat 6, yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena "sesuatu yang lain" (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.

Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.

Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.

Kesimpulan

Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi, substansinya musik tidaklah haram.

Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi hukumnya boleh (mubah) jika sebaliknya.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Friday, December 13, 2013

Shalat Tasbih

Shalat Tasbih ini sangat dianjurkan untuk diamalkan setiap hari sekali atau seminggu sekali atau sebulan sekali atau setahun sekali atau setidak-tidaknya seumur hidup sekali. Shalat tasbih dikerjakan 4 roka’at dengan satu salaman jika dikerjakan pada malam hari dan dengan dua salaman jika pada siang hari. Shalat ini dinamakan salat tasbih karena didalamnya dibacakan tasbih sebanyak 300 kali.

1. Dalil Sholat Tasbih

Mengenai sholat tasbih sebuah hadits menerangkan, bahwasanya Rosululloh saw bersabda kepada Abbas (paman beliau), “Hai paman, bukankah aku telah mendo’akanmu, mencintaimu, dan memberi manfaat kepadamu?” Abbaspun menjawab, “Betul Rosululloh”. Nabi bersabda, “Wahai pamanku, lakukanlah sholat empat raka’at. Tiap raka’at engkau baca al-Fatihah dan surat. Jika sudah selesai maka bacalah kalimat Subhanalloh, Alhamdulillah, La ilaha illallah dan Allahu Akbar, masing-masing 15 kali sebelum rukuk. Lalu bacalah lagi kalimat tadi masing-masing 10 kali ketika rukuk, i’tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, sujud kedua dan duduk setelah sujud kedua. Kemudian lakukanlah seperti itu setiap raka’at sehingga jumlah bacaannya menjadi 300 kali. Andaikan dosa-dosamu bagaikan pasir berserakan, niscaya Allah akan mengampuni kamu”.
Lalu Abbas bertanya, “Wahai Rosululloh, siapa yang mampu melakukannya setiap hari?” Rosululloh saw menjawab, “Jika kamu tidak mampu melakukannya setiap hari maka lakukanlah setiap Jum’at. Jika tidak mampu setiap Jum’at, kerjakanlah setiap bulan. Jika tidak mampu setiap bulan, lakukanlah setiap tahun. Jika tidak mampu juga, kerjakanlah seumur hidup sekali, jangan sampai tidak sama sekali.” (HR. Hakim)

عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ أَرْبَـعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ وَالنَّهَار

“Dari Abul Jauza’, dia berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang." (HR. Abu Dawud, no. 1298).

2. Niat Shalat Tasbih

أُصَلِّى سُنَّةً التَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli sunatat tasbihi rok'ataini mustaqbilal qiblati lillahi ta'ala

Artinya, "Saya niat sholat sunnah tasbih dua rakaat dengan menghadap qiblat karena Allah."

3. Tata Cara Shalat Tasbih

Tata cara shalat tasbih sama seperti shalat biasa, akan tetapi didalamnya ditambah bacaan tasbih yang tempatnya sebagai berikut:
  1. Setelah membaca surat (sebelum ruku’)                                  = 15 X
  2. Ketika ruku’ setelah membaca do’a ruku’                               = 10 X
  3. Ketika i’tidal setelah membaca do’a i’tidal                              = 10 X
  4. Ketika sujud setelah membaca do’a sujud                              = 10 X
  5. Ketika  duduk diantara dua sujud setelah membaca do’a        = 10 X
  6. Ketika sujud ke dua setelah membaca do’a sujud                   = 10 X
  7. Ketika duduk setelah sujud kedua sebelum berdiri                  = 10 X

Jumlah Keseluruhan Tashbih = 75 X 4 roka’at : 300

Apabila kita lupa membaca tahbih disalah satu tempat, maka boleh digantikan di tempat berikutnya, agar tashbihnya tetap berjumlah 300.

4. Bacaan Tasbih

سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

“Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illaalloohu wallaahu akbar wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil 'aliyyil ‘azhiimi."

Artinya : "Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tiada kekuatan menjauhi maksiat dan kekuatan melaksanakan ibadah kecuali karena pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung."

File Dokumen Fiqh Menjawab

Ghibah (Menggunjing)

Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan perihal orang lain yang tidak disukai olehnya, seperti membicarakan cacat yang ada pada tubuhnya atau hal lainnya. Namun apabila yang dibicarakan mengenai kefasikanya, maka bukan termasuk ghibah, dan tidak berdosa jika dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang lain. Nabi saw bersabda:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلْ تَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ قِيْلَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَنِّى مَا أَقُوْلُهُ ؟ قَالَ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَـمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Artinya: Sesungguhnya Nabi saw bersabda, “Apakah kalian mengetahui, apa itu Ghibah(menggunjing)?” Para sahabat menjawab, “Alloh swt dan Rosul-Nya yang lebih tahu”, Nabi saw berkata, “(yaitu) kamu menutur saudaramu dengan sesuatu yang ia benci jika mengetahui/mendengarnya.” Lalu ada yang mengatakan, “Bagaimana jika apa yang aku sebut memang benar-benar dimiliki oleh saudaraku?” Nabi menjawab, “(Jika memang demikian)berarti Engkau telah mengghibahnya. Namun jika (apa yang kamu sebut) tidak ada pada dirinya, berarti Engkau telah berdusta.” (HR. Muslim)

Pada suatu kesempatan Nabi juga pernah bersabda yang artinya:  “Berhati-hatilah engkau terhadap ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih dahsyat daripada perbuatan zina”. Lalu beliau ditanya oleh seorang sahabat, “Bagaimana bisa begitu wahai Rasulallah?“. Rasulullah lalu menjawab , “Sesungguhnya jika seorang muslim berbuat zina, maka jika ia bertaubat, Allah swt menerima taubatnya. Tetapi orang yang mengghibah (ngrasani), tidak dapat diampuni Allah, sebelum orang yang dirasani mengampuni (memberi maaf).” (HR. Ibnu Hibban)

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى أَقْوَامٍ يَخْمَشُوْنَ وُجُوْهُهُمْ بِأَظَافِيْرِهِمْ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسُ يَقَعُوْنَ فِى أَعْرَاضِهِمْ

Artinya:  ”Pada malam aku diperjalankan (malam Isra’ Mi’raj), aku melihat ada orang-orang yang mencakar-cakar kulit wajahnya menggunakan kuku mereka. Lalu aku bertanya pada Jibril, “siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “mereka adalah orang-orang yang menggunjing saudaranya dan merusak harga diri orang lain.” (HR. Abu Daud)

Terkadang kita tidak merasa, dalam pembicaraan kita dengan orang lain, secara tidak langsung kita telah melakukan ghibah, maka kita pun harus menghindari ghibah dengan kata-kata yang tidak terang-terangan, akan tetapi cukup membuat penasaran, seperti halnya ucapan, “semoga Allah memperbaiki perilakunya,“ atau “saya benar-benar sedih atas apa yang ia lakukan.”

Kata-kata tersebut, menurut Imam Ghazali, mengandung dua kejelekan. Pertama terdapat unsur ghibah, karena dari ucapan tersebut dapat dimengerti yang menjadi objek ucapan adalah orang yang tidak baik. Kedua terdapat unsur mensucikan diri sendiri, memuji diri dengan gaya seolah-olah dia tidak pernah atau tidak memiliki dosa dan selalu berbuat baik.

Tanda keprihatinan seperti pada kata-kata tadi, apabila sampai didengar oleh yang bersangkutan, tentu ia akan sakit hati.  Maka apabila yang dimaksudkan adalah sebagai doa, hendaknya diucapkan dalam hati saja.
Coba kita merenungkan keadaan diri kita sendiri dengan sendiri dengan pertanyaan  “Bukankah kita ini memiliki aib atau kekurangan? Bukankah kita ini masih sering melakukan maksiat secara tertutup atau bahkan terang-terangan?”

Tentu kita tidak senang jika aib dan kekurangan kita, disebar dan didengar oleh orang lain, maka alangkah baiknya adalah jika kita menutup-nutupi kejelekan dan aib orang lain. Karena dengan seperti itu Allah akan menutup aib kita pada hari perhitungan kelak. Rasulullah saw bersabda,

مَنْ فَرَجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامةِ

Artinya: “Barangsiapa menghilangkan kesusahan dari saudara muslim, maka Allah akan menghlilangkan kesusahannya dari kesusahan-kesusahan kelak di hari kiamat, Dan barangsiapa menutupi aib saudara muslim, maka Allah-pun akan menutup aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Bukhori)

Diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa pada suatu hari Rosululloh saw memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa dan melarang mereka berbuka tanpa izin beliau, sampai sore hari beberapa orang meminta izin berbuka, dan beliau mengizinkanya.

Kemudian Rasul mendapat laporan bahwa ada dua orang wanita dengan susah payah menahan lapar dan dahaga pada sore hari, hingga mereka lemas tak berdaya. Mereka kemudian menyuruh utusan menghadap kepada Nabi Muhammad saw, guna memintakan izin agar diperbolehkan berbuka. Tetapi Beliau malah mengirim satu mangkuk kepada mereka dan beliau memerintahkan agar mereka memuntahkan sesuatu ke dalam mangkuk tersebut.

Lalu seorang dari mereka mengeluarkan darah campur nanah dan daging busuk. Demikian pula seorang yang lain, hingga mangkuk tersebut penuh. Orang-orang merasa jijik dan heran dengan peristiwa tersebut. Kemudian Rosulullah bersabda, “Dua wanita tersebut berpuasa meninggalkan makanan yang halal, tetapi berbuka dengan sesuatu yang diharamkan Allah swt.” Maksudnya mereka mengerjakan puasa (tidak makan dan tidak minum), tetapi mereka duduk-duduk membahas aib (ngrasani/ghibah) sesama. tulah daging-daging orang yang mereka bahas.” (HR. Ahmad)

Alloh swt berfirman,

وَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيـحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَـحْمَ أَخِيْهِ مَـــــــيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
Artinya : “Janganlah sebagian kamu menggunjing (melakukan ghibah) sebagian yang lain. Sukakah salah satu diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati, maka sudah pasti engkau merasa jijik kepadanya”. (QS. Al Hujurat : 13)

Namun ada juga  ghibah yang diperbolehkan, diantaranya:

1. Menerima kezaliman, contohnya para pejabat yang korup, dan tidak adil. Maka bagi rakyat boleh menggunjing pemimpin yang dzalim.

2. Membantu pengurangan maksiat.
Suatu ketika, Umar bin Khattab lewat, dan bertemu dengan sahabat Thalhah ra. Lalu sahabat Umar ra mengucapkan salam kepeada sahabat Thalhah ra, namun ia tidak menjawabnya. Kemudian hal ini dilaporkan pada sahabat Abu Bakar ra, dan Abu Bakar mendamaikan mereka berdua. Kesimpulan dari cerita tersebut adalah pelaporan sahabat Umar ra kepada sahabat Abu bakar ra itu tidak termasuk menggunjing yang dilarang. (Ihya Ulumiddin)
3. Meminta fatwa hukum.
Hindun binti Utbah berkata pada Rosulalloh saw, “Abu Sufyan (suaminya:red) sungguh merupakan lelaki yang sangat pelit, ia tidak mencukupi kebutuhanku dan anakku. Apakah aku boleh mengambil uang tanpa sepengetahuannya?”, Nabi saw menjawab, “Ambilah apa yang bisa mencukupi kamu dan anakmu dengan baik”.
 (HR. Bukhori)

4. Memperingatkan muslim lainnya dari perbuatan tercela.
Para ulama  mengatakan, “Ada tiga golongan yang dimana ketika menggunjing mereka tidak dilarang, yaitu imam(pemimpin) yang korup (menyimpang), ahli bid’ah, dan orang-orang yang melakukan perbuatan fasik (dosa)”.
5. Nama julukan yang terkenal, contohnya “si buta dari gua hantu” atau “si manis jembatan ancol”, dan lainnya.

6. Ditujukan pada orang yang terang-terangan melakukan perbuatan fasik.

File Dokumen Fiqh Menjawab

Mencampur Adukan Ajaran Madzhab (Talfiq)

Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut

Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:

(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما

“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang bberpendapat.” (Tanwir al-Qulub hal 397)

Hukum Wanita Haid Ziarah Kubur

Wanita boleh menziarahi kubur tanpa membedakan apakah dalam keadaan haid, nifas, ataukah suci. Haid atau nifas bukan udzur yang menghalangi wanita untuk berziarah kubur. Ziarah kubur tidak bisa disamakan dengan ibadah seperti shalat, puasa, thawaf, dan membaca Al-Quran yang disyaratkan suci dari haid dan nifas.

Dalil yang menunjukkan kebolehan wanita berziarah kubur adalah hadis berikut;

 كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها

Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahlah." (HR. Muslim)

Perintah Rasulullah  فَزُورُوهَا  (maka sekarang ziarahlah) memakai huruf wawu jamak, yakni huruf wawu yang menunjukkan mukhothob (obyek seruan) adalah sekelompok orang yang bersifat umum, tanpa membedakan lelaki  ataukah wanita. Oleh karena itu lafadz ini menunjukkan wanita boleh menziarahi kubur sebagaimana lelaki disyariatakan menziarahi kubur.

Riwayat lain dari Ibnu Majah, juga isinya semakna dengan hadis riwayat Muslim di atas.

Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ziarahlah kubur, sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian kepada akhirat." (HR. Muslim)

Adapun riwayat yang melarang wanita menziarahi kubur, misalnya riwayat berikut ini;

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw melaknat wanita peziarah kuburan." (HR. At-Tirmidzi)

Riwayat ini bisa difahami bahwa larangan tersebut yang dimaksud adalah larangan di masa-masa awal Islam, yakni ketika Niyahah (ratapan) masih menjadi kebiasaan masyarakat Arab dan masih dekat masanya dengan era baru kaum Muslimin, padahal Islam mengharamkan Niyahah. Islam mengharamkan ratapan, yakni kesedihan hati dan tangisan air mata akibat kerabat/orang yang dicintai meninggal yang disertai ucapan-ucapan yang menunjukkan tidak ridha terhadap ketentuan Allah. Setelah kaum muslimin jauh dari kebiasaan tersebut, maka hukum larangan menziarahi kubur itu dicabut (dinasakh) sehingga kaum muslimin boleh menziarahi kubur setelah sebelumnya sempat dilarang. Namun Rasulullah saw ketika membolehkan ziarah kubur, beliau tetap berpesan agar menjaga lisan ketika menziarahi kubur. Imam Malik meriwayatkan;

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Rabi'ah bin Abu Abdurrahman dari Abu Sa'id Al Khudri Bahwa ia baru datang dari suatu perjalanan, lalu keluarganya menyuguhkan daging kepadanya. Abu Sa'id lalu berkata; "Lihatlah ini, apakah ini daging kurban?" Mereka menjawab; "Ya, ini adalah daging kurban." Abu Sa'id berkata; "Bukankah Rasulullah telah melarangnya?" Mereka menjawab; "Telah ada perintah yang lain dari Rasulullah setelah kepergianmu." Abu Sa'id lalu keluar dan bertanya mengenai hal itu, kemudian dia diberi tahu bahwa Rasulullah bersabda: "Saya telah melarang kalian memakan daging kurban setelah tiga hari, sekarang makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah sisanya. Saya juga telah melarang kalian menyimpan perasan anggur, sekarang lakukan hal itu, dan setiap yang memabukkan itu haram. Saya juga telah melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang ziarahlah dan janganlah kalian mengatakan ucapan yang jelek (saat berziarah)." (H.R. Malik)

Dalil yang menguatkan bahwa larangan menziarahi kubur bagi wanita telah dinasakh adalah hadis berikut ini;

Dari Muhammad bin Qais bin Makhramah bin Al Muthallib bahwa pada suatu hari ia berkata, "Maukah kalian aku ceritakan (hadits) dariku dan dari ibuku?" -maka kami pun menyangka bahwa yang ia maksud dengan ibunya adalah Ibu yang telah melahirkannya- Ia berkata; Aisyah berkata, "Maukah kalian aku ceritakan hadits dariku dan dari Rasulullah saw?" kami menjawab, "Ya, mau." Aisyah berkata; "Pada suatu malam ketika giliran Rasulullah di rumahku, setelah beliau menanggalkan pakaiannya, meletakkan terompahnya dekat kaki dan membentangkan pinggir jubahnya di atas kasur, beliau lantas berbaring. Setelah beberapa lama kemudian dan barangkali beliau menyangkaku telah tidur, beliau mengambil baju dan terompahnya, dibukanya pintu perlahan-lahan dan kemudian ditutupnya kembali perlahan-lahan. Menyaksikan beliau seperti itu, kukenakan pula bajuku dan kututup kepalaku dengan kain, kemudian aku mengikuti beliau dari belakang hingga sampai di Baqi'. Ketika sampai di sana beliau berdiri agak lama, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali, sesudah itu beliau berbalik pulang. Aku pun berbalik pula mendahului beliau. Kalau beliau berjalan cepat, maka aku pun berjalan cepat-cepat. Bila beliau berlari kecil, aku pun demikian. Ketika beliau sampai, aku pun sudah sampai lebih dulu dari beliau. Kemudian aku masuk ke dalam rumah dan langsung tidur. Setelah itu, beliau masuk dan bertanya: "Kenapa kamu wahai Aisyah? Kudengar nafasmu kembang kempis.?" Jawabku, "Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah?" Beliau berkata: "Ceritakanlah kepadaku atau kalau tidak Allah -Yang Maha Lembut dan Mengetahui- akan menceritakannya padaku." Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku." Lalu kuceritakanlah kepada beliau apa yang sebenarnya terjadi. Beliau berkata, "Kalau begitu, kamulah kiranya bayangan hitam yang saya lihat di depanku tadi?" Saya menjawab, "Ya, benar wahai Rasulullah." Maka beliau pun mendorong dadaku dengan keras hingga terasa sakit bagiku. Kemudian beliau berkata, "Apakah kamu masih curiga, Allah dan Rasul-Nya akan berbuat curang kepadamu?" jawabku, "Setiap apa yang dirahasiakan manusia, pasti Allah mengetahuinya pula." Kemudian Rasulullah saw menceritakan kenapa beliau sampai keluar. Beliau bercerita: "Tadi Jibril datang, tapi karena ia melihat ada kamu, dia memanggilku perlahan-lahan sehingga tidak terdengar olehmu. Aku menjawab panggilannya tanpa terdengar pula olehmu. Dia tidak masuk ke rumah, karena kamu menanggalkan pakaianmu. Dan aku pun mengira bahwa kamu telah tidur, karena itu aku segan membangunkanmu khawatir engkau akan merasa kesepian. Jibril berkata padaku, 'Allah memerintahkan agar engkau datang ke Baqi' dan memohonkan ampunan bagi para penghuninya.' Aku bertanya, 'Lalu apa yang kubaca sesampai di sana wahai rasulullah? ' beliau  menjawab, 'Bacalah: AS SALAAMU 'ALA AHLID DIYAAR MINAL MUKMINIIN WAL MUSLIMIIN WA YARHAMULLAHUL MUSTAQDIMIIN MINNAA WAL MUSTA`KHIRIIN WA INNAA INSYAA`ALLAHU BIKUM LAAHIQUUN (Semoga keselamatan tercurah bagi penduduk kampung orang-orang mukmin dan muslim ini. Dan semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian, dan kami insya Allah akan menyusul kalian semua).'" (H.R. Muslim)

Dalam hadis di atas, Aisyah bertanya doa yang dibaca jika Aisyah menziarahi kubur. Lalu Rasulullah mengajari doa tertentu yang dibaca. Diamnya Rasulullah terhadap pertanyaan Aisyah yang mengandaikan berziarah kubur menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah mengizinkan Aisyah menziarahi kubur. Maknanya, wanita boleh menziarahi kubur.

Dalil lain yang menguatkan adalah kisah Rasulullah yang melewati wanita disisi kuburan yang sedangan bersedih kemudian menasehatinya. Bukhari meriwayatkan;

Dari Anas bin Malik berkata: Nabi saw pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka Beliau berkata,: "Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah". Wanita itu berkata: "Kamu tidak mengerti keadaan saya, karena kamu tidak mengalami mushibah seperti yang aku alami". Wanita itu tidak mengetahui jika yang menasehati itu Nabi saw. Lalu diberi tahu: "Sesungguhnya orang tadi adalah Nabi saw. Spontan wanita tersebut mendatangi rumah Nabi saw namun dia tidak menemukannya. Setelah bertemu dia berkata; "Maaf, tadi aku tidak mengetahui anda". Maka Beliau bersabda: "Sesungguhnya sabar itu pada kesempatan pertama (saat datang mushibah)." (H.R. Bukhari)

Rasulullah saw menasehati agar wanita tersebut tabah dan tegar (shobr), namun tidak menngingkari aktivitas ziarahnya. Oleh karena itu hadis ini juga menjadi dalil yang menunjukkan bahwa wanita boleh menziarahi kubur. Artinya, hukum larangan menziarahi kubur bagi wanita telah dinasakh (dihapus).

Lagipula, termasuk lebih dekat difahami bahwa laknat Rasulullah terhadap  wanita yang melakukan ziarah kubur  adalah jika wanita melakukannya berulang-ulang. Hal itu karena lafadz yang dilaknat Rasulullah memakai Shighat Mubalaghoh " زَوَّارَاتِ " yang bermakna pekerjaan tersebut dilakukan berulang kali dan menjadi kebiasaan. Wanita yang banyak keluar rumah boleh jadi secara tidak sadar  atau sadar menjadi ingin memamerkan kecantikannya, sehingga masuk hukum Tabarruj (bersolek) yang diharamkan islam. Banyak keluar rumah (meski dengan alasan melakukan ma'ruf) juga bertentangan dengan konsep wanita sebagai kehormatan, berpeluang besar menyia-nyiakan hak suami, dan menelantarkan urusan rumah. Bisa juga hal tersebut memicu niyahah yang diharomkan oleh islam. Semua hal ini bertentangan dengan konsep terkait ziarah kubur untuk mengingat akhirat.

Atas dasar ini, wanita boleh menziarahi kubur meski dalam keadaan haid, maupun nifas. Wallahua'lam.

Seputar Niat

Manusia diciptakan oleh Allah swt sebagai makhluk yang sempurna. Dengan kesempurnaan itu pula mereka diberi kelebihan akal yang dapat mereka gunakan untuk berfikir dengan normal. Di samping kesempurnaan yang mereka miliki tentunya mereka mempunyai berbagai kekurangan salah satunya dalam mengolah jiwa, terutama hati yang acapkali menjerumuskan mereka dalam kenistaan. Terkadang apa yang mereka anggap baik dan sempurna ternyata dinilai oleh Allah swt sebaliknya karena niat dalam hati yang tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Sabda Rosululloh saw :

إِنَّـمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya amal ibadah (manusia) tergantung pada niatnya, dan setiap perkara menurut apa yang ia niatkan." (HR. Bukhori Muslim)

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَيَنْظُرُ إِلَى صُـوَرِكُمْ وَأَمْـوَالِكُمْ وَإِنّـَمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt tidak melihat pada bentuk dan harta kamu semuanya, tetapi sesungguhnya Allah swt melihat hati dan amal kamu semuanya." (HR. Muslim)

Jelas bahwa Allah swt menilai seseorang tergantung pada apa yang dia niati, kalau niat orang tersebut karena Allah swt, Allah swt pun akan membalas sesuai yang dia niati, begitu juga sebaliknya. Sabda Rosululloh saw,

إِنَّ الْعَـبْدَ لَيَعْمَلُ أَعْمَالاً حَسَنَةً فَتَصْعُدُ الْمَلاَئِـكَةُ فِى صُحُفٍ مُـخَتَّمَةٍ فَتُلْقَى بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى فَيَقُوْلُ أُلْقُوْا هَذِهِ الصَّحِيْفَةَ فَإِنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِـمَا فِيْهَا وَجْهِي ثُـمَّ يُنَادِي الْمَلاَئِكَةَ أُكْـتُبُوْا لَهُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُوْنَ يَارَبَّـنَا إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ شَيْئًا ذَلِكَ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى إِنَّهُ نَوَاهُ 

Artinya:”Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbuat kebaikan, kemudian malaikat membawa buku catatan hamba tersebut yang telah dicap ke hadapan Allah swt, kemudian Allah swt berfirman pada malaikat tadi “Jatuhkanlah buku itu! Sesungguhnya hambaku ini beramal tidak karena aku”. Kemudian Allah swt memanggil malaikat dan berfirman, “Catatlah untuk hambaku seperti ini.” Malaikat tadi berkata,Wahai Tuhanku! Sesungguhnya orang ini tidak beramal apapun seperti itu. Kemudian Allah swt berfirman, Sesungguhnya hambaku telah berniat akan melakukan perbuatan itu.” (HR. Daruquthni)

مَنْ هَمَّ بِحَــسَنَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَ لَهُ حَـسَنَةٌ

Artinya: ”Barangsiapa mempunyai niatan bagus namun ia tidak melakukannya maka akan ditulis satu pahala kebaikan baginya.” (HR. Bukhori Muslim)

Niat terbagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Maksiat. Perbuatan maksiat tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kebaikan, walaupun diniati dengan niatan baik.
  2. Taat. Ketaatan harus diniati karena Allah swt. Apabila diniati bukan karena Allah swt maka akan menjadi sebuah kemaksiatan. Akan tetapi apabila seseorang berniat taat karena Allah swt namun tidak bisa melakukannya maka Allah swt akan menulis kebaikan atas niat baiknya.
  3. Mubah. Perbuatan mubah (diperbolehkan) dapat berubah sesuai niatnya. - Apabila diniati baik akan menjadi sebuah ketaatan yang berbuah pahala.- Apabila diniati buruk akan menjadi sebuah kemaksiatan yang mengakibatkan dosa. Sebagaimana sabda Rosululloh saw :
مَنْ تَطَيَّبَ للهِ تَعَالَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرَيْـحُـهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ وَمَنْ تَطَيَّبَ لِغَيْرِ اللهِ تَعَالَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرَيْـحُهُ أَنــْتَنُ مِنَ الْجِيْفَةِ

Artinya: “Barangsiapa yang memakai pewangi karena Allah swt, maka akan datang pada hari kiamat dengan bau yang melibihi bau minyak misik (kasturi), adapun orang yang berniat tidak karena Allah swt, maka pada hari kiamat baunya lebih busuk dari bau bangkai.” (Ihya’ Ulumiddin)
Bhakan dalam hal hutang saja, niat sangat berpengaruh. Sabda Rosul,

مَنْ أَخَذَ اَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَّاهَا اَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أتْلَفَهُ اللهُ 

Artinya: “Barangsiapa meminjam harta orang lain disertai niat akan mengembalikannya, niscaya Alloh akan menjadikannya mampu untuk mengembalikannya. Barangsiapa meminjamnya dengan tujuan untuk merusaknya, niscaya Alloh akan merusaknya (tidak mampu mengembalikannya).” (HR. Bukhori)

Sebelum kita niat melakukan suatu tindakan, alangkah baiknya kita berpikir dulu apa efek adripada tindakan kita, Rosul telah mengingatkan,

إِذَا اَرَدْتَ أَنْ تَفْعَلَ أَمْرًا فَتَدَبَّرْ عاَقبِتَهَ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَامْضِ وَإِنْ كَانَ شَرًّا فَانْتَهِ

Artinya: “Apabila engkau hendak mengerjakan perkara, maka pikirlah dahulu akibatnya, apabila akibatnya baik, maka kerjakanlah, dan apabila akibatnya buruk, maka tinggalkanlah.” (HR. Ibnu Mubarak) 

رُبَّ عَمَلٍ صَغِــيْرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَةُ وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِـيْرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَةُ
Artinya: “Banyak amal kecil menjadi besar (pahalanya) karena niat. Begitu juga banyak amal besar menjadi kecil (pahalanya) karena niat."

File Dokumen Fiqh Menjawab

Thursday, December 12, 2013

Ahlussunah Wal Jama’ah (Sunni)

Konsep Aswaja selama ini masih belum dipahami secara tuntas, sehingga menjadi rebutan semua golongan. Setiap kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran Aswaja. Istilah Aswaja yang merupakan singkatan dari Ahlussunah Wal Jama’ah. Ada tiga kata yang merangkai istilah tersebut.
  1. Ahlu, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
  2. As-sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rosululloh saw meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau
  3.  Al-Jama’ah, yakni mayoritas atau apa yang telah disepakati oleh sahabat Rosululloh saw pada masa Khulafa’urrosyidin.
Selanjutnya Syaikh Abi al-Fadl bin Abdussyakur menyebutkan :

أَهْلُ السُّنَّةِ وَ الْجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِيِّ وَطَرِيْقَةُ الصَّحَابَةِ فِى الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَالْأَعْمَالِ الِبَدَنِيَّةٍ وَالْأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ

Artinya: “Yang disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi saw dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak hati”. (Kitab Al-Kawakib al-Lamma’ah, hal 8-9)

Jadi Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Oleh karena itu, Ahlussunnah Wal Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi atas beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran agama Islam yang hakiki. Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah, mereka harus membuktikannya dalam praktek keseharian bahwa ia telah benar-benar mengamalkan sunnah Rosululloh saw dan sahabatnya.

Ada tiga prinsip yang selalu diajarkan oleh Rosululloh saw dan para sahabatnya yang menjadi ciri khas Aswaja, yaitu :  

1. At-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah : 143)   

2. At-Tawazun (seimbang dalam segala hal)

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al Hadid : 25)  

3. Al-I’tidal (tegak lurus)

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Maidah : 8)

Berkaitan dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam (iman, islam, dan ihsan) dalam kehidupan sehari-hari, aswaja mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf, yakni:
  1. Dalam bidang akidah/ tauhid (hasil perkembangan sendi ‘Iman’), tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Dua ulama inilah yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  2. Dalam masalah fiqih (hasil perkembangan sendi ‘Islam’), tercermin dengan mengikuti empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
  3. Dalam bidang tasawuf (hasil perkembangan sendi ‘Ihsan’), mengikuti rumusan Imam al-Junaid dan Imam Ghozali.

Hadits Perpecahan Umat Islam
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi saw berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلِّهِمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي 

Artinya: “Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya kaum Bani Israel telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan.’ Lalu sahabat bertanya, ‘Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rosulullah?’ Nabi saw menjawab, ‘Dia adalah golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2565)

Dalam riwayat lain disebutkan,

قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

Artinya: Rasulullah saw menjawab, “(golongan yang selamat itu adalah) Ahlussunnah wal Jamaah.” (HR. Thabrani)

File Dokumen Fiqh Menjawab

Tawassul

Pengertian Tawassul


أَلْوَسِيْلَةُ وَهِيَ مَا يُتَقَرَّبُ اِلَى الشَّيْئِ وَتَوَسَّلَ اِلَى رَبِّهِ بِوَسِيْلَةِ تَقَرُّبٍ اِلَيْهِ بِعَمَلِهِ

Artinya: "Wasilah adalah sesuatau yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang lain. seseorang bertawassul kepada Tuhannya melalui wasilah (media) Taqorrub dengan amal ibadahnya." (Kamus Al Misbah Al Munir)


اَلتَّوَسُّلُ بِأَحْبَابِ اللهِ هُوَ جَعَلَهُمْ وَاسِطَةً إِلَى اللهِ تَعَالَى فِى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ لِمَا ثَبَتَ لَهُمْ عِنْدَهُ تَعَالَى مِنَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُمْ عَبِيْدٌ وَمَخْلُوْقُوْنَ وَلَكِنَّ اللهَ جَعَلَهُمْ مَظَاهِرُ لِكُلِّ خَيْرٍ وَبَرَكَةٍ وَمَفَاتِيْحُ لِكُلِّ رَحْمَةٍ

Artinya: “Tawassul adalah memohon kepada Allah swt melalui perantara orang-orang yang dicintai-Nya, seperti para Nabi dan Wali.  Dikarenakan mereka adalah orang-orang yang telah diridhoi dan telah diberi derajat yang tinggi di sisi Allah swt." (al-Ajwibah al-Ghaliyah fi Aqidah al-Firqoh an-Najiyah dalam Fiqh Tradisionalis)

Landasan tawassul adalah firman Allah swt berikut ini:


يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِتَّقُوْا اللهَ وَاْبَتُغْوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah swt dan carilah jalan (tawassul) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 35) 

Pengertian ayat "وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ اْلوَسِيْلَة" ialah mendekatkan kepada Allah dengan mentaatiNya dan melakukan sesuatau yang di ridloi olehNya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Tawassul dibagi menjadi dua:   

1. Tawassul dengan amal saleh.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu, ketiganya bertawassul dengan amal kebaikan yang pernah mereka lakukan.
Orang pertama bertawasul dengan amal baiknya terhadap kedua orang tua. Orang kedua bertawasul dengan takutnya kepada Allah swt sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan.
Orang ketiga bertawassul dengan amal baik yang telah ia lakukan kepada pegawainya. Pegawai tersebut bekerja tanpa mau diberi gaji. Namun setelah gaji tersebut disimpan sang majikan lalu digunakan untuk membeli hewan ternak dan berkembang biak, sang pegawai meminta gajinya. Akhirnya seluruh hewan ternak diberikan kepadanya. Berkat amal-amal tersebut, Allah swt membukakan pintu gua sehingga ketiganya dapat keluar. (HR. Bukhori, Muslim dan Ahmad)  


2. Tawassul dengan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah swt seperti para nabi, wali dan syuhada’. Dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ اْبنَ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَا قُحِطُوْا اِسْتَسْقَىْ بِالْعَبَّاسِ اْبنِ عَبْدِالْمُطَلِّبْ فقال أَللَّهُمَّ كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَأَنَا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَأَسْقِنَا فَيُسْقُوْنَ

Artinya: "Dari Anas bin Malik, bahwasanya Sahabat Umar bin Khottob ketika mengalami kemarau, maka beliau meminta hujan  dan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muthollib, beliau berkata "Ya Allah bahwasanya kami telah bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan dan sekarang kami bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (HR. Bukhori)

Mengambil kesimpulan dari hadits diatas bahwa :
- Sahabat Umar bin Khotob pernah berdoa bertawssul dengan Nabi untuk meminta diturunkan hujan.
-  Sabahat Umar bin Khotob bukan bertawassul dengan Nabi saja, melainkan dengan paman Nabi juga, yaitu Sayyidina Abbas bin Abdul Muthollib.

Selain hadits di atas ada hadits lain yang menceritakan kisah seorang sahabat yang menderita sakit mata. Sahabat tersebut meminta doa kepada Rosululloh saw agar diberi kesembuhan, namun Rosululloh tidak berkenan mendoakannya, akan tetapi beliau mengajarkan doa tawassul agar dibacanya sendiri.


أَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدِ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّى تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فِى حَاجَتِىْ هَذِهِ لِتَقْضِى لِى فَشَفَّعْتَ فِيَّ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul melalui) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Wahai Nabi), sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada tuhanku dengan (bertawasul melalui) Engkau agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku”. (HR. Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dalam Dalil-dalil Nahdliyyah)  

Sedangkan salah satu dasar bertawassul melalui orang yang telah mati adalah sebuah hadits:


عَنْ سَيِّدِنَا عَلِى كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ لَمَّا دُفِنَ فَاطِمَةُ بِنْتِ أَسَدٍ أُمِّ سَيِّدِنَا عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ اَلَّلهُمَّ بِحَقِّىْ وَحَقِّ الْاَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِى أَغْفِرُ لِاُمِّىْ بَعْدَ أُمِّىْ

Artinya: “Dari sayyidina ‘Ali Karromallohu Wajhah: Sesungguhnya Nabi Muhammad saw tatkala Fatimah binti Asad (ibu sayyidina ‘Ali) dimakamkan, beliau berdo’a, “Ya Alloh, dengan (perantara) hakku, dan hak para Nabi sebelumku, ampunilah ibu setelah ibuku. (Fatimah binti Asad)." (HR. Thabari, Abu Nu’aim dan Ibnu Hajar al-Haitami) 

Dalam hadits ini ternyata Rosululloh saw bertawassul dengan para nabi sebelum beliau. Jelas, para nabi sebelum masa beliau sudah meninggal.

Tata Cara Tawassul :
Tawasul dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim adalah sebagai berikut: 
  1. Membaca ayat Al Quran, tahlil dll. Kemudian pahalanya dihadiahkan kepada para nabi, wali dll (orang yang akan dijadikan perantara).
  2. Lalu berdoa untuk ahli kubur yang diziarahi, misalnya dengan doa: Allohummaghfir lahum warhamhum wa’afihim wa’fu ’anhum.
  3. Kemudian berdoa kepada Allah swt dengan doa yang dikehendaki.
  4. Setelah selesai berdoa baru bertawasul memohon pada Allah swt agar berkenan mengabulkan pemintaannya dengan lantaran tokoh yang diziarahi.
File Dokumen Fiqh Menjawab