Ghibah (Menggunjing)
Posted by
Unknown
on
Friday, December 13, 2013
with
No comments
Ghibah (menggunjing) adalah membicarakan perihal orang lain
yang tidak disukai olehnya, seperti membicarakan cacat yang ada pada
tubuhnya atau hal lainnya. Namun apabila yang dibicarakan mengenai
kefasikanya, maka bukan termasuk ghibah, dan tidak berdosa jika
dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang lain. Nabi saw bersabda:
إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلْ تَدْرُوْنَ مَا
الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ قِيْلَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَنِّى مَا
أَقُوْلُهُ ؟ قَالَ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ
وَإِنْ لَـمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya:
Sesungguhnya Nabi saw bersabda, “Apakah kalian mengetahui, apa itu
Ghibah(menggunjing)?” Para sahabat menjawab, “Alloh swt dan Rosul-Nya
yang lebih tahu”, Nabi saw berkata, “(yaitu) kamu menutur saudaramu
dengan sesuatu yang ia benci jika mengetahui/mendengarnya.” Lalu ada
yang mengatakan, “Bagaimana jika apa yang aku sebut memang benar-benar
dimiliki oleh saudaraku?” Nabi menjawab, “(Jika memang demikian)berarti
Engkau telah mengghibahnya. Namun jika (apa yang kamu sebut) tidak ada
pada dirinya, berarti Engkau telah berdusta.” (HR. Muslim)
Pada suatu kesempatan Nabi juga pernah bersabda yang artinya: “Berhati-hatilah engkau terhadap ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih dahsyat daripada perbuatan zina”. Lalu beliau ditanya oleh seorang sahabat, “Bagaimana bisa begitu wahai Rasulallah?“. Rasulullah lalu menjawab , “Sesungguhnya
jika seorang muslim berbuat zina, maka jika ia bertaubat, Allah swt
menerima taubatnya. Tetapi orang yang mengghibah (ngrasani), tidak dapat
diampuni Allah, sebelum orang yang dirasani mengampuni (memberi maaf).”
(HR. Ibnu Hibban)
مَرَرْتُ لَيْلَةَ
أُسْرِيَ بِي عَلَى أَقْوَامٍ يَخْمَشُوْنَ وُجُوْهُهُمْ
بِأَظَافِيْرِهِمْ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ
هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسُ يَقَعُوْنَ فِى أَعْرَاضِهِمْ
Artinya:
”Pada malam aku diperjalankan (malam Isra’ Mi’raj), aku melihat ada
orang-orang yang mencakar-cakar kulit wajahnya menggunakan kuku mereka.
Lalu aku bertanya pada Jibril, “siapakah mereka itu?” Jibril menjawab,
“mereka adalah orang-orang yang menggunjing saudaranya dan merusak harga
diri orang lain.” (HR. Abu Daud)
Terkadang
kita tidak merasa, dalam pembicaraan kita dengan orang lain, secara
tidak langsung kita telah melakukan ghibah, maka kita pun harus
menghindari ghibah dengan kata-kata yang tidak terang-terangan, akan
tetapi cukup membuat penasaran, seperti halnya ucapan, “semoga Allah
memperbaiki perilakunya,“ atau “saya benar-benar sedih atas apa yang ia
lakukan.”
Kata-kata tersebut, menurut Imam Ghazali, mengandung dua kejelekan. Pertama terdapat unsur ghibah, karena dari ucapan tersebut dapat dimengerti yang menjadi objek ucapan adalah orang yang tidak baik. Kedua
terdapat unsur mensucikan diri sendiri, memuji diri dengan gaya
seolah-olah dia tidak pernah atau tidak memiliki dosa dan selalu berbuat
baik.
Tanda keprihatinan seperti pada kata-kata tadi,
apabila sampai didengar oleh yang bersangkutan, tentu ia akan sakit
hati. Maka apabila yang dimaksudkan adalah sebagai doa, hendaknya
diucapkan dalam hati saja.
Coba kita merenungkan keadaan diri kita
sendiri dengan sendiri dengan pertanyaan “Bukankah kita ini memiliki
aib atau kekurangan? Bukankah kita ini masih sering melakukan maksiat
secara tertutup atau bahkan terang-terangan?”
Tentu kita
tidak senang jika aib dan kekurangan kita, disebar dan didengar oleh
orang lain, maka alangkah baiknya adalah jika kita menutup-nutupi
kejelekan dan aib orang lain. Karena dengan seperti itu Allah akan
menutup aib kita pada hari perhitungan kelak. Rasulullah saw bersabda,
مَنْ
فَرَجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ
كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ
يَوْمَ الْقِيَامةِ
Artinya: “Barangsiapa menghilangkan
kesusahan dari saudara muslim, maka Allah akan menghlilangkan
kesusahannya dari kesusahan-kesusahan kelak di hari kiamat, Dan
barangsiapa menutupi aib saudara muslim, maka Allah-pun akan menutup
aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Bukhori)
Diceritakan
oleh Anas bin Malik bahwa pada suatu hari Rosululloh saw memerintahkan
kaum muslimin untuk berpuasa dan melarang mereka berbuka tanpa izin
beliau, sampai sore hari beberapa orang meminta izin berbuka, dan beliau
mengizinkanya.
Kemudian Rasul mendapat laporan bahwa ada
dua orang wanita dengan susah payah menahan lapar dan dahaga pada sore
hari, hingga mereka lemas tak berdaya. Mereka kemudian menyuruh utusan
menghadap kepada Nabi Muhammad saw, guna memintakan izin agar
diperbolehkan berbuka. Tetapi Beliau malah mengirim satu mangkuk kepada
mereka dan beliau memerintahkan agar mereka memuntahkan sesuatu ke dalam
mangkuk tersebut.
Lalu seorang dari mereka mengeluarkan
darah campur nanah dan daging busuk. Demikian pula seorang yang lain,
hingga mangkuk tersebut penuh. Orang-orang merasa jijik dan heran dengan
peristiwa tersebut. Kemudian Rosulullah bersabda, “Dua wanita tersebut berpuasa meninggalkan makanan yang halal, tetapi berbuka dengan sesuatu yang diharamkan Allah swt.” Maksudnya
mereka mengerjakan puasa (tidak makan dan tidak minum), tetapi mereka
duduk-duduk membahas aib (ngrasani/ghibah) sesama. tulah daging-daging
orang yang mereka bahas.” (HR. Ahmad)
Alloh swt berfirman,
وَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيـحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَـحْمَ أَخِيْهِ مَـــــــيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
Artinya
: “Janganlah sebagian kamu menggunjing (melakukan ghibah) sebagian yang
lain. Sukakah salah satu diantara kalian memakan daging saudaranya yang
telah mati, maka sudah pasti engkau merasa jijik kepadanya”. (QS. Al Hujurat : 13)
Namun ada juga ghibah yang diperbolehkan, diantaranya:
1.
Menerima kezaliman, contohnya para pejabat yang korup, dan tidak adil.
Maka bagi rakyat boleh menggunjing pemimpin yang dzalim.
2. Membantu pengurangan maksiat.
Suatu
ketika, Umar bin Khattab lewat, dan bertemu dengan sahabat Thalhah ra.
Lalu sahabat Umar ra mengucapkan salam kepeada sahabat Thalhah ra, namun
ia tidak menjawabnya. Kemudian hal ini dilaporkan pada sahabat Abu
Bakar ra, dan Abu Bakar mendamaikan mereka berdua. Kesimpulan dari
cerita tersebut adalah pelaporan sahabat Umar ra kepada sahabat Abu
bakar ra itu tidak termasuk menggunjing yang dilarang. (Ihya Ulumiddin)
3. Meminta fatwa hukum.
Hindun binti Utbah berkata pada Rosulalloh saw, “Abu Sufyan (suaminya:red) sungguh
merupakan lelaki yang sangat pelit, ia tidak mencukupi kebutuhanku dan
anakku. Apakah aku boleh mengambil uang tanpa sepengetahuannya?”, Nabi saw menjawab, “Ambilah apa yang bisa mencukupi kamu dan anakmu dengan baik”.
(HR. Bukhori)
4. Memperingatkan muslim lainnya dari perbuatan tercela.
Para ulama mengatakan, “Ada
tiga golongan yang dimana ketika menggunjing mereka tidak dilarang,
yaitu imam(pemimpin) yang korup (menyimpang), ahli bid’ah, dan
orang-orang yang melakukan perbuatan fasik (dosa)”.
5. Nama julukan yang terkenal, contohnya “si buta dari gua hantu” atau “si manis jembatan ancol”, dan lainnya.
6. Ditujukan pada orang yang terang-terangan melakukan perbuatan fasik.
File Dokumen Fiqh Menjawab
Categories:
Tausyiyah
0 komentar :
Post a Comment