Hukum Musik Dalam Islam
Posted by
Unknown
on
Sunday, December 15, 2013
with
No comments
Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk
menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya
termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni
tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada
hukumnya.
Dalil-dalil seputar musik
Firman Allah, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
"Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan
kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (QS.
An-Najm: 59-61)
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi.
Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari)
Dari Aisyah berkata, "Rasulullah saw masuk ke rumahku sementara di
sisiku ada dua gadis Anshar sedang bernyanyi dengan nyanyian yang biasa
dinyanyikan kaum Anshar pada perang Bu'ats. Beliau berbaring di atas
pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun
menghardikku dgn berkata "Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi saw?"
Rasulullah saw menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata ‘Biarkan keduanya’.
Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada kedua agar
menyudahi dendangan dan keluar. Keduanya pun keluar.” (HR. Bukhari)
Pendapat Ulama
والمختار أن ضرب الدفّ والأغانى التى ليس فيها
ماينافى الآداب جائز بلاكراهة مالم يشتمل كل ذلك على مفاسد كتبرّج النساء
الأجنبيات في العرس وتهتكهن أمام الرجال والعريس ونحو ذلك والاّ حرم.
Dalam Al-Fiqhu ala Madzahibi Al-Arbaah, juz IV, hal. 9 menyatakan,
"Menurut qoul yang muhtar (terpilih) sesungguhnya memukul rebana
melantunkan lagu-lagu yang tidak sampai meniadakan adab-adab adalah boleh,
tidak makruh, selama tidak mengandung mafasid (kerusakan) seperti penampilan
perempuan (mejeng) dihadapan laki-laki, dalam resepsi pernikahan dan memukaunya
perempuan dihadapan laki-laki, resepsi pernikahan dan sesamanya, kalau tidak
berarti haram."
Ibnu Taimiyah: "Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan
dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam
melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita
dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas
dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al
Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan
merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar
bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya
pun menjadi lalai.”
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj
berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan
para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan
keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan,
Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia
mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa
kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin
al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda
dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk
hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika
pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda
seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Analisa
Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal
muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala
sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal
tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).
Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman
ayat 6, yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak
bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa
suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah
merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan
adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau
mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang
tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan
lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh.
Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang
lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan
pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena "sesuatu
yang lain" (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata
al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat
maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.
Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang
membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt.
Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan
menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah.
Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi
tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara
tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah
terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik
alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang
dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu
cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.
Kesimpulan
Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor
di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik
dengan lirik lagu porno. Jadi, substansinya musik tidaklah haram.
Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung
dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi
lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah,
maka hukumnya adalah haram. Tapi hukumnya boleh (mubah) jika sebaliknya.
File Dokumen Fiqh Menjawab
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment