Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Sunday, July 27, 2014

Halal Bi Halal


Pengertian "halal bi halal" tidak bisa diterjemahkan secara bahasa, karena pendefinisian halal bi halal lahir dari kultur masyarakat Indonesia. Jika diterjemahkan menerut lughowi-nya, maka akan mengandung arti yang tidak tepat dengan tujuan dan maksud halal bi halal itu sendiri. Hal ini karena tidak ada gramer Arab (nahwu sharaf) dengan kaidah halal bi halal. Bahkan bangsa Arab pun bisa jadi membaca halal bi halal tidak akan mengerti maksudnya.

Lafadz "halal" berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, yaitu lawan dari kata haram. Halal mempunyai arti boleh atau tidak dilarang, sedangkan kata "bi" adalah huruf jar yang biasa diartikan "dengan". Secara lughowi halal bi halal diartikan "boleh dengan boleh".

Halal bi halal tidak bisa dimaknai secara bahasa melainkan dimaknai segi kulturalnya yaitu budaya saling memaafkan atau dengan saling berkunjung ke rumah saudara (silaturrahim) guna memohon dan memberi maaf yang diteruskan dengan saling berjabat tangan.

ASAL-USUL HALAL BI HALAL

Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Perayaan diwarnai dengan takbir, tasbih dan tahmid sepanjang hari. Berikutnya setelah melaksanakan shalat Id, jamaah saling bertegur sapa dan saling mendoakan. Rona ceria nampak pada wajah setiap orang. Suasana seperti ini umum kita temui pada momen Idul Fitri. Tapi, ada satu tradisi yang khas di Indonesiapada momen Idul Fitri ini, tradisi halalbihalal.

Sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halalbihalal ini yaitu sebuah tradisi yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat itu, kunjungan terhadapi orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.

Adapun asal-usul istilah halalbihalal memiliki beragam versi. Halalbihalal sendiri merupakan istilah bahasa Indonesia yang menggunakan kata berbahasa Arab. Di negara Arab sendiri, baik kata maupun tradisinya, tidak ada sama sekali. Ini betul-betul khas Indonesia. Karena keunikannya, sehingga seorang dubes Belanda untuk Indonesia yang juga ahli sastra Arab, Nikolaos Van Dam, mengira bahwa halalbihalal adalah kata berbahasa Arab. Namun, setelah mencari referensi literatur Arab, ternyata dia tidak menemukan sama sekali kata maupun tradisi yang dimaksud.

Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, halalbihalal (ditulis sebagai satu kata tanpa spasi) sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Halalbihalal dalam kamus tersebut terdapat pada entri huruf 'A' dengan kata 'alal behalal' dengan arti yang sama dengan arti 'halalbihalal' yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia.

Salah satu versi menyebutkan bahwa kata halalbihalal sudah ada sejak tahun 1935-1936. Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta. Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan. Untuk menarik para pembeli, Si Pembantu tadi berteriak-teriak, "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!" Kemudian anak-anak menirukan ucapannya dengan "halal behalal". Sejak saat itu, istilah halal behalal menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.

Versi lain menyebutkan bahwa halal bi halal merupakan gabungan kata berbahasa Arab. Ada dua kata halal yang berarti 'boleh' atau 'diizinkan' digabungkan dengan kata penghubung bi yang berarti 'dengan'. Sehingga berarti halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain. Meskipun ketiga kata ini berasal dari bahasa Arab, tidak dikenal penggabungan kata seperti itu dalam bahasa Arab.

Versi berikutnya menyebutkan bahwa kata halal bi halal berawal dari keterbatasan bangsaIndonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawar-menawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata "halal?". Lalu ketika penjual berkata "halal", maka transaksi disetujui bersama.

Apapun yang melatar belakangi munculnya tradisi dan istilah ini di bumi Indonesia, ini adalah nilai bangsa yang harus dilestarikan sebagai bukti bahwa agama tidak bertentangan dengan budaya lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuh kembangnya. Seperti juga yang diakui oleh Umar Kayam, seorang budayawan Indonesia, yang menilai tradisi halalbihalal ini sebagai terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.

Tradisi halal bi halal setelah Idul Fitri hanya terjadi di Indonesia. Adapun maksud dan tujuan tradisi tersebut adalah sesuai hadits Nabi saw:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَيَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّــــئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)

Rosululloh saw bersabda :

إِذَا الْتَقَيَا فَتَصَافَحَا تَحَاتَتْ ذُنُوْبُهُمَا

“Sesungguhnya apabila dua orang islam bertemu kemudian bersalaman maka gugurlah dosa dari keduanya.”

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)

Silaturrahim

Budaya silaturrahim atau saling berkunjung ke rumah saudara yang sudah menjadi tradisi dimasyarakat kita, hal itu merupakan perintah Alloh swt sebagaimana firmanNya:

وَالَّذِيْنَ يَصِلَوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du : 21)

Tentang keutamaan silaturrahim Rosul saw bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahim).” (HR. Bukhori)

لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ  يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ

"Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali persaudaraan."  (HR. Bukhori dan Muslim)

File Dokumen Fiqh Menjawab

Lebaran (Idul Fitri)


اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Artinya: “Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Tiada Tuhan selain Alloh, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Segala puji bagi Alloh”.

Suara takbir yang bergema hampir di seluruh tempat menambah indahnya lebaran atau hari raya Idul Fitri bagi umat Islam yang merayakannya. Ibadah puasa selama 30 hari benar-benar telah dijalani dengan penuh harapan agar bisa kembali kepada fitrah, yaitu lahir dan batin menjadi suci tanpa mempunyai dosa sama sekali seperti halnya bayi yang baru lahir. Itulah makna yang terkandung dari Idul Fitri. (‘id = kembali, fitri = kesucian). Alloh swt berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Asy Syams : 9-10)
Selain itu, tradisi lebaran yang identik dengan pakaian baru bukanlah hal yang utama. Akan tetapi makna lebaran yang sesungguhnya adalah bertambahnya ketaatan hamba terhadap Sang Pencipta. Seperti maqolah berikut,

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلَكِنَّ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ
Artinya: “Hari raya bukanlah bagi orang yang berpakaian baru. Tetapi hari raya adalah bagi orang yang ketaatanya bertambah”.

Makna Idul Fitri yang terkandung di dalamnya bisa diaplikasikan pada lima hal yang terangkum dalam “5 L” yaitu: Lebur, Labur, Libur, Luber, dan Lebar.
·  Lebur; maksudnya setelah melewati 30 hari berpuasa dengan imanan wah tisaban maka dosa-dosa kita akan lebur atau dimaafkan oleh Alloh. Sesuai sabda Nabi yang artinya: "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"  (HR. Bukhori)
·  Labur; maksudnya sebagian masyarakat terutama di negara kita dalam menyambut hari raya biasanya saling menghias rumah dengan mengecat (nglabur: Jawa) tembok rumah, pagar dan lainnya sebagai rasa suka cita.
·  Libur; maksudnya Hari Raya di negara kita sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional, sehingga semua kegiatan seperti kerja, sekolah dan lainnya diberhentikan.
·  Luber; maksudnya pahala seseorang setelah melewati bulan Ramadhan akan bertambah banyak atau meluap (luber: Jawa). Hal ini karena setiap amal yang dilakukan pada bulan Ramadhan dilipatgandakan.
·  Lebar; maksudnya telah berakhirnya kita dalam mejalankan ibadah puasa Ramadhan, maka kita akan menjadi lebar (bebas).

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمِ اَلْفِطْرِ وَيَوْمِ اَلنَّحْرِ

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah melarang puasa pada dua hari, yakni hari raya Idul Fithri dan hari raya Kurban.” (HR. Bukhori Muslim)

   Akan tetapi yang dimaksud lebar disini adalah orang mukmin yang menjalankan puasa dengan benar, sehingga dapat dikatakan dengan LEBARAN yang memperoleh pahala banyak dari ibadah puasa kita selama di Bulan Ramadhan, serta bisa mencapai derajat muttaqien, sesuai firman Alloh swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (muttaqien).”
(QS. Al Baqarah : 183)
Untuk mencapai derajat muttaqien tersebut kita harus melalui 5 tahapan yang terangkum dalam 5M, yaitu: Muslim-Mukmin-Muhsin-Mukhlis-Muttaqien.
Muslim dimaksudkan adalah orang yang baru dalam taraf berpasrah kepada Alloh swt dengan menjalankan kelima rukun Islam sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Mukmin adalah orang muslim yang sudah mendasari amaliyah kemuslimannya itu dengan iman, yaitu keyakinan penuh terhadap Alloh berikut keyakinannya terhadap rukun iman yang enam. Dan apa yang diamalkan, itulah yang diucapkan, dan apa yang diucapkan, itulah yang diyakini. Jadi antara keyakinan, ucapan, dan perbuatan menyatu.
Muhsin ialah orang mukmin yang selalu berbuat ihsan atau berbuat baik. Baik itu yang berhubungan dengan Alloh maupun yang berhubungan dengan sesama makhluk. Sabda Nabi saw,

الْإِحْسَان أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya: “Ihsan adalah engkau menyembah Alloh swt seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu.” (HR. Muslim)
Mukhlis adalah orang muhsin yang di dalam berbuat baik itu dilandasi karena Alloh semata, bukan dengan niat lain (ikhlas).
Muttaqien adalah orang yang mampu melaksanakan 4M lainnya yang terangkum dalam suatu definisi:

إِمْتِثَالُ أَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ
Artinya: “Melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya.”


Orang yang taqwa inilah yang ditetapkan dalam Al Qur’an sebagai orang yang telah disediakan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Idul Fitri 1435 H

Sayup terdengar takbir berkumandang
Tanda Ramadhan akan lewat
Ampunan diharap, barokah didapat

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1435 H

Taqobalallahu minna wa minkum
Mohon maaf lahir dan bathin





Saturday, July 26, 2014

Hukum Shalat Kafarat

Diriwayatakan: 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فاتة صلاة فى عمرة ولم يحصها فليقم فى اخر جمعة من رمضان ويصلى اربع ركعات بتشهد واحد يقرا فى كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة القدر خمسة عشر مرة وسورة الكوثر خمسة عشر مرة

Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X.”

قال ابو بكر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول هذة الصلاة كفارة اربعمائة سنة حتى قال على كرم الله وجهه هى كفارة الف سنة قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ابن ادم يعيش ستين سنة او مائة سنة فلمن تكون الصلاة الزائدة قال تكون لابوية وزوجتة ولاولادة فاقاربة واهل البلد

Sayidina Abu Bakar berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda shalat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) shalat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Tholib shalat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat : “Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?". Rasulullah Saw menjawab, "Untuk kedua orang tuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya.”

Perlu ditinjau ulang keshahihan hadis tersebut dan apakah syari’at agama mengajarkan dalam mengqadha shalat semudah itu?

Hadits di atas ternyata adalah hadis maudhu'. Yaitu hadits yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi dan pada hakikatnya itu bukanlah hadits. Hanya saja penyebutannya sebagai hadits memandang anggapan dari perawinya.

Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu' (palsu) maka maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha'if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan sebatas fadhailul amalDalam kitab Al Adzkar An Nawawi hal 14 dikatakan,

اعلم أنه ينبغي لمن بلغه شيء في فضائل الأعمال أن يعمل به ولو مرّة واحدة ليكون من أهله، ولا ينبغي أن يتركه مطلقاً بل يأتي بما تيسر منه، لقول النبي صلى اللّه عليه وسلم

"Sebaiknya seseorang yang mengetahui keutamaan amalan (fadhoilul amal) melakukan hal tersebut walaupun hanya sekali saja agar termasuk dikatakan golongan amal tersebut. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan amal terssebut, akan tetapi berusaha melakukan dengan semampunya, karena berdasar hadis Nabi Saw."

قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً

Para Ulama dari Ahli Hadis, Ahli Fiqh dan lainnya mengatakan: "Boleh dan disunnahkan melakukan suatu amal/perbuatan yang bersumber dari hadis dha'if (lemah) selama bukan hadis maudlu' (palsu)".

Amalan atau ibadah yang bersumber dari hadits palsu (maudhu') dan orang tersebut mengetahuinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengingatkan dalam haditsnya:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيْثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنِ

“Barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku dan dia mengetahui bahwasanya (hadits) tersebut adalah dusta maka ia adalah salah satu dari para pendusta.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya di dalam api neraka." (HR. Bukhari Muslim)

Dan seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqadha shalat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya shalat sekali dalam setahun maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban sholat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan sholat kafarat.

Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan shalatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qadha) dengan shalat di lain waktu sejumlah shalat yang ditinggalkannya

Hukum Mengqadha Sholat.

Dari Anas bin Malik Rosululloh saw bersabda, “Barang siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya (mengqadha)  jika dia telah ingat.” (HR. Bukhori Muslim)

مباحث قضاء الصلاة الفائتة حكمه قضاء الصلاة المفروضة التي فاتت واجب على الفور سواء فاتت بعذر غير مسقط لها أو فاتت بغير عذر أصلا باتفاق ثلاثة من الأئمة ( الشافعية قالوا : إن كان التأخير بغير عذر وجب القضاء على الفور وإن كان بعذر وجب على التراخي

"Hukum mengqadha shalat fardhu menurut kesepakatan tiga madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) adalah wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin baik shalat yang ditinggalkan sebab adanya udzur (halangan) atau tidak.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i qadha shalat hukumnya wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin bila shalat yang ditinggalkan tanpa adanya udzur dan bila karena udzur, qadha shalatnya tidak diharuskan dilakukan sesegera mungkin." (Al-Fiqh ‘alaa Madzaahiba l-Arba’ah juz I hal 755)

Selengkapnya bisa di baca di Hukum Qadha Shalat

Kesimpulan
*) Shalat kafarat jika bersumber dari hadis palsu (maudhu') maka untuk lebih berhati-hati tidak dilakukan meskipun ada beberapa yang mengamalkan. Kecuali jika yakin ada dalil yang jelas memperbolehkan dan tetap mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkan (faitah) mungkin itu masih lebih bijak.
*) Apabila orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai lupa hitungan persisnya dan dia dalam keadaan sehat, maka tidaklah cukup atau lunas dengan hanya melakukan shalat kafarat.
*) Hendaknya yang dilakukan adalah :
- bertaubat
- meng-qadha seluruh shalat yang ditinggal setiap hari semampunya sampai selesai.
- memperbanyak shalat sunnah dan amal-amal kebaikan untuk mengganti kekurangan. 

Wallahu a'lam bish shawwab

Wednesday, July 23, 2014

Nabi Sulaiman, Semut, dan Rezeki Cacing Buta


Pada suatu hari Nabi Sulaiman a.s. duduk di pinggir danau. Sejurus kemudian, ia melihat seekor semut membawa sebiji gandum. Nabi Sulaiman a.s. terus memperhatikan semut itu, yang tengah menuju ke tepi danau.

Tiba-tiba ada seekor katak yang keluar dari dalam air seraya membuka mulutnya. Entah bagaimana prosesnya, semut itu kemudian masuk ke dalam mulut katak. Kemudian, katak itu pun menyelam ke dasar danau dalam waktu yang cukup lama.

Sementara Nabi Sulaiman a.s. memikirkan peristiwa barusan, katak tersebut keluar dari dalam air dan membuka mulutnya. Lalu semut itu keluar, sementara sebiji gandum yang dibawanya sudah tidak ada lagi bersamanya.

Nabi Sulaiman a.s. memanggil semut itu dan menanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukan barusan, ”Wahai semut, apa yang kamu lakukan selama berada di mulut katak?”

”Wahai Nabiyullah, sesungguhnya di dalam danau ini terdapat sebuah batu yang cekung berongga, dan di dalam cekungan batu itu terdapat seekor cacing yang buta,” jawab semut.

“Cacing tersebut tidak kuasa keluar dari cekungan batu itu untuk mencari penghidupannya. Dan sesungguhnya Allah telah mempercayakan kepadaku urusan rezekinya,” lanjut semut.

”Oleh karena itu, aku membawakan rezekinya, dan Allah swt. telah menguasakan kepadaku sehingga katak ini membawaku kepadanya. Maka air ini tidaklah membahayakan bagiku. Sesampai di batu itu, katak ini meletakkan mulutnya di rongga batu itu, lalu aku pun dapat masuk ke dalamnya,”

“Kemudian setelah aku menyampaikan rezeki kepada cacing itu, aku keluar dari rongga batu kembali ke mulut katak ini. Lalu katak ini mengembalikan aku di tepi danau.”

Nabi Sulaiman a.s. kemudian bertanya, ”Apakah kamu mendengar suara tasbih cacing itu?” 

”Ya, cacing itu mengucapkan: Yâ man lâ yansani fî jaufi hâdzihi bi rizqika, lâ tansâ ‘ibâdakal mu’minîna bi rahmatik (Wahai Dzat Yang tidak melupakan aku di dalam danau yang dalam ini dengan rezeki-Mu, janganlah Engkau melupakan hamba-hamba-Mu yang beriman dengan rahmat-Mu)."

Demikianlah, Allah mengatur rezeki segenap makhluknya, termasuk manusia. Sebagaimana pesan al-Qur’an dalam surat Hûd ayat 6: Wa mâ min dâbbatin fil ardli illâ ‘alaLlahi rizquhâ (Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya)

Nuzulul Qur'an

Dalam surat al-Baqarah ayat 185 jelas diterangkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan. Mengenai hal ini hampir semua ulama bersepakat.

شهر رمضان الذى انزل فيه القرأن هدى للناس وبينت من الهدى والفرقان

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai tanggal turunnya al-Qur’an di bulan Ramadhan ini. Imam Ibnu Ishaq berpendapat bahwa tanggal turunnya al-Qur’an adalah tanggal 17 Ramadhan pada tahun 41 dari kelahiran Rasulullah saw. hal ini berdasar pada surat al-anfal ayat 41:

ان كنتم امنتم بالله وماانزلنا على عبدنا يوم الفرقان يوم التقى الجمعان

Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 

Hari bertempurnya kedua golongan itu adalah antara kaum muslimin dengan musyrikin, yaitu hari perang Badar tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriah. Mengenai hal ini Imam Thabari menjelaskan dengan sanad dari Hasan bin Ali:
كانت ليلة الفرقان يوم التقى الجمعان لسبع عشرة من شهر رمضان

Malam al-Furqan (malam diturunkannya al-qur’an ) adalah bertepatan hari pertempuran dua golongan yaitu tanggal 17 Ramadhan.

Artinya tanggal 17 Ramadhan merupakan momen penting dalam sejarah Islam, selain hari berlangsungnya perang Badar, juga merupakan waktu pertama kali diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril. Adapun surat pertama yang diturunkan adalah surat al-Alaq. Begitulah seterusnya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur hingga yang terakkhir adalah ayat dari surat al-Maidah selama kurun waktu 22 Tahun 2 bulan 22 hari. 

Alamat dan Amalan Lailatul Qadar

Demikian Allah swt merahasiakan malamlailatul qadar dari umat manusia. Hanya orang-orang istimewa yang bisa memahami malam istimewa. Termasuk orang istimewa itu adalah hamba pilihan yaitu al-Musthafa Muhammad Rasulullah saw. Begitu istimewanya sehingga para sahabat sangat mengidam-idamkan malam lailatul qadar dan memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah saw

فقد سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن علاملت ليلة القدر فقال هي ليلة بلجة اي مشرقة نيرة لاحارة ولا باردة ولاسحاب فيها ولامطر ولاريح ولايرمى فيها بنجم ولاتطلع الشمس صبيحتها مشعشة

Rasulullah saw pernah ditanya tentang tanda-tanda lailatul qadar, maka beliau bersabda: yaitu malam yang terang dan bercahaya, udaranya tidak panas dan tidak dingin, tidak ada mendung tidak ada hujan, tidak ada gerak angin dan tidak ada bintang yang dilempar. Paginya matahari terbit dengan terang tapi tidak terlalu memancar.

Meskipun menjadi manusia piliahan yang sudah dijamin oleh Allah swt kemuliaannya, Rasulullah saw tetap berusaha mendapatkan lailatul qadar setiap bulan Ramadhan dengan melakukan ibadah malam entah itu shalat, membaca al-Qur’an, beristighfar juga berzdikir dan berdo’a. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Aisyah dan disampaikan melalui haditsnya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا دخل العشر احيا الليل وايقظ اهله وشد المئزر

Apabila Rasulullah saw. memasuki malam sepuluh terkahir bulan Ramadhan, beliau beribadah dengan sungguh-sungguh serta membangunkan anggota keluarganya.   

Begitulah gambaran dari Sayyidah Aisyah tentang Rasulullah saw dan keluarganya dalam rangka memperoleh lailatul qadar. Bahkan Sayyidah Aisyah sendiri sempat bertanya kepada Rasulullah saw tentang do’a yang sebaiknya dibaca ketika memperoleh malam lailatul qadar.

يا رسول الله اذا وفيت ليلة القدر فبم ادعوا؟ قال قولى "اللهم انك عفو تحب العفو فاعف عنى"

Wahai Rasulullah, kalau kebetulan saya tepat pada lailatul qadar, do’a apakah yang harus saya baca? Nabi menjawab “bacalah “ALLAHUMMA INNAKA ‘AFWUN TUHIBBUL AFWA FA’FU ‘ANNI – Ya Allah Engkaulah maha pengampun, senang kepada ampunan, maka ampunilah aku”

Wal hasil Rasulullah saw telah memberikan kepada umatnya beberpa alamat tentang malam lailatul qadar, juga amalan dan do’a ketika bertepatan memperolehnya.

Zakat Fitrah Pakai Uang

Fiqh Menjawab
Semua hal yang berkaitan dengan Zakat fitrah sudah di jelaskan syara' di antaranya adalah Hadits Nabi Muhammad saw, bahwa :

"Rosululloh SAW, menfardlukan zakat fitrah pada manusia, yang di keluarkan pada bulan Romadlon, berupa satu sho' kurma atau satu sho' gandum, bagi setiap orang yang merdeka, budak , lelaki, perempuan dan orang-orang islam." (HR. Bukhori Muslim)

Tujuan dari zakat fitrah adalah untuk mensejahterakan dan memberi kecukupan bagi yang berhak menerimanya, dan konsep dasar dalam pembayaran zakat fitrah adalah berupa makanan pokok yang di konsumsi tiap-tiap suatu negara,

Dalam masalah zakat fitrah dengan uang, sebenarnya terjadi khilaf atau perbedaan ulama di antara Imam Madzhab,

Menurut Imam Syafi'i, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa membayarkan zakat ftrah dengan uang itu tidak di perbolehkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, membayar zakat fitrah dengan uang itu di perbolehkan.

Imam Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun ukuran satu sha' menurut madzhab ini lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg.

"Satu sha' menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu Rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg).
Sementara jumhur ulama, baik Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah menyatakan kesepakatannya tentang ketidak bolehan membayar zakat fitrah dengan selain bahan makanan pokok." (Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hal. 909)

Jumhur atau mayoritas ulama Madzhab Syafiiyyah tidak membolehkan zakat dengan uang akan tetapi ada ulama yakni Imam Ibnu Hajar dan Imam Bulqini dan beberapa ulama lain, mereka membenarkan apa yang di sampaikan Imam Abu Hanifah.

Dan Ternyata pendapat para ulama ini boleh diikuti atau taqlid, karena kapasitas mereka di akui sebagai ulama Tarjih yakni mengunggulkan satu pendapat dari beberapa pendapat yang saling bertentangan.

ZAKAT DENGAN UANG

Keterangan dari kitab Ghoyatu al- Talhishi al- Murad 112

أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.

"Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i, Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut."

File Dokumen Fiqh Menjawab

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang.Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)

Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”

Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”  (Al-Baqarah [2]: 286).

Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima.

Menurut kami, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama. Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab. (Sumber: Konsultasi Zakat LAZIZNU dalam Nucare yang diasuh oleh KH. Syaifuddin Amsir )

Link : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,46326-lang,id-c,syariah-t,Menunaikan+Zakat+Fitrah+Menggunakan+Uang-.phpx

Tuesday, July 22, 2014

Seputar Zakat Fitrah

Zakat adalah pemberian sebagian dari harta yang telah ditetapkan oleh agama kepada yang berhak menerimanya.

Hukum zakat adalah wajib. Baik zakat mal maupun zakat fitrah. Dalilnya adalah sebagai berikut:

 وأقيموا الصلوة وآتوا الزكاة

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat." (QS. Al-Baqarah : 43)

بُِنيَ الإسلام على خمس شهادةِ أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقاِم الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان

"Islam itu didirikan atas lima ; bersaksi bahwa tiada Tuhan sekain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, Membayar zakat, menunaikan haji ke baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim)

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان صاعاً من تمر ، أو صاعاً من شعير ؛ على العبد والحر ، والذكر والأنثى ، والصغير والكبير من المسلمين . و أمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة

"Rasulullah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan sebanyak 1 sha' kurma, atau biji-bijian untuk laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa yang Islam." (HR. Bukhari dan Muslim).

Syarat wajibnya zakat Fitrah ada 3 yaitu :
(a) Islam,
(b) Merdeka,
(c) Ada kelebihan makanan pokok untuk menunaikan zakat fitrah pada terbenamnya matahari di akhir ramadhan sampai terbitnya fajar tanggal 1 Syawal.

Mustahiq Zakat
Golongan umat Islam yang berhak menerima zakat ada delapan berdasarkan Al Quran Surah At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:

1. Orang fakir: orang yang tidak mempunyai harta dan penghasilan tetapi dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal. Misalkan orang yang membutuhkan Rp 10.000 akan tetapi hanya mendapatkan Rp 3.000 saja.

2. Orang miskin : orang yang mempunyai harta dan atau penghasilan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal. Misalkan orang yang membutuhkan Rp 10.000 akan tetapi hanya mendapatkan Rp 8.000 saja.

3. Amil/Pengurus zakat : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
Ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam diri amil yaitu;
a) beragama Islam,
b) mukallaf  (sudah baligh dan berakal),
c) merdeka  (bukan budak),
d) adil
e) bisa melihat,
f) bisa mendengar,
g) laki-laki,
h) mengerti permasalahan zakat.

4. Muallaf: yaitu orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Riqob yaitu budak mukatab
6. Ghorim : yaitu orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
8. Sabilillah: yaitu orang yang berjuang atau berperang di jalan Alloh.
9. Ibnu sabil : yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Waktu memberikan zakat :
  1. Waktu jawaz (boleh), yakni memberikan zakat di awwal bulan ramadhan atau yang biasa disebut ta’jilul zakat.
  2. Waktu wajib, yakni mengeluarkan zakat dengan menemukan sebagian bulan ramadhan dan syawal.
  3. Waktu sunnah, yakni mengeluarkan zakat setelah fajar dan sebelum melakukan sholat ‘id.
  4. Waktu makruh, yakni mengeluarkan zakat setelah melaksanakan sholat ‘id sampai sebelum terbenamnya matahari tanggal 1 syawal tanpa ada udzur. Jika ada udzur maka hukumnya tidak makruh.
  5. Waktu haram, yakni mengeluarkan zakat setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 syawal tanpa ada udzur, jika ada udzur maka tidak haram. Zakat yang dikeluarkan pada waktu tersebut dinamakan zakat qadha.
Karena zakat fitrah merupakan suatu ibadah maka dibutuhkan adanya niat agar keafsahan ibadahnya terpenuhi.

- Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri.


نَوَيْتُ اَنْ 
أُخْرِجَ زَكَاةَ الفِطْرِ عَنْ نَفْسِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالىَ

(Nawaitu an ukhrija zakatal fitri 'an nafsi fardlan lillahi ta'ala)

"Saya niat mengeluarkan kewajiban zakat fitrah atas diri saya sendiri, karena Allah Ta’ala."

- Niat Zakat Fitrah untuk Istri


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

(Nawaitu an ukhrija zakatal fitri 'an zaujaty fardlan lillahi ta'ala)

"Saya niat mengeluarkan kewajiban zakat fitrah untuk istri saya, karena Allah Ta’ala."

- Niat Zakat Fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

(Nawaitu an ukhrija zakatal fitri 'an walady/ binty.... fardlan lillahi ta'ala)

"Saya niat mengeluarkan kewajiban zakat fitrah untuk anak saya, karena Allah Ta’ala."

- Niat Zakat Fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang di tanggung nafkahnya.


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

(Nawaitu an ukhrija zakatal fitri 'anny wa 'an jami'i maa yalzamuny nafaqatuhum syar'an fardlan lillahi ta'ala)

"Saya niat mengeluarkan kewajiban zakat fitrah atas diri saya sendiri dan semua yang secara syari'at nafaqahnya ditanggung oleh saya karena Allah Ta’ala."

- Niat Zakat Fitrah untuk orang yang diwakili


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

(Nawaitu an ukhrija zakatal fitri 'an -nama orang- fardlan lillahi ta'ala)

"Saya niat mengeluarkan kewajiban zakat fitrah atas -nama orang yang diwakilkan- karena Allah Ta’ala."

- Yang menerima zakat fitrah disunnahkan membaca doa berikut:


أَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ طَهُوْرًا

(Ajarakallahu fiima a'thaita wa baaraka fima abqoita wa ja'alallahu laka thahuuran)

"Semoga Allah senantiasa memberimu pahala pada barang yang telah engkau berikan dan mudah-mudahan Allah memberikanmu berkah pada apa saja yang tinggal padamu serta mudah-mudahan dijadikannya kesucian bagi engkau."

File Dokumen Fiqh Menjawab