Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Wednesday, June 19, 2013

Tegalrejo


Tegalrejo...
Tegalrejo...
Tegalrejo...

Takkan ingin hati ini jauh darimu...
Nyaman terasa ketika ku sebut namamu...
Terima kasih atas semua jasamu...

Tegalrejoku...

Purwokerto, 19 Juni 2013


Monday, June 17, 2013

Gambar, Patung, dan Photo


DALIL HARAMNYA MENGGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

Hadits sahih yang melarang seorang muslim menggambar makhluk bernyawa cukup banyak sebagai berikut

a. Hadits Bukhari dan Muslim : إن أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون

Artinya: "Yang paling parah siksanya di hari kiamat adalah mushawwir (tukang membuat patung/tukang gambar)."

b. Hadits Bukhari dan Muslim : (إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم

Artinya: "Orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Dikatakan pada mereka: hidupkan apa yang kamu ciptakan."

c. Hadits Bukhari: نهى عن ثمن الدم وثمن الكلب وكسب البغي ولعن آكل الربا وموكله والواشمة والمستوشمة والمصور

Artinya: "Allah melaknat pemakan riba ... dan tukang membuat patung/tukang gambar."

d. Hadits Bukhari Muslim : من صور صورة في الدنيا كلف أن ينفخ فيها الروح وليس بنافخ

Artinya: "Barangsiapa menggambar di dunia maka i` akan dipaksa untuk meniupkan nyawa pada patung/gambar itu. Padahal dia bukanlah orang yang dapat memberi nyawa."

e. Hadits Muslim: وعن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وقد استترت بقرام فيه تماثيل فلما رآه تلون وجهه و هتكه وقال إن أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله قالت عائشة فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata Rasulullah saw. masuk menuju saya dan saya menutup bilik dengan tirai tipis bergambar, maka ketika beliau melihatnya dia merobeknya dan dengan wajah merah padam, beliau bersabda : “Hai Aisyah, manusia yang paling keras disiksa di Hari Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan Allah.” Kata Aisyah: “Maka kami memotong-motongnya lalu menjadikannya satu atau dua bantal.”

f. Hadits Bukhari Muslim : إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه تماثيل أو تصاوير


Artinya: "Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada patung atau gambar."
Inti dari semua hadits-hadits sahih di atas adalah larangan membuat bentuk makhluk bernyawa (manusia dan hewan/binatang) dalam format gambar atau fisik tiga dimensi (mujassimah) seperti patung.

PENDAPAT ULAMA TENTANG MAKNA TASHWIR MENGGAMBAR  ATAU MEMATUNG (التصوير)

Ulama membagi kata tashwir (membentuk/menggambar) atau (التصوير) ke dalam tiga kategori dengan konsekuensi hukum yang berbeda:

Pertama, menggambar/membentuk makhluk bernyawa dengan tangan dalam format fisikal (jism) seperti dalam bentuk patung.

Kedua, menggambar makhluk bernyawa dengan tangan dalam format non-fisik. Seperti lukisan, kartun, dll.

Ketiga, Menggambar (menangkap bayangan) makhluk bernyawa dengan kamera atau video.

HUKUM TASHWIR MAKHLUK BERNYAWA

Dengan perbedaan pandangan ulama dalam memaknai kata "tashwir" (التصوير) yang disebut dalam hadits, maka berbeda pulalah hukum yang terkait dengannya. Detailnya sebagai berikut:


HUKUM MEMBUAT PATUNG MAKHLUK BERNYAWA

Dalam kategori pertama, ulama sepakat atas keharamannya. Karena memang istilah tashwir dalam bahasa Arab adalah patung.

HUKUM MENGGAMBAR KARTUN MAKHLUK BERNYAWA

Sedang dalam kategori pengertian kedua (tashwir dalam arti menggambar non-fisik) terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Mayoritas mengharamkan. Namun, sebagian ulama ada yang membolehkan dengan argumen bahwa gambar lukisan atau kartun itu bukan dalam bentuk seperti makhluk bernyawa. Selain itu, istilah tashwir di dalam hadits bermakna patung. Bukan gambar lukisan.

HUKUM FOTOGRAFI DAN VIDEO

Adapun kategori ketiga, yaitu foto dan video, mayoritas ulama membolehkan. Walaupun ada sebagian yang mengharamkan. Alasan bolehnya karena ia bukan untuk meniru ciptaan Allah, tapi merekam ciptaan Allah.

HUKUM MEMBUAT KARTUN ANIMASI KOMPUTER

Membuat animasi kartun melalui komputer pada prinsipnya sama dengan menggambar. Yakni, apabila animasi sesuatu yang tidak bernyawa seperti pohon, alama dan gunung maka boleh secara mutklak. Namun, apabila dalam bentuk makhluk bernyawa maka berlaku hukum seperti menggambar yakni terjadi perbedaan ulama : ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan karena terjadinya perbedaan dalam memaknai "tashwir" apakah bermakna membentuk/memahat atau menggambar.


HUKUM MENGGAMBAR MAKHLUK YANG TIDAK BERNYAWA

Adapun membuat patung atau menggambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, rumah, dll, maka boleh secara mutlak.

Kesimpulan, foto dan video hukum asalnya adalah boleh menurut mayoritas ulama. Kecuali kalau foto dan video itu berisi sesuatu yang menggugah syahwat atau pornografi. Sementara menggambar atau melukis makhluk bernyawa hukumnya haram, tapi ada juga yang membolehkan. Sedangkan membuat patung makhluk bernyawa (manusia dan/atau binatang) hukumnya haram secara mutlak.


File Dokumen Fiqh Menjawab

Thursday, June 13, 2013

Seputar Nadzar

Nadzar atau nazar secara etimologis (lughawi) adalah berjanji akan melakukan sesuatu yang baik atau buruk. Dalam terminologi syariah nadzar adalah menetapkan atau mewajibkan melakukan sesuatu yang secara syariah asal tidak wajib.[1] Contohnya, seperti bernadzar, "Apabila saya lulus ujian, maka saya akan berpuasa sunnah sehari." Atau, "Apabila anak saya sembuh sakitnya, maka saya akan bersedekah pada orang miskin."

DEFINISI NADZAR

Nadzar adalah mewajibkan suatu perkara atau perbuatan yang asalnya tidak wajib secara syariah. Seperti, bernazar melakukan shalat sunnah, berpuasa sunnah, bersedekah pada orang miskin apabila yang dikehendakinya tercapai. Niat utama adalah untuk semakin mendekatkan diri pada Allah (qurbah)


PERSYARATAN NADZAR

Syarat sah dan terjadinya nadzar terbagi 2 (dua) yaitu syarat pelaku nadzar dan perkara yang dibuat nadzar (al mandzur bihi)

SYARAT ORANG YANG NADZAR

1. Berakal sehat.
2. Beragama Islam (muslim)
3. Diucapkan dengan kata-kata, tidak cukup hanya dengan niat. Apabila seseorang berniat nadzar tanpa ada ucapan, maka nadzarnya tidak sah dan tidak wajib memenuhi nadzar tersebut.[5]

SYARAT PERKARA YANG DIJADIKAN NADZAR (AL MANDZUR BIHI)

1. Perkara ibadah. Seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sadaqah. Perkara yang bukan bersifat ibadah seperti perkara maksiat atau perkara mubah (seperti makan dan minum) tidak sah nadzarnya.

2. Harta yang dijadikan nadzar harus menjadi hak milik pelaku nadzar saat bernadzar.

3. Bukan perkara fardhu atau wajib. Seperti shalat 5 waktu atau puasa Ramadan.


MACAM-MACAM NADZAR

Dari segi isi kandungan nadzar, nadzar ada dua jenis, yaitu (a) nadzar lajaj (نذر لجاج) yaitu bernazar dengan mencegah diri dari melakukan sesuatu. Seperti, "Saya besok tidak akan bepergian." (b) Nadzar mujazat yaitu nadzar (janji pada diri sendiri) untuk melakukan sesuatu. Nadzar majazat ini ada dua macam, sebagai berikut:
(1) Nadzar tabarrur,[2] adalah nadzar yang dilakukan secara spontan tanpa dikaitkan dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Seperti, seseorang berkata, "Saya akan shalat sunnah besok."
(2) Nadzar yang dikaitkan dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Seperti seseorang berkata, "Apabila anak saya sembuh, saya akan bersedekah pada fakir miskin."[3]

Sebagian ahli fiqh membagi nadzar menjadi dua macam yaitu nadzar mutlak dan nazar muqayyad atau muallaq. Nadzar mutlak adalah nadzar yang dilakukan tanpa mengaitkan dengan keberhasilan melakukan sesuatu atau disebut nadzar tabarrur. Sedang nazar muqoyyad (muallaq) adalah nazar yang dilakukan apabila sudah berhasil dalam perkara yang diinginkan.

Dari segi perbuatan yang dinazarkan, ia terbagi menjadi lima macam:

(1) Nazar taat dan ibadah sepdrti bernazar untuk bersedekah.
(2) Nazar mubah seperti bernazar untuk tidur
(3) Nazar maksiat. Contoh, bernazar untuk berzina dengan artis.
(4) Nadzar makruh. Contoh, bernazar untuk merokok.
(5) Nazar syirik. Contoh, bernazar untuk menyembah berhala.


HUKUM BER-NADZAR

Apakah bernadzar itu boleh (mubah), mendapat pahala (sunnah), kurang baik (makruh) atau dilarang (haram)?

Ada beberapa pendapat ulama yang berbeda karena adanya dalil Quran dan hadits yang juga bermacam-macam. Intinya, nadzar sebaiknya dihindari. Tapi kalau sudah terjadi, maka wajib (harus) dipenuhi kalau nadzarnya berkaitan dengan ibadah. Seperti tersebut dalam hadits sahih:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Artinya: Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nadzar tersebut. Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)

A. Nadzar itu Sunnah (baik dan mendapat pahala)

Dalil dari Quran:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
Artinya: Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. Al Baqarah 2:270)

B. Nadzar itu Makruh (sebaiknya tidak dilakukan)

Dalil dari hadits:

نهي النبي عَنِ النَّذْرِ قَالَ إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
Artinya: Nabi melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’. (HR. Bukhari Muslim)

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذؒرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
Artinya: Janganlah bernadzar. Karena nadzar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit. (HR. Muslim)


HUKUM MENUNAIKAN/MELAKSANAKAN NADZAR

(1) Nazar taat dan ibadah, hukumnya wajib ditunaikan dan bila dilanggar harus membayar kaffarah (tebusan).

(2) Nazar mubah, yaitu bernazar untuk melakukan suatu perkara yang mubah/diperbolehkan dan bukan ibadah maka boleh memilih melaksanakannya atau membayar kafarah. Sebagian ulama bahkan membolehkan untuk tidak menunaikan nadzarnya dan tidak perlu membayar kafarah (tebusan)

(3) Nazar maksiat, nazarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kaffarah. Sebagian ulama berpendapat tidak perlu membayar kafarah (tebusan) berdasarkan hadits Nabi:

لا نذر في معصية الله ولا فيما لا يملك العبد
Artinya: tidak ada nadzar dalam maksiat pada Allah ... (HR Muslim)

(4) Nazar makruh, yaitu bernazar untuk melakukan perkara yang makruh maka memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah.

(5) Nazar syirik, yaitu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah maka nazarnya tidak sah dan tidak ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat karena dia telah berbuat syirik akbar


HUKUM APABILA TIDAK MENUNAIKAN NADZAR

Apabila orang yang bernadzar tidak melakukan nadzarnya baik karena tidak mampu atau tidak mau, maka konsekuensinya melihat dulu jenis nadzarnya apakah termasuk nadzar ibadah, mubah, maksiat, makruh atau syirik. Intinya, harus membayar kafarah yamin (tebusan sumpah).

Urutan Kafarah Yamin (tebusan sumpah) bagi yang tidak melaksanakan nadzar adalah sebagai berikut (pilih salah satu, prioritas berdasar urutan):

a. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
b. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
c. Memerdekakan satu orang budak
d. Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.[4]

---------------------
CATATAN DAN RUJUKAN

[1]التزام قربة غير لازمة بأصل الشرع Lihat Fathul Qorib "Kitab al-Ayman wa al-Nudzur" atau dalam Al Umm li Asy-Syafi'i, Kitab al-Nudzur, Vol. II/278.

[2] Istilah nazar tabarrur dipopulerkan oleh Imam Syafi'i. Lihat Imam Syafi'i Kitab al-Umm, "Kitab an-Nudzur", Vol. II hlm. 279.

[3] Fathul Qarib, ibid.at apabila mereka
[4] Surat Al Maidah 5:89

[5] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk mengatakan:
قال أصحابنا: يصح النذر بالقول من غير نية، كما يصح الوقف والعتق باللفظ بلا نية. وهل يصح بالنية من غير قول أو بالإشعار أو التقليد أو الذبح مع النية؟ فيه الخلاف الذي ذكره المصنف. (الصحيح) باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول ولا تنفع النية وحدها
Artinya: Nadzar itu sah dengan perkataan atau diucapkan walaupun tanpa niat sebagaimana sahnya waqaf dan memerdekakan budak dengan mengucapkan tanpa niat...

Saturday, June 8, 2013

Keringanan Sholat Dalam Perjalanan


Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :

1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan  menjadi dua roka'at.
3. Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya', dalam salah satu waktunya.

SEMPURNA ATAU QASHAR?

Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan sholat saat bepergian, apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan qashar.

[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib. Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama kontemporer Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa melakukan sholat 4 rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam Malik juga diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.

Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:"Pada saat pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan pada shalat bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan" (Bukhari Muslim). Dalil ini juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:"Aku menemani Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidak pernah sholat lebih dari dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah" (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga pernah berkata:"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian s.a.w. bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat rakaat dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat."(H.R. Muslim).

[2]. Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali dan mayoritas ulama berbagai mazhab.
Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur'an:

"وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذينكفروا"

Artinya : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." Ayat ini dengan jelas menyatakan "tidak mengapa" yang berarti tidak keharusan." (QS. An Nisa : 101).

Dalil tersebut juga diperkuat oleh riwayat dari beberapa orang sahabat yang melakukan sholat sempurna pada saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu tidak akan ada seorang sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang diriwayatkan tidak melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas r.a..

Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang musafir bermakmum dengan orang yang mukim, maka wajib baginya menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam yang mukim. Imam Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma') ulama mengenai hal tersebut. Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat maka tentu sholatnya musafir tadi tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini menunjukan bahwa qashar bukan keharusan, tetapi anjuran atau sunnah.

[3]. Pendapat ketiga mengatakan bahwa makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat bepergian dan sangat disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah hadist yang sangat masyhur:" Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya sholat".

CARA SHOLAT QASHAR (MERINGKAS SHOLAT)

Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka'at yaitu dhuhur, ashar, dan isya', di ringkas menjadi dua roka'at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini qoshron lillahi ta'ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka'at karena Allah.

SYARAT-SYARAT QASHAR

Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.

Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:"Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakkan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke Usfan". (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai statemen Ibu Abbas).

Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit tidak masalah karena al-Qur'an tidak secara jelas memberikan batasan jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut, yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh kurang.

3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka'at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya'
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama'ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus menyempurnakan sholat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama' adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud mengatakan maksimum 4 hari.

JAMA' SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)

Menjama' sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya' dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut. Maka sholat dengan cara jama' ada dua macam:
1. Jama' taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu maghrib.
2. Jama' ta'khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu isya'.

HUKUM JAMA'

Banyak yang beranggapan bahwa jama' merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama'. Sholat seperti itu disebut jama' qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama' lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama' mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama' sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama' sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka seorang musafir boleh malakukan jama' dan boleh tidak melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah kesunahan.

Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama' adalah antara lain:
[1]. Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiau berkata bahwa Rasulullah s.a.w menggabung sholat Maghrib dan Isya' pada saat bepergian.
[2]. Hadist riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama Rasulullah s.a.w. untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar secara digabung dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya'.
[1] hadist Anas bin Malik r.a.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barar, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan". (h.r. Bukhari Muslim).
[2] Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh salah satu keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan maghrib hingga waktu isya' kemudian berhenti dan melakukan kedua sholat secara jama', kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ketika menghadapi perjalanan panjang.
Kedua hadist di atas juga dijadikan landasan diperbolehkannya jama' taqdim, yaitu melakukan kedua pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.
[3]. Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala beliau meulai perjalanan setelah Maghrib, beliau memajukan Isya' dan melaksanakannya di waktu sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menghasankan hadist ini).

Sebagian ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang sedang dalam perjalanan adalah melakukan jama'. Sedangkan musafir yang melakukan transit atau stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan semangat mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah dan meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah disodori dua pilihan kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu dosa maka beliau yang paling gigih menjauhinya (h.r. Bukhari dan Muslim).

Pendapat kedua adalah yang diikuti imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi mengatakan bahwa sholat jama hanya boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para jamaah haji, yaitu jama' taqdim, dan jama' ta'kir pada malam Muzdalifah. Alasan pendapat ini bahwa riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah hadist mutawaatir (diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang meriwayatkan jama' selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal), hadist yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad. Pendapat ini juga melandaskan pada riwayat Ibnu Mas'ud r.a. beliau berkata: "Demi Dzat yang tidak ada tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan sholat kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama' (taqdim) dhuhur dan ashar di Arafah dan jama' (ta'khir) maghrib dan isya di Muzdalifah" (h.r. Bukhari Muslim).

CARA JAMA' TAQDIM

Yang dimaksud dengan sholat jama' taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya' dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat isya'. Pelaksanaan sholat dengan jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat menjama' sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam'an bil 'ashri taqdiman lillahi ta'ala.
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama' taqdim dengan ashar karena Allah"
Niat jama' taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama' taqdim antara ashar dengan dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat jama' taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya', sama dengan cara jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya'.
Jika sholat jama' taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka'at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya', diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama' taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini jam'an bil 'ashri taqdiman wa qoshron
lillahi ta'ala
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dua roka'at dengan dijama' taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah."

SYARAT-SYARAT JAMA' TAQDIM

Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama' taqdim, dengan syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya'.
5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka'at singkat.

CARA JAMA' TA'KHIR

Yang dimaksud dengan jama' ta'khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya'. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama' ta'khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama' dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama' ta'khir. Demikian juga cara melakukan jama' ta'khir sholat magrib dengan sholat isya'. Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama' pada waktu sholat isya'.

SYARAT-SYARAT JAMA' TA'KHIR

Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama' ta'khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' ta'khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.

KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA'

Ketentuan jama' dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama' dari berbagai mazhab:
1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat maghrib dan isya' (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya memperbolehkan jama' taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan ashar digabung dan maghrib dan isya' digabung, bukan karena takut dan bepergian" (h.r. Bukhari Muslim).
4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama' simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir waktunya dan melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit diperbolehkan menjama' sholat).
5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang  anaknya masih kecil dan tidak memakai pampers (Hanbali).
7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
8. Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).
9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus haid. (Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kalau kamu mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan melakukan jama' kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu" (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.
10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa ditinggal kerjaannya. (Hanbali).

Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu isya', sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat jama'. Menurut mazhab Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama' adalah karena hajah atau kebutuhan. Maka ketentuan jama' lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.

SHOLAT DI ATAS KENDARAAN

Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku' dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti ruku' dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku' serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w. melakukan sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku' dan sujud), kecuali sholat-sholat fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:"Abdullah bin Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:"Rasulullah s.a.w. juga melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu".

Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat? 
Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang (I'adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.

ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM

Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu', seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu', karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.

QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN

Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.

BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN

Batas mulai diperbolehan jamak dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jamak bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jamak takhir saat  perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jamak atau qashar.