Banyak fenomena praktek fiqih yang terjadi di sekitar kita yang bisa
dikatakan luput atau kurang mendapat perhatian sehingga status hukumnya
tak diketahui. Padahal seluruh aktivitas kita sebagai individu mukallaf
dituntut harus sesuai dan sinkron dengan hukum yang diturunkan Allah
melalui rosul-Nya (fiqh islam).
Salah satu contohnya adalah yang sering terjadi pada seorang yang mandi besar (junub) dalam kamar mandi dengan bak mandi kecil. Air bak mandi bisa dipastikan kurang dari ukuran air banyak (ma’ katsir), yaitu 2 qullah
atau 216 liter. Pada saat ia mandi, air bekas mandi menetes masuk
kembali ke dalam bak mandi. Banyak orang berspekulasi bahwa air yang ada
dalam bak mandi tersebut menjadi musta’mal. Tulisan ini akan mencoba mengulas secara sistematis, koheren dan kritis status hukum air bak mandi yang telah tercampur tetesan air bekas mandi wajib tersebut dari sudut pandang fiqih syafi’i.
A. Pengertian Air Musta’mal
Dalam menganalisa suatu fenomena keagamaan agar lebih fokus maka
terlebih dahulu perlu mendefinisikannya dalam kerangka teoritis
tertentu. Sebagaimana dikatakan pemikir ulung Yunani, Aristoteles,
setiap penalaran selalu dimulai dari pengertian-pengertian.
Kata “musta’mal” dari segi bahasa adalah isim maf’ul hasil derivasi dari fi’il madhi tsulasi mazid sudasi “ista’mala”, secara harfiah arti musta’mal sendiri adalah sesuatu yang digunakan.
Syaikh Zainuddin al Malibari dalam karya terbaiknya Fath al-Mu’in, menjelaskan: seluruh thoharoh (bersuci) baik wajib maupun sunnah hanya bisa dicapai dengan air mutlaq yang belum pernah digunakan untuk bersuci.
فتح المعين
فلا يرفع الحدث ولا يزيل النجس ولا يحصل سائر الطهارة – ولو
مسنونة – إلا الماء المطلق،… (غير مستعمل في) فرض طهارة، من (رفع حدث) أصغر
أو أكبر، ولو من طهر حنفي لم ينو، أو صبي لم يميز لطواف. (و) إزالة (نجس)
ولو معفوا عنه.
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 235)
والماء المستعمل عند الشافعية : هو الماء القليل المستعمل في
فرض الطهارة عن حدث كالغسلة الأولى فيه، والأصح أن نفل الطهارة كالغسلة
الثانية والثالثة طهور في المذهب الجديد.
Berangkat dari ibarot (redaksi) Fath al-Mu’in di atas, dan didukung dari al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kiranya dapat kita rumuskan bahwa definisi air musta’mal secara terminologi syara’ adalah “air yang sudah pernah digunakan untuk thoharoh (bersuci) wajib, baik untuk menghilangkan hadast kecil atau besar maupun untuk menghilangkan najis meski najis yang dima’fu”.
Lebih lanjut Al ‘Allamah Sayyid Bakri Syatho’ ad-Dimyathi dalam hasyiah I’anah ath-Tholibin memberi komentar, menurut beliau dari ibarot fath al-mu’in tersebut dapat ditarik sebuah konklusi bahwa ada empat syarat air bisa dikatakan musta’mal:
(1) Volume air sedikit (kurang dari dua qullah),
(2) Sudah pernah digunakan dalam rukun wajib thoharoh,
(3) sudah terpisah dari anggota,
(4) tidak ada niat Ightirof (nyiduk:Jawa)
ketika memasukkan tangan ke dalam wadah air ataupun ketika anggota
tubuh menyentuh air. Syarat terakhir ini hanya berlaku dalam konteks
mandi wajib setelah niat.
إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 37)
واعلم أن شروط الاستعمال أربعة، تعلم من كلامه: قلة الماء
واستعماله فيما لا بد منه، وأن ينفصل عن العضو، وعدم نية الاغتراف في محلها
وهو في الغسل بعد نيته، وعند مماسة الماء لشئ من بدنه.فلو نوى الغسل من
الجنابة ثم وضع كفه في ماء قليل ولم ينو الاغتراف صار مستعملا.وفي الوضوء
بعد غسل الوجه وعند إرادة غسل اليدين، فلو لم ينو الاغتراف حينئذ صار الماء
مستعملا.
B. Hukum Air Musta’mal
Imam An-Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudlah ath-Thalibin, bahwa hukum air musta’mal adalah suci (thohir). Sedangkan dalam Hasyiyah Qolyubi wa ‘Umairoh ada keterangan bahwa menurut imam ar-Rafi’i dalam Syarah kabir dan Shaghir serta Al Muharror, air musta’mal adalah muthlaq tetapi tidak bisa digunakan untuk thoharoh (bersuci) karena Ta’abbudi
atau dengan kata lain tidak ada alasan yang melatar-belakanginya
(dogmatis-irasional). Menurut imam Nawawi pendapat tersebut bisa
dibenarkan menurut mayoritas ulama’, tetapi dalam kesempatan lain,
tepatnya dalam dua karya monumentalnya At-Tahqiq dan Syarah Muhadzdzab serta Fatawi, Imam an Nawawi menjelaskan bahwa air musta’mal bukanlah air muthlaq.
Dari uraian di atas, pendek kata, Imam an Nawawi dan imam Rafi’i mencapai kata sepakat bahwa air musta’mal tidak dapat dijadikan alat thoharoh sedangkan kontradiksi yang terjadi antara keduanya hanya berkisar dalam status air musta’mal apakah muthlaq ataukah tidak.
روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 1 / ص 2)
وأما المستعمل في رفع حدث فطاهر وليس بطهور على المذهب وقيل
طهور في القديم والمستعمل في نقل الطهارة كتجديد الوضوء والأغسال المسنونة
والغسلة الثانية والثالثة وماء المضمضة طهور على الأصح.
حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 1 / ص 78)
( فَائِدَةٌ ) جَزَمَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحَيْنِ
وَالْمُحَرَّرِ بِأَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ مُطْلَقٌ مُنِعَ مِنْ
اسْتِعْمَالِهِ تَعَبُّدًا .وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي تَصْحِيحِ
التَّنْبِيهِ : إنَّهُ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْأَكْثَرِينَ ، لَكِنْ صَحَّحَ
فِي التَّحْقِيقِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَالْفَتَاوَى أَنَّهُ لَيْسَ
بِمُطْلَقٍ .
Dengan mengetahui definisi dan syarat-syarat air dikatakan musta’mal
kita dapat mengidentifikasi status air yang ada dalam bak mandi dalam
kasus di atas. Air dalam bak mandi tersebut tidak dikatakan musta’mal karena belum pernah digunakan dalam rukun wajib thaharah. Permasalahannya adalah air yang ada dalam kolam tersebut tercampur air musta’mal. Secara sederhana, pertanyaanya dapat kita rumuskan: bagaimana hukum air yang tercampur dengan benda suci berupa air musta’mal?
Menurut qoul ashah (pendapat yang dianggap paling benar), air dalam kolam tersebut thohir muthohir (suci dan mensucikan) jika diperkirakan tidak berubah salah satu sifatnya (rasa, bau, dan warna) dan thohir ghoiru muthohir (suci
tapi tidak mensucikan) jika diperkirakan berubah salah satu sifat
(rasa, bau, dan warna). Ada pendapat yang mengatakan ketika kadar air musta’mal yang tercampur lebih sedikit maka tetap dihukumi thohir muthohir.
C. Hukum air yang tercampur dengan air Musta’mal.
Air musta’mal adalah benda suci. Untuk mengetahui hukum air
yang tercampur dengannya, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bentuk
globalnya yakni hukum air yang tercampur dengan benda suci. Dalam kitab al Iqna’ karya Asy-Syarbini dijelaskan hukum air Mutlaq yang tercampur dengan benda suci terbagi menjadi dua:
- Thohir muthohir (suci dan mensucikan) jika tidak merubah salah satu sifatnya.
- Thohir ghoiru muthohir (suci tapi tidak mensucikan) ketika berubah salah satu sifatnya.
Lebih lanjut, dalam konsep Fiqh para ulama’ mengklasifikasi perubahan yang terjadi menjadi dua macam:
- Khissi (Indrawi) seperti, air muthlaq yang tercampur dengan kopi.
- Taqdiri (Tidak indrawi), salah satu contoh perubahan taqdiri adalah ketika air muthlaq tercampur dengan air musta’mal.
Hal ini di sebabkan karena air musta’mal adalah benda suci yang
seluruh sifatnya (bau,rasa,warna,) sama dengan air mutlaq, oleh sebab
itu perubahan yang disebabkan olehnya tidak akan terdeteksi oleh indra.
روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 1 / ص 3)
فرع إذا اختلط بالماء الكثير أو القليل مائع يوافقه في الصفات كماء الورد المنقطع الرائحة وماء الشجر والماء المستعمل
فوجهان أصحهما إن كان المائع قدرا لو خالف الماء في طعم أو لون أو ريح
لتغير التغير المؤثر يسلب الطهورية وإن كان لا يؤثر مع تقدير المخالفة لم
يسلب. والثاني إن كان المائع أقل من الماء لم يسلب وإن كان أكثر منه أو
مثله سلب وحيث لم يسلب فالصحيح أنه يستعمل الجميع وقيل يجب أن يبقى قدر
المائع وقيل إن كان الماء وحده يكفي لواجب الطهارة فله استعمال الجميع وإلا
بقي.
D. Cara mentaqdirkan perubahan
berpijak dari realita bahwa perubahan yang disebabkan oleh air
musta’mal tidak dapat terdeteksi oleh indra, Maka perlu meminjam benda
lain sebagai tolak ukur untuk mengidentifikasi ada tidaknya, Dalam hal
ini para fuqoha’ menetapkan rasa menggunakan rasa delima, warna
menggunakan warna perasan anggur , bau menggunakan bau ladzan
(sejenis minyak wangi: al fiqh al islami).
Kita membuat pengandaian:
Seumpama air yang menetes itu berwarna seperti warna perasaan anggur,
apakah warna air yang ada dalam kolah berubah ataukah tidak? Jika kita
menggatakan berubah maka air yang ada dalam kolah sudah tidak mensucikan
lagi. Tetapi jika kita menggatakan tidak berubah, maka air dalam kolah
tersebut masih tetap suci mensucikan .cara pentagdiran ini berlaku sama
dalam rasa,maupun bau.
Perlu untuk diketahui, hukum pentaqdiran semacam ini hanya sebatas
sunnah, dalam artian hukumnya boleh seumpama orang yang mandi tersebut
langsung mengunakan air yang ada dalam kolah tanpa harus ia melakukan
pentaqdiran, sebab menurut pandangan para fuqoha’ batas maksimal yang
dapat di capai oleh pentaqdiran adalah dzon, dan kita tidak menghukumi
hilangnya thohuriah air mutlaq (asl,yaqin) dengan sesuatu yang bersifat
dzon.
Wahbah az zauhaily seorang pakar fiqih asal syiria dalam karya impresinya Al Fiqh Al Islami Waadillatuhu
menjelaskan, Bahwa tetesan air bekas mandi wajib(musta’mal) yang masuk
ke dalam wadah kembali hukumnya ma’fu , karena Nabi dan para
shahabatnya berwudlu dan mandi dengan menggunakan wadah-wadah air. Dan
dalam satu kesempatan nabi beserta istrinya siti aisyah juga pernah
mandi dari satu wadah air yang tangan mereka saling bergantian, dalam
Praktek semacam ini dapat dipastikan adanya air yang masuk kembali dalam
wadah.
v إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 38)
(قوله: ولو تقديريا) أي ولو كان التغير حاصلا بالفرض والتقدير
لا بالحس، وهو ما يدرك بإحدى الحواس التي هي الشم والذوق والبصر، وذلك بأن
يقع في الماء ما يوافقه في جميع صفاته، كماء مستعمل، أو في بعضها كماء ورد
منقطع الرائحة وله لون وطعم أو أحدهما ولم يتغير الماء به، فيقدر حينئذ
مخالفا وسطا، الطعم طعم الرمان واللون لون العصير والريح ريح اللاذن – بفتح
الذال المعجمة – فإذا كان الواقع في الماء قدر رطل مثلا من ماء الورد الذي
لا ريح له ولا طعم ولا لون، نقول: لو كان الواقع فيه قدر رطل من ماء
الرمان هل يغير طعمه أم لا ؟ فإن قالوا: يغيره.انتفت الطهورية.وإن قالوا لا
يغيره.نقول: لو كان الواقع فيه قدر رطل من اللاذن هل يغير ريحه أو لا ؟
فإن قالوا: يغيره.انتفت الطهورية.وإن قالوا: لا يغيره.نقول: لو كان الواقع
فيه قدر رطل من عصير العنب هل يغير لونه أو لا ؟ فإن قالوا: يغيره.سلبناه
الطهورية.وإن قالوا: لا يغيره، فهو باق على طهوريته….واعلم أن التقدير
المذكور مندوب لا واجب، فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأه ذلك.
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 238)
ويعفى عن يسير الماء المستعمل الواقع في الماء؛ لأن النبي
صلّى الله عليه وسلم وأصحابه كانوا يتوضؤُون من الأقداح، ويغتسلون من
الجفان، واغتسل النبي وعائشة من إناء واحد، تختلف أيديهما فيه، كل واحد
منهما يقول لصاحبه: أبق لي، ومثل هذا لا يسلم من رشاش يقع في الماء. فإن
كثر الواقع وتفاحش لم تجز الطهارة به على الرواية الراجحة، وهو مذهب
الشافعية أيضاً كما بينت،