Mbah Dalhar Watucongol
Posted by
Unknown
on
Thursday, October 31, 2013
with
No comments
Beliau memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro
di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga
mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Mbah Kiai Dalhar lahir di
komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari
Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama
oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai
Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau
Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan
waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta.
Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.
Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti
jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran
Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama-sama memerangi
penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang
Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro
sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara
habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya
amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya,
Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu
perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di
masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta
beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf
diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan
sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa
Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah
pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren
Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman.
Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang
dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara
ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren
ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah
sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Nama “Dalhar”
Mbah
Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup
kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah
diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa
kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan
pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun,
mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada
Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa
Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar
ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari
Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya
ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah
Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin
Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh
Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di
pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem
pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya
yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk
menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman
Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian
bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas
ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan
menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman
Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan
menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol
Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar
berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari
Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang,
saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau
memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh
Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah
Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil
oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu
itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan
para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kiai Dalhar
diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai
waktu 25 tahun.
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai
Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama
Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan
untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya
atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai
“Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi
Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari
Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid
Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.
Hizb Bambu Runcing
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat
selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama
itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji
kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian
riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan
para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab
selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil
ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil
hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari
tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan
peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit
kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten
Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur.
Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh
santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok
tanah Jawa.
Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa
kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus
tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang
Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan
Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing
para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar
dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah
Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Persantren,
karya KH Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan, dengan bermodalkan
bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di
Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak
senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru
serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi
menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani.
Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu
Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam
thariqah As-Syadziliyyah.
Banyak sekali tokoh – tokoh
ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak
sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH
Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit
selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon,
29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring,
Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekalipun
jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah
Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren
Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan
dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang
mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau
wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan
utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan,
dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju
kawasan Gunung Pring.
Untuk memperingati jejak sejarah
Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir
bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks
Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring
Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu
tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru
Nusantara namun juga negeri mancanegara.
Dan Beliaulah
mertua dari guru kami Mbah Kiai Chudlori pendiri Asrama Perguruan Islam
(API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang.
Categories:
Tokoh Islam
0 komentar :
Post a Comment