Menukar dan Merubah Tanah Wakaf
Posted by
Unknown
on
Thursday, October 31, 2013
with
No comments
Menukar tanah wakaf
- Menurut madzhab Syafi'i tidak boleh.
- Menurut madzhab Hanafi boleh, dengan syarat:
- Tanah wakaf tersebut ditukar dengan yang lebih baik manfaat dan kegunaannya.
- Manfaat dan kegunaan yang lebih baik seperti tersebut di atas harus berdasarkan putusan seluruh pengurus takmir masjid dan para ulama setempat.
3.
Menurut madzhab Hambali, jika fungsi dari bagian depan masjid yang akan
dijadikan halaman atau tempat parkir tersebut tidak mungkin dapat
dipertahankan keabadiannya; karena keberadaan masjid di tepi jalan itu
mutlak memerlukan halaman dan tempat parkir untuk menjaga keselamatan
para pengunjung masjid dari kecelakaan lalu lintas dan kemungkinan ada
pelebaran jalan, maka hukumnya boleh.
Merubah tanah wakaf
Hukum tanah yang semula berfungsi sebagai masjid, kemudian berubah menjadi halaman atau tempat parkir:
- Menurut madzhab Syafi'i, tanah tersebut hukumnya tetap seperti hukum masjid, sehingga tidak boleh ada wanita yang sedang haidl berada di halaman tersebut dan hukum-hukum masjid lainnya.
- Munurut madzhab Hanafi, setelah tanah tersebut diputuskan menjadi halaman masjid, maka hukumnya seperti halaman masjid yang lain yang tidak sama dengan hukum masjid.
- Menurut madzhab Hambali, setelah tanah tersebut berubah fungsinya menjadi bukan masjid, maka hukumnya juga berubah.
Dasar Pengambilan:
Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:
وَلاَ
يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى
قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ
اَلْمُتَطِّلُ . ( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى
انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا
مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ
هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ
اَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ ؛ بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ
الاِنْهِدَامِ اَوْ التَّعْطِيْلِ . وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ
وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ .
"Dan
tidak boleh masjid dirusak. Artinya, masjid yang roboh yang telah
disebutkan sebelumnya dalam ucapan mushannif "Maka andaikata ada sebuah
masjid yang roboh". Masjid yang menganggur adalah seperti masjid yang
roboh. Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini, artinya, atau
telah menganggur sebab dianggurkan oleh penduduk desa tempat masjid
tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid
tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan
dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang
roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang
dianggurkan. Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya
sejak roboh atau menganggur. Yang demikian itu ialah karena masih
mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh
ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala
Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:
وَلاَ
يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا
لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ
آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ
حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
"Tidak boleh
menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah
rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh
kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan
itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain
yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat
kebenarannya".
Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:
اَرَادَ
اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ اَحْكَمَ مِنَ
الاَوَّلِ ، إِنِ الْبَانِى مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ،
وإِلاَّ فَلاَ .
"Penduduk suatu daerah ingin
membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih
kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut
adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak
maka hukumnya tidak boleh".
Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:
فَاِنْ
تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ
اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ
مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ
يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى
مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ
جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ
مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .
"Jika manfaat dari wakat
tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah
roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati
yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa
dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di
tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid
tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin
memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya
untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika
tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual
seluruhnya".
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment