Bahaya Berfatwa Agama Tanpa Ilmu

Posted by Unknown on Sunday, November 29, 2015 with No comments
Akhir zaman ini banyak orang-orang yang belum mumpuni ilmu agama Islam sudah berani menghukumi suatu masalah berdasarkan pemikiran mereka sendiri yang mereka dapatkan dari terjemahan satu-dua hadits Nabi tanpa memandang kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama terdahulu. Padahal keilmuan orang-orang pada zaman akhir (kurun setelah Imam empat madzhab) sangat jauh dibanding para ulama terdahulu, orang-orang sekarang banyak yang tidak fair dalam menggunakan hadits, semangat dalam berfatwa hanya dengan beberapa hadits tapi mengabaikan hadits-hadits lain yang jauh lebih harus dipertimbangkan. Hafal satu dua hadits saja sudah berikrar menjadi ustadz dan berani membid’ahkan suatu golongan mayoritas. Padahal Kalau kita lihat sejarah para Ulama Salaf, mereka hafal ratusan ribu hadits akan tetapi mereka tetap bermadzhab dan menghukumi masalah berdasarkan ijtihad Imam Madzhab. Jauh-jauh hari para Ulama sudah memperingatkan kepada Umat untuk berhati-hati dalam menyampaikan ajaran agama Islam, salah satunya yang disampaikan dalam Kitab Bughyatul Musytarsyidin Berikut Ini: ـ (مسألة: ك): شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى؟ فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة، وكيف أخذ هو ما يخالفها؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي: الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين: أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي: مستقل، وهذا الإمام السيوطي مع سعة اطلاعه وباعه في العلوم وتفننه بما لم يسبق إليه ادعى الاجتهاد النسبي لا الاستقلالي، فلم يسلم له وقد نافت مؤلفاته على الخمسمائة، وأما حمل الناس على مذهبه فغير جائز، وإن فرض أنه مجتهد مستقل ككل مجتهد ـ اهـ بغية المسترشدين ص ٦ المرجع الأكبر "Ada orang orang yang pandai dan cerdas, banyak mempelajari kitab kitab karangan ulama salaf, baik itu tafsir, hadits, maupun ilmu fiqih, kemudian menghukumi suatu masalah dengan pendapatnya sendiri, maka orang yang seperti ini adalah orang yang sesat dan menyesatkan yang justru menjauhkan dari pokok agama yang benar dan jalan Pemimpin para Rasul yaitu Nabi Muhammad Saw. Mereka menolak kitab-kitab ulama salaf yang yang notabene adalah ahli ilmu, mereka menyuarakan tentang tidak wajibnya bermadzhab dan mengarahkan kepada pemahaman agama dari hasil ijtihadnya sendiri, mereka mengaku beristinbath(menggali Hukum) langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman sendiri, sedang mereka tidak memenuhi kriteria syarat syarat berijtihad yang sudah masyhur bagi ahli ilmu, mereka mewajibkan masyarakat untuk mengikuti hasil ijtihad mereka. Maka untuk orang orang yang seperti diatas (yang mengaku ngaku berijtihad langsung/ menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah) wajib atas mereka bertaubat dan kembali kepada jalan kebenaran (sesuai pemahaman mayoritas ulama salaf) dan masyarakat wajb menolak ajakan mereka yang bathil. Apabila kitab-kitab karangan para ulama salaf dikesampingkan (tidak dipakai), maka dengan apa seseorang memahami agama ini yang selanjutnya dipakai untuk pedoman hidup? Padahal dia tidak bertemu langsung dengan Nabiyyuna Muhammad SAW, juga tidak bertemu dengan para Sahabat Nabi. Bila kebetulan dia mempunyai suatu kitab karangan ulama salaf lalu dia mempelajarinya sendiri, lalu dalam proses memahami kitab tersebut dia salah pemahaman, maka kepada siapa dia akan minta petunjuk untuk membenarkan pemahamannya? Silakan jelaskan kepada kami! Sesungguhnya kitab-kitab karya para Imam Agung empat Madzhab dan para ulama yang taqlid (mengikuti) kepada mereka, sumbernya adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Bagaimana proses ijtihadnya sehingga menyelisihi pendapat-pendapat mereka? Kenapa mereka yang saat ini mengaku berijtihad langsung dan kembali kepada Al-Qur'an da Sunnah menghasilkan pendapat dan pemikiran yang sangat jauh dari para Imam Madzhab yang empat di atas ? Berkata Al-Imam Asy-Syaikhoni dan pendahulu mereka Al-Imam Al-Fakhrur Rozi: 'Orang-orang zaman sekarang ini ibarat perkumpulan banyak orang hanya saja tidak ada mujtahid di dalamnya.' Syaikh Ibnu Hajar menuqil fatwa dari sebagian para Ahli Ushuluddin: 'Sesungguhnya setelah kurun masa Imam Syafi'i tidak ditemukan lagi seorangpun yang mencapai derajat mujtahid mustaqil (Mujtahid yang menggali langsung Al-Qur'an da Sunnah).' Contoh terdekat, Imam As-Suyuthi yang dikenal luas ilmunya dan mengusai berbagai fan ilmu, beliau berijtihad dengan nisbi (mengikuti pendapat dari Imam Syafi'i), bukan seorang mujtahid mustaqil, kenapa beliau tidak berani? padahal kitab kitab karangan beliau sangat banyak, tidak kurang dari 500 (lima ratus) kitab . Sesungguhnya orang-orang yang menggali hukum sendiri seperti layaknya seorang mujtahid mustaqil dan menganggap hasil ijtihad mereka benar, hal itu tidak diperbolehkan, walaupun mereka memastikan bahwa mereka adalah seorang mujtahid mustaqil, seperti layaknya mujtahid zaman dahulu." Bughyatul Mustarsyidin Agar tidak menimbulkan pemahaman dan praktek ajaran agama yang berbeda maka mempelajari agama haruslah berguru dengan orang yang paham masalah agama (ulama dan kyai). Hal ini karena ketika memahami agama meskipun dengan berpedoman langsung dengan Al Qur'an dan Hadis akan tetapi penafsirannya belum tentulah pas dan tepat sesuai substansi atau isi dari dalil tersebut. Ketika ayat maupun hadis tersebut adalah hal yang tanpa butuh penafsiran maka itu mungkin tidak bermasalah dan berbahaya. Akan tetapi banyak sekali ayat Al Qur'an atau hadis yang membutuhkan penafsiran dalam memahaminya. Dan hal itu oleh para Ulama terdahulu dijelaskan detail dalam kitab-kitab karya mereka, sehingga sebenarnya kita sudah dipermudah dengan tinggal mempelajari kitab-kitab tersebut yang sudah mudah untuk dipahami bagi yang mau membacanya. Apalagi jika kapasitasnya untuk berfatwa sebagai ustadz atau lainnya, ketika pemahaman terhadap agama sejak awalnya sudah salah kemudaian diajarkan dan berfatwa terhadap ajaran yang salah maka hal tersebut sangatlah berbahaya sebagaimana hadis Rasulullah Saw: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." (HR. Bukhari Muslim) Sumber: http://www.ngaji.web.id/
Categories: