Tanggung Jawab Nasab Mulia
Posted by
Unknown
on
Thursday, March 05, 2015
with
1 comment
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا
نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ
بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ * وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ
مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا
تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ * وَلَا
تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ * وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
“Wahai Bani Israil, ingatlah terhadap nikmat-Ku
yang telah Kukaruniakan kepada kalian dan penuhi janji (kalian) pada-Ku
niscaya Aku penuhi janji (Ku) pada kalian. Dan kepada-Ku maka takutlah
kalian. Dan berimanlah kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an)
sebagai pembenaran bagi apa yang ada pada kalian (Taurat), dan janganlah
kalian menjadi orang yang pertama mengingkarinya (Al-Qur'an), dan
janganlah kalian menjual ayat-ayatKu dengan harga yang murah. Dan hanya
kepada-Ku maka takutlah kalian. Dan janganlah kalian mencampur yang haq
dengan yang bathil dan janganlah kalian menyem-bunyikan yang haq
sementara kalian mengetahui. Dan dirikanlah sholat dan keluarkanlah
zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqarah: 40-43)
Dalam ayat ke-40 surat Al-Baqarah ini, Allah Swt. memanggil orang Yahudi
dengan “Bani Israil”, sedangkan ketika ayat ini turun, di Madinah dan
sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan sebutan “Yahudi”. Bahkan dalam
Al-Qur'an, Allah tidak pernah memanggil mereka dengan kalimat “wahai
orang-orang Yahudi”. Hal ini karena Allah bermaksud menyentuh hati
mereka dengan mengingatkan mereka kepada leluhur mereka, yaitu Nabi
Israil atau Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Siapapun akan gembira
bila disebut nama leluhurnya yang hebat, walaupun ia sendiri tidak tahu
sebagai cucu yang keberapa dari leluhur yang disebut itu, bahkan sangat
wajar bila kemudian ia merasa bangga ketika ingat bahwa dirinya adalah
keturunan orang besar.
Nasab Mulia adalah Tanggung Jawab
Ketika Allah SWT memanggil orang Yahudi dengan “Bani Israil”, maka
sebenarnya itu sekaligus sebagai pengingat bahwa mereka punya tanggung
jawab untuk menjaga nama baik keluarga, seolah-olah Allah Swt. berkata,
“wahai keturunan Nabi-Nabi yang hebat, wahai keluarga terhormat”.
Ditambah lagi Allah menyebut nikmat lain yang diantaranya adalah
bahwa diantara keluarga mereka ini pernah lahir orang-orang hebat
sebagai Nabi-Nabi dan Raja-raja besar.
Tabiat manusia adalah mencintai asal usulnya, baik asal usul keturunan atau bangsa. Berdasarkan itulah Al-Qur'an memilih kalimat “wahai Bani Israil” di dalam berkomunikasi dengan orang Yahudi. Maka Al-Qur'an telah mengajarkan kita sebuah teori, yaitu memotifasi keturunan terhormat dengan memanfaat-kan asal usul keturunan atau bangsanya.
Bangga Berarti Harus Meniru
Bangga dengan leluhur atau asal usul adalah hal yang wajar, tapi bagi
orang berpendidikan, bangga dengan leluhur bermakna merasa harus meniru
keluhuran mereka. Bahkan tanda-tanda bahwa nasab itu membekas adalah
kemauan untuk berprestasi seperti leluhur. Anak orang hebat yang tidak
berprestasi seperti telur ayam yang tidak bisa menetas, sampai kapanpun
harga telur ayam jauh dibawah harga ayam! Tapi telur juga masih
berharga asalkan tidak busuk. Dari itu, target minimal motifasi dengan
kebesaran leluhur adalah agar tidak seperti telur busuk. Itulah isyarat
dari lanjutan ayat 41 Al-Baqarah, yaitu ayat ke 42 yang berbunyi: “.. dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama mengingkarinya (Al-Qur'an)”.
Artinya, kalau kalian tidak bisa sehebat leluhur kalian dengan menjadi
pejuang kebenaran, setidaknya kalian jangan menjadi pecundang dengan
mengingkari kebenaran itu. Kalau kalian yang sudah dikenal sebagai
keturunan mulia tidak bisa menjadi orang yang simpatik dengan prestasi
dan akhlaq menawan, setidaknya jangan menjadi orang yang menyebalkan
dengan gaya sok mulia dan arogan. Kalau tidak bisa menetas jadi ayam,
setidaknya jangan jadi telur busuk!
Orang Hebat Membangun Nasab
Seorang lelaki harus membangun nasabnya sendiri, yakni harus mengangkat
leluhurnya dengan membuat mereka bangga, bukan justru mau terangkat
dengan kehebatan leluhurnya.
Dulu pernah ada seorang Gus (anak
Kiyai Jawa) yang suka pamer nasab, dia suka memamerkan nasabnya yang
bersambung kepada seorang Sunan Walisongo, hingga suatu ketika ia
bermimpi bertemu Sunan itu. Iapun berkata kepada Kanjeng Sunan: “Wahai
kakek, betapa bangganya saya menjadi cucu kakek.” Maka Sunan itu
berkata: “Sebaliknya aku, wahai cucuku, betapa malunya aku punya cucu
kamu, kamu amat tak berguna dan maunya dihormati orang hanya karena
nasabmu.” Sejak saat itu, Gus itu merasa malu dan menjadi pendiam, ia
berubah menjadi sangat yang tawadu'.
Tanpa perjuangan dan
ketawadhu'an, nasab justru akan menjadi bumerang, seperti orang-orang
sombong dari Bani Israil yang justru menjadi orang paling hina karena
tertipu dengan nasab. Bahkan dengan nasab yang mulia seorang pendosa
akan menjadi orang yang paling tersiksa kelak di mahsyar, tersiksa
dengan rasa malu, karena rasa malu itu lebih menyiksa daripada panasnya
cuaca mahsyar. Hal ini perlu dipahami, khususnya oleh orang yang merasa
keturunan Rasulullah, karena beredar omongan kalau keturunan Rasulullah
aman dari siksa neraka. Entah siapa yang pertama kali menghembuskan
angin surga tipuan ini. Kalau keturunan Rasulullah percaya dengan angin
surga ini berarti ia tidak mengerti bahwa rasa malu itu lebih menyiksa
dari api neraka. Keturunan orang Ulama akan lebih malu daripada
keturunan orang biasa ketika mereka sama tidak sholat atau suka mabuk.
Maka, justru keturunan Rasulullah atau keturunan Walisongo yang durhaka
akan menerima siksa lebih pedih daripada pendurhaka keturunan orang
biasa.
Yang Hebat Yang Tidak Membawa Nasab
Akhir ayat 43 Al-Baqarah adalah pendidikan dasar untuk keturunan orang mulia, yaitu ayat: “.. dan ruku'lah (Wahai Bani Israil) bersama orang-orang yang ruku'”.
Ayat ini mengajarkan para bangsawan (orang yang bernasab mulia) untuk
merendah dan merasa sama dengan yang lain, yang dimaksud ruku' adalah
hati selalu menghadap Allah SWT sehingga selalu merasa sebagai hamba
seperti hamba-hamba yang lain. Barangsiapa yang hatinya selalu menghadap
Allah Swt. maka ia tidak akan pernah mengingat status sosialnnya sebagai
orang terhormat, bahkan akan merasa sebagai orang yang paling hina
karena merasa paling kurang berbakti kepada Allah. Ini pendidikan dasar
yang kelanjutannya adalah berjuang untuk berprestasi tanpa mengandalkan
nasab.
Untuk mengukur keberhasilan orang yang bernasab mulia
adalah mengandaikan dirinya tidak dikenal nasabnya oleh orang-orang
disekitarnya. Misalnya Anda adalah seorang keturunan orang mulia dan
orang-orang di sekitar Anda mengenal nasab Anda, Anda dihormati orang
dan mereka selalu menge-depankan Anda; menjadikan Anda sebagai Imam
sholat atau memimpin doa, menempatkan Anda duduk di depan dalam setiap
majlis. Cobalah Anda berandai, seandainya Anda hidup di lingkungan yang
tidak mengenal nasab Anda, bisakan Anda mempertahankan posisi itu?
Bisakah Anda menjadi orang yang selalu dikedepankan? Bisakah Anda
bersaing dengan orang-orang berprestasi di luar sana? Yang anak Kiyai,
seandainya Anda keluar dari kampung Anda dan tinggal di kampung yang
tidak seorangpun mengenal Anda, bisakah Anda menjadi Kiyai atau
setidaknya terhormat karena berprestasi di kampung baru itu seperti Anda
terhormat di kampung Anda? Yang keturunan Habaib, seandainya Anda tinggal di
kampung yang tidak mengenal Anda dan Anda tidak mengaku Habib, bisakah
Anda menjadi orang terhormat seperti di kampung yang mengenal Anda?
Kalau tidak, maka Anda hanya seorang bernasab mulia yang tidak dibanggakan oleh leluhur Anda jika cuma ndompleng kemuliaan nasab leluhur Anda! Semoga kita semua dijauhkan dari predikat seorang pecundang, amin. Wallahu a'lam bish shawwab.
Categories:
Hikmah
1 komentar :
(Y)
Post a Comment