Hukum Interaksi Antar Lawan Jenis
Posted by
Unknown
on
Wednesday, January 29, 2014
with
No comments
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa sekolah-sekolah dan kampus-kampus formal di negara kita Indonesia, sebagian besar tidak memisah antara murid laki-laki dan wanita, baik dalam ruang sekolah, kampus maupun dalam acara-acara atau tempat-tempat lainnya. Nah persoalannya sekarang adalah, bagaimana Islam menyikapi persoalan ini?
Hukum pembicaraan seorang wanita dengan laki-laki yang bukan mahram. Dalam hal ini, para fuqaha telah membolehkan pembicaraan kaum wanita dengan laki-laki yang bukan mahram ketika ada hajat atau keperluan. Di antara keperluan yang disebutkan oleh para fuqaha antara lain adalah seperti, interaksi dalam akad jual beli dan transaksi-transaksi lainnya, atau seorang wanita berbicara dengan seorang yang alim tentang suatu persoalan keagamaan, atau seorang laki-laki bertanya kepada seorang wanita tentang soal keagamaan, jika wanita tersebut seorang yang alim, dan hal-hal lain yang menuntut adanya interaksi pembicaraan antara wanita dengan laki-laki.
Dalam kitab Hasyiyah al-Thahthawi al-Hanafi ada kutipan dari Abu al-Abbas al-Qurthubi, sebagai berikut:
فإنا نجيز الكلام مع النساء للأجانب ومحاورتهن عند الحاجة إلى ذلك، ولا نجيز لهن رفع أصواتهن، ولا تمطيطها، ولا تليينها وتقطيعها، لما في ذلك من استمالة الرجال إليهن، وتحريك الشهوات منهن
"Kami membolehkan perbincangan dan dialog orang laki-laki dengan wanita lain (bukan mahram), ketika ada kebutuhan untuk hal tersebut. Tetapi kami tidak membolehkan kaum wanita meninggikan suaranya, memanjangkan suara, melembutkan dan memotong-motong suaranya. Karena hal itu dapat menarik hati dan membangkitkan hasrat laki-laki kepada mereka.”
Dalam kita Fiqh al-‘Ibadat, madzhab Maliki, ada pernyataan bolehnya pembicaraan orang-orang laki-laki dengan perempuan dengan dalil berikut ini:
بأن نساء النبي - صلى الله عليه وسلم- كنَّ يكلمن الصحابة، وكانوا يستمعون منهن أحكام الدين
“Bahwa istri-istri Nabi saw berbicara dengan para sahabat, mereka juga mendengarkan hukum-hukum agama dari istri-istri Nabi saw.”
Realitas ini menunjukkan bolehnya belajar ilmu agama kepada lawan jenis. Al-Imam al-Ghazali juga membolehkan orang-orang laki-laki berbicara dengan orang perempuan ketika ada keperluan dengan dalil sebagai berikut:
فلم تزل النساء في زمن الصحابة - رضي الله عنهم- يكلمن الرجال في السَّلام، والاستفتاء، والسؤال، والمشاورة، وغير ذلك
Hukum pembicaraan seorang wanita dengan laki-laki yang bukan mahram. Dalam hal ini, para fuqaha telah membolehkan pembicaraan kaum wanita dengan laki-laki yang bukan mahram ketika ada hajat atau keperluan. Di antara keperluan yang disebutkan oleh para fuqaha antara lain adalah seperti, interaksi dalam akad jual beli dan transaksi-transaksi lainnya, atau seorang wanita berbicara dengan seorang yang alim tentang suatu persoalan keagamaan, atau seorang laki-laki bertanya kepada seorang wanita tentang soal keagamaan, jika wanita tersebut seorang yang alim, dan hal-hal lain yang menuntut adanya interaksi pembicaraan antara wanita dengan laki-laki.
Dalam kitab Hasyiyah al-Thahthawi al-Hanafi ada kutipan dari Abu al-Abbas al-Qurthubi, sebagai berikut:
فإنا نجيز الكلام مع النساء للأجانب ومحاورتهن عند الحاجة إلى ذلك، ولا نجيز لهن رفع أصواتهن، ولا تمطيطها، ولا تليينها وتقطيعها، لما في ذلك من استمالة الرجال إليهن، وتحريك الشهوات منهن
"Kami membolehkan perbincangan dan dialog orang laki-laki dengan wanita lain (bukan mahram), ketika ada kebutuhan untuk hal tersebut. Tetapi kami tidak membolehkan kaum wanita meninggikan suaranya, memanjangkan suara, melembutkan dan memotong-motong suaranya. Karena hal itu dapat menarik hati dan membangkitkan hasrat laki-laki kepada mereka.”
Dalam kita Fiqh al-‘Ibadat, madzhab Maliki, ada pernyataan bolehnya pembicaraan orang-orang laki-laki dengan perempuan dengan dalil berikut ini:
بأن نساء النبي - صلى الله عليه وسلم- كنَّ يكلمن الصحابة، وكانوا يستمعون منهن أحكام الدين
“Bahwa istri-istri Nabi saw berbicara dengan para sahabat, mereka juga mendengarkan hukum-hukum agama dari istri-istri Nabi saw.”
Realitas ini menunjukkan bolehnya belajar ilmu agama kepada lawan jenis. Al-Imam al-Ghazali juga membolehkan orang-orang laki-laki berbicara dengan orang perempuan ketika ada keperluan dengan dalil sebagai berikut:
فلم تزل النساء في زمن الصحابة - رضي الله عنهم- يكلمن الرجال في السَّلام، والاستفتاء، والسؤال، والمشاورة، وغير ذلك
“Kaum wanita pada masa sahabat berbicara dengan kaum laki-laki dalam ucapan salam, bertanya, konsultasi dan lain-lain.”
Kebolehan orang laki-laki berbicara dengan orang perempuan ketika ada keperluan, ditunjukkan oleh firman Allah:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab : 32).
Ayat di atas menunjukkan bolehnya orang perempuan berbicara dengan orang laki-laki lain dengan dua kriteria: Pertama, tidak menundukkan (melembutkan) suaranya, dan kedua, perkataannya harus baik. Dalam menafsirkan ayat di atas al-Imam al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya:
قال القرطبي: «لا تُلِنَّ القول، أمرهن الله أن يكون قولهن جزلاً، وكلامهن فصلاً، ولا يكون على وجه يظهر في القلب علاقة بما يظهر عليه من اللين
“Janganlah kaum wanita melembutkan suaranya kepada kaum laki-laki. Allah memerintahkan ucapan kaum wanita ketika berbicara dengan laki-laki lain, harus tegas, to the point, dan tidak dengan cara yang menimbulkan hubungan batin sebab ucapannya yang lembut.”
Berdasarkan pernyataan para ulama fuqaha, tentang bolehnya kaum wanita berbicara dengan kaum laki-laki, dapat disimpulkan beberapa kriteria yang harus dipatuhi:
a. Berbicara karena ada keperluan. Tentu saja berbicara juga harus sesuai dengan keperluan. Oleh karena itu, pembicaraan tidak boleh mengarah pada hal-hal yang tidak menjadi keperluan yang haqiqi.
b. Tidak boleh melembutkan suara, memutus-mutus suara dan bercanda, sehingga dapat membuka pintu bangkitnya hasrat dan syahwat lawan bicara.
c. Berbicara dalam hal yang baik, yakni yang tidak diharamkan menurut syara’.
d. Pembicaraan tidak menimbukan khulwah (berduaan) yang diharamkan oleh syara’, dan tidak terus menerus.
Kebolehan orang laki-laki berbicara dengan orang perempuan ketika ada keperluan, ditunjukkan oleh firman Allah:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab : 32).
Ayat di atas menunjukkan bolehnya orang perempuan berbicara dengan orang laki-laki lain dengan dua kriteria: Pertama, tidak menundukkan (melembutkan) suaranya, dan kedua, perkataannya harus baik. Dalam menafsirkan ayat di atas al-Imam al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya:
قال القرطبي: «لا تُلِنَّ القول، أمرهن الله أن يكون قولهن جزلاً، وكلامهن فصلاً، ولا يكون على وجه يظهر في القلب علاقة بما يظهر عليه من اللين
“Janganlah kaum wanita melembutkan suaranya kepada kaum laki-laki. Allah memerintahkan ucapan kaum wanita ketika berbicara dengan laki-laki lain, harus tegas, to the point, dan tidak dengan cara yang menimbulkan hubungan batin sebab ucapannya yang lembut.”
Berdasarkan pernyataan para ulama fuqaha, tentang bolehnya kaum wanita berbicara dengan kaum laki-laki, dapat disimpulkan beberapa kriteria yang harus dipatuhi:
a. Berbicara karena ada keperluan. Tentu saja berbicara juga harus sesuai dengan keperluan. Oleh karena itu, pembicaraan tidak boleh mengarah pada hal-hal yang tidak menjadi keperluan yang haqiqi.
b. Tidak boleh melembutkan suara, memutus-mutus suara dan bercanda, sehingga dapat membuka pintu bangkitnya hasrat dan syahwat lawan bicara.
c. Berbicara dalam hal yang baik, yakni yang tidak diharamkan menurut syara’.
d. Pembicaraan tidak menimbukan khulwah (berduaan) yang diharamkan oleh syara’, dan tidak terus menerus.
Interaksi lawan jenis bukan hanya terjadi di dunia nyata saja. Di dunia maya seperti dengan telpon, sms, chating, FB dan lainnya juga hukumnya sama dengan di dunia nyata. Maka harus bisa mempertimbangkan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
File Dokumen Fiqh Menjawab
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment