Multi Level Marketing (MLM)

Posted by Unknown on Sunday, April 20, 2014 with No comments
Bisnis Beranak Cucu

Bagaimana hukum bisnis Multi Level Marketing (MLM). Contoh Si A mendaftar dengan membayar uang umpama Rp 150.000, maka si A masuk level I. Kemudian si A berhasil merekrut dua orang member yang juga harus membayar Rp 150.000, pada pihak pusat. Maka si A mendapat komisi dari masing-masing member Rp 25.000. Jadi Rp 25.000 x 2 member = Rp 50.000.

Kedua downline level I, masing-masing berhasil merekrut 2 member, berarti jumlah member dua, empat orang dan pendapatan si A = Rp 20.000, akumulasi Rp 70.000.

Ketiga... dan seterusnya.

Hingga meraup rupiah sampai jutaan dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya. Bisnis ini dijuluki bisnis "Anak Cucu"

Jawaban

Dalam bisnis Multi Level Marketing seperti contoh yang anda berikan, terdapat hal-hal yang tidak jelas, yaitu:

Kalau si A mendaftar dengan membayar Rp 150 ribu

Mendaftar sebagai apa?

Uang Rp 150 ribu diserahkan kepada siapa dan bagaimana akadnya? Apakah akad jual beli, atau akad hutang piutang, atau akad syirkah, atau akad qiradl, atau akad shadaqah, atau akad apa lagi?

Kalau si A berhasil merekrut dua orang member yang juga membayar kepada pusat masing-masing Rp 150.000,- si A mendapat komisi sebanyak 2 X Rp 25.000,- = Rp 50.000,- . Dari mana uang Rp 50.000,- diberikan oleh pusat kepada si A? Dan bagaimana akadnya?

Andaikata si A tidak berhasil merekrut orang lain untuk bermain dalam bisnis MLM ini, dapatkah uang yang telah dibayarkan oleh si A ditarik kembali. Demikian pula halnya dengan dua orang yang telah direkrut oleh si A, jika dia tidak dapat merekrut orang lain lagi, dan menginginkan uangnya kembali, dapatkah si A/pusat bertanggung jawab?

Kalau saya amati dari contoh yang anda berikan mengenai bisnis Multi Level Marketing ini, maka bisnis ini jelas-jelas tidak termasuk muamalah yang diperbolehkan dalam agama Islam seperti: bai', silm, rahn, hijr, suluh, hiwalah, dlaman, kafalah, syirkah, qiradl, wakalah, wakalah, iqrar, 'arah, syuf'ah, musafah, ju'alah, ijarah, wakaf, hibah dan wadi'ah yang jelas akadnya dalam syariat agama Islam.

Bisnis yang tidak jelas akadnya seperti ini pada akhirnya pasti banyak pihak yang dirugikan yaitu orang-orang yang tidak lagi bisa merekrut member. Yang jelas, kalau tidak merugikan dri sendiri, pasti merugikan orang lain. Dan hal ini dilarang oleh Rasulullah saw:

اَلضَّرَرُ يُزَالُ .

"Perbuatan yang merugikan itu harus dilenyapkan."

(Bahtsul Masaail PP Nurul Hudaa/1999)


Sistem MLM (Multi Level Marketing)

Krisis ekonomi telah memberikan implikasi terhadap lemahnya daya beli masyarakat, sementara persaingan dibidang usaha terus meningkat. Hal ini mendorong beberapa perusahaan menerapkan kiat-kiat tertentu dalam memasarkan produknya, diantaranya dengan menggunakan sistem multi level marketing (MLM) seperti CNI, DXN, Rich Exl.Pers dan lain-lain. Dalam sistem ini seseorang dapat menjadi anggota ( distributor) dengan cara membeli produk perusahaan tersebut dalam jumlah tertentu dan membayar uang administrasi, kemudian dia akan mendapatkan komisi apabila bisa mendapatkan anggota ( Down Line) atau point dalam jumlah tertentu, semakin banyak anggota atau point yang diperoleh maka semakin besar pula komisi yang didapat. Yang menarik dari sistem ini bila anggota yang dibawah mendapat down line atau point maka anggota yang diatasnya ikut terdongkrak (bertambah anggota atau pointnya).

Pertanyaan:

a. Termasuk kategori aqad apakah praktek MLM tersebut?
b. Apakah praktek tersebut diatas dapat dibenarkan oleh syara’?
c. Apabila tidak boleh bagaimanakah solusi bagi orang yang telah menjadi anggota MLM?

Jawaban No . 01 Bag . A

Praktek tersebut temasuk Ju’alah dan Bai ’ yang Fasid

- Ju’alah fasidah karena :
1. Amalnya tidak ada kulfah (beban)
2. Iwadlnya ( upah ) tidak maklum ( dalam dongkraannya )
3. Ada syarat bai’ dalam akad
- Bai’ fasid karena di jadikan syarat dalam akad Ju’alah

Ibarat :

I’anatut Tholibin Juz : III Hal : 123
Alfiqh ‘alal madzahib al-arba’ah Juz : II Hal : 228
Hasyiyah Al-Syarqowi Juz : II Hal : 53

( وعبارته ) : وهي بتثليث الجيم شرعا التزام عوض معلوم على عمل معين او مجهول عسر علمه وأركانها اجمالا أربعة : الركن الأول العاقد وهو الملتزم للعوض ولو غير المالك والعامل - الى أن قال – الركن الثانى الصيغة وهو من طرف الجاعل لا العامل – الى ان قال – الركن الثالث الجعل وشرط فيه ما شرط فى الثمن فما لايصح ثمنا لكونه مجهولا او نجسا لايصح جعله جعلا ويستحق العامل أجرة المثل فى المجهول والنجس المقصود – الى أن قال – الركن الرابع العمل وشرط فيه كلفة وعدم تعينه فلا جعل فيما لاكلفة فيه .

[ اعانة الطالبين الجزء الثالث ص 123 ]

( وعبارته ) : الحالة الخامسة : أن يكون الشرط مما لايقتضيه العقد ولم يكن لمصلحته وليس شرطا فى صحته او كان لغوا ، وذلك هو الشرط الفاسد الذى يضر بالعقد ، كما اذا قال له بعتك بستانا هذا بشرط ان تبيعنى دارك ، او تقرضنى كذا ، او تعطينى فائدة مالية . وانما يبطل العقد بشرط ذلك اذا كان الشرط فى صلب العقد ، أما اذا كان قبله ولو كتابة فإنه يصح إهـ 

[ كتاب الفقه على المذاهب الأربعة الجزء الثانى ص 228 ]

( وعبارته ) : ( وبيع بشرط ) كبيع بشرط بيع او قرض للنهي عنه فى خبر أبى داود وغيره ( قوله كبيع بشرط الخ ) كبعتك ذاالعبد بألف بشرط أن تبيعنى دارك بكذا ، او تقرضنى مائة من الدراهم ، ثم ان أوقعوا العقد الثانى بأن باعه الدار أو أقرضه الدراهم مع علمهما بفساد الأول صح والا فلا ومحل فساد الأول ان وقع الشرط فى صلب العقد والا فلا يضر إهـ .

[ حاشية الشرقاوى الجزء الثانى ص 53 ]

Jawaban No . 01 Bag . B
Tidak di benarkan(haram)

Ibarat :

1 . Ghoyatu talkhishil murod Hal : 122
2 . Al–Asybah wan nadhoir Hal : 287

( وعبارته ) : ( مسئلة ) تعاطى العقود الفاسدة حرام اذا قصد بها تحقيق حكم شرعي ويأثم العالم بذلك ويعزر لا ما صدر عنه تلاعبا او لم يقصد به تحقيق حكم لم يثبت مقتضاه عليه إهـ .

[ غاية تلخيص المراد ص 122 ]

( وعبارته ) : القاعدة الخامسة تعاطى العقود الفاسدة حرام كما يؤخذ من كلام الأصحاب فى عدة مواضع إهـ .

[ الأشباه والنظائر ص 287 ]

Jawaban No . 01 Bag . C

Karena dia sudah melakukan praktek akad yang tidak sah maka dia wajib keluar dari sistem tersebut dan bila sudah menerima barang dan komisi maka wajib mangembalikannya. Dan dia hanya berhak mendapat ujroh misil.

Catatan :

Bagi seluruh Kaum Muslimin harap waspada dengan praktek semacam ini, karena ada diantara sistem semacam ini melakukan penipuan.

Ibarat :

1 . Asnal Matholib Juz :II Hal : 3
2 . Al- Hawi Lil-Fatawi Juz : I Hal : 109

)فعلى الأول ) وهو عدم صحة البيع بالمعاطاة ( المقبوض بها كالمقبوض بالبيع الفاسد فيطالب كل صاحبه بما دفع اليه ان بقي وببدله ان تلف .

[ أسنى المطالب الجزء الثانى ص 3 ]

( وعبارته ) : اعلم ان كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة الى التوبة منها والتوبة من حقوق الله يشترط فيها ثلاثة أشياء أن يقلع عن المعصية فى الحال وان يندم على فعلها وان يعزم ان لايعود اليها ، والتوبة من حقوق الآدميين يشترط هذه الثلاثة ورابع وهو رد الظلامة الى صاحبها وطلب عفوه عنها والإبراء منها .

[ الحاوى للفتاوى الجزء الأول ص 109

(Bahtsul Masail PP. MUS Karangmangu Rembang)


Transaksi Dua Aqad dalam Praktik MLM

Dalam kajian fikih ada istilah al-‘aqdain fil ‘aqd atau al-bai’ain fi al-bai’ah yang berarti dua aqad yang terkumpul dalam sesuatu transaksi. Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad Bin Hanbal dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud RA telah melarang model transaksi seperti ini.

Para fuqaha merinci penjelasan mengenai al-‘aqdain fil ‘aqd ini ke dalam tiga model. Pertama, adanya dua harga dalam sebuah jual beli. Misalnya, jika seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku jual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh dirham jika tunai, dan dua puluh dirham jika hutang.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada kesepakatan tentang salah satu model jual beli tersebut.

Dikatakan bahwa jual beli semacam ini telah rusak (fasid), karena kedua pihak yang bertransaksi tidak mengetahui harga mana yang dipastikan. Asy-Syaukani menyatakan, sebab diharamkannya jual beli semacam itu adalah tidak disepakatinya salah satu (aqad) harga dari dua (aqad) harga tersebut. Akan tetapi, jika kedua orang tersebut bersepakat tentang salah satu aqad (harga) dari dua aqad (harga) jual beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara kredit sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas harga dari baju tersebut serta bentuk transaksinya.

Kedua, Imam Syafi’i, menafsirkan al-‘aqdain fil ‘aqd sebagai jual beli bersyarat. Misalnya, jika seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian, akan tetapi engkau harus menikahkan putramu dengan putriku.” Muamalat semacam ini menyebabkan tidak jelasnya harga.

Ketiga, al-‘aqdain fil ‘aqd adalah memasukkan transaksi kedua ke dalam transaksi pertama yang belum selesai. Misalnya, jika seseorang memesan barang dalam jangka waktu satu bulan, dengan harga yang telah ditentukan. Ketika tempo masa telah tiba, pihak yang dipesan meminta kembali barangnya dengan berkata kepada pemesan, “Juallah barang yang seharusnya saya berikan kepada anda dengan harga sekian, tapi jangkanya ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab aqad yang kedua telah masuk pada aqad yang pertama. Demikianlah.

Para ahli fikih sering mengkaji transaksi multi level marketing (MLM) yang saat ini semakin beragam model melalui perspektifal-‘aqdain fil ‘aqd ini, yakni adanya dua akad dalam satu transaksi.

Paling tidak MLM bisa diklasifikasikan kedalam tiga model: Pertama, MLM yang membuka pendaftaran member (posisi) dimana member tersebut harus membayar sejumlah uang sembari membeli produk. Pada waktu yang sama juga, dia menjadi referee atau makelar bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, karena ia akan mendapatkan "nilai lebih" jika berhasil merekrut orang lain menjadi member dan membeli produk. Maka praktek MLM seperti ini jelas termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd. Sebab, dalam hal ini orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran (samsarah) secara bersama-sama dalam satu akad.

Kedua, ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk meski untuk keperluan itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (poin), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya. Maka praktek ini juga termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd, yakni akad membership dan akadsamsarah (pemakelaran).

Membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu, yakni ketika pada suatu hari dia membeli produk dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat poin karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member.

Ketiga, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang.

Ini sangat berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dalam MLM model ketiga ini pihak-pihak terkait sebenarnya tidak melakukan transaksi apa-apa, hanya melakukan semacam permainan bisnis yang mirip sekali dengan perjudian.

File Dokumen Fiqh Menjawab 
Categories: