Hukum Daging Biawak Dan Dhab
Posted by
Unknown
on
Thursday, April 17, 2014
with
1 comment
Biawak |
BIAWAK adalah sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, suku biawak-biawakan (Varanidae). Biawak dalam bahasa lain disebut sebagai bayawak (Sunda), menyawak atau nyambik (Jawa), berekai (Madura), dan monitor lizard atau goanna (Inggris).
Biawak banyak macamnya. Yang terbesar dan terkenal ialah biawak komodo (Varanus komodoensis), yang panjangnya dapat melebihi 3 m. Biawak ini, karena besarnya, dapat memburu rusa, babi hutan dan anak kerbau.
Bahkan ada kasus-kasus di mana biawak komodo menyerang manusia,
meskipun jarang. Biawak ini hanya menyebar terbatas di beberapa pulau
kecil di Nusa Tenggara. Biawak yang kerap ditemui di desa-desa dan perkotaan di Indonesia barat kebanyakan adalah biawak air dari jenis Varanus salvator.
Panjang tubuhnya (moncong hingga ujung ekor) umumnya hanya sekitar 1 m
lebih sedikit, meskipun ada pula yang dapat mencapai 2,5 m. (http://id.wikipedia.org/wiki/Biawak)
Dhabb |
DHAB (Uromastyx aegyptia) adalah sejenis biawak yang terdapat di padang pasir dan sebagai salah satu anggota terbesar dari genus Uromastyx. Dhab dapat di temui di Mesir, Libya dan seluruh daerah Timur Tengah tetapi sangat jarang ditemui saat kini karena penurunan habitatnya.
Kulitnya yang sangat keras sering digunakan oleh Arab Badui,
sementara dagingnya dimakan sebagai salah satu alternatif sumber
protein dan mereka bisa menunjukkan cara untuk menyembelihnya. Nama Inggrisnya Egyptian Mastigure atau Egyptian dab lizard atau Egyptian spiny-tailed lizard. Menurut keyakinan umat Islam, dhab ini halal dimakan dan dikatakan merupakan sejenis obat perangsang tenaga batin tradisional. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dhab)
Gambar-gambar
di atas jelas sekali tampak perbedaannya antara dhabb dan biawak. Meski
secara fisik menunjukan ada kesamaan dan memang ada kemiripan bentuk
tubuh antara dhabb dengan biawak, namun pada banyak hal terdapat banyak
sekali perbedaan antara kedua hewan tersebut. Perbedaan yang paling
menonjol adalah terutama dalam hal makanannya, dimana dhabb merupakan
hewan yang jinak (tidak buas) memakan makanan yang bersih dan tidak
menjijikan (rerumputan) berbeda sekali dengan biawak yang merupakan
hewan buas dan pemangsa serta memakan makanan yang menjijikkan.
Selain menjijikkan, biawak juga
merupakan hewan yang licik dan zhalim. Abdul Lathif Al-Baghdadi
menyebutkan bahwa diantara kelicikkan dan kedzaliman biawak adalah bahwa
biawak suka merampas lubang ular untuk ditempatinya dan tentunya
sebelumnya dia membunuh dan memakan ular tersebut. Selain itu biawak
juga suka merebut lubang dhabb, padahal kuku biawak lebih panjang dan
lebih mudah untuk digunakan membuat lubang. Karena kedzalimannya,
orang-orang Arab sering mengungkapkan: “Dia itu lebih zhalim daripada
biawak”.
Perbedaan Ijtihad Ulama tentang Hukum Dhabb.
Ada beberapa hadits yang saling berbeda
terkait dengan hukum memakan daging dhabb. Sebagian dari matan hadits
itu menunjukkan kebolehan memakan dhabb, namun sebagian lainnya
menunjukan ketidak-halalannya.
a. Hadits-hadits yang Melarang Makan Dhabb
"Bahwa Rasulullah SAW melarang (makan) dhabb." (HR Abu Daud).
Dari Abduurahman bin Hasnah bahwa
para sahabat memasak dhabb, lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya satu
umat dari bani Israil diubah menjadi hewan melata di tanah, aku khawatir
mereka itu adalah hewan ini, jadi buanglah.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Ath-Thahawi) Ibnu Hibban dan Ath-Thahawi menshahihkan hadits ini dengan sanad sesuai syarat dari Bukhari.
b. Hadits yang Menghalalkan Dhabb
Dari Ibnu Abbas ra berkata,”Aku makan dhabb pada hidangan Rasulullah SAW.” (HR Bukhari Muslim)
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa
Rasulullah SAW ditanya tentang hukum dhabb, maka beliau menjawab, “Aku
tidak memakannya namum tidak mengharamkannya.” Beliau juga ditanya
tentang hukum makan belalang, maka beliau menjawab, “Hukumnya sama.” (HR An-Nasa”i)
Rasulullah SAW bersabda, “Makanlah hewan itu karena hukumnya halal. Namun hewan itu bukan makananku.” (HR Muslim)
c. Ijtihad Para Ulama
Dengan adanya perbedaan sekian hadits
tentang dhabb di atas, maka para ulama pun berbeda pendapat tentang
hukum memakannya. Sebagian dari mereka mengharamkannya dan sebagian
lainnya menghalalkannya.
Mereka yang Mengharamkan: Pengharaman
mereka berangkat dari adanya hadits-hadits di atas yang esensinya
mengharamkan seorang muslim memakan daging dhabb. Bahkan Rasulullah saw.
sampai memerintahkan untuk membuangnya, karena beliau khawatir hewan itu
adalah penjelmaan dari umat terdahulu yang dikutuk jadi hewan. Perintah
untuk membuangnya berarti makanan itu haram. Karena kalau halal atau
sekedar makruh, tidak mungkin beliau perintahkan untuk membuangnya.
Sebab membuang makanan, meski tidak doyan, hukumnya haram.
Mereka yang Menghalalkan: Mereka yang
menghalalkan makan daging dhabb tentu saja berhujjah dengan
hadits-hadits yang membolehkan. Yaitu Rasululah SAW membolehkan makan
dagingnya, meski beliau sendiri tidak memakannya. Sedangkan terhadap
hadits-hadits yang tidak membolehkannya, mereka mengatakan bahwa
kedudukan hadits-hadits itu lemah dan bermasalah, sebagaimana hasil
peniliaian para ulama berikut ini:
Ibnu Hazam mengatakan bahwa hadits
riwayat Abu Daud tentang Rasulullah SAW melarang (makan) dhabb itu
adalah hadits yang bermasalah pada isnadnya. Beliau mengatakannya
perawinya dhaif (lemah) dan majhul (tidak diketahui).
Demikian juga dengan Al-Baihaqi, beliau
mengatakan bahwa dalam isnad hadits tersebut ada perawi yang bernama
Ismail bin Ayyash. Menurut beliau perawi ini termasuk kategori: laisa bihujjah
(tidak bisa dijadikan dasar argumen). Mereka juga mengatakan bahwa
hadits yang melarang makan dhabb karena Rasulullah saw. khawatir hewan
itu penjelmaan manusia yang dikutuk, tidak bisa diterima. Sebab
bertentangan dengan hadits lainnya yang menyebutkan bahwa Allah swt.
tidak mengutuk orang jadi hewan lalu hewan itu bisa beranak pinak dan
berketurunan. Kemungkinan saat itu Rasulullah saw. belum menerima wahyu
lebih lanjut bahwa umat terdahulu yang dikutuk menjadi hewan tidak akan
punya keturunan, bahkan setelah jadi hewan, tidak lama kemudian mereka
mati.
Dari Ibnu Mas”ud ra. bahwa
Rasulullah SAW ditanya tentang kera dan babi, apakah hewan itu
penjelmaan (orang yang dikutuk di masa lalu)? Beliau menjawab,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menghancurkan suatu kaum atau mengutuknya
jadi hewan sehingga mereka punya keturunan.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagaimana ditulis oleh Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Bulughul Maram.
Pada tahun 1932, Nahdlatul Ulama pun
sudah membahas tentang masalah ini. Dalam Muktamar Nahdhatul Ulama ke-7
di Bandung pada tanggal 13 Rabi’uts Tsani 1351 H/ 9 Agustus 1932 M
menerangkan sebagai berikut
SOAL: Apakah yang
dinamakan binatang biawak (seliro atau mencawak) itu? Apakah binatang
tersebut ialah binatang dhabb yang halal dimakan?
JAWAB: Binatang biawak (seliro atau mencawak) itu bukan binatang dhabb, oleh karenanya maka haram dimakan.
Keterangan dari kitab Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Syarh al-Minhaaj 4/259, cetakan al Haramain sebagai berikut:
قَوْلُهُ وَضَبٌّ: هُوَ حَيَوَانٌ يُشْبِهُ
الْوَرَلَ يَعِيشُ نَحْوِ
سَبْعَمِائَةِ سَنَةٍ وَمِنْ شَأْنِهِ أَنَّهُ لَا يَشْرَبُ الْمَاءَ وَأَنَّهُ
يَبُولُ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مَرَّةً وَلَا يَسْقُطُ لَهُ سِنٌّ
وَلِلْأُنْثَى مِنْهُ فَرْجَانِ وَلِلذَّكَرِ ذَكَرَانِ
"Keteranga n binatang dhab: binatang dhab adalah binatang yang menyerupai biawak
yang mampu hidup sekitar tujuh ratus tahun, binatang ini tidak minum
air dan ia kencing sekali dalam 40 hari, betinanya memiliki dua alat
kelamin betina dan yang jantan pun juga memiliki dua alat kelamin
jantan."
Jadi, jangan disangka bahwa hukum
memakan daging biawak (waral) yang termasuk binatang buas itu sama
dengan makan daging dhabb (hewan mirip biawak). Daging biawak hukumnya
haram dimakan, sedangkan daging dhabb sendiri dihalalkan oleh Nabi saw,
sebagaimana dalam hadits Khalid bin Walid ra:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ،
فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ
اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ
اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي
فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص
يَنْظُرُ. مسلم
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata,
“Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke
rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging dhabb yang telah
dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil
daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah
Maimunah berkata, “Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan
yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik
tangannya. Lantas saya bertanya, “Apakah daging tersebut haram wahai
Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Tidak, tetapi karena ia tidak ada di
negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata,
“Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah
SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]
Kesimpulan:
- Dhabb berbeda dengan biawak. Sebenarnya
kalau kita mau membuka kamus, kita akan dapati bahwa biawak dalam
bahasa Arab disebut waral (الوَرَلُ), bukan dhabb (الضَّبّ)/ hewan mirip
biawak.
- Dhabb merupakan hewan yang halal untuk
dimakan meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, akan tetapi
lebih kuat hujjah yang menghalalkan.
- Sedangkan biawak adalah hewan yang
haram untuk dimakan dikarenakan: biawak merupakan hewan yang menjijikkan
(khabits), biawak merupakan hewan buas, para ulama mutaqaddimin pun
telah mengharamkan biawak, para ulama mutaakhirin dari kalangan
Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya
biawak. Wallahu a’lam bishshabwab.
Categories:
Syariah
1 komentar :
artikel yang bagus gan
http://readyfajar.blogspot.com/
Post a Comment