Hukum dan Etika Pacaran dalam Islam
Posted by
Unknown
on
Monday, April 14, 2014
with
1 comment
Pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya.
الأصل فى الأشياء الإباحة إلا ماحرمه الشرع
Begitu pula dengan pacaran. Pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan. Demikaian surat al-Isra’ ayat 32 menerangkan:
الأصل فى الأشياء الإباحة إلا ماحرمه الشرع
Begitu pula dengan pacaran. Pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan. Demikaian surat al-Isra’ ayat 32 menerangkan:
وَلاَ تَقْرَبُوا
الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Hal ini sangat singkron dengan hadits Rasulullah saw yang seolah
menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam
perzinahan
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ
وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat
dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah
seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu
kepada umatnya mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang
terlarang. Pelarangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus dalam
perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi
berduaan.
Demikianlah dasar hukum dilarangnya pacaran, jika yang dimaksud
dengan pacaran itu adalah pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka,
sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya
Purwodarminto.
Akan tetapi berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah
upaya saling mengenal menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan
dalam momentum khitbah atau melamar. Karena sesungguhnya hal itu
sama seperti mendukung anjuran Rasulullah saw terhadap generasi muda
muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari perzinahan.
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan kepada
kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup
melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya
melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj
(kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa
(sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya.” (HR. Muslim)
Begitu juga sebaliknya, Rasulullah saw dengan gamblang mengancam
siapapun yang tidak mengikuti sunnahnya (termasuk di dalamnya menikah)
sebagai keluar dari golongannya. Demikian ketegasan Rasulullah saw
tercermin dalam haditsnya:
عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (رواه البخاري)
“Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku,
sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka
barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari )
Kedua hadits ini menjelaskan posisi pentingnya sebuah pernikahan bagi
seorang. Sehingga Rasulullah sendiri membuat anjuran sekligus ancaman.
Oleh karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam upaya
mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam Islam
dibolehkan. Karena kesempatan seorang muslim memandang muka dan telapak
tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen khitbah, tidak pada saat yang lain. Demikian keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib
والرابع النظر لاجل
النكاح فيجوز الى الوجه والكفين
Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita) melihat untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak tangannya.
Demikian Rasulullah saw juga mengajarkan perlunya perkenalan dan
menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana pengalaman
Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, maka
Rasulullah berkomentar kepadanya:
انظر اليها فانه احرى ان
يؤدم بينكما
Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas (dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.
Oleh karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah
yang membolehkan seorang lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan
perempuan, tidak lebih. Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak
tangan, tidak melebihi saat khitbah, dan juga tidak melebihi dari
memandang itu sendiri. Wallahu A'lam. (nu.or.id)
Categories:
Syariah
1 komentar :
baca yuuk..
Post a Comment