Syair yang Pengaruhi Hidup Gus Dur
Posted by
Unknown
on
Monday, January 11, 2016
with
No comments
Dalam salah satu wawancara
dengan Jaya Suprana, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan sebuah syair
indah. Tak hanya dalam wawancara itu, di kesempatan lain pun Gus Dur sering
mengutip syair ini. Termasuk diantaranya ngobrol santai KH. Maman Imanulhaq bersama
Gus Dur yang terekam dalam salah satu CD berjudul ”Tawa dan Canda Gus Dur”.
Syair berbahasa Arab ini
dikarang oleh seorang pujangga Arab kenamaan pra Islam, yaitu Al-Nabighah
al-Dzubyani. Bagi Gus Dur Syair inilah yang mempengaruhi hidupnya. Bahkan dari
syair ini pula kemudian Gus Dur mampu merubah dirinya sebagai sosok pemberani
dan tokoh pluralisme (PLUR: peace, love, unity and Respect). Sehingga di
kemudian hari ia melahirkan jargonnya ”Gitu aja kok repot” yang
diadaptasi dari syair ini dengan Kaidah fiqhiyyah berbunyi ”Al-masyaqqah tajlib
al-taisîr” (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan), Hadtis Nabi ”Yassirû wa
lâ tuassirû” (Permudahlah sesuatu dan jangan mempersulit) serta firman Allah
dalam Al-Baqarah: 185, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”
Berikut kutipan terjemahan
bait syair yang dimaksud:
“Kamu seperti matahari, sedangkan raja yang lain adalah bintang. Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri. Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil. Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela? Jika aku dikhianati maka aku adalah hanya seorang hamba yang kau khianti. Jika Kamu orang yang menyalahkan perbuatanku, maka sosok sepertimu sungguh rela.”
Siapa Al-Nabighah
Al-Dzibyani?
Ia bernama asli Abu Umamah
Ziyad bin Muawiyah Dhabab bin Jabir bin Yarbu’ bin Ghaidz bin Marrah bin ‘Auf
bin Sa’d bin Dzibyan. Karena sejak muda pandai berpuisi ia lebih terkenal
dengan panggilan ”Al-Nabighah” yang berarti seorang yang pandai berpuisi. Ibnu
Qutaibah berpendapat, dinamai demikian karena salah satu puisi pernah menyebut
kalimat “Nabightu”.Ia merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab
Jahiliyyah dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi
yang diadakan di pasar Ukadz.
Sebagian besar ahli sastra
Arab mendudukan puisi Al-Nabighah pada deretan ketiga sesudah Umru al-Qais dan
Zuhair bin Abi Sulma. Ketika perlombaan deklamasi dan berpuisi para
penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar
Ukadz, Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka
mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu
adalah Al-Nabighah sendiri, karena dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam
menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan
ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian
digantungkan pada dinding Ka’bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Penyair ini selalu berusaha
mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menjadikan puisinya sebagai alat
yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itulah
ia kerapkali dihasut oleh lawannya.
Al-Nabighah termasuk salah
seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan, hanya saja karena usahanya
mendapatkan harta melalui puisi, mengurangi kemuliaannya. Hampir seluruh
umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang
bernama Nu'man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat
dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari
emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja
Hira. Ini berlangsung cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya
dan menghasut Nu'man, sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh
Al-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu'man secara diam-diam menyampaikan berita
tersebut, sehingga Al-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta
perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah
dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab. Namun, karena lamanya
persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir, Al-Nabighah berusaha
untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf
kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu'man dan
meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya semula di sisi raja
Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi i'tidzariyat (apologi)-nya
berjudul Lawm wa’tidzar sebanyak 12 bait seperti yang dikutip diatas.
Keistimewaan puisi
Al-Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi
Sulma, lebih indah dan kata-katanya lebih berbobot, bahasanya sederhana sehingga
mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang
meniru gaya Al-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan
kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair
Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan
puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi madah (pujian) serta
melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia mampu
memuji sesuatu yang kontradiktif.
Hingga kini pun kumpulan
puisinya masih banyak digemari. Diantaranya dikomentari oleh Batholius,
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg
pada tahun 1868. Al-Nabighah berusia panjang dan meninggal pada 18 SH / 605 M,
menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.
Gus Dur dan Sastra Arab
Secara sosiologis, sastra
merupakan refleksi lingkungan budaya dan satu teks dialektis antara pengarang
dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah
dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering
dikatakan bahwa syair merupakan Diwan al-`Arab yaitu antologi kehidupan
masyarakat Arab (Khafajy, 1973:195). Artinya, semua aspek kehidupan yang
berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra
seperti syair atau puisi.
Dalam sejarahnya, sejak
kecil Gus Dur amat mengandrungi sastra. Ketika usainya masih terbilang muda
bacaanya sudah serius, dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra. Di
antara karya Sastra yang dibacanya ialah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas
beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa
karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail
Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul
‘The Story of Civilazation’. Yang paling berat karya Faulkner,” kenang Gus Dur
seperti yang dikutip Hernadi Tanzil.
Persentuhannya dengan dunia
sastra Arab dimulai ketia ia menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo
Magelang di bawah asuhan Kiai Chudhori. Di sana bersama seluruh santri ia
diwajibkan menghapal teks-teks klasik yang merupakan pelajaran inti pesantren.
Teks tersebut lebih banyak berupa puisi berbahasa Arab seperti al-Imrithy,
alfiyah, Uqud al-Juman dan sebagainya.
Jiwa sastranya semakin
menggebu ketika Gus Dur meneruskan rihlah ilmiahnya ke Al-Azhar Cairo Mesir. Ia
menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan yang terlengkap di Kairo,
termasuk American University Library, serta toko-toko buku. Lalu pada tahun 1966
Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang
cukup maju. Di universitas ini pula ia banyak bertemu guru-guru luar biasa. Ada
salah satu data menarik yang penulis temukan yaitu catatan Gus Dur pada tahun
1389 H atau 1969 M di salah satu cover buku kuliah di Baghdad yang dikarang
oleh dosennya itu sendiri:
"Ust. Rasyid
Abdurrahman al-Ubaidi adalah seorang guru yang pertama kali mempengaruhi
perhatianku dalam bidang gramatika Arab. Oleh karenanya, aku ingin lebih
mengenal beliau selama mengajariku, agar aku bisa mencapai derajat sebagaimana
yang telah beliau capai."
Di kampus ini pula ia
diwajibkan menghapal lebih banyak syair sebagai syarat ujian akhir semester.
Selama empat tahun wajib menghapal sebanyak 2500 syair atau 625 bait syair
setiap tahunnya. Dari sinilah ia banyak mengenal, hapal dan terpikat oleh
pujangga-pujangga Arab klasik, Al-Nabighah Al-Dzibyani salah satuya. Hingga tak
heran tiga bait di atas menjadi pegangan hidupnya.
KH. Husein Muhammad
menuturkan, melalui syair ini Gus Dur termotivasi kuat untuk senantiasa sabar
menghadapi segala cobaan. ”Bila engkau mencacimaki orang lain, maka orang lain
akan mencacimu,” demikian sedikit yang tersirat dari syair tersebut. Irwan
Masduqi menambahkan bahwa syair ini dikutip Gus Dur diantaranya ketika beliau
merasakan tekanan psikologis saat sedang menghadapi hujatan dari lawan-lawan
politiknya. Jadi relevan dengan suasana hati dan sosial-politiknya. Gus Dur
juga tak takut orde baru dan politikus-politikus saat itu karena Allah laksana
matahari yg lebih pantas ditakuti.
KH. Maman Imanulhaq yang
mewawancarai Gus Dur tentang syair ini menyimpulkan bahwa konflik di antara
saudara bukanlah hal baru. Kepentingan dan kekuasaan jadi faktor utama
persaingan itu. Sehinga, jangan heran bila kita dicaci maki oleh saudara
sendiri. Kerendah hatian, kecerdasaan dan kecerdikan yg akan menyelamatkan
kita. Hingga kita bisa keluar jadi pemenang di tengah kepungan orang-orang yang
punya ambisi akan kekuasaan.
Fathurrahman Karyadi; Penulis adalah Mahasiswa
Ma’had Aly Pesantren Tebuireng. Makalah ini disarikan dari berbagai sumber dan
disampaikan dalam Halaqah Intelektual Muda Pesantren Bersama Tokoh Lintas
Agama, Peringatan 1000 Hari Wafatnya Gus Dur di Tebuireng 28 September 2012.
Sumber: gusdurianmalang.net
Categories:
Tokoh Islam
0 komentar :
Post a Comment