Pesantren; Ilmu (tidak) Berhubungan dengan Otak Cerdas

Posted by Unknown on Saturday, June 13, 2015 with No comments
Bukan wawasan asing lagi tentang IQ (Kecerdasan Intelektual), EQ (Kecerdasan Emosional), SoQ (Kecerdasan Sosial), dan SQ (Kecerdasan Spiritual ), sebagaimana dipapar oleh Ari Ginanjar Agustian. Hasil riset psikoligi, hanya 1%, cerdas otak berpengaruhi terhadap masa depan anak, lainnya ditopang oleh EQ, SoQ, dan SQ.
Para Kyai dari dulu punya metode didik, "Ngélmu kuè kudu dipriatini" (ilmu itu harus diprihatini). Artinya sejak dulu, pesantren telah koar-koar kalau ilmu tidak berhubungan dengan otak cerdas, tapi ilmu hanya dapat diserap dengan ketekunan, kemauan, dan cita-cita tinggi. Tekun itu sikap prihatin, kemauan tinggi juga prihatin, menempuh cita-cita juga sikap prihatin. Sampai kemudian di pesantren kental dengan ijazah-ijazah tirakat. Semisal ngrowot, puasa daud, puasa 3 tahun, melèk wengi, puasa dalâilul khoirôt dan lain-lain. Tirakat ini sebenarnya pengasahan emosi dan spiritual santri agar cerdas dengan metode pelatihan prihatin.
Saya sendiri selalu menegaskan kepada santri-santri kalau otak bebal tapi dia punya kemauan kuat untuk belajar itu ibarat mengukir di atas batu; memang sangat susah, harus memahat di atas batu, tapi hasil pahatan di atas batu akan bertahan hingga berabad-abad. Seorang yang berotak cerdas, kemudian belajar ilmu, dia jelas diberi kemudahan menyerap pengetahuan, nah ini yang ibarat mengukir di atas air, mudah mengukirnya tapi hilang dalam sekejap mata. Karena ini, atsar ilmu tidak terhubung dengan kemudahan menyerap pengetahuan, tapi ilmu terhubung dengan ketekunan, kepayahan dalam belajar, dan tingkat keprihatinan anak pada ilmu. Otak cerdas itu mudah menyerap pengetahuan, tapi justru berpotensi hilangnya kemampuan prihatin pada emosi seorang anak, karena semua serba mudah. Padahal yang menjadikan ilmu itu berkarakter pada seseorang adalah karena keprihatinannya kepada ilmu.
Di dunia pesantren sangat merakyat kisah Ibn Hajar. Dia dijuluki "ibn hajar" (anak batu) karena otaknya bebal seperti batu. Sampai dia pernah putus asa untuk menimba ilmu, karena bertahun-tahun belajar tapi tidak bisa mengakses ilmu, saking bodohnya. Dia putus asa dan kabur, tapi di tengah jalan pulang dia dapat mengambil hikmah dari tetesan air di atas batu karang. Setetes-setetes tapi terus-menerus akhirnya karang itu berlubang. "Ya otak bebal, tapi kalau diasah juga akan bolong menerima ilmu," demikian hikmah yang dapat dia ambil. Dia kembali lagi menimba ilmu, dan ternyata kemudian dia menjadi ulama besar, penulis syarah kitab Shahīhul Bukhâri.
Albert Einsten di masa sekolah juga punya otak pas-pasan. Thomas Alfa Edison juga terkenal berotak super bebal. Gus Dur juga ditertawakan ibunya ketika dia pamitan ingin kuliah di Baghdad. Sekolah Gus Dur tidak pintar, prestasi hampir tidak ada, kok ingin kuliah ke Baghdad.
Bahkan salah satu guruku di Sumpiuh Banyumas, semasa di pesantren ngajinya embuh, dia hanya disiplin ngabdi pada kyai sebagai tukang bengkel pribadi kyai. Di desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, ada juga kyai yang semasa belajar di pesantren tidak pernah ngaji, dia kerjaannya melayani kyai sebagai tukang arit sapi milik kyai. Ini fakta bahwa mencari ilmu itu tidak harus dengan otak, buku, dan pulpen. Dengan pengabdian kepada ilmu itu bisa menembus. Dengan cara apapun, entah jadi tukang bengkel, tukang arit, tukang cuci piring, atau apalah yang penting tujuannya "ilmu" dia bisa berhasil. Karena yang demikian adalah bentuk sikap prihatin, dan prihatin adalah bagian dari kecerdasan emosi dan spiritual seseorang.
Ini fakta bahwa ilmu itu tidak harus bermodal otak cerdas, tidak juga harus pakai buku dan pengajaran kelas. Karakter pesantren seperti ini, sekarang baru ditemukan secara saintik dalam psikologi pendidikan. Para ulama pesantren dari dulu sudah menerapkan hal ini.
Kita jadi tahu, UN sekolah, itu yang diukur otaknya apa prihatinnya? Raport sekolah, itu laporan hasil otak apa hasil kesungguhan menimba ilmu?
‪#‎AyoMondok‬, Pesantrenku Keren.

Penulis : Gus Muhammad Nurul Banan, Bukateja Purbalingga
Categories: