Media Islam online untuk pemberitaan, syi'ar Islam, dakwah dan kajian.

Tuesday, June 30, 2015

Keutamaan Sahur

Makan sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan membaca fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur. Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ …
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Keutamaan Sahur
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم تسحروا فإن في السحور بركة. متفق عليه
أن البركة في السحور تحصل بجهات متعددة وهي أتباع السنة ومخالفة أهل الكتاب والتقوى به على العبادة والزيادة في النشاط ومدافعة سوء الخلق الذي يثيره الجوع والتسبب بالصدقة على من يسأل إذ ذاك أو يجتمع معه على الأكل والتسبب للذكر والدعاء وقت مظنة الإجابة وتدارك نية الصوم لمن اغفلها قبل أن ينام
Dari sahabat Anas Bin Malik Ra, beliau berkata, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makanan sahur terdapat barakah”. (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Imam Ibn Hajar rahimahullah menjelaskan tentang keberkahan dalam sahur, ditinjau dari berbagai sisi, sebagai berikut :
Mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Pembeda dengan puasa ahli kitab, berdasarkan hadits dari Amru bin Al Ash dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab ialah makan sahur.” (HR. Muslim).
Menguatkan badan dalam melaksanakan ibadah puasa.
Menambah semangat agar semakin rajin beribadah.
Menjauhkan dari akhlaq atau perangai uang jelek yang dapat timbul akibat rasa lapar.
Dapat menjadi sebab untuk bershadaqah kepada yang membutuhkan makanan sahur, atau dapat juga menjadi kesempatan untuk makan bersama-sama mereka.
Menjadi sebab menjalankan dzikir dan doa pada waktu yang merupakan saat mustajab terkabulkannya doa.
Waktu sahur dapat digunakan untuk menyusuli niat puasa bagi mereka yang lalai niat  berpuasa sebelum tidurnya. (Fath al-Baari IV/140)
Pujian Allah Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur

السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)

Waktu Sahur
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:
بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ
“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.

Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.


Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)

Hukum Wudlunya Wanita Haid

Wanita yang sedang haid tidak disunnahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti. Imam Nawawi dalam syarah Muslim:

وَأَمَّا أَصْحَابنَا فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُوْنَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ الْوُضُوءُ لِلْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛ لِأَنَّ الْوُضُوْء لَا يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِهِمَا ، فَإِنْ كَانَتْ الْحَائِضُ قَدْ اِنْقَطَعَتْ حَيْضَتُهَا  صَارَتْ كَالْجُنُبِ . وَاللهُ أَعْلَمُ 

"Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallaahu A’lam." (Syarh an-Nawawi ala al-Muslim, 3/218)

وَيُنْدَبُ ) لَهُ أَيْضًا ( اَلْوُضُوْءُ لِلطَّعَامِ وَالشَّرْبِ وَالْجِمَاعِ وَالْمَنَامِ (قَوْلُهُ اَلْوُضُوءُ لِلطَّعَامِ إلَخْ ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ ؛ لِأَنَّهُ يُؤَثِّرُ فِي حَدَثِ الْجُنُبِ بِخِلَافِ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ ؛ لِأَنَّ حَدَثَهُمَا مُسْتَمِرٌّ وَلَا تَصِحُّ الطَّهَارَةُ مَعَ اسْتِمْرَارِهِ وَهَذَا مَا دَامَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ فَإِذَا انْقَطَعَ الدَّمُ صَارَا كَالْجُنُبِ يُسْتَحَبُّ لَهُمَا الْوُضُوءُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ

"Dan bagi orang junub disunnahkan wudhu untuk makan, minum, bersenggama dan tidur. Ucapan Mushannif (Imam Ibnul Wardi): (disunnahkan) Wudhu untuk makan. Imam Nawawi berkata dalam kitab al Majmu’ : Karena berwudhu bisa berpengaruh pada hadatsnya orang junub. Berbeda dengan hadatsnya wanita haid & nifas, karena hadats keduanya tetap. Tidak sah bersuci dengan tetapnya hadats tersebut. Ini selagi wanita tersebut dalam keadaan haid atau nifas. Jika darahnya sudah berhenti maka keduanya menjadi seperti orang junub, keduanya disunnahkan wudhu disaat-saat tersebut diatas." (Syarh al-Bahjah, 2/155). 

وَيُنْدَبُ لِلْجُنُبِ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً وَلِلْحَائِضِ بَعْدَ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا الْوُضُوْءُ لِنَوْمٍ أَوْ أَكْلٍ أَوْ شَرْبٍ أَوْ جِمَاعٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ تَقْلِيْلًا لِلْحَدَثِ

"Disunnahkan bagi orang junub, laki-laki atau perempuan, dan bagi wanita haid setelah berhenti haidnya berwudhu karena mau tidur, makan, minum, jima’ dan sebagainya untuk mengecilkan (mengurangi) hadats." (Hasyiyah Jamal, 2/96). 

Dalam Kitab Nihayatul Muhtaj :

وَمِمَّا يَحْرُمُ عَلَيْهَا الطَّهَارَةُ عَنْ الْحَدَثِ بِقَصْدِ التَّعَبُّدِ مَعَ عِلْمِهَا بِالْحُرْمَةِ لِتَلَاعُبِهَا ، فَإِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ مِنْهَا النَّظَافَةَ كَأَغْسَالِ الْحَجِّ لَمْ يُمْتَنَعْ

"Diantara perkara yang haram atas wanita haid adalah bersuci dari hadats dengan tujuan beribadah serta mengertinya dia akan keharamannya, hal itu karena dia tala'ub (mempermainkan ibadah). Jika yang dikehendaki dari bersuci itu untuk kebersihan seperti mandi haji, maka bersuci tersebut tidak dicegah." (Nihayatul Muhtaj, 1/330).

Dalam Kitab al Majmu’:

فَرْعٌ ) هَذَا الَّذِيْ ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ لَا تَصِحُّ طَهَارَةُ حَائِضٍ ، هُوَ فِيْ طَهَارَةٍ لِرَفْعِ حَدَثٍ سَوَاءٌ كَانَتْ وُضُوْءًا أَوْ غُسْلًا ، وَأَمَّا الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ وَالْوُقُوْفِ وَرَمْيِ الْجَمْرَةِ فَمَسْنُوْنَةٌ لِلْحَائِضِ بِلَا خِلَافٍ

"Cabang : Apa yang telah kami tuturkan yaitu bersucinya orang haid tidak sah, itu adalah bersuci dalam menghilangkan hadats, baik wudhu maupun mandi. Adapun bersuci yang sunnah karena untuk kebersihan seperti mandi untuk Ihram, wuquf dan melempar jumrah maka hukumnya sunnah untuk wanita haid tanpa ada khilaf." (al-Majmu', 2/383). 

Dalam Fiqh al-Islaam wa adillatuh:

يَغْتَسِلُ تَنَظُّفًا، أَوْ يَتَوَضَّأُ، وَالْغُسْلُ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّهُ أَتَّمُّ نَظَافَةً، وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ اِغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ ، وَهُوَ لِلنَّظَافَةِ لَا لِلطَّهَارَةِ، وَلِذَا تَفْعَلُهُ الْمَرْأَةُ الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ

"(Orang yang akan melakukan Ihram agar) mandi untuk kebersihan, atau berwudhu. Mandi lebih utama, karena lebih sempurna kebersihannya, dan karena Nabi ‘alaihishshalaatu wassalaam mandi untuk ihram beliau. Mandi tersebut untuk kebersihan bukan untuk bersuci, oleh karenanya dilakukan oleh wanita haid dan wanita nifas." (Fiqhul Islami, 3/503).

Kesimpulannya: HUKUM WUDHU WANITA HAID
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats) dan menimbulkan talaa'ub (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah maka sunnah karena fungsinya taqliil alhadats (meringankan dan mengecilkan hadats) dan nasyaath li alghusli (untuk merangsang segera mandi).
Bila wudhunya tidak untuk menghilangkan hadats/ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk 'aadah (kebiasaan) seperti tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan) maka sunnah karena fungsi rof'i alhadats (menghilangkan hadats) atau taqliil alhadats (meringankan/mengecilkan hadats tidak terjad dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats).
Wallaahu A'lam bishshawaab. 
Sumber: http://pustaka.islamnet.web.id/

Monday, June 29, 2015

Kenapa Kitab Durratun Nashihin Bermasalah?



KAJIAN HADITS DALAM KITAB DURRATUN NASHIHIN, AWAS HADITS PALSU!


Kitab Durratun Nashihin begitu populer di Indonesia, India, dan Turki. Namun, menurut hasil penelitian Dr. Lutfi Fathullah, 30% dari 839 hadis di dalamnya ternyata berkategori palsu.

Bagi Anda yang merasa punya dosa, sebesar dan seberat apa pun dosa itu, jangan takut. Cobalah baca salawat kepada Nabi Muhammad saw. Sebanyak seratus kali setiap hari Jumat. Maka dengan salawat itu dosa-dosa Anda praktis akan diampuni Tuhan. Ini sesuai dengan sebuah hadis yang dikutip Utsman ibn Hasan Al-Khubawi (w. 1824) dalam kitabnya Durratun Nashihin (DN). Hadis itu persisnya berbunyi, "Man shalla `alayya mi'atan fi kulli yaumi jumu`atin ghafarallahu lahu walau kanat dzunubuhu mitsla zabadil-bahri" (Barangsiapa membaca salawat seratus kali untukku setiap hari Jumat, maka Allah akan mengampuni dosanya, sekalipun dosanya itu seperti buih laut). Benarkah demikian? Tunggu dulu. Hadis itu, menurut Dr. Lutfi Fathullah, ternyata palsu dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Merujuk pada ahli hadis Asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Qaulul-Badi`, dosen ilmu hadis di IAIN Jakarta itu berpendapat bahwa hadis tersebut tak dikenal perawinya. Asy-Syakhawi tidak menemukan asal atau sumber hadis itu yang valid sebagai sabda Nabi Muhammad. "Karena itu," kata Lutfi, "Asy-Syakhawi memasukkan hadis tersebut sebagai hadis yang tidak sahih alias palsu." Dan, itu berarti pula, belum tentu benar bahwa hanya dengan membaca salawat seratus kali di hari Jumat segala dosa diampuni Tuhan.

Lutfi menyatakan pendapatnya itu dalam disertasinya berjudul "Kajian Hadis Kitab Durratun Nashihin" yang ditulisnya guna meraih gelar doktor falsafah dalam bidang ilmu hadis pada Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Disertasi setebal 787 halaman di bawah bimbingan Prof. Dr. Jawiah Dakir itu telah dipresentasikannya di depan sidang promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999 lalu, dengan penguji Prof. Dr.Muhammad Radhi, Prof. Dr. Abdul Samad Hadi, Prof. Dr. M. Zein, dan Prof. Dr.Muddasir Rosdir. Dan hasilnya, Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium memuaskan.

RUJUKAN PESANTREN. 
Anak Betawi asli yang lahir pada 25 Maret 1964 itu memang sudah lama peduli hadis. Selain berhasil mengantongi gelar master dalam ilmu-ilmu hadis ('ulumul hadits) dari Fakultas Syariah Universitas Yordania (1994), Lutfi juga selama empat tahun pernah secara intens bergelut dengan kitab-kitab tafsir-hadis karya ulama-ulama ternama, seperti Bukhari, Muslim, Nasa'i, Tirmidzi, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, komunikasi-intelektualnya sangat dekat dengan Prof. Dr. Nuruddin `Itr, salah seorang pakar ilmu hadis yang sangat dikenal di dunia Arab.

Dengan dasar-dasar itu, Lutfi merasa jengah melihat cara masyarakat Islam, khususnya kalangan ulamanya, dalam menggunakan hadis. Menurut dia, dalam mengutip sebuah hadis, banyak kiai dan ulama hanya mengandalkan ucapan "Qaala Rasulullah...", tanpa menyebut siapa perawi dan apa sanadnya. Ini berbahaya, baik bagi pengucapnya atau pendengarnya. Dalam ilmu hadis, lanjut alumnus Gontor itu, kalau sebuah hadis tak jelas perawinya, mungkin itu hadis palsu. "Menggunakannya sebagai dalil, dosanya sangat besar," ujar Lutfi seraya mengutip hadis dari kitab Sahih Bukhari, "Man kadzaba `alayya muta`ammidan fal-yatabawwa' maq`adahu minan-nar" (Barangsiapa berbohong kepadaku secara sengaja maka tempatnya di api neraka), sebagai landasan teologis penelitiannya.

Nah, dari situlah Lutfi merasa terpanggil untuk memilih DN sebagai objek kajiannya. Menurut dia, DN merupakan salah satu kitab populer di Indonesia. Menurut penelitian Martin van Bruinessen dan penelitian Masdar F. Mas`udi dkk., DN kerap dijadikan rujukan di masjid-masjid, musala, sekolah, dan terutama pesantren-pesantren di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. DN pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan menurut Lutfi, sudah ada tujuh versi terjemahan DN berbahasa Indonesia, dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda--pertama kali diterjemahkan H. Salim Bahreisy, diterbitkan Balai Buku, Surabaya (1978).

DN ternyata juga cukup populer di Malaysia, Turki dan India. Di Malaysia, menurut Lutfi, hadis-hadis dalam DN sering dikutip di TV1, TV2, TV3, Berita Harian, dan lain-lain. Sementara di Turki bahkan sudah lebih lama lagi dikenal: sudah diterbitkan sejak 1262 H dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Begitu pula di Mesir (terbit pada 1264 H), Libanon (dicetak ulang pada 1993 M) dan India (dicetak pada 1281 H). "Pokoknya," kata Lutfi, "di mana pun tradisi tasawuf cukup kuat, di situlah DN mendapat tempat. Sebab, hadis-hadis di dalamnya memang cenderung lebih dekat ke tasawuf." Yang agak mencengangkan adalah hasil temuan Lutfi sendiri. Hadis yang dikutip di atas bukanlah satu-satunya hadis palsu dalam DN dilihat dari kekuatan hukumnya.

Menurut dia, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli hadis yang diakui mu`tabarah, secara keseluruhan Lutfi menemukan sebanyak 251 hadis palsu (30%). Sementara yang lemah (dha`if) 180 hadis (21,5%), amat lemah 48 hadis (5,7%), dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). "Yang terakhir ini dikategorikan demikian karena hadis-hadis tersebut tak dikenal perawinya. Atau bila dikenal, sanadnya tak diketahui," jelasnya.

JANGAN ASAL SEBUT. 
Adapun hadis yang shahih sebanyak 204 hadis (24,3%), shahih lighairihi 12 hadis (1,4%), isnadnya shahih 2 hadis (0,2%), hasan 67 hadis (8%), dan hasan lighairihi 19 hadis (2,2%) (Lihat tabel 1). Dari sejumlah itu, Lutfi juga mengklasifikasikan boleh-tidaknya hadis-hadis tersebut untuk digunakan sebagai dalil dalam berbagai keutamaan amal (fadha'ilul a`mal). Dari 839 hadis itu masing-masing boleh digunakan sebanyak 484 hadis (57,7%), tidak boleh digunakan sebanyak 336 hadis (40,2%), dan tak dapat dipastikan sebanyak 18 hadis (2,1%) (Lihat tabel 2).

Secara sederhana, Lutfi berkesimpulan seperti itu karena dua alasan. 

Pertama : Dari segi kredibilitas penulisnya, keahlian Al-Khubawi dalam ilmu-ilmu keislaman, khususnya tafsir-hadis, masih diperdebatkan. Ismail Basya, misalnya, penulis biografi Al-Khubawi, tak pernah memujinya dengan sebutan Al-`Allamah, Asy-Syaikh, atau Al-Imam. Sementara Umar Ridha Kahhalah memuji Al-Khubawi dengan gelar wa`izh (pemberi nasihat), mufassir (ahli tafsir), dan muhaddits (ahli hadis). Lutfi menolak julukan itu, karena Al-Khubawi bukan mufasir dan muhaddits. "Saya setuju julukan wa`izh, pemberi nasihat. Memang itulah isi DN sebenarnya," tuturnya seraya menjelaskan bahwa DN merupakan satu-satunya karya Al-Khubawi.

Kedua Karena Al-Khubawi bukan muhaddits, wajar jika kandungan DN lemah secara metodologi ilmu hadis. Misalnya, seperti ditemukan Lutfi, Al-Khubawi menukil hadis dari kitab-kitab tak dikenal pengarangnya; tidak menyebut sanad, baik dari dia sendiri atau dari perawi yang dinukilnya; tidak lazim menyebut perawi hadis setingkat sahabat; menyebut hadis dengan lafaz-lafaz kitab yang dinukil, bukan kitab asal yang meriwayatkan hadis dengan sanadnya; tidak menjelaskan hadis-hadis yang dinukilnya dapat dijadikan dalil atau tidak; tidak menilai hadis (hasan, dha`if, dan seterusnya) atau mengeritiknya; dan tidak menggunakan lafaz penyampaian (qaala, ruwiya, rawaa) sebagai syarat kekuatan hadis yang disebutkan.

Berdasarkan studinya itu, Lutfi menyarankan agar umat Islam--khususnya kiai dan ulama--lebih hati-hati dalam menggunakan hadis dan tidak asal sebut. DN juga perlu direvisi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Misalnya ada keterangan hadis ini shahih, hadis itu palsu, dha`if, dan sebagainya. Bisa juga dibuat edisi mukhtasharnya dengan membuang semua hadis palsu atau yang tak jelas sumbernya. Ini mendesak dilakukan, mengingat sudah begitu terkenalnya kitab DN di masyarakat, sementara kritisisme masyarakat sendiri sangat minim terhadap hadis. "Kalau ini kita biarkan, berarti kita melestarikan kepalsuan-kepalsuan. Dan itu sangat berdosa," tegas Lutfi. Dengan begitu, Lutfi sebetulnya sedang berbicara pada dirinya sendiri, atau dengan sesama ahli hadis lain--yang di Indonesia sangat minim, atau boleh dibilang langka. Akan lebih baik lagi jika hal serupa dilakukan juga terhadap kitab-kitab lain. Jadi, kita tunggu saja hasilnya. Dan Lutfi sudah memulainya. [Nasrullah Ali-Fauzi]

Kekuatan Hukum Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin

Hukum Hadis, (Jumlah %)
Shahih, = (204) (24,3%)
ShahihLighairihi, = (12) (1,4%)
Isnaduhu Shahih, = (2) (0,2%)
Hasan, = (67) (8%)
Hasan Lighairihi, = (19) (2,2%)
Dha'if, = (180) (21,5%)
Amat Dha'if, = (48) (5,7%)
Palsu, = (251) (30%)
Belum Dapat Dipastikan, = (56) (6,7%)
Jumlah, = (839) (100%)

Kegunaan Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin Sebagai Dalil

Kegunaan, (Jumlah %)
Boleh Digunakan, = (484) (57,7%)
Tidak Boleh Digunakan, = (336) (40,2%)
Tidak Dapat Dipastikan, = (18) (2,1%)
Jumlah, = (839) (100%)

[Disalin dari Majalah PANJI MASYARAKAT, Kolom AGAMA / PANJI NO. 32 TH III. 24 NOVEMBER 1999. Sumber: Kajian Hadis dalam Kitab Durratun Nashihin]

Yahudi Adalah Islam Lama dan Islam Adalah Yahudi Baru

Jewish is Old Islam and Islam is New Jewish

Oleh PRAYOGI R. SAPUTRA * 


Demikianlah salah satu poin akhir yang disampaikan Rav. Menachem Ali, MA. pada Kajian Sejarah Islam bertema “Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim” yang diselenggarakan Jamaah Maiyah Malang bersama dengan Rumah Inspirasi, Resist dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Selain Rav. Menachem Ali, kajian tersebut juga ditemani oleh Pradana Boy ZTF, PhD. dosen jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebagai filolog, Rav Ali yang mengajar di Fakultas Humaniora UNAIR mengawali paparannya dengan menyandingkan teks Al Quran dengan terjemahan Al Quran yang berbahasa Ibrani. Rav Ali menyampaikan temuan-temuan arkeologi bahwa Ibrahim dan Ismail bukanlah nama dari bahasa Arab, melainkan nama dari Bahasa Akkadia/Aram kuno yang dituturkan di Mesopotamia, tempat tinggal Ibrahim.

Saat itu, bahasa Akkadia menjadi bahasa perdagangan Internasional (lingua franca) yang dibuktikan dengan surat-surat dagang yang ditemukan di Palestina dan Mesir yang berbahasa Akkadia. Bahasa Akkadia menggunakan huruf paku (cuniform). Jadi, Ibrahim bukan penutur bahasa Ibrani, apalagi bahasa Arab. Maka, ketika Ibrahim menyeberang ke Mesir, Ibrahim bisa berbicara dengan Firaun (Raja) Mesir zaman itu dengan bahasa Akkadia. Ibrahim pun dinikahkan dengan Hajar. Hajar bukan budak, sebab salah satu teks kuno yang dikemukakan Rashi — seorang Rabi — menyebut Hajar adalah putri Raja Mesir zaman itu (Hagar bath Par’o hayetah). Dari Hajar inilah kemudian lahir Ismail. Sementara dari Sarah — istri pertama Ibrahim — lahir Ishaq. Ishaq memiliki anak Yaqub yang oleh Allh dipanggil Israel. Anak turun Yaqub inilah yang kelak disebut sebagai Bani Israel.

Gen Ismail kelak akan menurunkan Muhammad bin Abdulllah. Sedangkan gen Ishaq kelak menurunkan Musa dan Isa. Musa adalah pembawa risalah Torah (Taurat) yang agamanya disebut Yahudi. Isa membawa risalah Injil yang agamanya disebut Nasrani. Sedangkan Muhammad sebagai Nabi akhir zaman membawa risalah al Quran yang agamanya disebut Islam. Sehingga baik Musa, Isa maupun Muhammad bukan hanya penerus Ibrahim secara teologis, tapi juga secara genetis.

Menelusuri jejek agama-agama Ibrahim
Titik Temu dan Titik Tengkar

Dalam 3 agama yang berinduk pada monotheis Ibrahim tersebut, ditemukan titik temu dan titik tengkar. Apalagi dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik  serta iklim politik global, maka titik tengkar diperluas dan diperbesar sedemikian rupa. Sedangkan titik temu dikubur dalam-dalam. Seperti dikemukakan oleh Rav. Ali, titik-titik temu itu dalam aplikasi di masyarakat bisa ditemukan dengan mudah. Misalnya di Eropa, jika seorang Yahudi membutuhkan daging halal atau makanan yang halal, maka dia akan  pergi ke toko muslim. Demikian juga sebaliknya. “Dalam al Quran juga disebutkan, sembelihan orang Yahudi juga halal untuk muslim, demikian pula sebaliknya,” begitu Rav. Ali. Bahkan, saat ini di Eropa banyak orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka pun menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa Ibrani. Contoh Quran dengan terjemah Ibrani ditampilkan oleh Rav. Ali sebagai data primer.

Selain itu, ada lagi ajaran-ajaran Yahudi yang tidak berbeda dengan ajaran Islam, misalnya soal mandi junub. Atau soal larangan minum khamr. Banyak hal dari agama Yahudi yang persis seperti apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun dalam beberapa hal ada titik-titik yang menjadikan orang Yahudi dan Islam bertengkar. Namun, sejatinya orang Yahudi merasa lebih memiliki jarak terhadap orang nasrani dibandingkan dengan Islam. Salah satu indikasinya adalah orang Yahudi menyebut orang Nasrani sebagai penyembah berhala. Bahkan di Hebron, ada satu bangunan yang bangunan itu berfungsi sekaligus sebagai Masjid dan Synagog.

Hal yang perlu diperjelas juga adalah batasan-batasan dan pemilahan yang tegas antara Yahudi sebagai agama, Israel sebagai kaum/bangsa dan Negara Israel sebagai proyek Zionisme. Menurut Rav. Ali, orang-orang Yahudi Ortodoks sangat tidak suka dengan Zionis Israel. Orang Yahudi yang hidup di Negara Israel adalah migran yang memiliki luka di Eropa dan pindah ke Israel. Sedangkan Yahudi yang tidak dari Eropa, mereka justru tidak mendapat tempat di Israel sendiri. “Bagaimana Yahudi Ortodoks akan menyukai Negara Israel jika disana homoseksual legal, khamr legal.” Bukankah itu bertentangan dengan ajaran Yahudi sendiri.

Islam dan Jawa

Dalam isu Islam dan Jawa, Rav. Ali menunjukkan satu buku terjemah Qoeran Djawen Al Juz al-Sadis yang dijawakan oleh Moehammad Amin bin Ngabdoel Moeslim, seorang Guru agama di Sekolah Mambangoel Ngoeloem Surakarta. Buku tersebut diterbitkan tahun 1933 oleh Bhoekhandel Ab. Siti Sjamsijah Solo. Sebuah penerbitan Muhammadiyah. Terjemah tersebut menggunakan bahasa dengan aksara Carakan, bukan aksara latin. Hal ini menunjukkan bagaimana Muhammadiyah sangat “jawa” sekali dalam dakwah Islam.

Rav. Ali juga menunjukkan sebuah buku Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma: Sekar Sari Kidung Rahayu karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang diberi kata pengantar oleh KH. AR. Fachruddin. Buku tersebut tergolong baru karena diterbitkan pada tahun 2003 oleh Bentang Budaya dan Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bahkan menurut Rav. Ali, Muhammadiyah lebih terbuka terhadap Jawa dibanding NU. Sebab, karya-karya yang diproduksi NU umumnya menggunakan huruf pegon meskipun berbahasa Jawa. Sebagai contoh adalah karya KH. Bisri Musthafa Al Ibris li Ma’rifati Tafsir al Quran al Aziz bi al Lughah al Jawiyyah.

Dengan berbagai variasinya, Al Quran telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa bahkan dengan huruf lokal. Kemudian mengapa melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan ritme Jawa menjadi perdebatan sengit? Orang menjadi tertutup atau menutup diri sebelum benar-benar memahami apa yang ditolak. “Di Maroko,” kata Rav. Ali, “yang saya pernah tinggal di sana  dan di Afrika Utara, membaca al Quran ya dengan langgam lokal. Tidak dengan langgam Arab.”

Satu lagi fakta yang dibuka oleh Rav. Ali. Apakah al Quran kita menggunakan angka Arab dalam penulisan halaman? Ternyata tidak. Angka yang menunjukkan halaman dalam Al Quran adalah angka Hindi. Sementara kita mengenal angka latin yang sejatinya adalah angka Arab. Di Maroko dan Afrika minimal bagian Utara, kata Rav. Ali, halaman-halaman Al Quran ditulis dengan angka Arab atau kita mengenalnya sebagai angka latin.

Ternyata banyak hal yang kita yakini sebagai kebenaran merupakan kepercayaan-kepercayaan yang belum terkonfirmasi secara ilmiah. Dan malangnya, kita meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran yang harus dipegang teguh hingga menitikkan darah. Peradaban selalu saling pengaruh mempengaruhi. Tidak ada peradaban yang jatuh dari langit. Kalau ummat Islam menjadi tertutup dan curiga terhadap pihak diluar Islam — apalagi diluar madzhab yang dia peluk — padahal tanpa disadari dia menggunakan produk-produk peradaban diluar Islam sejak lama.

*) Prayogi R. Saputra: Jamaah Maiyah Jawa Timur. Penulis buku Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib.

Sunday, June 28, 2015

Tidur Seharian, Adakah Pahala Puasanya?


Orang bilang, puasa itu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Menahan diri ini sepertinya lebih terasa di saat yang bersangkutan tengah berjaga dibandingkan sambil tidur. Apa betul demikian? Apakah menahan diri sambil tidur itu masih bisa disebut menahan diri?

Kalau dihitung-hitung seperti itu, maka Allah memiliki perhitungan yang lebih luas dengan penuh rahmatnya. Allah tetap memberikan pahala bagi orang puasa sambil tidur. Syekh Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan,

و لا يضر النوم المستغرق للنهار على الصحيح لبقاء أهلية الخطاب معه إذ النائم يتنبه إذا نبه،ولهذا يجب قضاء الصلاة الفائتة بالنوم دون الفائتة بالإغماء

Menurut pendapat yang shahih, tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.

Menerangkan komentar gurunya, Syekh Ali Syibromalisi mengatakan dalam Hasyiyahnya alan Nihayah,

لبقاء أهلية الخطاب معه أي ويثاب على صيامه للعلة المذكورة

Redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’”, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu.

Namun tetap saja kita tidak boleh menyalahgunakan rahmat Allah yang luas itu, lalu memilih tidur seharian. Masih lebih baik kalau kita menghidupkan siang hari itu dengan baca Al-Quran, mengaji, dzikiran, sedekah, atau aktivitas yang disunahkan lainnya.

Di samping itu, kita juga masih memiliki kewajiban lain selama puasa, yakni menjalani aktivitas keseharian kita sebagaimana biasa. Petani berangkat ke sawah. Pegawai menuju kantor. Pelajar menuju sekolah. Pedagang menuju pasar. Puasa bukan alasan untuk tidur atau menurunkan tensi aktivitas harian. Pasalnya kita hidup bukan sekadar untuk pahala. Itu sudah urusan Allah. Tetapi kita juga memiliki kewajiban-kewajiban di luar puasa.

Namun demikian tidur masih lebih baik daripada terjaga lalu melakukan aktivitas yang benar-benar dapat membatalkan pahala puasa seperti dusta, ghibah, menghasut, menyudutkan orang atau kelompok lain. Atau pilihannya kita mengunci mulut saat berpuasa sambil melakukan kewajiban harian daripada tidur atau menjelek-jelekkan pihak lain. Wallahu a’lam. (nu.or.id)

Luar Biasanya Fadhilah Shalawat


Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya dengan sungguh-sungguh (Q.S. Al-Ahzab ayat 56)

Semua sudah maklum, bahwa shalawat memiliki berbagai macam fadlilah (keutamaan). Diantaranya adalah hadis riwayat Amr ibn Ash

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا رواه مسلم ،

Sesungguhnya Amr bin Al Ash RA mendengar Rosulullah SAW bersabda “Barang siapa yang membaca shalawat sekali saja, Allah SWT akan memberi rahmat padanya sebanyak sepuluh kali”

Dalam kitab Al Fawaid Al Mukhtaroh, Syaikh Abdul Wahhab Asy Sya’roni meriwayatkan bahwa Abul Mawahib Asy Syadzily berkata:

رَأَيْتُ سَيِّدَ الْعَالَمِيْنَ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلاَةُ اللهِ عَشْرًا لِمَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مَرَّةً وَاحِدَةً هَلْ ذَلِكَ لِمَنْ حَاضَرَ الْقَلْبَ ؟

Aku pernah bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW, aku bertanya “Ada hadis yang menjelaskan sepuluh rahmat Allah diberikan bagi orang yang berkenan membaca shalawat, apakah dengan syarat saat membaca harus dengan hati hadir dan memahami artinya?”

قَالَ لاَ، بَلْ هُوَ لِكُلِّ مُصَلٍّ عَلَيَّ وَلَوْ غَافِلاً

Kemudian Nabi menjawab “Bukan, bahkan itu diberikan bagi siapa saja yang membaca shalawat meski tidak faham arti shalawat yang ia baca”

Allah Ta’ala memerintahkan malaikat untuk selalu memohonkan do’a kebaikan dan memintakan ampun bagi orang tersebut. Terlebih jika ia membaca dengan hati hadir, pasti pahalanya sangat besar, hanya Allah yang mengetahuinya.

Bahkan, ada sebuah keterangan apabila kita berdo’a tidak dimulai dengan memuja Allah Ta’ala, tanpa membaca shalawat, kita disebut sebagai orang yang terburu-buru.

عن فَصَالَةَ بن عُبَيدْ رضى الله عنهما قَالَ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً يَدْعُوْ فِىْ صَلاَتِهِ لَمْ يَحْمَدِ اللهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَجَّلَ هَذَا،

Baginda Nabi mendengar ada seseorang yang sedang berdo’a tapi tidak dibuka dengan memuja Allah ta’ala dan tanpa membaca shalawat, Nabi berkata “orang ini terburu-buru”

ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ اَوْ لِغَيْرِهِ اِذَا صَلَّى اَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيْدِ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُوْ بَعْدُ بِمَا شَاءَ، رواه ابو داود والترمذى وقال حديث صحيح.

Kemudian Baginda Nabi mengundang orang itu, lalu ia atau orang lainnya dinasehati “jika diantara kalian berdo’a, maka harus diberi pujian kepada Allah SWT, membaca shalawat, lalu berdoalah sesuai dengan apa yang dikehendaki”

Apalagi jika bertepatan pada hari Jum’at, maka perbanyaklah membaca shalawat di dalamnya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِنْ اَفْضَلِ اَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَاَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ فَاِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ رواه ابو داود.
Sabda Rasulullah SAW “Hari yang paling mulia adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah shalawat di hari itu, karena shalawat kalian dihaturkan kepangkuanku”.

Ulama’ sepakat bahwa shalawat pasti diterima, karena dalam rangka memuliakan Rasulullah SAW. Ada penyair yang berkata:

أَدِمِ الصَّلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ      فَقَبُوْلُهَا حَتْمًا بِغَيْرِ تَرَدُّدٍ
أَعْمَالُنَا بَيْنَ الْقَبُوْلِ وَرَدِّهَا     اِلاَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ

Bacalah shalawat selalu, sebab shalawat pasti diterima.
Adapun amal yang lain mungkin saja diterima dan mungkin ditolak, kecuali shalawat. Shalawat pasti diterima. 

Supaya doa berhasil dan terkabul maka saat berdoa kita harus dengan adab dan tata cara yang tepat yaitu dimulai dengan memuji Allah SWT dan membaca shalawat. 
(Ulil/disarikan dari tulisan KH.Shofie Baedlowi)

Sumber: nu.or.id

Puasa Ramadhan Bagi Sopir dan Kernet

Sopir Bus
Dalam kehidupannya sehari-hari sudah menjadi keharusan bagi setiap insan untuk mencari nafaqoh atau biaya hidup guna untuk mempertahankan hidupnya. Ketika manusia dituntut hal yang demikian, tentu mereka tidak bisa duduk manis untuk bisa mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Mereka harus bekerja keras untuk menghasilkan sumber penghasilan dimana dari sumber tersebut semua kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi.
Berbagai jalan bisa dijadikan sumber penghasilan, termasuk  diantaranya adalah berprofesi sebagai sopir atau kernet transportasi umum. Menjadi sopir atau kernet adalah salah satu profesi yang bisa dikatakan memberikan penghasilan yang lumayan besar lebih-lebih ketika semisal musim mudik lebaran.
Dalam tingkatannya angkutan umum adakalanya angkutan yang beroperasi secara lokal (dalam kabupaten saja) dan adakalanya yang lintas kabupaten atau bisa disebut angkutan dalam provinsi.
Terkait dengan perjalanan, lantas bagaimana kalau perjalanan tersebut terjadi ketika bulan puasa Ramadlan dimana di satu sisi mereka (sopir/kernet) dituntut untuk melakukan puasa, dan di sisi yang lain mereka harus menempuh jarak perjalanan yang lebih dari masafatu al qoshri (jarak yang memperbolehkan sesorang untuk mengqashar shalat kurang lebih 83 km). Pada jarak ini mereka boleh untuk tidak puasa, dan menggantinya dihari yang lain, lantas apakah mereka tetap boleh untuk mengambil keringanan tersebut lantaran ia selalu berada di perjalanan sepanjang hari?
Dalam kaitannya dengan orang yang melakukan perjalanan, ada beberapa ketentuan dimana ketika ketentuan itu dipanuhi maka seseorang boleh mengambil ruhkshah (keringanan hukum) untuk tidak berpuasa, dan menggantinya pada hari yang lain. Ketentuan tersebut adalah, pertama, perjalanan tersebut harus melewati  jarak masafatul qashri (kurang lebih 83 km). Pada ketentuan ini, para sopir atau kernet angkutan dalam kabupaten tidak bisa mengambil rukhsoh untuk tidak perpuasa karena jarak yang mereka tempuh tidak mencapai masafatu al qashri. Kedua, perjalanan tersebut harus dilakukan sebelum fajar (sebelum subuh), karena ketika melakukan perjalanan setelah fajar, mereka dianggap bermukim atau mereka memasuki hari itu dalam status dia sebagai orang yang bermukim.
الحاوى الكبير ـ الماوردى – (ج 3 / ص 975)
 مَسْأَلَةٌ : قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ” وَلَوْ أَنَّ مُقِيمًا نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ الْفَجْرِ مُسَافِرًا لَمْ يُفْطِرْ يَوْمَهُ ؛ لِأَنَّهُ دَخَلَ فِيهِ مُقِيمًا
الحاوى الكبير ـ الماوردى – (ج 3 / ص 975)
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : وَهَذَا الْفَصْلُ يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعِ مَسَائِلَ : أَحَدُهَا : أَنْ يَبْتَدِئَ السَّفَرَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا شُبْهَةَ أَنَّهُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ صَامَ ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ ؛ لِأَنَّهُ ابْتَدَأَ السَّفَرَ فِي زَمَانٍ يَجُوزُ لَهُ الْفِطْرُ فِيهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَحَتَّمُ عَلَيْهِ صَوْمُ ذَلِكَ الْيَوْمِ
شرح البهجة الوردية – (ج 7 / ص 114)
 وَ ) يُبِيحُهُ ( سَفَرُ الْقَصْرِ ) لِلْآيَةِ السَّابِقَةِ بِخِلَافِ السَّفَرِ الْقَصِيرِ وَسَفَرِ الْمَعْصِيَةِ ( وَإِنْ نَوَى ) أَيْ الْمُسَافِرُ الصَّوْمَ لَيْلًا فَإِنَّهُ يُبِيحُ الْفِطْرَ لِدَوَامِ الْعُذْرِ وَلَا يُكْرَهُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ وَقَدْ { أَفْطَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ بِكُرَاعِ الْغَمِيمِ بِقَدَحِ مَاءٍ لَمَّا قِيلَ لَهُ إنَّ النَّاسَ يَشُقُّ عَلَيْهِمْ الصِّيَامُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلَهُ تَتِمَّةٌ سَتَأْتِي ( لَا إنْ بَعْدَ صُبْحِهِ طَرَا ) أَيْ السَّفَرُ فَإِنَّهُ لَا يُبِيحُ الْفِطْرَ تَغْلِيبًا لِلْحَضَرِ ( أَوْ زَالَا ) أَيْ وَلَا إنْ زَالَ الْمَرَضُ ، وَالسَّفَرُ بَعْدَ الصُّبْحِ ، وَهُوَ صَائِمٌ فَلَا يُبِيحَانِ الْفِطْرَ لِانْتِفَاءِ الْمُبِيحِ
Ketiga, perjalanan yang diperbolehkan untuk mengambil keringanan tidak berpuasa adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang yang masih ada harapan untuk bermukim. Di dalam waktu bermukim inilah mereka bisa mengqadha puasanya yang ditinggalkan dalam perjalanan. Mengenai orang yang terus menerus melakukan perjalanan seperti para abang sopir atau kernet, yang tentunya tidak mungkin untuk bermukim, maka tidak boleh mengambil ruhksahuntuk tidak berpuasa. Namun dalam ini, ada ulama yang memperbolehkan bagi orang yang selalu melakukan perjalan mengambil ruhksoh untuk tidak perpuasa pada waktu itu dengan catatan tetap harus mengganti/mengqadha’ dihari yang lain.
حواشي الشرواني والعبادي – (ج 3 / ص 430)
قوله: (قال السبكي الخ) اعتمده النهاية فقال وبحث السبكي وغيره تقييد الفطر به بمن يرجو إقامة يقضي فيها بخلاف مديم السفر أبدا لان في تجويز الفطر له تغيير حقيقة الوجوب
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – (ج 9 / ص 430)
( وَ ) يُبَاحُ ( تَرْكُهُ لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلًا مُبَاحًا ) سَوَاءٌ أَكَانَ مِنْ رَمَضَانَ أَمْ مِنْ غَيْرِهِ نَذْرًا وَلَوْ تَعَيَّنَ أَوْ كَفَّارَةً أَوْ قَضَاءً ، بِخِلَافِ السَّفَرِ الْقَصِيرِ وَسَفَرِ الْمَعْصِيَةِ لِمَا مَرَّ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ قِيَاسًا عَلَى الْمُحْصَرِ يُرِيدُ التَّحَلُّلَ وَلِيَتَمَيَّزَ الْفِطْرُ الْمُبَاحُ مِنْ غَيْرِهِ ، وَبَحَثَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ تَقْيِيدَ الْفِطْرِ بِهِ بِمَنْ يَرْجُو إقَامَةً يَقْضِي فِيهَا ، بِخِلَافِ مُدِيمِ السَّفَرِ أَبَدًا لِأَنَّ فِي تَجْوِيزِ الْفِطْرِ لَهُ تَغْيِيرَ حَقِيقَةِ الْوُجُوبِ
شرح البهجة الوردية – (ج 7 / ص 116)
 قَوْلُهُ : وَيُبِيحُهُ سَفَرُ الْقَصْرِ ) قَالَ شَيْخُنَا ز ي وَالرَّمْلِيُّ وَإِنْ دَامَ السَّفَرُ وَغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ الْمَوْتُ قَبْلَ الْقَضَاءِ وَسَوَاءٌ رَمَضَانُ ، وَالْكَفَّارَةُ ، وَالْمَنْذُورُ وَلَوْ مُعَيَّنًا فِي نَذْرِ صَوْمٍ وَلَوْ لِلدَّهْرِ ، وَالْقَضَاءِ وَلَوْ لِلْمُتَعَدِّي بِفِطْرِهِ ، أَوْ ضَاقَ وَقْتُهُ وَإِنْ خَالَفَ السُّبْكِيُّ فِي مُدِيمِ السَّفَرِ وَفِي النَّذْرِ الْمُعَيَّنِ
‘Ala kulli hal, seseorang yang berprofesi sebagai sopir atau kernet, bisa masuk didalam kata muthimu as-safar, karena keseharian hidup mereka dihabiskan dalam perjalan. Mengenai boleh tidaknya mereka mengambil rukhsoh, ulama masih berselisih. Ada yang tidak memperbolehkan dan ada yang memperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana di atas. Akan tetapi bagi seorang sopir, meskipun sudah memenuhi syarat-syarat di atas selayaknya dia tetap berpuasa selama ia masih mampu dan tidak menimbulkan bahaya. Karena puasanya dia lebih baik daripada tidak berpuasa. Wallahu A’lam
Sumber:http://mahad-aly.sukorejo.com/

Maksud Istilah "Islam Nusantara"



Maksud Istilah Islam Nusantara

oleh: KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag.*
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan singkat ini mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara” menurut apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah tersebut.
Alquran dan as-Sunnah sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawwufyaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariatyaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya. Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa diembel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawābith/qath’iyyāt dan ijtihādiyyāt. Hukum-hukum qath’iyyāt seperti kewajiban salat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Salatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak subuh dan berakhir saat kumandang azan magrib. Penjelasan Alquran dan Alsunnah dalam hukum qath’iyyāt ini cukup rinci, detail, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Safa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyāt tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihādiyyāt bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Alquran dan Alsunnah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Para tābi’īn berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’īr), padahal Nabi Muhammad saw melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi Alsunnah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang.[1] Di sini, para tābi’īn membedakan antara—apa yang disebut ekonomi modern dengan—pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya. Paratābi’īn juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil,[2]padahal Nabi sendiri bersabda—seperti dalam riwayat Abu Daud[3]—supaya jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqh mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
*Wakil Pengasuh PP. Salafiyah Syafi’iyah, Dosen Ma’had Aly Situbondo, dan Katib Syuriah PBNU
[1] Nail al-authār, V, 220.
[2] Al-Muntaqā Syarḥ al-Muhażżab, I, 342.
[3] لا تمنعوا اماء الله مساجد الله، ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.
Sumber:http://mahad-aly.sukorejo.com/