Kopiah Hitam
Posted by
Unknown
on
Wednesday, January 23, 2013
with
No comments
Fiqh Menjawab |
Zaman sekarang sebuah kemasan, merek,
bahasa pesantrennya bentuk dhahir, dianggap jauh lebih penting ketimbang sebuah
isi. Perkembangan zaman telah berhasil menanamkan kemasan menjadi sesutau yang
penting, mengabaikan kwalitas.
Dalam Ta'lim al-Muta'alim, buah pena
Syeikh Zarnuji yang menurut sebagian kalangan sudah tidak relevan, ada
penekakan untuk selalu memakai tutup kepala dalam setiap aktifitas. Kemudian
oleh pesantren hal itu tidak diterjemahkan dalam bentuk serban atau tutup kepala
lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Dalam pandangan mereka, memakai kopiah
merupakan bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, paling tidak sebagai
bentuk kelaziman. Oleh karenanya, seorang santri tidak diperbolehkan melepas
peci dalam kesehariannya. Santri yang berani menanggalkan kopiah diidentikkan
dengan santri badung yang sering melangar tatakrama dan aturan.
Tradisi ini menjalar ke masyarakat,
dengan berkopiah seseorang dianggap memiliki nilai plus, kurang utama bila
menanggalkan kopiah saat menunaikan shalat, dan lain sebagainya, termasuk
ketika sekarang banyak orang mencari simpati untuk meraih suara. Namun ironis,
akibat penekanannya atas bentuk lahir, pemahaman akan tradisi pesantrenpun
menjadi keliru. Banyak masyarakat memakan mentah-mentah tradisi ini, contoh
kecil ketika mereka salah kaprah memakai kopiah dalam shalat, terbukti masih
banyak yang malah menutup bagian yang mestinya terbuka waktu melakukan sujud,
tidak sedikit yang keliru memakai kopiah.
Tutup kepala yang terbuat dari beludru
warna gelap dengan ketinggian antara 6 -12 cm ini, ada yang mengatakan, bila
dipandang dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci
India. Ada pula yang menyatakan bahwa kopiah memang asli kreasi nusantara.
Penutup kepala, entah apakah bentuknya sama seperti kopiah-kopiah Indonesia
sekarang, memang telah ada sejak dulu kala.
Yang jelas, menurut sejarah pada awal
pergerakan Nasional 1908-an, kebanyakan para aktivis masih memakai daster dan
tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat.
Seiring meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme
-paham dan pola sikap yang mengagung-agungkan pangkat dan jabatan tanpa
mengagungkan prestasi kerjanya- termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, tokoh
idola panutan kaum pergerakan waktu itu, Tjokroaminoto yang sering berkopiah,
dengan sendirinya kopiah menjalar di kalangan aktifis, termasuk muridnya,
Soekarno.
Sejak saat itu kopiah yang semula
merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional, identitas ke
Indonesiaan, yang dipelopori kaum pergerakan. Ada yang bilang, berkat pesona
seorang Soekarno, para aktivis dan priyayi waktu itu mulai menggunakan kopiah.
Di samping menjadi simbol Islamisme, kopiah waktu itu juga sebagai simbol
patriotisme dan nasionalisme, yang mampu membedakan mana priyayi pro rakyat dan
priyayi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin,
saat Nahdlatul Ulama (NU) mulai sangat aktif melibatkan diri untuk merespon
perkembangan dunia luar, baik nasional maupun internasional. NU mengakui
Nasioalisme Hindia Belanda dan mulai memperbolehkan warganya memakai pantaloon
(celana panjang), namun identitas kesantrian harus tetap terlihat. Salah satu
bentuknya adalah memakai kopiah, sehingga masih bisa dibedakan dengan kolonial
Belanda.
Namun kini, kopiah bukan hanya
identifikasi bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah, patriotisme, ataupun
simbol nasionalisme. Lihat saja upacara–upacara pelantikan pejabat Negara,
meskipun dia bukan seorang muslim, tidak sedikit yang memakai penutup berbahan
beludru ini. Sering pula kita saksikan, bahkan kebanyakan, para perusak Negara
memakai kopiah ketika tersudut di depan meja hijau. Berubah fungsikah?
Permasalahan kopiah seperti di atas
mestinya ‘menghina’ kecerdasan kita sebagai muslim, khususnya kalangan
pesantren. Bagaimana mungkin cuma dengan modal kopiah, orang sudah dipercaya
‘pindah agama’. Segampang itukah? Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya muncul
sebagai penutup kepala, sebuah keputusan yang perlu dipertanyakan.
Tapi, mari kita hargai keputusan ini,
sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu. Apalagi bila tipuan itu
memuat unsur-unsur yang kita suka, simbol dan atribut, kopiah misalnya.
Begitu besar minat kita pada atribut,
keindahan kemasan, hingga mendorong orang dengan mudahnya merubah kepribadian.
Jika ia telah berdandan sedemikian rupa, merasa telah menjadi orang bertakwa.
Untuk menjadi seorang nasionalis, kita cukup hanya dengan mengganti nama saja
dan kalau mau jadi seniman, orang cukup bermodal memanjangkan rambut dan
mengacak-acak dandanan.
Begitulah, zaman telah begini maju, tapi
kita masih dengan mudahnya tertipu dengan ‘merek’. Bila kita tidak segera
berbenah, jangan heran bila ke depan makin banyak kita temui para penipu.
Untuk mewaspadai hal itu, mulai sekarang
kita harus menekan ambisi yang kelewatan atas sebuah simbol dan atribut. Perlu
juga ada semacan ‘penelaahan kembali’ oleh setiap muslim. Bagi kalangan
pesantren, tentu penelaahan tentang perkopiahan juga perlu ada penekanan, karena
ketika imej sebuah kopiah telah tercoreng, secara tidak langsung pesantrenpun
terkena imbasnya. Dengan itu, semoga saja penipu-penipu handal sekarang adalah
generasi terakhir mereka. Semoga.
Categories:
Hikmah
0 komentar :
Post a Comment