Jual Beli dan Akad Nikah Melalui Internet (On Line)
Posted by
Unknown
on
Thursday, January 17, 2013
with
No comments
Kemajuan teknologi dan informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat
manusia yang lebih mudah. Sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota
masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang
dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil maupun
besar. Yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma
bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilah Electronic
Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektrik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem
elektronik. Maka jelas, kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui
internet semata. Tetapi dapat juga dilakukan melalui medium facsimile,
telegram, telex, dan telpon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media
informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jualbeli (bai’), seperti
sighat, ijab qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum.
Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses
transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran, dan ganti rugi
akibat kerusakan. Bahkan, akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan
fasilitas telpon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum transaksi via
elektronik, seperti media telpon, e-mail, atau Cybernet dalam akad jual beli
dan akad nikah? Sahkan pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di
majlis terpisah?
Hukum akad jual beli melalui alat elektronik seperti internet adalah boleh dan sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjual belikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Hal ini berdasar pada pendapat Muhammad Ibn Syihabuddin al-Ramli dalam
Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj
(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا
يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ
مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا
وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ
سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ
الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ
"(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah
fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli
barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat
pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada
dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah
terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau
terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti
kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat."
Bahkan Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala
al-Khatib menjelaskan adanya tuntutan menyaksikan mabi’ secara langsung tanpa
adanya penghalang walaupun berupa kaca.
قَالَ خ ض وَمِنْ نَظَائِرِ الْمَسْأَلَةِ
رُؤْيَةُ الْمَبِيعِ مِنْ وَرَاءِ الزُّجَاجِ وَهِيَ لَا تَكْفِي لِأَنَّ
الْمَطْلُوبَ نَفْيُ الضَّرَرِ وَهُوَ لَا يَحْصُلُ بِهَا إِذِ الشَّيْءُ مِنْ
وَرَاءِ الزُّجَاجِ يُرَى غَالِبًا عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ عَلَيْهِ شَرْحُ م ر
Muhammad Syaubari al-Khudhri berkata: “Termasuk padanan kasus tercegah
melihat mabi’-barang yang dijual- adalah melihat mabi’ dari balik kaca. Cara
demikian tidak mencukupi syarat jual beli. Sebab, standarnya adalah menghindari
bahaya ketidakjelasan mabi’, yang tidak bisa dipenuhi dengan cara tersebut.
Sebab, secara umum barang yang terlihat dari balik kaca terlihat beda dari
aslinya. Demikian keterangan dari syarh al-Ramli.”
Namun untuk nikah aqad semacam ini dianggap tidak sah. hal ini sesuai
keterangan Muhammad bin Ahmad as-Syatiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis
وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا
لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ
التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ
وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
"Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk
lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah
menjadi alternatif utama dan dipraktikkan."
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena:
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena:
(a). Kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan
akad;
(b). Saksi tidak hadir di majlis akad;
(c). Di dalam akad nikah disyaratkan
lafal yang sharih (jelas).
Begitu pula pelaksanaan akad nikah yang berada di majlis terpisah hukumnya tidak sah. Sebagaimana diterangkan al-Bujairomi dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib
قَوْلُهُ (وَالضَّبْطُ) أَيْ لِأَلْفَاظِ
وَلِيِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ فَلَا يَكْفِي سَمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي
ظُلْمَةٍ لِأَنَّ الْأَصْوَاتَ تَشْتَبِهُ وَيَنْبَغِي لِلشَّاهِدَيْنِ ضَبْطُ
سَاعَةِ الْعَقْدِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْوَلَدِ قَوْلُهُ (بَلْ إلَى أَكْثَرَ) ...
وَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الشَّاهِدَيْنِ أَيْضًا السَّمْعُ وَالْبَصَرُ
وَالضَّبْطُ وَمَعْرِفَةُ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ
"Ungkapan al-Khatib al-Syirbini (Dan hafal), maksudnya hafal ucapan wali
istri dan suami. Maka tidak cukup hanya mendengar ucapan mereka dalam tempat
gelap. Sebab, suara yang satu dengan yang lainnya itu mirip. Bagi dua orang
saksi nikah sebaiknya juga menghapal jam akad untuk menentukan nasab anak (dari
pasangan tersebut). Ungkapan al-Khatib al-Syirbini (Bahkan lebih dari enam
syarat) … Dan bagi masing-masing dari dua saksi nikah disyaratkan mampu
mendengar, melihat, menghafal dan mengetahui bahasa dua orang yang berakad."
Selain itu satu hadits dari al-Daruquthni dalam Sunan al-Daruquthni sangat jelas mengenai hal ini
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ: لَا بُدَّ فِي النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ الْوَلِيِّ
وَالزَّوْجِ وَالشَّاهِدَيْنِ أَبُو الْخَصِيبِ مَجْهُولٌ وَاسْمُهُ نَافِعُ بْنُ
مَيْسَرَةَ (رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِي)
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Nabi bersabda: “Dalam nikah harus ada empat
orang, yaitu wali, calon suami, dan dua orang saksi.” Abu al-Khashib tidak
diketahui. Namanya adalah Nafi’ bin Maisarah. (HR. Daruquthni)
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment