Ijtihad dan Taqlid
Posted by
Unknown
on
Tuesday, January 15, 2013
with
No comments
Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak
mengandung kecuali satu makna tentangnya.
Jadi Mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah
seorang yang hafal ayat-ayat ahkam,
hadits-hadits ahkam beserta
mengetahui sanad-sanad dan keadaan
para perawinya, mengetahui nasikh dan
mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan
sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an,
mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang
diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka
dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama
sebelumnya.
Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi
yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar.
Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa
besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan
secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan
baiknya.
Sedangkan Muqallid (orang
yang melakukan taqlid; mengikuti
pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut
di atas.
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits
Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما
سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده "
(رواه الترمذي وابن حبان)
Maknanya : “Allah memberikan
kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya
dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang
menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban)
Bukti terdapat pada lafazh:
فربّ مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa
banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki
pemahaman”.
Dalam riwayat lain:
"وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang
mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang
menyampaikan”.
Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita
bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ada yang
hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut
kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan
mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam
hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang
pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya.
Pada lafazh lain hadits ini:
" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "
“Betapa banyak orang yang membawa
fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam:
" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد
فأخطأ فله أجر " (رواه
البخاري)
Maknanya: “Apabila seorang
Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka
ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)
Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara
khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya.
Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa,
seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn
‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa
dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut
suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan
Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja
demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al
Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan
kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal
telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan
mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada
ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan
bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu
ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang
mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan
(memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya
kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan
diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama
suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini
bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang
berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman
rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak
perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman
anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah
berkata: “Aku pasti akan memberi
keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut
dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km)
setahun”.
Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada
para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama
di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah
memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka
mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya
tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi.
Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka
memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh
orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga
manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para
imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn
Hanbal).
Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang
seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia
junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya,
mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena
kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka
telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka
bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”.
Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah
berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut
lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa
badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa
seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya,
tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang
junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas,
yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang
memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
Maka berhati-hati dan
waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad,
padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan
ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama.
Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa
membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka
tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang
semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh.
Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.
Mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment