Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan
Posted by
Unknown
on
Monday, January 14, 2013
with
No comments
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak
Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga
tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta
sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan
penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena
pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular
dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada
kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir
Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan
semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan
berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang
lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada
onta yang sehat.”
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan
meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia
itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena
hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya
atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan
pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada
takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang
ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal
kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak
melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara
tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti
perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika
itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak
ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan
melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya
membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari
yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali
dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya,
karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah
pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah
sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya
adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan
terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada
tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar”
memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip
pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah
berikut ini:
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti
bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta
mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan
bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha
Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya
selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari
sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama
sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010:
54).
Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum
‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan
ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka
angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang
menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan,
bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu
terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan
istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan
bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak
menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.
Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam
al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya
adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang
mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung
kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan
ditakdirkan Allah.
Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun
Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri
terus terang belum mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab
ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur)
yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan
spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah
menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama
kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.
Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang
tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil,
sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat
al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan
surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka
Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari
semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik
Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama
yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat
(dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar,
yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari
Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus
menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari
sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan
hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh
(sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena
hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar
tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan,
dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang
mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa
setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna
dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga
bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap
sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas
yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang
beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini,
bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” [Wallahu ‘A’lam]
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment