Islam, Seni, dan Kehidupan Beragama
Posted by
Unknown
on
Monday, January 21, 2013
with
No comments
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari
nilai-nilai keagamaan, betapapun kenyataan ini tidak diakui oleh
sementara kalangan. Masalah-masalah pribadi tentang pengaturan hubungan
dengan sesama manusia, masalah penyesuaian antara cita dan kenyataan
yang dihadapi dalam kehidupan, serta hubungan manusia dengan
kekuatan-kekuatan di luar dirinya, kesemuanya itu menghasilkan
dimensi-dimensi dalam kehidupan manusia.
Dimensi-dimensi keagamaan ditampakkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek ekspresi keharuan yang dirasakan manusia, yang pada umumnya berbentuk kegiatan-kegiatan seni dan sastra.
Dari sini saja sudah tampak betapa eratnya antara kegiatan kesenian, baik yang bersifat penciptaan maupun pagelaran, dengan kehidupan beragama. Cakupan kaitan itu tidak hanya terbatas pengaruhnya pada wilayah kehidupan yang tersentuh oelh keharuan belaka, melainkan jangkauannya menerobos hingga ke wilayah ketakutan dan keputusasaan, keyakinan dan keberanian, protes dan bujukan, pelestarian ajaran dan seterusnya.
Dari sinilah dapat dipahami mengapa timbul skala prioritas yang berbeda di antara kelompok-kelompok yang berlainan. Pemusatan daya arsitektural untuk membangun sebuah masjid nasional di ibukota dan masjid provinsial di ibukota provinsi kiita, umpamanya, tentu tidak skala prioritasnya dengan keengganan bangsa Mesir membuat masjid seperti itu dewasa ini. Karena wilayah yang diterobos oleh proses keharuan berbeda satu ke lain kelompok, dengan sendirinya produksi seni yang dikaitkan dengan kehidupan beragama juga berlainan satu dengan yang lain.
Karena itu, sudah tentu sulit untuk melakukan pengukuran atas keterlibatan kegiatan kesenian pada kehidupan beragama melalui satu alat pengukur belaka, yang bertindak secara konstan dalam kadar yang sama. Manifestasi kesenian yang dihasilkan bergantung erat pada susunan kehidupan itu sendiri, yang sudah tentu menjadi sangat kompleks pengukurannya dalam sebuah masyarakat modern. Karena kaitan agama dengan kehidupan semakin lama semakin dikristalisir dalam citra kemasyarakatan yang berbeda-beda, dengan sendirinya manifestasi kesenian dalam kehiduppan beragamanya lalu mengalami perubahan-perubahan drastis dari waktu ke waktu, sehingga sulit diukur dengan alat pengukur tunggal yang tidak memperhitungkan dalam dirinya unsur-unsur perubuahan itu sendiri.
Kalau gereja Kristen di masa lalu menitikberatkan lagu puja (himne) melalui paduan suara melalui paduan suara Gregorian, karena struktur masyarakatnya yang monolith, dalam periode individualiasi kehidupan masyarakat modern justru ekspresi seni suara peroranganlah (seperti blues dan soul) yang jadi bagian manifestasi kehidupan umat bergama umat Krisitiani di masa ini. Ilustrasi lain dapat dikemukakan seperti prosesi peragaan kemalangan (passion drama) yang dilakukan secara kolektif untukk turut merasakan penderitaan Husain Ibnu Abi Thalib di padang Karbala dalam perayaan Asyura di kalangan Syi’ah di Irak dan di Iran. Ekspresi seperti in muncul dari citra kehidupan beragama yang ditekankan pada penghayatan pengorbanan (syahadah, fida’) di kalangan mereka, yang dalam perkembangan politik memunculkan orang-orang seperti Ali Shariathmadari dan Ayatullah Khomeini.
Setelah diajukan keberatan terhadap cara pengukuran dangkal dengan penggunaan alat tunggal yang bersifat menetap seperti diuraikan di atas, dengan sendirinya lalu muncul pertanyaan bagaimanakah pengukuran yang tepat harus dilakukan? Alat apakah yang seharusnya digunakan di dalamnya? Hasil konkret apakah yang dapat diperoleh dari alat pengukuran seperti itu? Jawaban atas ketiga pertanyaan di atas akan diuraikan lebih lanjut, walauppun tidak ada pretensi akan tercakupnya semua aspek yang dikandungnya. Yang akan dikemukakan hanyalah pokok-pokoknya belaka.
Yang pertama-tama harus disadari adalah aspirasi masyarakat di bidang keagamaan, yang memilikii keragaman besar dalam watak, sifat dan coraknya. Umpamanya saja, aspirasi lembaga keagamaan formal seperti Majelis Ulama tentu berbeda dari aspirasi seorang muballigh di lapangan yang bergerak secara individual. Aspirasi keberagamaan para seniman tentu berbeda dengan para agamawan. Beum lagi dilihat keragaman yang timbul dari orientasi kehidupan yang berbeda dari kelompok yang sama, seperti antara kaum intelektual yang termasuk lingkungan teknokrasi dan sesama intelek yang menolaknya.
Aspirasi keberagamaan yang berneka ragam itu tentu menghasilkan ekspresi yang berbeda-beda, walaupun dalam medium kesenian yang sama. Pada kegiatan seni suara di kalangan kaum muslimin dapat dilihat nyata dalam hal ini. Di lingkungan yang masih dekat dengan literatur keagamaan berbahasa Arab, seperti di Banten dan Jawa Timur, pagelaran dzibaiyyah, barzanji dan sebagainya, masih menggunakan bahasa Arab, disertai seni hadrah yang menetaskan ode-ode berbahasa Arab itu tanpa diterjemahkan. Tapi kita lihat di daerah Magelang, yang lebih banyak terkena radiasi istana kraton Mataram, muncul pementasan kentrung yang berisi pesan yang sama, tetapi menggunakan bahasa Jawa.
Dari sudat pandangan yang semacam inilah harus kita teropong perkembangan menggembirakan dalam nafas keislaman dalam kesenian kontemporer kita, seperti desain-desain batik dari Amri Yahya, lirik ciptaan Trio Bimbo, puisi-puisi anak-anak muda di harian Pelita dan majalah-majalah keagamaan kita. Kesenian Islam dalam kerangka pandangan ini tidak dapat dibatasi hanya pada ekspresi formal yang dianut selama ini, bahkan mungkin sektor formal ini hanya bagian terkecil dari keseluruhan ekspresi kesenian yang bernafaskan Islam.
Alat pengukur yang paling utama untuk mengetahui kadar keislaman dari ekspresi kesenian yang beraneka ragam itu, dapat ditemukan dalam dua hal-hal: (1) ketaatan asas/konsistensi ekspresi itu sendiri dalam panjang nafas keislaman, dan (2) kesungguhan isi pesan yang dibawakan itu sendiri.
Di sini kita lalu digugah untuk melakukan terobosan yang matang dan mendalam. Terkadang kedua hal itu dengan cara sangat halus dan tersembunyi dalam ekspresi yang biasannya digolongkan dalam kegiatan nonagama. Pesan agama kemudian disampaikan dengan tidak langsung terasa oleh penerimanya. Kasus kesenian ludruk di Jawa Timur, dengan pesan-pesan utamanya tentang demokrasi yang mempertimbangkan realitas kehidupan, dapat dikemukakan sebagai contoh. Tak akan ada pesan agama yang langsung ditemui dalam mementaskan ludruk. Tetapi bukankah demokrasi adalah esensi kehidupan menurut konsep kenegaraan Islam? Mengapakah kita tidak mampu memahami pesan “nonkeagamaan” ludruk sebgai ekspresi seni yang bernafaskan Islam?
Hambatan psikologis yang timbul dari warisan sejarah masa lampau jelas tidak mudah untuk diatasi dalam menerima beberapa medium kesenian lokal maupun nasional yang telah terlanjur dianggap bukan “kesenian Islam”. Tetapi rasanya sikap untuk menyerah kepada keadaan yang pincang ini jelas tidak akan mendukung perluasan pengaruh kesenian Islam atas kehidupan beragama kita. Kalau kita ingin memperluas jngkauan kehidupan beragama kita, harus pula kita terima perluasan ekspresi keseniaanya. Dengan kata lain, masa depan kehidupan bergama kita ditentukan juga antara lain oleh kemampuan informalisasi bentuk-bentuk kesenian yang dikaitkan dengan keislaman.
Tetapi di sini perlu diberi peringatan keras kepada bahaya munculnya akulturasi atau pembauran dalam penyampai pesan yang dibawakan kesenian itu sendiri. Setiap medium kesenian memilki kekhususannya sendiri, yang tidak dapat dibaurkan dengan aspek medium lain, tanpa membunuh ketulusan pesannya dan memupus keharuann yang ditimbulkannya. Shalawat Nabi dalam bahsa Arab misalnya memiliki aspek-aspek langgam (meters, ‘arudh) tersendiri, yang ditentukan oleh seni baca huruf dan tata bahasa Arab. Dengan demikian, akulturasi medium shalawat berbahasa Arab ini dengan memaksakan pelanggamannya dalam irama lagu setempat, akan merusak hakikat shalawat itu sendiri. Arti pesan lalu menjadi kabur, keharuan tidak didapat, lalu apakah yang dapat kita harapkan. Ekspresi bermain-main yang tidak memiliki ketulusan sama sekali.
Cara dan penetapan alat pengukuran keterlibatan seni dalam kehidupan beragama Islam di atas dapat membawa kita kepada hasil-hasil konkret di banyak bidang pembuat keputusan dan kebijakan, antara lain dalam hal-hal berikut: (1) perluasan jangkauan kegiatan lembaga-lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, yang terutama dalaam bidang seni sastra; (2) pematangan kegiatan lembaga-lembaga kkesenian Islam, dengan jalan memungkinkan mereka untuk “keluar dari sarang” dan masuk kegiatan kesenian yang selama ini tidak dianggap berhubungan dengan “kesenian Islam; (3) kemungkinan masuknya para pemikir budaya dan seniman yang selama ini di luar lingkungan “kesenian Islam” ke dalam pemekaran kesenian Islam itu sendiri; dan (4) lebih mudahnya mengungkapakan kaitan antara kesenian Islam dalam cakupannya yang baru dengan tuntutan hidup masyarakat modern yang semakin kompleks.
Dimensi-dimensi keagamaan ditampakkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek ekspresi keharuan yang dirasakan manusia, yang pada umumnya berbentuk kegiatan-kegiatan seni dan sastra.
Dari sini saja sudah tampak betapa eratnya antara kegiatan kesenian, baik yang bersifat penciptaan maupun pagelaran, dengan kehidupan beragama. Cakupan kaitan itu tidak hanya terbatas pengaruhnya pada wilayah kehidupan yang tersentuh oelh keharuan belaka, melainkan jangkauannya menerobos hingga ke wilayah ketakutan dan keputusasaan, keyakinan dan keberanian, protes dan bujukan, pelestarian ajaran dan seterusnya.
Dari sinilah dapat dipahami mengapa timbul skala prioritas yang berbeda di antara kelompok-kelompok yang berlainan. Pemusatan daya arsitektural untuk membangun sebuah masjid nasional di ibukota dan masjid provinsial di ibukota provinsi kiita, umpamanya, tentu tidak skala prioritasnya dengan keengganan bangsa Mesir membuat masjid seperti itu dewasa ini. Karena wilayah yang diterobos oleh proses keharuan berbeda satu ke lain kelompok, dengan sendirinya produksi seni yang dikaitkan dengan kehidupan beragama juga berlainan satu dengan yang lain.
Karena itu, sudah tentu sulit untuk melakukan pengukuran atas keterlibatan kegiatan kesenian pada kehidupan beragama melalui satu alat pengukur belaka, yang bertindak secara konstan dalam kadar yang sama. Manifestasi kesenian yang dihasilkan bergantung erat pada susunan kehidupan itu sendiri, yang sudah tentu menjadi sangat kompleks pengukurannya dalam sebuah masyarakat modern. Karena kaitan agama dengan kehidupan semakin lama semakin dikristalisir dalam citra kemasyarakatan yang berbeda-beda, dengan sendirinya manifestasi kesenian dalam kehiduppan beragamanya lalu mengalami perubahan-perubahan drastis dari waktu ke waktu, sehingga sulit diukur dengan alat pengukur tunggal yang tidak memperhitungkan dalam dirinya unsur-unsur perubuahan itu sendiri.
Kalau gereja Kristen di masa lalu menitikberatkan lagu puja (himne) melalui paduan suara melalui paduan suara Gregorian, karena struktur masyarakatnya yang monolith, dalam periode individualiasi kehidupan masyarakat modern justru ekspresi seni suara peroranganlah (seperti blues dan soul) yang jadi bagian manifestasi kehidupan umat bergama umat Krisitiani di masa ini. Ilustrasi lain dapat dikemukakan seperti prosesi peragaan kemalangan (passion drama) yang dilakukan secara kolektif untukk turut merasakan penderitaan Husain Ibnu Abi Thalib di padang Karbala dalam perayaan Asyura di kalangan Syi’ah di Irak dan di Iran. Ekspresi seperti in muncul dari citra kehidupan beragama yang ditekankan pada penghayatan pengorbanan (syahadah, fida’) di kalangan mereka, yang dalam perkembangan politik memunculkan orang-orang seperti Ali Shariathmadari dan Ayatullah Khomeini.
Setelah diajukan keberatan terhadap cara pengukuran dangkal dengan penggunaan alat tunggal yang bersifat menetap seperti diuraikan di atas, dengan sendirinya lalu muncul pertanyaan bagaimanakah pengukuran yang tepat harus dilakukan? Alat apakah yang seharusnya digunakan di dalamnya? Hasil konkret apakah yang dapat diperoleh dari alat pengukuran seperti itu? Jawaban atas ketiga pertanyaan di atas akan diuraikan lebih lanjut, walauppun tidak ada pretensi akan tercakupnya semua aspek yang dikandungnya. Yang akan dikemukakan hanyalah pokok-pokoknya belaka.
Yang pertama-tama harus disadari adalah aspirasi masyarakat di bidang keagamaan, yang memilikii keragaman besar dalam watak, sifat dan coraknya. Umpamanya saja, aspirasi lembaga keagamaan formal seperti Majelis Ulama tentu berbeda dari aspirasi seorang muballigh di lapangan yang bergerak secara individual. Aspirasi keberagamaan para seniman tentu berbeda dengan para agamawan. Beum lagi dilihat keragaman yang timbul dari orientasi kehidupan yang berbeda dari kelompok yang sama, seperti antara kaum intelektual yang termasuk lingkungan teknokrasi dan sesama intelek yang menolaknya.
Aspirasi keberagamaan yang berneka ragam itu tentu menghasilkan ekspresi yang berbeda-beda, walaupun dalam medium kesenian yang sama. Pada kegiatan seni suara di kalangan kaum muslimin dapat dilihat nyata dalam hal ini. Di lingkungan yang masih dekat dengan literatur keagamaan berbahasa Arab, seperti di Banten dan Jawa Timur, pagelaran dzibaiyyah, barzanji dan sebagainya, masih menggunakan bahasa Arab, disertai seni hadrah yang menetaskan ode-ode berbahasa Arab itu tanpa diterjemahkan. Tapi kita lihat di daerah Magelang, yang lebih banyak terkena radiasi istana kraton Mataram, muncul pementasan kentrung yang berisi pesan yang sama, tetapi menggunakan bahasa Jawa.
Dari sudat pandangan yang semacam inilah harus kita teropong perkembangan menggembirakan dalam nafas keislaman dalam kesenian kontemporer kita, seperti desain-desain batik dari Amri Yahya, lirik ciptaan Trio Bimbo, puisi-puisi anak-anak muda di harian Pelita dan majalah-majalah keagamaan kita. Kesenian Islam dalam kerangka pandangan ini tidak dapat dibatasi hanya pada ekspresi formal yang dianut selama ini, bahkan mungkin sektor formal ini hanya bagian terkecil dari keseluruhan ekspresi kesenian yang bernafaskan Islam.
Alat pengukur yang paling utama untuk mengetahui kadar keislaman dari ekspresi kesenian yang beraneka ragam itu, dapat ditemukan dalam dua hal-hal: (1) ketaatan asas/konsistensi ekspresi itu sendiri dalam panjang nafas keislaman, dan (2) kesungguhan isi pesan yang dibawakan itu sendiri.
Di sini kita lalu digugah untuk melakukan terobosan yang matang dan mendalam. Terkadang kedua hal itu dengan cara sangat halus dan tersembunyi dalam ekspresi yang biasannya digolongkan dalam kegiatan nonagama. Pesan agama kemudian disampaikan dengan tidak langsung terasa oleh penerimanya. Kasus kesenian ludruk di Jawa Timur, dengan pesan-pesan utamanya tentang demokrasi yang mempertimbangkan realitas kehidupan, dapat dikemukakan sebagai contoh. Tak akan ada pesan agama yang langsung ditemui dalam mementaskan ludruk. Tetapi bukankah demokrasi adalah esensi kehidupan menurut konsep kenegaraan Islam? Mengapakah kita tidak mampu memahami pesan “nonkeagamaan” ludruk sebgai ekspresi seni yang bernafaskan Islam?
Hambatan psikologis yang timbul dari warisan sejarah masa lampau jelas tidak mudah untuk diatasi dalam menerima beberapa medium kesenian lokal maupun nasional yang telah terlanjur dianggap bukan “kesenian Islam”. Tetapi rasanya sikap untuk menyerah kepada keadaan yang pincang ini jelas tidak akan mendukung perluasan pengaruh kesenian Islam atas kehidupan beragama kita. Kalau kita ingin memperluas jngkauan kehidupan beragama kita, harus pula kita terima perluasan ekspresi keseniaanya. Dengan kata lain, masa depan kehidupan bergama kita ditentukan juga antara lain oleh kemampuan informalisasi bentuk-bentuk kesenian yang dikaitkan dengan keislaman.
Tetapi di sini perlu diberi peringatan keras kepada bahaya munculnya akulturasi atau pembauran dalam penyampai pesan yang dibawakan kesenian itu sendiri. Setiap medium kesenian memilki kekhususannya sendiri, yang tidak dapat dibaurkan dengan aspek medium lain, tanpa membunuh ketulusan pesannya dan memupus keharuann yang ditimbulkannya. Shalawat Nabi dalam bahsa Arab misalnya memiliki aspek-aspek langgam (meters, ‘arudh) tersendiri, yang ditentukan oleh seni baca huruf dan tata bahasa Arab. Dengan demikian, akulturasi medium shalawat berbahasa Arab ini dengan memaksakan pelanggamannya dalam irama lagu setempat, akan merusak hakikat shalawat itu sendiri. Arti pesan lalu menjadi kabur, keharuan tidak didapat, lalu apakah yang dapat kita harapkan. Ekspresi bermain-main yang tidak memiliki ketulusan sama sekali.
Cara dan penetapan alat pengukuran keterlibatan seni dalam kehidupan beragama Islam di atas dapat membawa kita kepada hasil-hasil konkret di banyak bidang pembuat keputusan dan kebijakan, antara lain dalam hal-hal berikut: (1) perluasan jangkauan kegiatan lembaga-lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, yang terutama dalaam bidang seni sastra; (2) pematangan kegiatan lembaga-lembaga kkesenian Islam, dengan jalan memungkinkan mereka untuk “keluar dari sarang” dan masuk kegiatan kesenian yang selama ini tidak dianggap berhubungan dengan “kesenian Islam; (3) kemungkinan masuknya para pemikir budaya dan seniman yang selama ini di luar lingkungan “kesenian Islam” ke dalam pemekaran kesenian Islam itu sendiri; dan (4) lebih mudahnya mengungkapakan kaitan antara kesenian Islam dalam cakupannya yang baru dengan tuntutan hidup masyarakat modern yang semakin kompleks.
ABDURRAHMAN WAHID, Ketua Umum PBNU 1984-2000. Tulisan ini disajikan dalam diskusi Hari Ulang Tahun Sanggar Pravitasari, Jakarta, 31 Mei, 1979
Categories:
Tausyiyah
0 komentar :
Post a Comment