Benarkah Orang Baik Belum Tentu Masuk Surga ?
Posted by
Unknown
on
Wednesday, December 03, 2014
with
No comments
Apakah Bunda Theresa yang sepanjang usia nya dibaktikan untuk umat
miskin India harus masuk neraka? Apakah Paus Paulus II yang pernah
menjamu calon pembunuhnya dengan baik hingga si calon pembunuhpun
membatalkan rencana pembunuhan tersebut juga tak pantas masuk surga?
Apakah Mahatma Gandi yang secara lembut, sabar dan selalu menggunakan
jalan damai untuk membela kemerdekaan rakyat India juga harus masuk
neraka? Bagaimana pula dengan sebagian dari milyaran umat manusia non
Islam yang baik hati, apakah mereka harus masuk neraka dibanding
sebagian dari milyaran umat Islam tapi buruk perilakunya ?
Apakah Akhlak Menentukan Seseorang Masuk Surga atau Tidak ?
Ada satu jawaban yang singkat, jelas dan tegas untuk pertanyaan
tersebut yaitu, “kalau memang akhlak dijadikan patokan oleh Tuhan untuk
menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga, maka agama tidak
diperlukan lagi di muka bumi ini.”
Kalau memang akhlak kriteria utama menentukan masuk surga atau
tidaknya seseorang, maka untuk apa lagi agama, karena tanpa agama saja
orang bisa berbuat baik. Di negeri atheis seperti di Rusia, China, atau
di negeri sekuler seperti Eropa dan Amerika, ditemukan banyak orang yang
tak beragama tapi memiliki akhlak yang luar biasa baiknya. Tidak usah
jauh-jauh, pasti kita sering menemukan diantara teman atau tetangga kita
akhlaknya sangat baik, ia mengaku punya agama tapi tak pernah sholat
atau ke gereja, tapi nyatanya akhlaknya lebih baik dari umat Islam yang
rajin beribadah.
Sifat baik adalah fitrah yang diberikan Allah sejak kita didalam
kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah kecenderungan manusia untuk
berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas diberi oleh Allah
kecenderungan untuk bersifat buas, mereka akan tetap buas walaupun
manusia berusaha menjinakkannya. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri
yang membuat seorang manusia menjadi jahat dan berperilaku buruk.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Aku
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya. Dan
sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka
tersesat dari agama mereka.” (HR Muslim).
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau
yang buruk sesuai firman Allah: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan." (QS. Al-Balad: 10). “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya
jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS.
Al-Insaan 3).
Kemudian setan berusaha mengaburkan jalan yang benar sehingga jalan
yang baik oleh manusia dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar.
Allah swt. berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah : 216) : “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Namun tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk menyatakan bahwa
akhlak yang baik tidak penting, atau menjadi muslim yang berperilaku
buruk lebih baik daripada non-Islam yang baik hati. Tujuan tulian ini
agar kita menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut dari manusia sekedar
akhlak yang baik, tapi juga ada hal lain yang lebih utama dibanding
akhlak.Bahkan Akhlak Seorang Muslim Yang Baik Sekalipun Tidak Cukup Untuk Membuatnya Masuk Surga.
Saat Rasulullah saw. sedang thawaf. Rasulullah bertemu dengan
seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf
Rasulullah bertanya kepada anak muda itu: “Kenapa pundakmu itu?”
Jawab anak muda itu: “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai
seorang ibu yang sudah tua. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak
pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang
hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya
selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah,
apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang
tua?” Nabi saw. sangat terharu mendengarnya, sambil memeluk anak muda
itu ia berkata: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh,
anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan
terbalaskan oleh pengorbanan dan kebaikanmu”.
Dari hadist tersebut kita
mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita terhadap anaknya.
Kita merasa sudah cukup, tapi dalam perhitungan Allah nilai jasa kedua
orang tua pada anaknya jauh lebih besar nilainya dari yang dibayangkan
manusia. Pasti ada sesuatu perbuatan lain yang harus kita lakukan untuk
memperbanyak balas budi kita pada kedua orang tua kita. Diantaranya
dengan cara menjadi anak yang sholeh dan selalu mendoakan kedua orang tua
kita. Untuk membalas budi kedua orang tua saja kita tidak akan pernah
sanggup, apalagi membalas kebaikan Tuhan yang mengkaruniakan kita fitrah
kasih sayang pada kedua orang tua kita, yang mengkaruniakan kita mata
yang mampu melihat, telinga yang mampu mendengar, lidah yang mampu
merasakan kelezatan makanan, yang telah mengkaruniakan kita udara secara
gratis.
Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut dengan hadits
berikut ini. Rasulullah saw. pernah berkata, “Amal soleh yang kalian
lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat
bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulallah?”. Jawab Rasulullah : “Amal soleh sayapun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali
bertanya: “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?” Nabi kembali menjawab: “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan
kebaikan Allah semata”. Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita
kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan
rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah.
Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari
puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk
surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita
tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian dari rahmat Allah, kita
masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas? Yaitu bahwa perbuatan
baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan
tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak
dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka,
hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka.
Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.
Pertanyaan berikutnya adalah apa
syaratnya agar doa kita untuk memohon rahmat dan memohon ampunan Allah
bisa diterima ?
Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak semua orang diberi
ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan syarat utamanya
adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia harus
memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan
benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat
utama agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.
Apakah benar anggapan bahwa sifat Allah yang Maha Pengasih dan
Penyayang akan membuat Allah tidak mungkin (tega) menghukum orang yang baik hati?
Di akhirat kelak orang yang tidak beriman kepada Allah akan membawa
amal kebaikannya ke hadapan Allah, tapi kemudian Allah tidak
menerimanya, seperti tersebut dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 23,
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.
Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada majikannya, setiap
hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu
halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja diluar.
Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan
perilaku, sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada
atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan
akan memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat
anak-anak majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu
apa yang diinginkan sang majikan. Padahal jelas sang majikan sudah
menulis tata tertib dan uraian kerja pembantu rumah tangga, diantaranya
disebutkan bahwa kesopanan adalah syarat terpenting bekerja di rumah
majikan tersebut. Bahkan terkadang ia sombong dan keras hati serta
menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang berintelektual tinggi
seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang pembantu. Iapun
kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.
Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar doa, ampunan, amal dan
ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal Allah secara
baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba Allah
perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah
agar segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah
mengenal Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam
semesta ini, bahkan Ia telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia
melalui kitab-kitab suci dan ajaran nabi-Nya. Dengan mengenal Allah
secara baik kita akan tahu bahwa Allah sangatlah penyayang, demikian
sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak kesalahan kita yang
dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu berlebihan kalau
keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga yang luar
biasa nikmatnya. Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga akan
memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.
Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal manusia adalah
sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh akal
manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita
memahami Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah
satunya memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu
dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir,
dsbnya) agar fitrah manusia bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat
Allah dengan baik. Tanpa mengenal sifat Allah dengan baik maka sia-sialah akhlak baik, amal dan ibadah kita. Pengenalan yang baik terhadap Allah melalui cara-cara yang
diatur dalam Qur’an dan hadits, akan kita temukan bahwa Allah
mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya
diterima.
Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan Islam dengan agama
lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim, sedang
ibadah (syari'ah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak
adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan
diri seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak
pantas disebut seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam,
iapun belum sempurna untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang
bernama Muslim. Demikian pula, tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan
yang bernama Muslim ini belum utuh dan akan mudah rusak oleh hujan dan
panas. Muslim yang baik wajib memiliki ketiga syarat ini (aqidah, ibadah
dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun, dan harus sempurna.
Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila ibadah dan
akhlak buruk maka ia ‘mungkin’ masih berpeluang masuk surga setelah
dicuci dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang dicuci dulu, apalagi kekal, di neraka. Mumpung kita
masih hidup di dunia ini, semoga kita diberi ilmu oleh Allah swt
mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya kita tidak
menggampangkan diri untuk menganggap bahwa dicuci di neraka adalah
bukan masalah besar.
Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan.
Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Aqidah merupakan perbuatan hati,
yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Aqidah Islam
merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat
sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu
mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan
dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak
diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah swt. adalah
syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda
ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang
merugi.” (QS, Az-Zumar: 65).
Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya.
Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih
mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri. Aqidah
Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah swt.
dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya,
beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya,
hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang
sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara
yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari
Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an
dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah
adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah, setelah itu
baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam Al
Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali
ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang
menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami
sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu
agamanya. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan
dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya
dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan. Tanpa aqidah yang lurus
seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi
yang menyesatkan keimanan kita. Wallahu a’lam bish shawab.
Categories:
Tausyiyah
0 komentar :
Post a Comment