Profil Habib Naufal bin Muhammad al 'Aydrus
Posted by
Unknown
on
Thursday, December 18, 2014
with
No comments
Beliau; Habib Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus ~ الحبيب نوفل ابن محمّد العيدروس - akrab dipanggil Habib Novel atau Habib Noval – adalah
putra pertama pasangan Muhammad al ‘Aydrus dengan Luluk al Habsyi. Ia
merupakan alumnus SD dan SMP di Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro
Solo. Lulusan SMAN 2 Solo itu kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul
Lughah wad Dakwah yang terletak di Desa Raci, Pasuruan, Jatim.
“Saya sebenarnya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya tidak mendapatkan izin Ibu. Beliau tidak ingin saya pergi jauh darinya. Akhirnya saya berangkat ke Pesantren Darul Lughah
wad Dakwah. Pesantren tersebut diasuh oleh almarhum Ustad Hasan
Baharun,” terang suami Fatimah Qonita itu.
Ayahanda Ahmad Anis, Nur’aliyah dan ‘Ali
‘Abdul Qadir tersebut mengatakan ibunya hanya mengizinkan dirinya
belajar di pesantren tersebut selama enam bulan. Ditambah masa percobaan
satu bulan, akhirnya Habib Novel menjadi santri selama 7 bulan.
Sulung dari tiga bersaudara itu sama
sekali belum mengenal kehidupan pesantren dan bahasa Arab. Habib Novel
pun berusaha untuk mempelajari bahasa Arab dengan sebaik-baiknya. Sebab,
almarhum kakeknya, Habib Ahmad bin Abdurrahman al ‘Aydrus yang tinggal
di Kudus, pernah berkata, ”Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, maka
kamu telah menguasai setengah ilmu.”
“Setiap hari saya paksakan diri saya
untuk menghapalkan kurang lebih 90 kata kerja. Di atas tempat tidur,
kamus kata kerja hampir tidak pernah berpisah dengan diri saya.
Alhamdulillah, dalam waktu dua bulan saya sudah dapat bercakap-cakap
dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Sepulang dari Pesantren Darul Lughah wad
Dakwah, Habib Novel kembali melanjutkan kebiasaannya semasa di Solo
yaitu senang pergi ke Masjid Riyadh. Sejak kelas 2 SD dia telah akrab
dengan Masjid Riyadh. Dahulu, setiap hari, menjelang maghrib, Habib
Novel biasa berjalan kaki menuju Masjid Riyadh untuk Salat Maghrib,
mengikuti tadarus al Quran, pembacaan Ratib dan Salat Isya berjamaah.
Hal itu dilakukannya bertahun-tahun hingga sebelum ke pesantren. Dia
mengaku pembacaan Maulid Simtud Durar setiap malam Jumat adalah ruhnya.
Begitu kembali di Solo, Habib Novel segera mengikuti pengajian umum yang
diselenggarakan Habib Anis. Setiap hari sejak 1995 hingga beliau wafat
dia belajar di sana.
“Habib Anis menyebut saya sebagai muridnya. Bagi saya itu menjadi sebuah kebahagiaan,” tambahnya.
Penulis buku Mana Dalilnya itu merasakan
manfaat besar dari mengikuti majelis di Masjid Riyadh. Kini, Habib
Novel menjadi penceramah, penterjemah dan penulis. Semua itu tidak
terlepas dari peran Habib Anis.
Habib Novel bersyukur Allah
memperkenankannya menyampaikan ilmu Nabi Muhammad. Dia berdakwah dari
satu masjid ke masjid yang lain, dari satu kantor ke kantor yang lain
dan dari satu rumah ke rumah yang lain.
Ke depan Habib Novel ingin ada Aswaja
Call Center sebagai tempat bertanya bagi masyarakat tentang berbagai
persoalan. Sehingga orang tidak bingung ketika memiliki permasalahan
tentang agama. Untuk mendukung itu, perlu ustad yang kompeten dan
referensi. Selain itu, jika ada operator nakal supaya segera ditindak.
Keinginan Habib Novel lainnya yaitu
adanya sebuah masjid di Jl Slamet Riyadi. Dia sudah menyampaikan kepada
Walikota dan tokoh-tokoh sderta orang-orang yang punya uang agar ada
masjid di Jl. Slamet Riyadi. “Sungguh sangat disayangkan, di Solo, umat
Islam adalah terbesar jumlahnya. Tapi di sepanjang jalan protokol di
perkotaan tidak ada masjid. Yang ada masjid sekolahan. Masjid Agung
memang sudah ada tapi aksesnya sulit dan keindahannya ditutupi banyak
bangunan,” papar lelaki yang pernah menjajakan susu sapi segar dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Categories:
Tokoh Islam
0 komentar :
Post a Comment