Amal Disesuaikan Pada Maqomnya
Posted by
Unknown
on
Sunday, February 15, 2015
with
1 comment
KH. Bisri Mustofa |
"Setiap orang punya maqom. Dan dalam setiap maqom, skala prioritas amalnya berbeda dari maqom lainnya", demikian ajaran Kiyai Bisri Mustofa.
Bagi orang yang maqomnya 'alim,
yaitu telah (relatif) sempurna pengetahuannya tentang (syari'at) agama,
mengajar adalah amal paling utama baginya. Yang maqomnya muta'allim (pelajar): ya belajar. Yang maqomnya mutaharrif,
yaitu orang yang mempunyai tanggungan nafkah tapi tidak bisa memperoleh
penghasilan kecuali dengan bekerja setiap harinya, bekerja (mencari
nafkah) adalah amal paling utama baginya.
Pada mulanya,
Kiyai Ma'shum rahimahullah, ayahanda Kiyai Ali Ma'shum, berdagang secara
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan jadwal yang
tetap. Demikian dikisahkan dalam buku biografi beliau, karya M. Luthfi Thomafi. Diantara langganannya adalah pasar-pasar di Cirebon, Demak dan Jombang.
Di setiap kota itu Kiyai Ma'shum membagi waktu. Usai berdagang di
pasar, sejumlah santri telah menunggunya di masjid, untuk memperoleh
pengajaran berbagai kitab darinya.
Bertahun-tahun beliau
menekuni pola kegiatan itu, dengan maksud menjaga keseimbangan antara
mencari nafkah dan mengajarkan ilmu. Sampai akhirnya Kanjeng Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang di salah satu
mimpinya dan memerintahkannya berhenti berdagang untuk kemudian
membangun pesantren dan mengkhususkan diri dengan mengajarkan ilmu saja.
Kiyai Ma'shum patuh. Pesantren dibangunnya di Desa Soditan, Lasem,
kemudian berhenti berdagang sama sekali dan menghabiskan seluruh
waktunya untuk mengajar.
Kiyai Abdul Wahab Husain
rahimahullah sudah punya tanggungan santri yang cukup banyak di
pesantrennya di desa Kauman, Sulang, Rembang. Tapi Kiyai Wahab tetap
menekuni pekerjaannya sebagai polangan (pedagang) kambing.
Menjelajahi desa-desa untuk membeli kambing-kambing petani adalah
pekerjaan beliau sehari-hari. Pada hari pasaran, sendiri pula beliau
menggiring kambing-kambing itu ke pasar hewan.
Hari itu,
dengan topi laken khas polangan dan pecut di tangan, Kiyai Wahab
menggiring kambing-kambingnya menyusuri jalan raya. Susah payah ia jaga
agar kambing-kambing itu tidak melantur terlalu ke tengah, walaupun
jalan raya agak sepi. Tiba-tiba sebuah mobil yang berjalan lambat-lambat
dari arah belakang melintasinya. Kurang ajarnya, mobil itu malah
sengaja menerjang barisan kambing-kambingnya sehingga kocar-kacir tak
karuan. Sudah tentu Kiyai Wahab kaget, kelabakan, dan berang bukan alang
kepalang! Apalagi mobil itu malah lantas berhenti tidak jauh darinya,
seolah menantang!
Di kursi belakang terlihat ada seorang penumpang, tapi kurang jelas karena kacanya gelap. Kiyai Wahab yang jadhug lagi
berangasan tak memperdulikan lagi kambing-kambingnya. Dengan penuh
amarah ia hampiri jendela disamping penumpang itu. Ia yakin, itu boss,
yang punya mobil. Digebraknya atap mobil dengan garang, sekalian
melampiaskan kekesalan.
Kaca jendela diturunkan, dan
sebuah kepala melongok keluar. Bukan main kagetnya Kiyai Wahab. Ternyata
orang itu adalah... Kiyai Bisri! Gurunya sendiri!
"Sudah jadi kiyai punya pondok kok santrinya ditinggal polangan wedhus", kata Kiyai Bisri, "pulang sana!" (Terong Gosong)
Categories:
Hikmah
1 komentar :
Izin co pas ya mas..
Post a Comment