Model Ideal Kyai Indonesia
Posted by
Unknown
on
Thursday, February 05, 2015
with
No comments
Oleh: A. Mustofa Bisri
Bila Hadlratussyeikh KH. M Hasyim
Asy’ari (kelahiran 1871), KH. Abdul Wahab Hasbullah (kelahiran 1888),
KH Bishri Sansuri (kelahiran 1886), dan kyai-kyai seangkatan mereka
pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kita sebut generasi NU angkatan
pertama, maka generasi berikutnya–katakanlah generasi kedua—merupakan
generasi penerus yang benar-benar pewaris sikap dan perjuangan para
pendahulunya. Angkatan kedua ini paling tidak mewarisi keikhlasan sikap
dan perjuangan angkatan sebelumnya. Pemahaman yang dalam dan kekokohan
memegang ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sekaligus kecintaan
kepada tanah air Indonesia. (KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah
seorang pendiri NU berkata,“Berdirinya NU adalah untuk menegakkan
syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengajak bangsa
ini untuk cinta kepada tanah airnya.”)
Generasi kyai NU pertama yang
mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; benar-benar berhasil mencetak
generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu dan mengamalkan akhlak
luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. Pemimpin-pemimpin
Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang tinggi.
Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar
ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki
kesinambungan ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi
sebelumnya, merasakan pahit-getirnya perjuangan membela tanah air
melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).
KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim.
Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.
Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab (Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.
Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri –bahasa negeri singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai- tiba-tiba sikap mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya sendiri.
Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).
KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim.
Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.
Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab (Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.
Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri –bahasa negeri singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai- tiba-tiba sikap mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya sendiri.
Categories:
Tausyiyah
0 komentar :
Post a Comment