Kesabaranku Diuji Dengan 4 Nyawa
Posted by
Unknown
on
Friday, February 20, 2015
with
No comments
Hidup ini memang ujian. Seperti apa pun warna hidup yang Allah berikan
kepada seorang hamba, tak luput dari yang namanya ujian.
Bersabarka h sang hamba, atau menjadi
kufur dan durhaka.
Dari sudut pandang teori, semua orang yang beriman mengakui itu. Sangat
memahami bahwa susah dan senang itu sebagai ujian. Tapi, bagaimana jika ujian
itu berwujud dalam kehidupan nyata. Mampukah?
Waktu itu, Allah mempertemu kan jodoh Khairiyah dengan seorang pemuda yang
belum ia kenal. Perjodohan itu
berlangsun g melalui sang kakak yang
prihatin dengan adiknya yang belum juga menikah. Padahal usianya sudah nyaris
tiga puluh tahun.
Bagi Khairiyah,
pernikahan merupakan pintu ibadah yang
di dalamnya begitu banyak amal ibadah yang bisa ia raih. Karena itulah, ia tidak
mau mengawali pintu itu dengan sesuatu yang tidak diridhai Allah.
Ia sengaja memilih pinangan melalui sang kakak karena dengan cara belum
mengenal calon itu bisa lebih menjaga keikhlasan untuk memasuki jenjang
pernikahan . Dan
berlangsun glah
pernikahan yang tidak dihadiri
ibu dan ayah Khairiyah. Karena,
keduanya memang sudah lama dipanggil Allah ketika Khairiyah masih sangat
belia.
Hari-hari berumah tangga pun dilalui Khairiyah dengan penuh bahagia.
Walau sang suami hanya seorang sopir di sebuah perusahaan pariwisata , ia merasa cukup dengan yang ada.
Keberkahan di rumah tangga
Khairiyah pun mulai tampak. Tanpa ada jeda lagi, Khairiyah langsung hamil. Ia
dan sang suami pun begitu bahagia. "Nggak lama lagi, kita punya momongan, Bang!"
ujarnya kepada sang suami.
Mulailah hari-hari ngidam yang merepotkan pasangan baru ini. Tapi buat
Khairiyah, semuanya berlalu
begitu menyenangk an.
Dan, yang ditunggu pun datang. Bayi pertama Bu Khairiyah lahir. Ada
kebahagiaa n, tapi ada juga
kekhawatir an.
Mungkin, inilah kekhawatir an
pertama untuk pasangan ini. Dari sinilah, ujian berat itu mulai bergulir.
Dokter menyatakan bahwa bayi
pertama Bu Khairiyah prematur. Sang bayi lahir di usia kandungan enam bulan. Ia
bernama Dina.
Walau dokter mengizinka n Dina pulang bersama ibunya, tapi harus terus
berobat jalan. Dan tentu saja, urusan biaya menjadi tak
terelakkan untuk seorang suami Bu
Khairiyah yang hanya sopir.
Setidaknya , dua kali
sepekan Bu Khairiyah dan suami mondar-man dir ke dokter untuk periksa Dina. Kadang karena
kesibukan suami, Bu Khairiyah mengantar Dina sendirian.
Beberapa bulan kemudian, Allah memberikan kabar gembira kepada Bu
Khairiyah. Ia hamil untuk anak yang
kedua.
Bagi Bu Khairiyah,
harapan akan hiburan dari anak kedua mulai berbunga. Biarlah anak pertama yang
menjadi ujian, anak kedua akan menjadi pelipur lara. Begitulah kira-kira
angan-anga n Bu Khairiyah dan
suami.
Dengan izin Allah, anak kedua Bu Khairiyah lahir dengan selamat. Bayi
itu pun mempunyai nama Nisa. Lahir di saat sang kakak baru berusia satu tahun.
Dan lahir, saat sang kakak masih tetap tergolek layaknya pasien
berpenyaki t dalam. Tidak bisa
bicara dan merespon. Bahkan, merangkak dan duduk pun belum mampu. Suatu
ketidaklaz iman untuk usia bayi satu
tahun.
Beberapa minggu berlalu setelah letih dan repotnya Bu Khairiyah
menghadapi
kelahiran. Allah
memberikan tambahan ujian kedua
buat Bu Khairiyah dan suami. Anak keduanya, Nisa, mengalami penyakit aneh yang
belum terdeteksi ilmu
kedokteran . Sering panas dan
kejang, kemudian normal seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu
seterusnya .
Hingga di usia enam bulan pun, Nisa belum menunjukka n perkembang an normal layaknya seorang bayi. Ia mirip kakaknya
yang tetap saja tergolek di pembaringa n. Jadilah Bu Khairiyah dan suami kembali
mondar-man dir ke dokter dengan dua
anak sekaligus.
Di usia enam bulan Nisa, Allah memberikan kabar gembira untuk yang ketiga kalinya buat Bu
Khairiyah dan suami. Ternyata, Bu Khairiyah hamil.
Belum lagi anak keduanya genap satu tahun, anak ketiga Bu Khairiyah
lahir. Saat itu, harapan kedatangan sang pelipur lara kembali muncul. Dan anak
ketiganya itu bayi laki-laki. Namanya,
Fahri.
Mulailah hari-hari sangat merepotkan dilakoni Bu Khairiyah. Bayangkan, dua anaknya belum terlihat
tanda-tand a
kesembuhan , bayi ketiga pun ikut
menyita perhatian sang ibu.
Tapi, kerepotan itu masih terus tertutupi oleh harapan Bu Khairiyah dengan
hadirnya penghibur Fahri yang mulai berusia satu bulan.
Sayangnya, Allah
berkehenda k lain. Apa yang
diangankan Bu Khairiyah sama
sekali tidak cocok dengan apa yang Allah inginkan. Fahri, menghidap penyakit
yang mirip kakak-kaka knya. Ia
seperti menderita kelumpuhan .
Jadilah, tiga bayi yang tidak berdaya menutup seluruh celah waktu dan
biaya Bu Khairiyah dan suami. Hampir semua barang berharga ia jual untuk
berobat. Mulai dokter, tukang urut, herbal, dan lain-lain. Tetap saja, perubahan belum nampak di anak-anak Bu
Khairiyah.
Justru, perubahan muncul pada suami tercinta. Karena sering kerja
lembur dan kurang istirahat, suami Bu
Khairiyah tiba-tiba sakit berat. Perutnya buncit, dan hampir seluruh kulitnya
berwarna kuning.
Hanya sekitar sepuluh jam dalam perawatan rumah sakit, sang suami
meninggal dunia. September tahun 2001 itu, menjadi titik baru
perjalanan Bu Khairiyah dengan
cobaan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya . Dan, tinggallah sang ibu menghadapi rumitnya kehidupan bersama tiga balita yang
sakit, tetap tergolek, dan belum memperliha tkan tanda-tand a kesembuhan .
Tiga bulan setelah kematian suami, Allah menguji Bu Khairiyah dengan
sesuatu yang pernah ia alami sebelumnya . Fahri, si bungsu, ikut pergi untuk selamanya.
Kadang Bu Khairiyah tercenung dengan apa yang ia lalui. Ada sesuatu yang
hampir tak pernah luput dari hidupnya, air mata.
Selama sembilan tahun mengarungi rumah tangga, air mata seperti tak pernah
berhenti menitik di kedua kelopak mata ibu yang lulusan 'aliyah ini. Semakin
banyak sanak kerabat berkunjung dengan
maksud menyudahi tetesan air mata itu, kian banyak air matanya mengalir. Zikir
dan istighfar terus terucap bersamaan tetesan air mata itu.
Bu Khairiyah berusaha untuk berdiri sendiri tanpa menanti belas kasihan
tetangga dan sanak kerabat. Di sela-sela kesibukan mengurus dua anaknya yang
masih tetap tergolek, ia berdagang makanan. Ada nasi uduk, pisang goreng,
bakwan, dan lain-lain.
Pada bulan Juni 2002, Allah kembali memberikan cobaan yang mungkin menjadi klimaks dari
cobaan-cob aan
sebelumnya .
Pada tanggal 5 Juni 2002, Allah memanggil Nisa untuk
meninggalk an dunia buat
selamanya. Bu Khairiyah menangis.
Keluarga besar pun berduka. Mereka mengurus dan mengantar Nisa pergi untuk
selamanya.
Entah kenapa, hampir tak satu pun sanak keluarga Bu Khairiyah yang
ingin kembali ke rumah masing-mas ing.
Mereka seperti ingin menemani Khairiyah untuk hal lain yang belum mereka
ketahui.
Benar saja, dua hari setelah kematian Nisa, Nida pun menyusul. Padahal, tenda
dan bangku untuk sanak kerabat yang datang di kematian Nisa belum lagi
dirapikan.
Inilah puncak dari ujian Allah yang dialami Bu Khairiyah sejak
pernikahan nya.
Satu per satu, orang-oran g yang sebelumnya tak ada dalam hidupnya, pergi untuk
selamanya.
Orang-oran g yang begitu ia
cintai. Dan akhirnya menjadi orang-oran g yang harus ia lupai.
Kalau hanya sekadar air mata yang ia perlihatka n, nilai cintanya kepada
orang-oran g yang pernah
bersamanya seperti tak punya nilai
apa-apa.
Hanya ada satu sikap yang ingin ia perlihatkan agar semuanya bisa bernilai tinggi. Yaitu,
sabar. "Insya Allah, semua itu menjadi tabungan saya buat tiket ke surga," ucap
Bu Khairiyah.
Sumber: Eramuslim.
Categories:
Hikmah
0 komentar :
Post a Comment