Bolehkah Shalat 3 Waktu Sehari-Hari Dengan Alasan Jamak?

Posted by Unknown on Friday, February 20, 2015 with No comments
Stiker shalat 3 waktu
Akhir-akhir ini banyak tersebar stiker yang menghimbau untuk shalat 3 waktu dalam sehari.  Jujur saja, stiker ini mungkin sangat meresahkan ummat dan sebenarnya tidak patut untuk diedarkan. Karena shalat 3 waktu ini, akan menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama para kaum yang sangat mudah terprovoksi oleh stiker yang beredar tersebut.

Mungkin stiker itu maksudnya adalah boleh menjama’ shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya karena alasan pekerjaan seperti  pegawai, sopir, tukang becak, dan buruh tani.

Apakah patut untuk menjadi kebiasaan para pekerja seperti  tukang becak, petani, dll adalah shalat 3 waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?

Sebenarnya pertanyaan ini “patut ataukah tidak” sangat mudah dijawab oleh seorang muslim yang masih ta’at kepada Allah. Mengapa? Karena orang muslim yang ta’at, dia akan mendahulukan perkara Rabbnya dari perkara dirinya sendiri. Tentu seorang muslim yang ta’at tidak akan lalai dari waktu shalat hanya karena alasan pekerjaan. Firman Allah ta’ala:

 إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban atas kaum mukminin yang telah ditentukan waktunya.”  (QS. An-Nisa: 103)

Allah juga berfirman:

رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ

“Dan orang-orang yang mana perdagangan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari dzikir kepada Allah dan dari menegakkan shalat dan menunaikan zakat.” (QS.An-Nur: 37)

Jadi kurang tepat jika sebuah alasan kesibukan suatu profesi pekerjaan sampai menjadika lalai atau bahkan meninggalkan shalat, meskipun nantinya akan dikerjakan dengan cara dijamak.

Apa bisa disamakan hukum menjamak shalat karena alasan pekerjaan dengan udzur syari’ seperti udzur safar, udzur hujan, dan udzur keadaan yang mendesak seperti sakit?

Jawabannya adalah tidak bisa. Hal tersebut karena pekerjaan bukanlah sebab atau udzur untuk menjama’ shalat. Dan ini adalah yang dipegang oleh para ulama. 

Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah mewanti-wanti pekerjanya untuk tidak bermudah-mudahan menjama’ shalat tanpa adanya udzur. Disebutkan dalam Sunan Al-Kubra Imam Baihaqi:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ: " ثَلَاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِلَّا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْب

Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menulis surat kepada pegawainya: “3 perkara termasuk dosa besar adalah menjama’ shalat kecuali adanya udzur, dan lari dari peperangan, dan perampokan” (HR Baihaqi)

Hak tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ

“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:

وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ

“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)

Bagaimana dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaiahi wa sallam yang menjama’ shalat bukan karena peperangan, hujan, dan safar? 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar,  antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan.” (HR. Muslim)

Ibnu Abbas berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ 

“Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat  shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” (HR. Bukhari Muslim)

Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seakan-seakan menjama’ shalat padahal tidak. Rasulullah tetap melaksanakan masing-masing shalat pada waktunya. Jadi hal ini adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ sebenarnya. “Seakan-akan Rasulullah menjama’”.

Imam Syaukani Rahimahullah berkata:

وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ

Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)

Riwayat hadis sempurnnya adalah:

جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر وفي رواية: وَلَا سَفَرٍ فقيل لابن عباس: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar,  antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan. Dalam sebuah riwayat: tanpa melakukan safar. Maka ditanya kepada Ibnu Abbas mengenai hal itu, maka dia menjawab: Yang Nabi inginkan adalah agar tidak memberatkan seseorang dari ummatnya”. (HR. Muslim)

Jadi, tatkala kita sedang dalam keadaan yang berat dan mendesak, maka kita boleh untuk menjama’ shalat karena Rasul tidak ingin memberatkan ummatnya. Akan tetapi kalau kita tidak berada dalam keadaan yang berat dan mendesak maka tidak boleh bagi kita untuk menjama’ shalat.

Abdurrahman bin Muhammad Al-Hanbali rahimahullah berkata:

ودل الحديث بفحواه على الجمع للمرض والمطر والخوف، وإنما خولف ظاهر منطوقه في الجمع لغير عذر للإجماع، وأخبار المواقيت

“Dan hadits ini dengan kandungannya menunjukkan akan bolehnya menjama’ shalat karena sakit, hujan dan keadaan genting. Dan seseungguhnya berbeda dari dzahir apa yang diucapkan mengenai menjama’ shalat tanpa ada udzur karena adanya ijma’ (keharaman menjama’ shalat tanpa ada udzur) dan karena ada hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat yang sudah ditentukan” Hasyiah Ar-Raud Al-Murbi’ 2/399

Maka jika kita dalam keadaan terdesak seperti sakit, maka boleh bagi kita untuk menjama’ shalat sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Bedakan keadaan mendesak dengan keadaan malas. Janganlah mencari-cari alasan untuk menyamakan antara keadaan mendesak dengan pekerjaan agar bisa menjama shalat hanya karena rasa malas. Banyak dan sangat banyak dari pegawai muslim atau pedagang muslim atau petani muslim yang selalu dan bisa menjaga waktu shalatnya tanpa mencari-cari alasan. Kalau mereka saja bisa untuk menempatkan waktu shalat pada tempatnya tanpa mencari-cari alasan, mengapa kita tidak bisa? Banyak waktu yang kita miliki dan apa mungkin bagi kita yang berakal untuk mendahulukan pekerjaan dari pada perintah Allah?

Maka, jangan gara-gara rasa malas kita memainkan syari’at Allah ta’ala. Karena kita akan terjatuh di dalam 2 kategori dosa: 1- Malas shalat pada waktunya. 2- Memainkan syari’at Allah. Waallahu a’lam.
Categories: