Shalat Dhuha

Posted by Unknown on Monday, February 02, 2015 with No comments
Sebelum kita membahas lebih dalam tentang Shalat Dhuha ini, ada baiknya kita pecahkan dulu perbedaan pandangan tentang shalat-shalat yang dikaitkan dengan shalat Dhuha, yaitu shalat Awwabin dan shalat Isyraq. 

Mengapa hal itu perlu kita bahas?
Karena di tengah khalayak muslim memang terdapat perbedaan pandangan dalam masalah ini, yaitu apakah Shalat Awwabin dan Shalat Isyrak itu adalah Shalat Dhuha, ataukah kedua shalat itu shalat tersendiri yang terpisah dari Shalat Dhuha?

1. Shalat Dhuha

Kata dhuha (ضحى) dalam bahasa Arab mengacu kepada keadaan waktu sesaat setelah matahari terbit hingga menjelang tengah hari. Dan kata dhaha' (ضحاء) berarti keadaan waktu sejak dari matahari berada 1/4 langit hingga sesudahnya. Sedangkan para ulama fiqih sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyatu Ibnu Abidin bahwa waktu dhuha adalah sejak matahari mulai meninggi hingga sampai zawal.[1]

2. Shalat Awwabin

Ada dua pendapat yang berkembang di tengah umat Islam tentang jati diri Shalat Awwabin.

a. Jumhur Ulama : Shalat Dhuha

Pendapat pertama adalah apa yang dikatakan oleh Jumhur ulama bahwa Shalat Awwabin itu tidak lain adalah shalat Dhuha. Satu objek tapi beda nama dan penyebutan.
Dasar pendapat ini adalah hadits berikut ini : 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَال : أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ : أَنْ لاَ أَنَامَ إِلاَّ عَلَى وِتْرٍ ، وَأَنْ لاَ أَدَعَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلاَةُ الأَْوَّابِينَ

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata, "Aku telah diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk tidak meninggalkan tiga perkara : Tidak tidur kecuali setelah Shalat Witir, tidak meninggalkan dua rakaat Shalat Dhuha karena itu adalah shalat awwabin, dan tidak meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan. (HR. Al-Bukhari)

b. Asy-Syafi'iyah : Dhuha dan Sunnah Sesudah Maghrib

Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa Shalat Awwabin tidak hanya terbatas pada Shalat Dhuha saja, tetapi juga didapat keterangan bahwa ada shalat sunnah yang dianjurkan utnuk dikerjakan sesudah shalat Maghrib. Dan shalat ini disebut-sebut sebagai Shalat Awwabin.Dasarnya adalah hadits Nabi SAW berikut ini : 

مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ عَدَلْنَ لَهُ عِبَادَةَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً

"Siapa yang mengerjakan shalat sunnah setelah Maghrib enam rakaat, tanpa berbicara yang buruk di antaranya, maka hal itu setara baginya dengan ibadah dua belas tahun." (HR. Tirmizdi) 

Al-Mawardi berkata bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat enam rakaat sunnah setelah shalat Maghrib dan mengatakan bahwa shalat itu adalah Shalat Awwabin. 

هَذِهِ صَلاَةُ الأْوَّابِينَ

"Ini adalah Shalat Awwabin" (HR. Thabrani) 

Maka dalam Mazhab Asy-Syafi'iyah kemudian dikatakan bahwa Shalat Awwabin itu bukan hanya shalat sunnah enam rakaat setelah Maghrib, tetapi termasuk di dalam Shalat Awwabin itu juga Shalat Dhuha, karena hadits-hadits tentang Shalat Dhuha disebut sebagai Shalat Awwabin juga shahih.

3. Shalat Isyraq

Istilah isyraq (إشراق) berasal dari kata syariqa (شرق) yang artinya terbit. Jadi maksudnya shalat ini adalah shalat sunnah yang terkait dengan terbitnya matahari. Namun apakah shalat ini merupakan nama lain dari Shalat Dhuha atau shalat tersendiri di luar shalat Dhuha, kita dapati dalam beberapa kitab para ulama agak sedikit ada perbedaan.

a. Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha

Al-Mahalli di dalam Minhajut-Thalibin menyebutkan sebagai berikut : 

قَال الْقَلْيُوبِيُّ تَعْلِيقًا عَلَى قَوْلِهِ : ( الضُّحَى ) هِيَ صَلاَةُ الأْوَّابِينَ وَصَلاَةُ الإْشْرَاقِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ عِنْدَ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ وَشَيْخِنَا الزِّيَادِيِّ

"Al-Qalyubi berkata mengomentari perkataannya (Adh-Dhuha) adalah Shalat Awwabin dan Shalat Isyraq, menurut pendapat yang mu'tamad dalam pandangan guru kita, Ar-Ramli dan Az-Ziyadi."
Disini dijelaksan bahwa Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha dan juga Shalat Awwabin.

b. Shalat Isyraq Bukan Shalat Dhuha

Pendapat yang agak berbeda kita temukan dalam karya fenomenal Al-Imam Al-Ghazali rahimahulllah. Disana dituliskan pendapat beliau yang menyebutkan bahwa Shalat Isyraq bukan Shalat Dhuha, meski waktunya sangat berdekatan. Beliau mengatakan bahwa waktu shalat Isyraq ini sejak matahari terbit, yaitu sejak terlewatnya waktu yang dilarang untuk melakukan shalat.[2]

B. Pensyariatan

Dasar pensyariatannya ada beberapa hadits nabawi, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini : 

عَنْ عَائِشَةَ t قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata, "Rasulullah SAW pernah shalat dhuha 4 rakaat dan beliau menambahkannya sesuai apa yang Allah kehendaki." (HR. Muslim) 

عَنْ أَبِي هُرَيرَة t قَالَ : أَوْصَانيِ خَليِليِ بِثَلاَثٍ : صِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَي الضُّحَى وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Beliau berwasiat kepadaku untuk mengerjakan 3 hal: puasa 3 hari tiap bulan, 2 rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur." (HR. Muttaqun 'alaihi)

C. Hukum Shalat Dhuha

Meski pun berbeda-beda dalam menetapkan hukum shalat Dhuha, namun para ulama sepakat bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang mewajibkan shalat Dhuha. Artinya, hukum Shalat dhuha berhenti kepada sunnah muakkadah, mustahab atau yang di bawahnya lagi. Intinya mereka sepakat bahwa Shalat Dhuha adalah salah satu shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sebagai shalat tambahan. Kalau kita urutkan dari yang paling menganjurkan, maka kurang lebih perbedaan pendapat di antara para ulama sebagai berikut:

1. Sunnah Muakkadah

Yang paling tinggi dari pendapat para ulama tentang hukum Shalat Dhuha adalah sunnah muakkadah. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah. Alasannya karena Rasulullah SAW dalam pandangan mereka merutinkan shalat ini, atau setidaknya berwasiat untuk merutinkannya.

2. Sunnah

Satu level di bawah dari sunnah muakkadah adalah sunnah. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini antara lain Abul Khattab. Beliau mengatakan bahwa dianjurkan untuk merutinkan shalat Dhuha meski hukumnya hanya sunnah. Alasannya ada beberapa faktor, diantaranya adalah :
- Karena Rasulullah SAW berwasiat kepada kita untuk melakukannya sebagaimana hadits Abu Hurairah ra di atas.
- Selain itu mereka juga mengatakan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang dilakukan secara rutin meski hanya sedikit. Sehingga meski Rasulullah SAW sendiri tidak melakukannya bukan berarti tidak dianjurkan untuk melakukannya secara rutin.
- Mereka juga mengajukan sebuah hadits meskipun menjadi bahan kritik ahli hadits, yaitu :
Siapa yang memelihara untuk mengerjakan shalat Dhuha, maka dosa-dosanya akan diampuni meski seperti buih di laut.
At-Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan: Aku tidak mengenal hadits ini kecuali hanya melalui An-Nahas bin Qahm.

3. Bukan Mustahab

Sedangkan sebagian ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa tidak termasuk mustahab untuk selalu menunaikan shalat Dhuha. Alasannya ada beberapa hal, diantaranya adalah :
· Karena Rasulullah SAW dahulu semasa hidupnya tidak melakukannya secara rutin. Sehingga tidak ada anjuran bagi kita untuk melakukannya secara rutin juga.
· Bila amal sunnah dilakukan secara rutin akan menimbulkan kemiripan dengan shalat wajib. Sehingga hal ini akan menyalahi hukum dasarnya.
· Mereka juga mengungkapkan hadits dari Aisyah ummul mukminin radhiyallahuanha

عَنْ عَائِشَةَ tقَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يُصَلِّي سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ

"Dari Aisyah ra berkata,"Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW shalat Dhuha." (HR. Muttafaqun 'alaihi)

D. Jumlah Rakaat

1. Jumlah Minimal

Jumhur ulama sepakat bahwa minimal jumlah rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat.

2. Jumlah Maksimal

Namun mereka tidak sepakat ketika menentukan batas maksimalnya. Ada yang berpendapat bahwa bilangan rakaatnya delapan dan ada yang mengatakan duabelas.

a. Delapan Rakaat

Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa maksimal jumlah rakaat shalat dhuha adalah 8 rakaat. Dalilnya adalah hadits berikut ini : 

عَنْ عَائِشَةَ  قَالَتْ: دَخَلَ النَّبِيُّ  بَيْتِي فَصَلَّى الضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ

"Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahku dan shalat dhuha 8 rakaat." (HR Abu Daud)
Al-Malikiyah memakruhkan bila jumlah bilangan rakaat shalat dhuha itu melebihi 8 rakaat, seraya menyebutkan bahwa yang merupakan pertengahan adalah 6 rakaat.[3]

b. Duabelas Rakaat

Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah dalam wajh yang marjuh, serta salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, menyebutkan bahwa maksimal rakaat shalat dhuha adalah 12 rakaat. Mereka berangkat dari dalil berikut ini : 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  مَنْ صَلَّى الضُّحَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْرًا فِي الجَنَّةِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

"Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda,"Siapa yang melakukan shalat dhuha 12 rakaat, maka Allah telah membangunkan untuknya istana di surga." (HR. Tizmidzi) 

Meskipun hadits ini dianggap dhaif oleh At-Tirmidzi, namun Ibnu Abidin mengatakan bahwa para ulama menyepakati tentang hadits dhaif yang boleh digunakan untuk keutamaan ibadah.[4]
  
E. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
 
Sedangkan untuk shalat dhuha adalah waktu dhuha sesuai dengan namanya. Dan batasannya adalah mulai matahari sebatas tombak dan berakhir ketika tergelincirnya di cakrawala (tengah hari). Dalilnya adalah hadits berikut 

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ: صَلاةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الفِصَالُ - رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

"Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu anha berkata bahwa, Nabi SAW bersabda, "Shalat awwabin (duha) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi).

F. Ayat Yang Dianjurkan Untuk Dibaca

Di dalam beberapa literatur kitab fiqih, kita menemukan para ulama menuliskan tentang ayat apa saja yang dianjurkan untuk dibaca pada saat kita Shalat Dhuha.

1. Asy-Syams dan Adh-Dhuha

Ibnu Abidin di dalam Hasyiyah menyebutkan bahwa dianjurkan membaca surat Asy-Syams (والشمس وضحاها) dan surat Adh-Dhuha (والضحى والليل إذا سجى) dalam shalat Dhuha. Dalam kitab itu diterangkan bahwa anjuran ini tetap berlaku meski pun shalat Dhuha dilakukan berkali-kali. Sehingga kedua surat itu dibaca berulang kali. Dasarnya adalah hadits yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari. [5]

أَمَرَنَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُصَلِّيَ الضُّحَى بِسُوَرٍ مِنْهَا : وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَالضُّحَى

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk shalat Dhuha dengan membaca (wasy-syamsi wa dhuhaha) dan (wadh-dhuha).

2. Al-Kafirun dan Al-Ikhlas

Di dalam kitab Nihayatul Muhtaj disebutkan bahwa dianjurkan kita dalam shalat Dhuha untuk membaca dua surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Bahkan disebutkan bahwa kedua surat ini lebih afdhal untuk dibaca ketimbang surat Asy-Syams dan Adh-Dhuha.[6]
 
Alasannya karena kedua surat itu punya fadhilah yang sangat tinggi. Di antaranya, ada riwayat bahwa surat Al-Ikhlas disebut-sebut setara dengan sepertiga (1/3) Al-Quran. Sedangkan surat Al-Kafirun disebut setara dengan (1/4) seperempat Al-Quran. 

Dalam hal ini, Asy-Syubramalisi sebagai ulama yang menulis kitab syarah dari Nihayatul Muhtaj, nampak ingin menyatukan kedua pendapat di atas, yaitu apabila shalat Dhuha dilakukan lebih dari dua rakaat, maka para dua rakaat pertama yang dibaca adalah surat Asy-Syams dan Adh-Dhuha. Lalu pada dua rakaat berikutnya, yang dibaca adalah surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas.[7]





[1] Istilah zawal sering diterjemahkan dengan : tergelincir. Maksudnya, posisi matahari ketika tepat ada di atas kepala sedikit bergeser ke barat.

[2] Ihya' Ulumuddin jilid 1 hal. 203

[3] Al-Mughni jilid 2 hal. 121

[4] Syarah Al-Mahally anil-minhaj : Ibnu Abidin jilid 1 hal. 214

[5] Fathul Bari jilid 3 hal. 55

[6] Nihayatul Muhtaj, jilid 2 hal. 112

[7] Hasyiyatu Asy-Syubamalisi Ma'a Nihayatil Muhtaj, jilid 2 hal. 112
Categories: