Hukum Wanita Memakai Parfum dan Berhias
Posted by
Unknown
on
Thursday, February 26, 2015
with
No comments
Hukum Wanita Memakai Parfum dan Berhias |
Ketahuilah bahwa keluarnya
seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan
keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu
menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan
pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap
mereka.
Ibnu Hibban[1], al-Hakim[2],
an-Nasa’i[3], al-Baihaqi[4] meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan
untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[5] dari Abi Musa
al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu
kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).
At-Tirmidzi[6] dalam bab
tetang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits
Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia
memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan
begini). Artinya ia seorang pelaku zina.
Hadits terakhir di atas dalam
pengertian umum (Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا ريحها]
dalam pengertian yang dikhususkan (Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah
sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq) harus dipahami
dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai
mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (Ijma’)
mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (Ijma’)
mayoritas ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama
yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan
memakai wewangian.
Pemahaman semacam ini sesuai
dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia
berkata[7]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan
kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari
kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk
guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan
isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil
dari Madinah.
Hadits pertama di atas
diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya
menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai
wewangian”. Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum
perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika
diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana
dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[8]:
وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia
tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanakan syari’at, ia
diberi pahala).
Sebagaiman diketahuai
al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab
Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab
menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud
adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan
tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah
berdosa.
Dengan demikian, orang yang
mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap
hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang
ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if
?!. Adapun penyataan sikap dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak
ada gunanya, karena itu tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam
kitab-kitab Musthalah al-Hadits).
Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di
hadapan Abu Hurairah yang wewangiannya dirasakan oleh beliau, ia bertanya: "Handak
kemanakah engkau wahai hamba Tuhan yang maha perkasa?", perempuan
tersebut menjawab: "Ke masjid". Abu Hurairah berkata: "Adakah
engkau memakai wewangian untuk itu?". Ia menjawab: "Iya".
Abu Hurairah berkata: "Kembalilah engkau pulang dan mandilah,
sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: 'Allah tidak menerima
shalat seorang perempuan yang keluar menuju masjid sementara wewangiannya
menyebar semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi'". Hadits ini
tidak dinyatakan shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah yang
meriwayatkannya berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut
beliau hadits ini tidak shahih].
Dengan demikian hadits ini
tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini
adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat
sanadnya dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.
Namun demikian makna dua
hadits ini dapat dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu
Khuzaimah dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamkan
memakai minyak wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya
perempuan tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaimana
diketahui bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilangkan pahala
perbuatan [ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh]
tersebut bukan sebuah kemaksiatan. Contohnya seperti shalat tanpa adanya
khusyu, shalat tetap sah [menggugurkan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan
tidak diterima.
Contoh lainnya seperti hadits
Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Abu Dawud dengan marfu’[9]: “Siapa yang
mendengar orang memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk
mengikutinya [shalat jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia
lakukan”. Beberapa sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”.
Ia menjawab: “Rasa takut atau karena sakit”. Hadits ini bukan berarti
orang yang tidak shalat berjama’ah dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat.
Tetapi maknanya orang tersebut telah berlaku perbuatan makruh. Demikian pula
dengan hadits Ibnu Khuzaimah di atas bukan dalam pengertian haram memakai
wewangian bagi perempuan, tetapi dalam pengertian makruh.
Catatan lainnya; wewangian
yang dimakruhkan di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh
haditsnya menyatakan [وريحها تعصف], dan
lafazh [تعصف] untuk bau
yang menyengat, tidak digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana
hal ini telah dijelaskan oleh para ahli bahasa.
Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah kalian melarang para hamba Allah dari kaum perempuan
untuk mendatangi masjid-masjid, hanya saja hendaklah mereka keluar dalam
keadaan tidak memakai wewangian). Hadits inipun dalam pengertian makruh
tanzih bila perempuan tersebut memakai wewangian menuju masjid.
Pengakuan sebagain orang bahwa
an-Nasa’i meriwayatkan:
فمرت بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga
kaum laki-laki medapatkan wanginya…) adalah periwayatan yang tidak shahih.
Riwayat yang shahih adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan tujuan agar kaum laki-laki
mendapatkan wanginya).
Simak apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadir, berkata: “Suatu saat Asma’
didatangi ‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan
ketika Rasulullah masuk ia mendapati wewangian, ia bersabda: “Tidak layak
bagi seorang perempuan memakai wewangain di saat suaminya tidak di rumah”.
Hadits inipun bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram
maka akan diterangkan langsung oleh nabi.
Ibnu Muflih al-Maqdisi
al-Hanbali dalam karyanya al-Adab as-Syar’iyyah berkata: “Haram bagi
seorang perempuan keluar rumah suaminya tanpa mendapatkan izin darinya, kecuali
karena dlarurat atau karena kewajian syari’at…”. Pada akhir tulisan ia
berkata: “…dan dimakruhkan bagi perempuan memakai wewangain untuk hadir ke
masjid atau ke tempat lainnya”.
Al-Baihaqi dalam dalam
Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah
keluar rumah, ia shalat dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal, kemudian
datang kaum perempuan dan nabi menyuruh mereka semua untuk bersedekah, setelah
itu kemudian kaum perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari
al-Khursh dan as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari
dalam kitab Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatkan Muslim dari
Syu’bah”. As-Sakhab adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh
adalah perhiasan-perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat
kebolehan bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana
Rasulullah tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakannya.
__________________________________
[1].
Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (6/301)
[2]. Al-Mustadrak:
Kitab at-Tafsir (2/396)
[3]. Sunan
an-Nasa'i: Kitab az-Zinah
[4]. As-Sunan
al-Kubra (3/246)
[5].
Sunan Abi Dawud: Kitab at-Tarajjul: Bab tentang keluarnya perempuan
dengan memakai minyak wangi.
[6]. Jami'
at-Tirmidzi: Kitab al-Adab: Bab tentang makruhnya seorang perempuan keluar
dengan memakai minyak wangi.
[7]. Sunan
Abi Dawud: Kitab al-Manasik.
[8]. Matan
az-Zubad (h. 10)
[9]. Sunan
Abi Dawud: Kitab as-Shalat. Lihat pula al-Mustadrak (1/246)
dan as-Sunan al-Kubra (3/75)
Sumber: Piss-Ktb
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment