Karena Cinta Tidak Selalu Harus Berwujud Bunga
Posted by
Unknown
on
Saturday, February 21, 2015
with
No comments
Suami
saya adalah seorang yang sederhana, saya mencintai sifatnya yang alami
dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika
saya bersandar di bahunya yang bidang.
Dua
tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa
lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi
sesuatu yang menjemukan.
Saya
seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta
berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang
anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya
dapatkan.
Suami
saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang.
Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam
pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang
ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
“Mengapa?”, tanya suami saya dengan terkejut.
“Saya
lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan,”
jawab saya. Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan
komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal
tidak.
Kekecewaan
saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat
mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya suami saya bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?”
Saya
menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, ”Saya punya
pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya,
saya akan merubah pikiran saya: “Seandainya, saya menyukai setangkai
bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu
memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu
untuk saya?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.” Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan
paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas
dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu
hangat yang bertuliskan: “Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu
untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baik kamu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal.”“Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.”“Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu.”“Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.”“Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir.“Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
“Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.”“Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.”
Saya
segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu
dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan
saya.
Oh,
kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari
dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah
berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak
dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu
sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami
wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Karena cinta tidak selalu harus berwujud “bunga”
Categories:
Hikmah
0 komentar :
Post a Comment