Hukum Merokok
Posted by
Unknown
on
Tuesday, March 04, 2014
with
No comments
Sejak awal abad 11 Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu,
rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak
itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di
berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat
di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan
berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan
fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara
mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh,
sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.
Kali
ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan
hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan
selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni
tetap menjadi kontroversi.
Kontroversi Hukum Merokok
Seandainya
muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk
tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk
koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok
itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul
pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam
tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai
argumen yang bertolak belakang.
Pada dasarnya terdapat
nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan
segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau
kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
sebagai berikut:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik." (QS. Al-Baqarah: 195)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah saw bersabda: "Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain)." (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak
dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang
membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah
apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula
manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda
dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan
dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya
beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Seandainya
semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa madharat atau membawa
mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum
mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa
merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum
haram.
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh
karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat
dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram
karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat.
Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok
dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker,
paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga
pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah,
makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam
hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap
person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang
diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang
dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat
general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman
ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam kitabnya yang
sepotong teksnya sebagai berikut:
لم
يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر
أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم
العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره
مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة
التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض
فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة
"Tidak
ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan)
dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika
terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau
badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi
orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa
mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah
tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu
dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau
pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit
yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr.
Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya
makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan
unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya." (Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal.260)
Senada
dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud
Syaltut di dalam kitabnya dengan sepenggal teks sebagai berikut:
إن
التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر
ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا
ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر
بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده
شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
"Tentang
tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya
tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang
memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang
yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal,
tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan
dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram
atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu
makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang
stabil." (Kitab Al-Fatawa hal.383-384)
Demikian
pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy di
dalam kitabnya dengan sepotong teks, sebagai berikut:
القهوة
والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد
فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو
حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن
يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل
ذي مروءة تركهما
"Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya." (Kitab Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid 6, hal. 166-167)
Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat
menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas
ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat
diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai
hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan
kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama;
sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah
atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa
merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif
kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan
merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian
yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih
seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita
penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang
dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit
penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan
pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama
sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi
pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang
sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian
terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis
semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung
dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya,
kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu
(hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.
Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan
dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok.
Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal,
ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.
Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu
kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar
kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram
hukumnya.
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang
mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa
merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena
mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang
tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi
kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah merokok
itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di
balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka
hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk
kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja
sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak
berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang
dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka
haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan,
hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena
kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment