Hukum Nikah
Posted by
Unknown
on
Monday, March 03, 2014
with
No comments
Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Berkata
Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan
untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan
seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya.
Adapun Nikah secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk
melakukan hubungan seksual”.
Hukum Menikah
Hadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah
mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan
lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang
tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng
syahwat baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadist Anas bin Malik radhiyallahu:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ
اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا
لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Dari
Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari
mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi
berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata,
“Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya,
kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini
dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan
juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang
membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhori Muslim)
As-Syaikh Al-'Allaamah Al-Judaari menerangkan hukum
menikah dengan beberapa bait syair yang terdapat dalam Kitab Qurratul
'Uyuun berikut ini :
وواجب علي الذي يخشي الزنا • تزوج بكل حال امكنا
وزيد في النساء فقد المال • وليس منفق سوي الرجال
وفي ضياع واجب والنفقة • من الخبيث حرمة متفقة
لراغب اوراجي نليندب • وان به يضيع مالا يجب
ويكره ان به يضيع النفل • وليس فيه رغبة اونسل
وان انتفي ما يقتضي حكما مضي • جاز النكاح بالسوي المرتضي
Hukum
menikah sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak
melakukannya, hukumnya dapat di klasifikasikan sebagai berikut :
1. Wajib
Bagi orang yang telah mampu dan apabila ia tidak segera menikah sangat dikhawatirkan akan berbuat zina
2. Sunnah
Bagi orang yang menginginkan sekali punya anak, tetapi ia masih mampu
mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat
menikah atau belum walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah
biasa ia lakukan akan sedikit terlantar.
3. Makruh
Bagi orang yang belum berminat punya anak, juga belum pernah menikah
sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina padahal bila ia
menikah amalan ibadah sunnahnya akan terlantar.
4. Mubah (boleh)
Bagi orang yang mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina,
sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah
ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.
5. Haram
Bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya
karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan bathin atau jika menikah
ia akan cari mata pencaharian yang di haramkan Allah SWT walaupun
orang tersebut sudah berminat menikah dan mampu menahan gejolak
nafsunya dari berbagai zina. Hukum menikah tersebut juga berlaku bagi
kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan, bahwa bagi wanita hukum menikah
wajib apabila ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri sedangkan jalan
satu-satunya untuk menanggulangi nafkah tersebut adalah menikah.
File Dokumen Fiqh Menjawab
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment