Suara Wanita Bukan Aurat
Posted by
Unknown
on
Wednesday, March 12, 2014
with
No comments
Ketahuilah bahwa pendapat yang menjadi rujukan dari empat madzhab
tentang suara perempuan adalah bukan aurat. Bagaimana mungkin dikatakan aurat
sementara dalam hadits dinyatakan bahwa Nabi memberikan keringanan terhadap
seorang Jariyah untuk menyanyi saat
mangantar seorang pengantin perempuan menuju mempelai laki-laki. Al-Bukhari
dalam kitab Shahih-nya[37] merهwayatkan dari Hisyam ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, bahwasannya
ia mengantar mempelai perempuan menuju pengantin pria dari kaum Anshar, kemudian
nabi berssabda:
يا عائشة ما كان معكم لهو فإن الأنصار يعجبهم اللهو
(Wahai ‘Aisyah tidakkah ada bersama kalian sebuah permainan (al-Lahw), sesungguhnya kaum Anshar itu sangat menyenangi permainan).
Dalam riwayat at-Thabarani[38] dari Syuraik ibn Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya; ‘Urwah ibn Zubair dari
‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:
فهل بعثتم معها جارية تضرب بالدف وتغني؟
(Tidakkah kalain mengutus jariah untuk memukul rebana dan bernyanyi?).
‘Aisyah berkata: “Berkata apa…?”. Rasulullah bersabda:
“Berkata:
أتيناكم أتيناكم #
فحيونا نحييكم
ولو لا الذهب الأحمر # ما حلت بواديكم
ولو لا الحنطة السمراء # ما
سمنت عذاريكم
(Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian,
maka sambutlah kami, kamipun akan menyambut kalian. Kalaulah tidak karena Dzahab
Ahmar (emas merah) maka tidak akan ramai tempat-tempat asing kalian. Dan
kalaulah bukan karena Hinthah as-Samra (gandum cokelat) maka tidak akan gemuk
perawan-perawan kalian).
Riwayat ath-Thabarani di atas adalah shahih, di dalamnya ada tambahan
terhadap riwayat al-Bukhari; yaitu memukul rebana dan melantunkan lagu dengan
kalimat-kalimat di atas. Pengertian jariah dalam hadits di atas adalah
seorang perempuan. (lihat al-Qamus
al-Muhith dan Lisan al-‘Arab pada
huruf ج- ر- ي ).
Al-Bukhari juga meriwayatkan[39] dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Rasulullah masuk kepadaku sementara
bersamaku ada dua orang perempuan sedang bernyanyi dengan nyanyian yang
menggairahkan, kemudian nabi merebahkan badan di atas tempat tidur dan
memalingkan wajahnya. Sesaat kemudian datang Abu Bakar, ia menegurku berkata:
“Seruling syetan ada di rumah nabi?”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Biarkan
keduanya…”, setelah Rasulullah tidak menghiraukan lagi aku mencandai kedua
perempuan tersebut, kemudian keduanya keluar”.
Ibnu Hajar berkata[40]: “Pernyataannya (al-Bukhari); […dua orang perempuan --Jariyatani--], ia tambahkan dengan bab
sesudahnya; […dari perempuan-perempuan al-Anshar]. Dalam lafazh hadits
at-Thabarani[41] dari Ummi Salamah disebutkan bahwa salah satu kedua perempuan tersebut
adalah milik Hassan ibn Tsabit, dalam kitab al-Arba’in karya as-Sulamiy disebutkan
bahwa keduanya adalah milik ‘Abdullah ibn Salam. Dalam kitab al-‘Idaen karya Ibn Abi ad-Dunya dari
jalan Fulaih dari Hisyam ibn ‘Urwah bahwa yang sedang bernyanyi tersebut adalah
Hamamah dan salah seorang sahabatnya. Sanad terakhir ini shahih, hanya saja aku
tidak menemukan nama perempuan satunya, namun demikian mungkin perempuan yang
kedua bernama Zaenab, dan telah ia (al-Bukhari) sebutkan dalam bab
nikah”.
Ibnu Hajar juga berkata[42]: “… akan tatapi tidak adanya pengingkaran Rasulullah terhadap hal itu
menunjukan adanya kebolehan sesuatu yang tidak ia komentari”. Juga berkata:
“Dari hadits ini diambil dalil dalam kebolehan mendengar suara perempuan
menyanyi sekalipun ia bukan seorang budak, karena nabi tidak mengingkari Abu
Bakar untuk mendengarkannya, bahkan ia mengingkari sikap
pengingkarannya”.
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Khalid ibn Dzakwan[43]: “Berkata Rubayyi’ binti Mu’awwidz ibn ‘Afra: Rasulullah datang pada
masa pengantinku, kemudian ia duduk seperti duduknya engkau di hadapanku.
Kemudian para perempuan-perempuan kami melai memukul rebana dan menyebut-nyebut
nama orang-orang tuaku yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah seorang
perempuan tersebut berkata: […dan di antara kami ada seorang nabi yang
mengetahui apa yang akan terjadi hari esok], nabi bersabda: [Tinggalkan kalimat
tersebut, ucapkan kalimat-kalimat yang sebelumnya engkau
katakan].
Ibnu Hajar berkata[44]: “at-Tabarani dalam al-Mu’ajam al-Ausath dengan sanad hasan
mengeluarkan dari hadits ‘Aisyah bahwa nabi lewat di hadapan perempuan-perempuan
Anshar yang sedang dalam acara pernikahan, mereka sedang bernyanyi dengan
mengatakan:
وأهدى لها كبشا تنحنح في المربد
# وزوجك في النادي ويعلم ما في
غد
[…dan suaminya menghadiahkan domba kepadanya (pengantin wanita) yang mengembik di tempat pengembalaan. Dan suamimu berada diperkumpulan dan mengetahui apa yang terjadi hari esok].
Kemudian Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang mengetahui kejadian hari
esok kecuali Allah”.
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits ini ada keterangan dalam mengkabarkan
pernikahan dengan rebana dan dengan nyanyian yang mubah, juga tentang kedatangan
pemimpin (Imam) dalam pesta tersebut sekalipun terdapat permainan-permainan,
selama itu tidak melampaui batas kebolehan”. Hadits di atas juga diriwayatkan
oleh al-Bazzar[45].
Ibnu Majah meriwayatkan[46] dari Anas ibn Malik bahwa di suatu daerah Madinah nabi bertemu dengan
perempuan-perempuan yang sedang memukul rebana dan bernyanyi, mereka
bereka:
نحن جوار من بني النجار # يا حبذا محمد من جار
[Kita adalah para perempuan dari Bani Najar, dan Muhammad adalah sebaik-baiknya orang yang menjadi tetangga].
Kemudian nabi bersabda: “Allah maha mengetahui bahwa aku benar-benar
mencintai mereka”. Al-Hafizh al-Bushiri berkata: “Sanad hadits ini shahih, dan
rijalnya orang-orang terpercaya”[47].
Seorang ahli bahasa; al-Hafizh Muhammad ibn Muhammad al-Husaini
az-Zabidi yang dikenal dengan Murtadla dalam karyanya; Ithaf as-Sadat al-Muttaqin, berkata:
“al-Qadli ar-Rauyani berkata: …Sekalipun perempuan tersebut meninggikan suaranya
dalam talbiah, hal itu tidak haram,
karena suaranya bukan aurat”[48].
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath
al-Bari berkata: “Dalam hadits ini [hadits tentang baiat perempuan dengan
ucapan] terdapat keterangan bahwa mendengar perkataan perempuan asing adalah
mubah, dan bahwa suaranya bukan aurat”[49].
An-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim dalam keterangan hadits cara baiat perempuan berkata: “Pada hadits
ini terdapat keterangan bahwa suara perempuan boleh didengar bila dibutuhkan,
dan bahwa suaranya bukan aurat”[50].
Ibnu ‘Abidin al-Hanafi mengutip dari kitab al-Qinyah berkata: “Boleh berbicara Yng
mubah dengan perempuan asing. Dalam al-Mujtaba disebutkan: Pada hadits ini
terdapat dalil dalam kebolehan berbicara dengan perempuan asing dengan perkataan
yang tidak dibutuhkan, hal ini tidak termasuk dalam pengertian “terjerumus dalam
sesuatu yang tidak bermanfa’at”[51].
Dalam kitab Asna al-Mathalib
Syarh Raudl at-Thalib, Syekh Zakariyya al-Anshari berkata: “…kemudian
sesungguhnya suara perempuan bukan aurat menurut pendapat yang paling
benar”[52].
Dengan demikian, dengan penjelasan ini, jelas bahwa suara perempuan
bukan aurat, kecuali bagi orang yang bersenang-senang dalam mendengar suara
kepadanya, dalam keadaan terakhir ini haram.
Jika dikatakan: “Bukankah firman Allah:
فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض
(الأحزاب:32)
(Maka janganlah kalian menurunkan dalam berkata-kata kalian, hingga menjadi tamak (berburuk sangka) seseorang yang didalam hatinya memiliki penyakit).
Menunjukan keharaman dalam mendengar suara
perempuan?
Jawab: Perihal ayat tersebut tidak menunjukan demikian. Al-Qurthubi dalam
tafsirnya berkata: “Allah memerintahkan terhadap mereka [isteri-isteri nabi]
untuk berkata-kata dengan dengan perkataan yang fasih dan terang, tidak dengan
kata-kata yang menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti
halnya yang demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka
berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti
suara perempuan yang sedang kebingungan (al-Muribat) dan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari
hal demikian ini”[53].
Dalam tafsir al-Bahr al-Muhith,
pada firman Allah [فلا تخضعن بالقول], Abu Hayyan berkata: “Ibnu ‘Abbas berkata:
“Janganlah kalian lemah gemulai dalam berbicara”. Al-Hasan berkata: “Janganlah
kalian berkata-kata dengan keburukan”. Al-Kalbi berkata: “Janganlah kalian
berkata-kata dengan cara yang membangkitkan orang yang sedang dalam
kebingungan”. Ibnu Zaid berkata: “Merendahkan kata-kata adalah ucapan-ucapan
yang memasukan candaan dalam hati”. Dikatakan pula, maksudnya “Janganlah kalian
melemahkan tutur kata terhadap kaum laki-laki”. Allah memerintahkan terhadap
mereka [isteri-isteri nabi] untuk berkata-kata baik, tidak dengan kata-kata yang
menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti halnya yang
demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka
berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti
suara perempuan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari
hal demikian itu”[54].
Dari sini diketahui bahwa tujuan ayat bukan untuk mengharamkan atas
mereka [isteri-isteri nabi] dalam berbincang-bincang hingga suara mereka
didengar kaum laki-laki. Akan tetapi larangan di sini adalah untuk berkata-kata
dengan lemah lembut seperti seperti perkataan perempuan yang sedang kebingungan
(al-Muribat) dan yang lemah gemulai
(al-Mumisat); artinya kaum perempuan
pelaku zina.
Telah diriwayatkan dengan shahih bahwa ‘Aisyah mengajar kaum laki-laki
dari belakang penutup (sitar).
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish al-Habir berkata: “Maka
telah tsabit dalam kitab Shahih bahwa mereka bertanya kepada ‘Aisyah tentang
hukum-hukum dan hadits-hadits secara langsung (Musyafahah)”[55].
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
meriwayatkan dari al-Ahnaf ibn Qais, berkata: “Saya mendengar khutbah Abu
Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khathab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib
dan para khalifah-khalifah seterusnya hingga hari ini, dan aku tidak pernah
mendengar perkataan dari mulut seorang makhluk yang lebih wibawa dan baik dari
apa yang keluar dari mulut ‘Aisyah”[56].
Dalam at-Tafsir al-Kabir,
dalam firman Allah [وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن], al-Fakhr ar-Razi menulis: “Tentang suara
perempuan ada dua pendapat, pendapat yang paling benar ialah bahwa hal itu bukan
aurat, karena para isteri nabi meriwayatkan hadits-hadits bagi kaum
laki-laki”[57].
Di antara mereka adalah ‘Aisyah; beliau meriwayatkan hadits-hadits
Rasulullah kepada kaum laki-laki dan memberi fatwa kepada mereka, dan ia tidak
merubah suaranya. Demikian pula dari beberapa kaum perempuan keluarga
Shalahuddin al-Ayyubi meriwayatkan hadits bagi kaum laki-laki. Dan siapa yang
merujuk kepada kitab-kitab tentang tingkatan para ahli hadits (Thabaqat al-Muhadditsin), para huffazh al-hadits, para ahli fiqh, ia
akan menemukan banyak biografi ulama yang notabene mereka sebagai sandaran ilmu
syari’at mengambil (membaca) atau belajar kepada kaum
perempuan.
Yang lebih utama adalah kaum perempuan belajar kepada kaum perempuan di
tempat tertentu, yang para [pengajar] perempuan tersebut ahli dalam keilmuan
dari segi kafa’ah dan tsiqah.
____________________________________
[37]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab tentang perempuan-perempuan yang mengantar mempelai wanita menuju
suaminnya dan doa mereka baginya.
[38]. Dikutip oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (4/289),
at-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, lihat pula Fath al-Bari
(9/226)
[39]. Shahih al-Bukhari: Kitab al-‘Idaen: Bab al-Hirab wa ad-Daraq Yaum
al-‘Ied.
[40]. Fath al-Bari (2/440)
[41]. al-Mu’jam al-Kabir (23/264-265)
[42]. Fath al-Bari (2/443)
[43]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab memukul rebana saat nikah dan walimah
[44]. Fath al-Bari (9/203)
[45]. Lihat Kasyf al-Astar (3/5-6). Al-Haitsami dalam Majma’
az-Zawa’id (8/129) berkata: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan para
rijal shahih”.
[46]. Sunan Ibn Majah: Kitab an-Nikah: Bab al-Ghina wa
ad-Duff.
[47]. Mishbah az-Zujajah Fi Zawa’id Ibn Majah (1/334)
[48]. Ithaf as-Sadat al-Muttaqin Bi Syarh Ihya Ulum ad-Din (4/338)
[49]. Fath al-Bari (13/204)
[50]. Syarh Shahih Muslim (10/13)
[51]. Radd al-Muhtar (5/236)
[52]. Asna al-Mathalib (3/110)
[53]. al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (14/177)
[54]. al-Bahr al-Muhith (7/229)
[55]. at-Talkhis al-Habir Fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i
al-Kabir (3/140)
[56]. Mustadrak al-Hakim: Kitab
Ma’rifat as-Shabah (4/11)
[57]. at-Tafsir al-Kabir (23/207)
Categories:
Syariah
0 komentar :
Post a Comment