I. Pengertian Iddah, Hukum dan Dalil Asalnya
Dalil asal disyari’atkannya Iddah yaitu Firman Alloh Swt:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (persucian)". (QS. Al-Baqarah : 228).
Dan sabda Nabi Saw:
عَنِ
زَيْنَبَ بِنْتِ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ اُمُّ حَبِيْبَةَ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ يَحِلُّ
لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ تَحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ
فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ
وَعَشْرًا
Dari Zainab binti Ummu Salamah dari Ummu
Habibah ra. Berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:” tidak
dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali
atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya selama empat bulan
sepuluh hari.” (HR. Bukhari Muslim)
Pengertian iddah
Kata Iddah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti perhitungan.
Sedangkan
menurut istilah ulama-ulama seperti Imam Syarbini Khatib dalam
kitabnya yaitu Mugnil Muhtaj mendifinisikan Iddah adalah masa menunggu
bagi seorang perempuan dengan menggunakan masa iddah tiga kali suci,
beberapa bulan, atau dengan melahirkan untuk mengetahui kekosongan
rahimnya atau karena sedih atas meninggalnya suami.
Hukum iddah
Masa
iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang,
masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama
sepakat bahwa ‘iddah itu hukumnya wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah yang tertulis di atas.
II. Macam-macam Iddah dan Wanita yang memiliki iddah
Wanita yang memiliki masa Iddah ada dua macam:
1. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
Apabila
wanita tersebut dalam keadaan hamil maka masa iddahnya sampai ia
melahirkan kandungan, sampai lahirnya bayi yang kedua jika melahirkan
bayi kembar. Allah Swt berfirman:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS. Ath-Thalaaq : 4)
Apabila
wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya
menggunakan empat bulan qomariyah sepuluh hari. Namun jika dia ditinggal
mati suaminya di tengah-tengah bulan, maka setengah bulan pertama
disempurnakan dengan bulan kelima hingga mencapai jumlah 30 hari,
kemudian baru ditambah sepuluh hari.
Contoh: Wanita
ditinggal mati suaminya tanggal 10 Muharrom, maka masa iddahnya mulai
tanggal 11 sampai tanggal 30 berjumlah 20 hari, kemudian bulan Shofar, R
Awal, R Tsani, kemudian ditambah 10 hari untuk menyempurnakan bulan
pertama, selanjutnya ditambah 10 hari.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) 4 bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah : 234)
2. Wanita yang diceraikan oleh suaminya.
Apabila ia dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya dengan melahirkan kandungannya.
Apabila
ia tidak dalam keadaan hamil dan dia termasuk wanita yang masih
megeluarkan darah haidl (bukan anak kecil dan bukan menopause), maka
masa iddahnya tiga kali suci (tsalasatulquru’). Sebagaimana firman Allah
Ta'ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: “Wanita-wanita nan ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 3 kali quru'.” (QS. Al-Baqarah : 228)
Namun
jika wanita tersebut masih kecil (belum menstruasi) atau Sudah
menopause (putus darah haidnya/sudah tidak bisa haidl lagi), maka masa
iddahnya adalah tiga bulan. Allah Ta'ala berfirman:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan nan putus asa dari haid di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah 3 bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan nan
tak haid. ” (QS. Ath-Thalaaq : 4)
3. Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (hadiah untuk membuat
mereka senang) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Ahzab : 49).
III. Larangan Bagi Wanita Yang Sedang Menjalani Masa ‘Iddah.
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
2. Tidak boleh menikah. Allah Swt berfirman,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Artinya: “Dan janganlah kamu berazam (bertekadi) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah habis.” (QS. Al Baqarah: 235).
3. Tidak boleh keluar rumah.
Namun dalam kitab Al-Baijuri juz Tsani hal 257-258,
menjelaskan bahwa diperbolehkan bagi wanita yang masih dalam masa
iddah keluar rumah disebabkan hajat yaitu untuk mencari nafkah kalau
memang tidak ada yang menafkahi dirinya dan keluarganya (anak-anaknya).
Juga
diperbolehkan bagi wanita yang sedang iddah keluar rumah untuk membeli
makanan, khawatir terhadap dirinya, badannya, hartanya ataupun anaknya
karena disebabkan sakit dan sebagainya yang sekiranya bisa membahayakan.
)
إلَّا لِحَاجَةٍ ( أَيْ فَيَجُوزُ لَهَا الْخُرُوجُ فِي عِدَّةِ وَفَاةٍ
وَعِدَّةِ وَطْءِ شُبْهَةٍ وَنِكَاحٍ فَاسِدٍ وَكَذَا بَائِنٌ وَمَفْسُوخٌ
نِكَاحُهَا وَضَابِطُ ذَلِكَ كُلُّ مُعْتَدَّةِ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا
وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَنْ يَقْضِيهَا حَاجَتَهَا لَهَا الْخُرُوجُ فِي
النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَقُطْنٍ وَكَتَّانٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ
وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ
4. Tidak Berhias diri (Al-hidad/Al-Ihtidad)
Seorang
wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau
mempercantik diri. Dan diantara kategori berhias itu antara lain
adalah:
- Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
- Menggunakan parfum atau wewangian
- Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
- Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
- Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning. Dll.
IV. Ancaman bagi wanita yang tidak menjalani masa iddah.
Sesuai
kewajiban iddah yang diambil berdasarkan dalil al-Qur’an dan sunnah di
atas, tentunya wanita yang berkewajiban menjalani masa iddah dengan
larangan-larangn di atas, maka ia berdosa dan durhaka kepada Alloh Swt
dan Nabiyulloh pembawa syari’at jika tidak melakukannya.
وَاعْلَمْ أَنَّ تَرْكَ الْإِحْدَادِ كُلَّ الْمُدَّةِ اَوْ بَعْضَهَا كَبِيْرَةٌ فَتَعْصِي بِهِ إِنْ عَلِمَتْ حُرْمَةَ التَّرْكِ
Artinya:
“ Ketauhilah bahwa sesungguhnya meninggalkan Ihdad (tidak berhias
diri) baik seluruh masa atau sebagian masa adalah dosa besar. Maka
wanita tersebut durhaka (kepada Alloh Swt) jika memang dia mengetahui
tentang haramnya meninggalkan ihdad (berhias diri).”(Kitab I’anatutholibin juz 4 hal 51)
أَوْجَبَ
الشَّارِعُ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ أَنْ تَعْتَدَّ فِي الْمَنْزِل الَّذِي
يُضَافُ إِلَيْهَا بِالسُّكْنَى حَال وُقُوعِ الْفُرْقَةِ أَوِ الْمَوْتِ ،
وَالْبَيْتِ الْمُضَافِ إِلَيْهَا فِي قَوْله تَعَالَى ( لاَ
تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ ) هُوَ الْبَيْتُ الَّذِي تَسْكُنُهُ
وَلاَ يَجُوزُ لِلزَّوْجِ وَلاَ لِغَيْرِهِ إِخْرَاجُ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ
مَسْكَنِهَا . وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ وَإِنْ رَضِيَ الزَّوْجُ
بِذَلِكَ ، لِأَنَّ فِي الْعِدَّةِ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى ،
وَإِخْرَاجُهَا أَوْ خُرُوجُهَا مِنْ مَسْكَنِ الْعِدَّةِ مُنَافٍ
لِلْمَشْرُوعِ ، فَلاَ يَجُوزُ لِأَحَدٍ إِسْقَاطُهُ
Artinya:
“Hukum Syara' mewajibkan bagi wanita yang menjalani masa iddah menetap
dalam rumah saat terjadinya furqah atau mati suaminya berdasarkan
firman Allah “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang". Dan tidak diperbolehkan bagi suami juga
selain suami mengeluarkannya dari rumah tersebut, juga tidak boleh
baginya keluar rumah meskipun seizin suaminya karena dalammasa iddah
terdapat HAK ALLAH, mengeluarkannya atau keluarnya dari rumah iddahnya
berarti menentang apa yang telah menjadi ketetapan syara' karenanya
tidak boleh bagi seseorang menggugurkan hukum tersebut”. (Kitab Almausuu'ah al-Fiqhiyyah IV hal 248)
V. Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
1.
Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada
kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan
di dalam hal itu.
2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak
pada isteri yang diceraikan. Untuk selanjutnya memelihara jika
terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan
bayi tersebut.
3. Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan
kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka
serta menepati permintaan suami. Hal ini jika iddah tersebut di
karenakan oleh kematian suami. Wallohu A’lam.
File Dokumen Fiqh Menjawab